Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 845
TEKS PERMAINAN ANAK UCANG-UCANG ANGGE:
ANALISIS STRUKTUR, KONTEKS PENUTURAN, PROSES PENCIPTAAN, DAN
FUNGSI
David Setiadi1, Asep Firdaus2
1 & 2Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sukabumi
Alamat Korespondensi : Jl. R. Syamsudin, SH. No. 50 Sukabumi, Tlp: (0266) 218342 E-mail: 1)[email protected] , 2)[email protected]
Abstrak
Penelitian terhadap permainan anak tradisional memang sudah dilakukan di berbagai daerah, akan tetapi khusus untuk lokalitas Sukabumi belum banyak yang melakukannya. Oleh karena itu, penelitian terhadap permainan anak Ucang-ucang Angge ini akan memaparkan permasalah yang meliputi; bagaimana struktur teks permainan anak Ucang-ucang Angge, bagaimana konteks penuturan permainan anak Ucang-ucang Angge, bagaimana makna yang terkandung dan fungsi permainan anak Ucang-ucang Angge dalam masyarakatnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bentuk atau model-model struktur teks permainan anak, beserta bagaimana konteks penuturan penciptaan, dan fungsinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, data-data yang diperoleh dari informan ketika wawancara digambarkan sedetail mungkin, kemudian data dianalisis dengan teori yang relevan. Penelitian ini memeroleh temuan berupa struktur teks permainan anak yang meliputi formula sintaksis dan formula bunyi. Selain itu, konteks penuturan dan fungsi permainan anak Ucang-ucang Angge memperlihatkan bahwa permainan ini dilakukan sebagai bentuk pola asuh terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi folklor yang menunjukkan nilai-nilai pendidikan dalam bentuk permainan anak tradisional.
Kata kunci: Folklor, Permainan Anak, Sastra lisan
1. PENDAHULUAN
Tradisi lisan merupakan medium terindah dalam sejarah kesusastraan Nusantara. Sejarah tersebut menjadi bagian dalam khazanah sastra Nusantara yang tersebar luas hampir di seluruh bagian Indonesia. Peradaban Nusantara dibangun dengan berbagai macam tradisi lisan yang diwariskan secara turun temurun, baik bergenre prosa, puisi, maupun drama.
Sebuah karya sastra bisa dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan dan dinikmati disaat senggang. Ia menjadi sesuatu yang ringan, menarik, menyenangkan, dan bisa mengendurkan pikiran. Karya sastra bisa juga dipandang sebagai sesuatu yang berharga dan mulia, yang hanya bisa dipahami dan dihayati bila dikaji dan direnungkan dengan sungguh-sungguh karena di dalamnya terdapat hakikat kebenaran, kebaikan, keindahan yang diungkapkan secara artistik. Horatius (dalam Teeuw, 1988: 8) mengatakan bahwa karya seni (sastra) yang baik harus memenuhi aspek dulce et utile, yang berarti sastra itu menghibur dan mendidik bagi penikmatnya.
Dengan mengacu pada tiga paradigma peradaban menurut Alvin Toffler (1980), ranah sastra dapat dipilah ke dalam tiga paradigma yang meliputi; peradaban agraris, industrial, dan informasi. Sastra dalam peradaban agraris didominasi genre sastra lisan, sastra dalam peradaban industrial didominasi genre sastra tulis, dan sastra dalam peradaban informasi didominasi genre sastra elektronik (cyber sastra). Berdasarkan kategori tersebut objek penelitian sastra dapat diklasifikasikan ke dalam sastra elektronik, sastra tulis, dan sastra lisan (sebagian lisan).
Sastra lisan yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu, umumnya akan berbeda dengan daerah yang lain. Bahkan dalam daerah yang bersangkutan terdapat kemungkinan tentang adanya versi. Hal ini tidak menjadi persoalan karena ciri khas dari sebuah karya sastra lisan adalah dengan adanya
▸ Baca selengkapnya: tentukan struktur teks tanggapan permainan tradisional salah satu sarana melatih anak bersosialisasi
(2)846 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
versi. Banyak peneliti yang telah mengkaji sastra lisan yang ada di Indonesia, tetapi masih banyak pula sastra lisan yang terlewatkan untuk diteliti.
