1
BAB I PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Dunia, tempat hidup manusia selalu mengalami perubahan dan tantangan. Sejak munculnya globalisasi dan modernisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat. Perkembangan tersebut juga menunjukkan banyak perilaku tidak bermoral seperti, kerusuhan, narkotika dan minuman keras, pelecehan seksual, demonstrasi disertai dengan anarkisme dan perusakan fasilitas umum, sampai dengan sentimen-sentimen negatif yang menyangkut agama dan ras. Pada akhirnya manusia kembali mempertanyakan “Apakah tujuan hidup manusia?” Pertanyaan ini merupakan sebuah pertanyaan klasik yang digumuli bukan hanya oleh para filsuf, tetapi juga para teolog, penulis-penulis besar, tokoh-tokoh
dunia, bahkan secara individu, semua orang di segala tempat.1 Proses perenungan mereka
terhadap tujuan hidup manusia itu akhirnya memunculkan ide tentang perlunya penanaman nilai-nilai seperti kebaikan atau kebajikan. Nilai-nilai tersebut harus dicintai dan diterapkan sehingga hidup manusia menjadi bermakna.
Lickona mengutip Socrates, seorang filsuf dari Barat, menyatakan bahwa sejak dahulu telah menyadari bahwa pada dasarnya manusia perlu dididik bukan hanya untuk
menjadi cerdas tetapi juga menjadi baik.2 Tantangan globalisasi dan modernisasi tersebut
kemudian dijawab dengan munculnya pendidikan moral.3 Pendidikan moral diharapkan dapat
1 Kevin Ryan dan Karen E. Bohlin, Building Character in School. (San Fransisco: Jossey-Bass, 1999), 39. 2 Ibid., 19.
2
membentuk identitas moral diri peserta didik.4 Teori Kholbergh biasanya dijadikan acuan
untuk mengembangkan moral manusia.5 Umumnya, peserta didik akan sering dihadapkan
dengan persoalan-persoalan dilematis. Mereka akan diminta untuk memutuskan apa yang baik dan yang tidak baik dengan memberikan alasan yang logis sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan moral kemudian digalakkan dengan harapan bahwa manusia yang ada nantinya mampu menjadi manusia yang beradab. Meski demikian, seseorang yang memiliki penalaran moral yang baik belum tentu akan melakukan hal yang baik pula. Crain mengutip Kholberg menyatakan bahwa penalaran moral seseorang tidak
selalu sejalan dengan tindakannya. 6 Oleh sebab itu, muncul kesadaran baru dalam diri
masyarakat bahwa selain pendidikan moral, masyarakat juga membutuhkan pendidikan karakter.
Pendidikan karakter sebagai usaha sekaligus jawaban baru terhadap tantangan-tantangan dunia saat ini, sangat gencar dilakukan di berbagai Negara. Indonesia turut menggalakkan pendidikan karakter sebagai upaya resistensi terhadap kemerosotan moral yang sering terjadi. Pendidikan karakter merupakan hal penting bagi pembangunan karakter bangsa Indonesia. Soekarno, Presiden Republik Indonesia yang pertama, sejak semula telah mengangkat isu pembangunan karakter sebagai hal yang utama. Soekarno mendambakan agar bangsa Indonesia mempunyai kepribadian yang tangguh untuk dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah atau memiliki kesetaraan di antara bangsa-bangsa terkemuka lain di
dunia.7 Hal ini hanya mampu dicapai apabila seseorang memiliki karakter yang baik dan
4 Daniel K. Lapsley, Larry P. Nucci, dan Darcia Narvaez (Editor), Handbook of Moral and Character
Education, (New York: Roudledge, 2008), 31-32.
5
Ibid., 32-33.
6 William Crain, Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 250-252. 7 Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, (Jakarta: Pemerintah
3
luhur. Oleh sebab itu, pada tahun 2010 dikeluarkanlah suatu Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa. Pembangunan karakter bangsa merupakan suatu gerakan nasional dengan tema membangun generasi Indonesia yang jujur, cerdas, tangguh, dan
peduli.8 Pendidikan karakter merupakan salah satu strategi pemerintah dalam membangun
karakter bangsa, sehingga mereka dapat menjadi warga negara yang baik dan mencerminkan kekhasan kepribadian bangsa. Setting yang paling umum, sekaligus alat yang paling efektif milik pemerintah sebagai pelaksana pendidikan semacam ini adalah sekolah, baik sekolah negri maupun swasta karena keduanya berada di bawah kontrol pemerintah.