Sastra lisan merupakan warisan budaya yang kita miliki. Sudah seharusnya kita sebagai bagian dari masyarakat untuk melestarikan agar jangan sampai semua itu luntur. Sastra lisan merupakan kajian yang menarik jika kita mampu menelusuri lebih dalam tentang sebuah sastra lisan. Banyak hal yang terkandung dalam sebuah sastra lisan, tidak hanya mencakup makna simbolik, fungsi, serta nilai tetapi juga dapat kita kaji aspek strukturnya sebagaimana struktur dalam sebuah karya sastra. Seperti halnya dengan sebuah karya sastra, sastra lisan dapat ditafsirkan sebagai langkah untuk memeroleh pesan, makna, dan fungsi.
Sastra lisan sebagai salah satu bentuk kebudayaan, tumbuh dan terpelihara dalam masyarakat pendukungnya secara turun-temurun. Sastra lisan merupakan cerminan situasi, kondisi, tata karma dan kepercayaan masyarakat pendukungnya. Selain itu, sastra lisan merupakan salah satu bentuk folklor yang memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan folklor lainnya. Termasuk dalam jenis sastra lisan ini adalah permainan anak.
Danandjaja (2007:171) menyatakan bahwa setiap bangsa di dunia ini umumnya mempunyai permainan rakyat, maka hampir sebagian besar permainan rakyat tersebut ada dalam sebuah permainan anak. Terutama jika kita menilik dari permainan anak tradisional yang banyak terdapat di Indonesia. Salah satunya adalah permainan anak ucang-ucang angge yang menjadi objek penelitian ini.
Dalam permainan anak Ucang-ucang Angge, terdapat sebuah teks yang dinyanyikan sebagai pengiring dalam permainan. Tradisi permainan anak Ucang-ucang Angge merupakan warisan turun-temurun dari si empunya cerita yang diwariskan dengan sisitem vertikal. Meskipun hampir punah dan tergerus oleh sastra tulisan atau sastra elektronik, permainan anak ini masih tetap hidup sampai sekarang. Warisan tersebut dijaga keasliannya dengan cara terus dipelihara dan dilakukan, walaupun hanya dalam lingkungan terbatas.
Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini mencoba memecahkan masalah berkaitan dengan; struktur teks permainan anak Ucang-ucang Angge, makna yang terkandung dan fungsi permainan anak Ucang-ucang Angge dalam masyarakatnya. Untuk dilakukan analisis terhadap telaah teks permainan anak tersebut dibutuhkan beberapa teori pendukung yang meliputi; folklor, permainan anak tradisional dan teori mitos.
Folklor
Istilah folklor merupakan peng-Indonesiaan dari bahasa Inggris folklore. Kata tersebut adalah kata mejemuk yang berasal dari dua kata folk dan lore. Dundes (dalam Danandjaja, 2007:1-2) menyebutkan bahwa folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dengan kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal tersebut antara lain dapat berwujud; warna kulit yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang dapat meraka akui sebagai milik bersamanya. Di samping itu, yang paling penting adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaan, yang diwariskan turun-temurun secara lisan melalui suatu contoh yang disetai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Zaidan (2007:74) menyebutkan bahwa semua folklor adalah semua tradisi rakyat, seperti kepercayaan, warisan kebudayaan, dan adat istiadat yang tradisional. Istilah ini berasal dari tradisi Anglo Saxon, Folk “rakyat” dan lore “pelajaran”, biasanya hanya mencakup bahan-bahan yang disebarkan secara lisan, tetapi sekarang meliputi sumber tertulis tentang tradisi, pandangan hidup, dan kebiasaan rakyat, balada rakyat, dongeng, mitos, peribahasa, pepatah tradisi lisan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, Brunvand (1978:3) membagi folklor secara umum dalam tiga bentuk, yaitu folkor lisan (verbal folklore), folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), dan folklor bukan lisan (non verbal folklore). Sementara itu, Danandjadja (2007:21) mengklasiikasikan folklor ke dalam jenis-jenis tradisi yang ada di Indonesia berdasarkan bentuknya meliputi:
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 847 1) folkor lisan; Bahasa rakyat (folk speech), ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah, petitih,
pameo), pertanyaan tradisional (teka-teki), puisi rakyat (pantun, gurindam, syair), prosa rakyat (dongeng, mite, legenda).