Salah satu tulisan yang dijumpai penulis berkaitan dengan usaha pemerintah ini yaitu The Failure of Modern Character Education.9 Artikel ini berisi tentang faktor-faktor penyebab kegagalan pendidikan karakter modern, khususnya di sekolah. Adapun faktor-faktor penyebabnya adalah pemahaman yang cacat terhadap konsep inti, yakni karakter itu sendiri; kegagalan untuk menghubungkan pembentukan karakter kepada masalah manusia yang lebih dalam, artinya tidak dapat menyentuh inti permasalahan yang sesungguhnya; serta adanya penempatan kontrol pendidikan kaum muda di tangan negara karena kepentingan negara dapat menjadi hal yang baik tetapi juga hal yang membahayakan. Kasus Nazi merupakan salah satu contoh bahwa sekolah adalah alat untuk mencapai tujuan pemerintah yang berkuasa saat itu. Karakter mereka terbentuk dan dibentuk sesuai dengan kehendak penguasa. Kemungkinan-kemungkinan adanya kegagalan dalam melaksanakan pendidikan karakter menandakan bahwa perlu adanya kajian terhadap pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah.
8 Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, 5.
9 Kevin Ryan. “The Failure of Modern Character Education” dalam REP: Revista Espanola de Pedagogia,
4
Salah satu sekolah yang berusaha melaksanakan pendidikan karakter adalah SMP YBPK 4 Surabaya. Sekolah yang bernaung di bawah Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) jemaat Wiyung Surabaya ini telah mengalami “pasang-surut” perjalanan pelayanan pendidikan. SMP YBPK 4, Surabaya yang telah berdiri kurang lebih 38 tahun, sempat mengalami kelesuan karena tidak dikelola dengan baik, sehingga tidak mampu bersaing dengan sekolah lain yang ada di sekitarnya. Hal ini ditunjukkan dengan minimnya jumlah
murid yang bersekolah di sana.10 Kondisi yang demikian membuat segenap dewan,
pimpinan, staff, dan tenaga pendidik mengupayakan kemajuan sekolah seperti meningkatkan sarana-prasarana, mengadakan berbagai kegiatan yang sesuai dengan minat siswa, bahkan meningkatkan gaji pendidik dan karyawan agar kualitas yang diberikan selama proses belajar
mengajar dapat menjadi maksimal.11
Pendidikan karakter yang dilaksanakan oleh SMP YBPK 4 Surabaya juga merupakan salah satu usaha untuk memajukan mutu sekolah melalui pemenuhan standart mutu yang diinginkan oleh pemerintah. Pendidikan karakter lebih gencar dilakukan khususnya sejak diberlakukannya Kurikulum 2013. Penulis berpendapat bahwa pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah juga perlu dilandasi oleh suatu kesadaran kritis bahwa pendidikan adalah suatu upaya untuk melakukan transformasi sosial, bukan hanya sekedar meningkatkan mutu sekolah. Dengan demikian, intervensi pemerintah mengenai pelaksanaan pendidikan karakter hanya dapat dimaknai sebagai hal yang positif, jika hal itu dilaksanakan dengan penuh kesadaran bahwa itu adalah tanggung jawab moral pendidik, bukan hanya demi mutu sekolahnya, tetapi juga mutu lulusannya.
10 GKJW Jemaat Wiyung, Mengenang Perjalanan Sejarah dan Perkembangan Gereja Kristen Jawi Wetan
Jemaat Wiyung, (Surabaya: GKJW Wiyung, 2012), 84.
5
Hergenhahn dan Olson mengemukakan lima rambu-rambu untuk memaknai proses
pembelajaran dalam pendidikan karakter. 12 Rambu-rambu tersebut antara lain, pentingnya
perubahan dalam perilaku, perubahan perilaku relatif permanen, perubahan perilaku tidak selalu langsung terjadi saat proses belajar mengajar selesai, perubahan perilaku berdasarkan pengalaman atau praktik, serta adanya penguatan terhadap pengalaman atau praktik. Lima rambu-rambu tersebut menandai bahwa perubahan hanya bisa terjadi apabila ada pengalaman berkualitas yang diberikan pendidik kepada peserta didik dalam proses belajar yang dijalani. Penulis meyakini bahwa jika pendidik tidak memiliki kesadaran dan pemahaman yang positif dalam proses belajar mengajar, maka pengalaman pembelajaran karakter yang diberikan kepada peserta didik juga tidak akan menjadi maksimal. Perspektif pendidik mengenai pentingnya pendidikan karakter akan mempengaruhi efektifitas pelaksanaan pendidikan
karakter tersebut.13 Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk mengkaji pelaksanaan pendidikan
karakter di SMP YBPK 4 Surabaya.