2) folklor sebagian lisan; kepercayaan rakyat, permainan rakyat, pesta rakyat, dan lain-lain. 3) folklor bukan lisan; rumah adat, kerajinan tangan, gerak isyarat tradisional
Dalam penelitian ini, bentuk folklor yang akan diteliti adalah folklor sebagain lisan (partly verbal folklore) berupa permainan anak tradisional yang bentuknya merupakan campuran antara unsur lisan dan bukan lisan.Untuk mengetahui lebih lanjut tentang permainan anak tradisional, pada sub berikutnya akan dijelaskan tentang permainan rakyat (folk games).
Permainan Rakyat (Folk Games)
Permainan rakyat (folk games) merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap kebudayaan. Oleh karena itu, setiap bangsa di dunia pasti memiliki permainan rakyat. Permainan rakyat merupakan bagian dari folklor jika dilihat dari sumber penyebarannya. Hal ini selaras dengan yang dikatakan Danandjaja (2007: 171) bahwa permainan rakyat merupakan bagian dari folklor karena diperoleh melalui warisan lisan. Hal ini terutama berlaku pada permainan rakyat kanak-kanak, karena permainan ini disebarluaskan murni melalui tradisi lisan.
Permainan rakyat untuk dewasa maupun anak biasanya dilakukan dengan mengandalkan aspek kinetik berupa gerakan tubuh. Gerakan tubuh tersebut bisa berupa lari, lompat, sembunyi, atau yang lainnya yang membutuhkan gerak tubuh. Danandjaja (2007:171) membagi permainan rakyat dalam dua bagian besar yaitu permainan untuk bermain (play) dan permainan untuk bertanding (game).
Perbedaan dua bagian permainan rakyat tersebut adalah yang pertama bersifat untuk mengisi waktu senggang, sedangkan yang kedua bersifat kompetisi untuk mendapatkan sesuatu. Namun seperti yang dikemukakan Roberts, dkk. (dalam Danandjaja, 2007: 171) kedua bagian permainan rakyat tersebut selalu memunyai lima sifat khusus seperti; 1) terorganisasi, 2) perlombaan, 3) harus dimainkan sedikitnya oleh dua orang, 4) mempunyai kriteria yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, 5) mempunyai peraturan permainan.
Dengan demikian, merujuk dari beberapa penjelasan di atas permainan anak Ucang-ucang Angge dapat memenuhi kriteria apa yang disebut sebagai permainan rakyat. Untuk lebih menjelaskan makna yang terkadung dalam teks permainan anak Ucang-ucang Angge, dibutuhkan teori mitos sebagai acuan dalam mengkaji keberadaan makna tersebut. Pada bagian selanjutnya akan dipaparkan teori mitos.
Teori Mitos
Lebih awal perlu dikemukakan terlebih dahulu pengertian tentang mythes (mitos) yang berbeda dengan apa yang kita kenal sejauh ini. Teori mitos yang dikemukakan oleh Roland Barthes merupakan salah satu jenis wicara (a type of speech). Mitos adalah sistem komunikasi, dan bukan suatu konsep atau pun suatu gagasan, melainkan suatu cara signifikansi suatu bentuk. Mitos tidak ditentukan oleh objek ataupun oleh materi pesan yang disampaikan, melainkan oleh cara mitos itu disampaikan.
Sebagai suatu sistem semiologis Roland Barthes mengemukakan teori tentang mitos sebagai berikut:
Berdsarkan bagan di atas, proses pemaknaan berlangsung dalam dua tahap. Tanda pada tahap pertama, menjadi penanda pada tahap kedua yang selanjutnya menjadi tanda pada pemaknaan kedua. Tanda merupakan proses akhir yang harus ditemukan dalam sebuah tafsiran akan sebuah makna.
penanda petanda Tanda
PENANDA
PETANDA TANDA
848 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Sastra (baik lisan maupun tulisan) tidak ditulis dalam situasi kekosongan budanya (Teeuw, 1988). Pengarang atau pencerita dalam konteks ini merupakan bagian dari masyarakat budayanya, dan setiap karya yang tercipta merupakan bagian dari produk yang dihasilkan oleh suatu masyarakat. Kondisi sosial masyarakat yang ada dapat membentuk kepribadian seorang pengarang dan lebih lanjutnya dapat membentuk karakter dari setiap karya sastra yang tercipta. Cerita lisan dapat ditampilkan dengan komposisi yang bergaya, yaitu dengan menggunakan formula, ritme, metrum, dan kosakata yang teratur
Dalam analisis ini, jenis tradisi masyarakat tersebut berupa permainan anak yang berasal dari kearifan budaya Sunda, yang menurut istilah bahasa Sunda sering disebut dengan kaulinan budak. Permainan anak tradisional yang merupakan warisan turun-temurun dari si empunya cerita hingga saat ini masih dipertahankan, dalam artian sampai dengan penelitian ini dilakukan khazanah kebudayaan tersebut masih banyak dilakukan. Untuk lebih jauhnya, permainan anak Ucang-ucang Angge ini diajarkan guna melestarikan khazanah kebudayaan Sunda secara khususnya, dan kebudayaan Indonesia pada umumnya.
Berdasarkan beberapa acuan teori di atas, penelitian ini akan diarahkan sesuai dengan pendapat Endraswara (2003:154) yang menyatakan bahwa penelitian sastra lisan harus meliputi; 1) kajian asal-usul sastra lisan, yang mengungkap dari mana sastra itu lahir, apakah berhasil merefleksikan keadaan masyarakat, 2) kajian terhadap pesan dan makna, yaitu nilai-nilai apa yang hendak disampaikan, simbol-simbol apa yang digunakan untuk membukus pesan, apakah masih relevan bagi masyarakat sekarang, dan 3) mengkaji fungsi sastra lisan, antara lain untuk kontrol sosial politik, mendidik masyarakat, menyindir, dan sebagainya.
2. METODE PENELITIAN
Berdasarkan masalah penelitian yang dirumuskan maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Menurut Sukmadinata (2008) penelitian deskriptif merupakan penelitian yang mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala ataupun keadaan (Arikunto, 2003). Penelitian ini mendeskripsikan tentang analisis struktur teks, konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi permainan anak Ucang-ucang Angge. Lokasi penelitian berada di Desa Batu Karut, Kampung Sayang Kabupaten Sukabumi. Adapun identitas informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Narasumber
Nama : Nining
Umur : 72 Tahun Pendidikan : Sekolah Dasar Sumber tuturan : Dilisankan Hari dan Tgl Perekaman : Terjadwal
Alamat informan : Jl. Sukabumi-Cianjur (Batu Karut) Kp. Sayang Desa Margaluyu, RT. 03/11 Kab. Sukabumi
Pemilihan narasumber dalam penelitian ini ditentukan melalui sebuah pengamatan yang berdasarkan hasil observasi awal. Teknik pengumpulan data dengan melakukan proses wawancara, perekaman, dan pencatatan. Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan cara menanyakan sesuatu dengan informan. Teknik ini dimaksudkan untuk mendapatkan data mengenai teks dan cara permainan anak ucang-ucang angge. Sifat wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah bebas. Dengan wawancara bebas informan dapat memberikan info secara terbuka. Perekaman dan pencatatan merupakan bagian dari upaya untuk men-transkripsi teks permainan anak
ucang-ucang angge dari lisan menjadi bentuk tulisan. Proses selanjutnya adalah proses menerjemahkan sebagai bagian dari upaya penerjemahan dari bahasa sumber terhadap bahasa sasaran. Bagian inti dari penelitian ini adalah mengkaji struktur teks permainan anak ucang-ucang angge berdasarkan hasil dari proses transkripsi. Berdasarkan proses pengkajian teks dilanjutkan
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 849 dengan pengkajian pada tataran konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi dari permainan anak ucang-ucang angge.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Permainan anak ucang-ucang angge merupakan jenis permainan yang dipadukan antara gerak dan lagu. Oleh karena itu, syair lagu permainan anak ini menjadi bagian yang penting untuk melengkapi permainan ini ketika dilakukan. Pada bagian ini akan dibahas analisis struktur teks dan konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi permainan anak ucang-ucang angge.