Pelaksanaan pendidikan karakter di SMP YBPK 4 Surabaya akan dikaji berdasarkan
perspektif Character Education Partnership (CEP). Perspektif CEP didasarkan pada
penelitian terhadap sekolah-sekolah yang telah berhasil melakukan pendidikan karakter dan
menjadi acuan bagi sekolah-sekolah di Amerika untuk memperoleh penghargaan “School of
Character” hingga saat ini.14 Penelitian tersebut menghasilkan sebelas prinsip pendidikan karakter yang efektif di sekolah. Penulis menggunakan perspektif CEP karena prinsip-prinsip yang ditawarkan CEP tidak bersifat eksklusif dan cukup praktis untuk diterapkan di berbagai negara. Sebelas Prinsip ini juga dapat digunakan sebagai standar untuk merencanakan
12
B.R. Hargenhahn dan Matthew. H. Olson, Theories of Learning. (Jakarta: Kencana, 2008), 91-92.
13 Floyd D. Beachum, dkk. “Support and Importance of Character Education: Pre-Service Teacher Perceptions”,
Education, vol. 133, no. 4 (2013): 477.
6
pelaksanaan pendidikan karakter dan mengevaluasi program-program yang telah dimiliki. Dengan demikian, judul tesis ini adalah Pelaksanaan Pendidikan Karakter di SMP YBPK 4
Surabaya dari perspektif Character Education Partnership.
I. 2. Rumusan Masalah
Adapun pertanyaan penelitian di rumuskan sebagai berikut, bagaimana pelaksanaan
pendidikan karakter di SMP YBPK 4 Surabaya dari perspektif Character Education
Partnership?
I. 3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisa pelaksanaan
pendidikan karakter Kristiani di SMP YBPK 4 Surabaya dari perspektif Character Education
Partnership.
I. 4. Manfaat Penelitian
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan evaluasi atau masukan bagi SMP YBPK 4 Surabaya mengenai pelaksanaan pendidikan karakter yang telah dilakukan. Penulis juga berharap penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya mengenai pelaksanaan pendidikan karakter dan melengkapi penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yang berkaitan dengan pendidikan karakter.
7
I. 5. Signifikansi Penelitian
Penulis berpendapat bahwa penelitian ini bersifat mendesak, mengingat tahun 2015 telah memasuki tahap ke 2 dimana fase ini disebut sebagai fase pemantapan terhadap strategi
dan implementasi.15 Target pemerintah pada tahun ini adalah setiap sekolah telah memiliki
strategi pelaksanaan pendidikan karakter yang efektif. Meski demikian, hingga saat ini belum ada standart maupun kriteria yang dikeluarkan pemerintah Indonesia mengenai pendidikan karakter yang efektif. Penelitian ini juga bersifat penting karena hingga saat ini, penulis belum menemukan adanya suatu penelitian tentang pelaksanaan pendidikan karakter yang efektif di sekolah. Penelitian tentang pendidikan karakter yang pernah diteliti di Universitas
Kristen Satya Wacana hanya difokuskan dalam setting gereja16 dan keluarga.17 Dengan
demikian, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya.
I. 6. Metode Penelitian
Metode dalam sebuah penelitian sangat dibutuhkan karena melalui metode gagasan-gagasan yang ada dapat tersusun dengan beraturan, berarah, berkonteks serta relevan dengan maksud dan tujuan. Koentjoroningrat mengartikan metode sebagai seperangkat cara kerja
untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan.18
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan semua fenomena yang terdapat
15 Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, 26.
16 Mercy Rini Kaligis, Tesis: Peran Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB
Jemaat Bukit Sion Balikpapan, (Salatiga: UKSW, 2014).
17 Victoria H. Bathun, Tesis: Model Pengasuhan dalam Pembangunan Karakter Anak di Keluarga Kristen:
Studi di Jemaat GMIT Sontetus Bone, Kupang, (Salatiga: UKSW, 2014).