3.1 Analisis Struktur Teks Permainan Ucang-ucang Angge
Permainan anak ucang-ucang angge dalam praktik memainkannya dilakukan dengan dua unsur yaitu gerak dan lagu. Syair lagu dan gerak permainannya merupakan unsur utama dalam permainan ini. Sehingga antara syair dan gerak merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam memainkan permainan ini. Pada bagian ini akan membahas struktur teks permainan Ucang-ucang Angge yang meliputi; formula sintaksis (fungsi dan kategori) dan formulasi bunyi. Untuk lebih memudahkan pembahasan strukur teks, berikut di bawah ini akan dipaparkan hasil transkripsi dan transliterasi teks permainan anak Ucang-ucang Angge:
Tabel 1. Transkripsi Teks Ucang-ucang Angge
TRANSKRIPSI /Cang-ucang angge/
/mulung muncang ka parangge// /Digog-gog ku anjing gede/ /Anjing gede nu pa lebe// /Ari gog, gog cungungung/ /Ari gog, gog cungungung//
Berdasarkan hasil transkripsi di atas, teks permainan Ucang-ucang Angge memiliki tiga bait. Dengan demikian, hasil ini dapat memudahkan peneliti untuk mencari formula sintaksis dalam teks permainan anak ini. Formula sintaksis dalam penelitian ini meliputi analisis fungsi kalimat dan kategori kata dalam satuan formula Sintaksis. Formula tersebut dapat dilihat pada bagian berikutnya. 3.1.1 Formula Sintaksis Teks Permainan Ucang-ucang Angge
Permainan anak ucang-ucang angge merupakan bentuk permainan yang dilakukan dengan kolaborasi antara lagu dan gerak. Syair lagu digunakan sebagai penunjang bagi gerakan yang dilakukan dalam bentuk aktivitas. Dalam pembahasan formula sintaksis ini, akan dipaparkan analisis terhadap teks syair lagu ucang angge sebagai bagian dari permainan ini secara keseluruhan.
Teks syair lagu ucang-ucang angge terdiri dari tiga bait yang tersusun dengan pola yang ajeg. Ditambah dengan repetisi larik pada bait ketiga sebagai bentuk penegasan pada akhir permainan ini. Untuk lebih jelasnya, formula sintaksis teks syair lagu permainan anak ucang angge dalam berdasarkan fungsi dan kategori kata dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Formula Sintaksis teks lagu ucang angge
Berdasarkan fungsinya
(ujang/neng) (urang) Cang ucang angge, S P O
(ujang/neng) mulung muncang ka parangge S P O Ket. Digog-gog ku anjing gede
P S Anjing gede nu pa lebe P S Ari gog..gog cungungung nonsense
Ari gog..gog cungungung nonsense
850 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk Berdasarkan
kategori
(ujang/neng) (urang) Cang ucang angge, N V V
(ujang/neng) mulung muncang ka parangge N V N V Digog-gog ku anjing gede
Adj. N Anjing gede nu pa lebe N Adj. Ari gog..gog cungungung nonsense
Ari gog..gog cungungung nonsense
Berdasarkan tabel di atas, teks ucang-ucang angge terdiri dari lima larik. Larik pertama terdapat dua kalimat. Kalimat pertama setelah melalui pembacaan secara heurestik terdiri dari satu frasa ditambah dengan dua kata penunjang fungsi sintaksis. Frasa /cang ucang angge/ berfungsi sebagai objek (O) dan memiliki kategori verba (kata kerja). Sedangkan kata /(Ujang/neng)/ berfungsi sebagai Subjek (S) dalam kalimat pertama di larik pertama. Kalimat kedua dalam larik pertama terdapat empat kata dan delapan suku kata. Kata /mulung/ berfungsi sebagai predikat (P) yang memiliki makna mengambil dan memiliki kategori verba (kata kerja). Kata /muncang/ berfungsi sebagai objek (O) dan memiliki kategori sebagai nomina (kata benda) yang memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia yaitu Kemiri. Kata /parangge/ berfungsi sebagai keterangan tempat (Ket.) yang memiliki makna sebagai tempat yang terdapat di dapur. Sedangkan kata /(Ujang/neng)/ berfungsi sebagai subjek (S) dalam kalimat kedua di larik pertama ini.