8
di dalam masalah yang diteliti, yang meliputi pengumpulan dan penyusunan data serta
interpretasi dan analisa tentang arti data itu.19 Hal ini juga berarti sifat dari penelitian ini
adalah deskriptif. Penelitian ini akan diupayakan untuk menggambarkan secara mendalam tentang situasi atau proses yang diteliti. Penelitian ini juga berupaya menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menekankan pengalaman-pengalaman sosial atau
definisi tertentu dibangun dan diberi makna.20
Jenis pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Beberapa karakteristik yang dimiliki penelitian kualitatif adalah latar belakang bersifat alamiah, peneliti menjadi instrument utama, analisis data secara induktif, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, adanya batas atau fokus, adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, desain bersifat sementara dan hasil penelitian dirundingkan dengan
kesepakatan bersama.21 Penelitian ini diharapkan tidak hanya berisi tentang
gambaran-gambaran dari masalah yang diteliti, tetapi juga berisi tentang suatu tinjauan kritis mengenai efektifitas pelaksanaan pendidikan karakter di SMP YBPK 4 Surabaya.
I.6.1. Sumber Data
Sumber Data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data Primer diperoleh melalui penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka yang menjadi sumber data. Sumber data yang dimaksud berupa literatur-literatur dan dokumen-dokumen, buku, jurnal, makalah, dan artikel yang mendukung penelitian ini, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Data sekunder diperoleh dari berbagai informan (hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam) dan hasil observasi.
19 H. Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1983), 63.
20 Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Introduction Entering The Field of Qualitative Research, (New
Delhi: SAGE Publication, ins, 1994), 4.
9
I.6.2. Teknik Pengumpulan data
Adapun teknik pengumpulan data yaitu melalui:
1. Studi kepustakaan, yaitu mempelajari literatur dan dokumen mengenai teori-teori yang
akan digunakan berkaitan dengan masalah yang diteliti.
2. Wawancara mendalam (In-depth Interview) yang dilakukan kepada pihak-pihak yang
terlibat langsung dalam proses Pendidikan Karakter di SMP YBPK 4 Surabaya seperti Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Guru, Karyawan dan peserta didik yang penulis
pilih secara acak (random).
3. Observasi. Penulis akan melakukan pengamatan untuk memperoleh gambaran situasi
yang berkaitan dengan objek penelitian ini.
4. Focus Group Discussion (FGD). Penulis akan membuat pertanyaan yang akan
didiskusikan oleh sekelompok siswa. Pertanyaan ini berfungsi untuk mengetahui keakuratan data-data yang telah penulis dapatkan.
I.6.3. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data akan dimulai dengan mendeskripsikan pelaksanaan pendidikan karakter kristiani di SMP YBPK 4 Surabaya. Kemudian, Penulis akan menganalisa dan mengaitkan pelaksanaan pendidikan karakter kristiani dengan perspektif CEP. Analisa tersebut akan menghasilkan jawaban-jawaban dan temuan-temuan penelitian yang merupakan salah satu usaha untuk mencari penjelasan dan pemecahan masalah. Meski demikian, hasil penelitian ini tidak selalu dimaksudkan sebagai satu-satunya solusi.
10
I.7. Sistematika Penulisan
Pada dasarnya sistematika penulisan karya ilmiah ini terbagi menjadi empat bab yaitu, bab satu adalah pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab
dua membahas tentang pendidikan karakter di sekolah berdasarkan perspektif Character
Education Partnership. Pada bab ini, penulis akan mengulas tentang karakter dan pendidikan karakter, inti karaker, komponen dan elemen karakter serta pelaksanaannya di
sekolah, serta Character Education Partnership. Bab tiga berisi tentang hasil penelitian
dan pembahasan pelaksanaan pendidikan karakter di SMP YBPK 4, Surabaya. Penulis akan memaparkan gambaran umum SMP YBPK 4, profil sekolah yang terdiri dari visi, misi, rencana kerja, dan program-program kegiatan, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan mengenai pemahaman kepala sekolah, staff, pendidik, dan peserta didik, serta pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah tersebut. Bab 4 adalah Penutup. Bab ini berisi mengenai kesimpulan yang merupakan hasil temuan penulis, kontribusi, dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.