Larik kedua terdiri dari satu kalimat yang terdiri dari satu kata, satu frasa dan 6 suku kata. Kalimat pada larik kedua ini memiliki kontruksi kalimat inversi. Kata /digog-gog/ merupakan bentuk reduplikasi (pengulangan) dari kata /gog/ yang disalin suara menjadi /gog-gog/. Kata /gog-gog/ merupakan bentuk onomatope (tiruan bunyi) dari suara anjing yang dikonvensi dalam budaya Sunda menjadi Gog-gog. Dalam budaya Sunda, selain gog-gog merupakan tiruan bunyi untuk suara anjing, gog-gog juga merupakan bentuk eufemisme untuk menyebut binatang anjing. Kata /gog-gog/ berfungsi sebagai predikat (P) dalam kalimat ini, dan memiliki kategori sebagai kata Adjektiva (kata sifat). Sedangkan frasa /ku anjing gede/ berfungsi sebagai subjek dalam kalimat ini, dan memiliki kategori sebagai nomina (benda). Frasa /ku anjing gede/ menunjukkan bahwa ada anjing besar yang dalam konteks kalimat ini berhubungan dengan suaranya yang mengaung secara keras.
Larik ketiga terdiri dari satu kalimat yang terdiri dari satu kata, satu frasa dan 6 suku kata. Kalimat dalam larik ketiga ini memiliki struktur kalimat inversi. Kata /anjing gede/ berfungsi sebagai predikat (P) dengan kategori kata sebagai nomina (kata benda). Sedangkan frasa /nu pa lebe/ berfungsi sebagai subjek (S) dengan kategori kata sebagai Adjektiva (Adj.). frasa /nu pa lebe/ dalam kalimat ini menunjukkan sebuah kepunyaan yang melekat pada pada subjek.
Larik keempat dan kelima diisi dengan satu kontruksi yang sama. Larik /Ari gog..gog cungungung/ pada larik keempat direpetisi pada larik kelima dengan intonasi ang meninggi ketika diucapkan pada larik kelima. Larik /Ari gog..gog cungungung/ jika dianalisis secara sintaksis tidak memiliki fungsi yang jelas dan cenderung nonsense. Namun, kata /cungungung/ merupakan ungkapan yang menunjukkan sebuah ekspresi dalam permainan anak ucang angge ini.
Berdasarkan analisis formula sintaksis di atas, teks lagu permainan ucang angge memiliki keteraturan dalam pola sintaksis. Walaupun dalam beberapa larik menunjukkan ketidakkonsistenan dalam pola kalimat yang dibuat. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa ketidakkonsistenan tersebut terjadi untuk menunjang aspek estetik dalam pembuatan ritme lagu. Sehingga penggunaan kata atau frasa dalam teks lagu disesuaikan dengan kebutuhan dalam permainan ini secara keseluruhan. Selain pembahasan tentang formula sintaksis, perlu dibahas pula berkaitan dengan formula bunyi. Oleh karena itu, bagian selanjutnya membahas formula bunyi.
3.1.2 Formula Bunyi Teks Permainan Ucang-ucang Angge
Analisis formula bunyi dalam penelitian ini didasari pada pendapat Pradopo (2002:22) yang mengemukakan bahwa bunyi di samping sebagai hiasan dalam puisi juga mempunyai tugas yang
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 851 lebih penting untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas dan menimbulkan suasana yang khusus. Analisis formula bunyi dalam penelitian ini meliputi pembahasan mengenai asonansi, aliterasi, serta efek bunyi yang ditimbulkan dari keduanya.
Larik pertama pada teks ucang angge ini terdapat bunyi vokal yang muncul diantaranya /e/ dan /u/ dengan kombinasi konsonan seperti /p/, /m/ dan /c/. Kombinasi antara vokal dengan konsonan tersebut menimbulkan efek bunyi ringan ketika diucapkan. Hal tersebut dapat terlihat pada kata
angge, Mulung, muncang dan parangge.
Larik kedua bunyi vokal yang muncul meliputi vokal /o/ dan /e/ yang dikombinasikan dengan konsonan /g/ yang menimbulkan efek bunyi yang ringan ketika diucapkan. Hal tersebut dapat terlihat pada kata gog-gog dan gede. Sedangkan larik ketiga, vokal yang dominan muncul adalah vokal /e/ yang dikombinasikan dengan konsonan /g/ dan /l/. Efek bunyi yang dimunculkan dalam kombinasi masih berupa efek ringan ketika kata-kata tersebut diucapkan. Hal tersebut dapat terlihat pada kata gede dan lebe.
Larik keempat dan kelima berisi sebuah onomaope (tiruan bunyi) dan sebuah ungkapan yang diulang dua kali dengan perubahan intonasi pada lari terakhir sehingga menimbulkan penegasan. Pada kedua larik ini (keempat dan kelima) vokal yang muncul didominasi oleh vokal /o/ dan /u/. Sedangkan konsonan yang dominan adalah /g/ dan /c/. Sehingga efek bunyi yang muncul masih sama dengan larik-larik sebelumnya yaitu efek bunyi ringan ketika diucapkan. Hal tersebut dapat terlihat pada kata gog-gog dan ungkapan cungungung.
Tabel 3. Asonansi dan Aliterasi Teks ucang-ucang angge
LARIK ASONANSI ALITERASI
1 /e/ dan /u/ /p/, /m/, /c/ 2 /o/ dan /e/ /g/
3 /e/ /g/ dan /l/ 4 /o/ dan /u/ /g/ dan /c/ 5 /o/ dan /u/ /g/ dan /c/
Berdasarkan tabel di atas, asonansi yang paling dominan adalah bunyi vokal /e/, /o/ dan /u/ yang menghasilkan efek pengucapan yang ringan. Sedangkan untuk aliterasi, konsonan yang dominan muncul adalah konsonan /g/ dan /c/. Selain itu, konsonan /m/, /p/, dan /l/ menjadi pelengkap dari konsonan yang dominan. Hal ini mengindikasikan bahwa teks diucapkan dengan banyak memunculkan tekanan pada bunyi sehingga ketika kata-kata tersebut diucapkan pada saat bermain menimbulkan efek ceria dan menyenangkan. Dengan demikian, pada analisis formula bunyi teks permainan ucang angge, pemilihan kata disajikan secara sederhana agar menimbulkan efek keceriaan ketika permainan anak ini dilakukan.
3.2 Konteks Penuturan Teks Permainan Ucang-ucang Angge
Permainan Ucang-ucang angge jika diklasifikasikan dalam ilmu folklor, merupakan bagian dari folklor setengah lisan. Hal tersebut karena bentuk permainan ini merupakan kombinasi antara gerakan dan nyanyian. Bunyi yang tercipta dari masing-masing larik erat hubungannya dengan anasir musik (nada) yang merupakan inti dari permainan ini. Syair lagu yang dinyanyikan merupakan bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan permainan ini.
Permainan ucang-ucang angge merupakan permainan yang pada umumnya dilakukan oleh orang tua bersama anaknya. Permainan ini biasanya dilakukan untuk mengisi waktu luang sambil mengasuh anaknya. Teknis permainan ucang angge ini, orang tua akan bertindak sebagai pengungkit dan si anak sebagai yang diungkit. Orangtua akan berbaring dengan mengangkat kedua kaki yang ditekuk pada lutut, posisi kaki dirapatkan, kemudian anak akan duduk di kedua kaki tersebut. Setelah posisi anak nyaman, si orang tua akan mengayun anaknya naik turun sambil mendendangkan syair lagu. Hal tersebut dapat terlihat dengan jelas pada gambar di bawah ini:
852 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Gambar 1. Gerakan awal permainan Gambar 2. Gerakan mengayun anak
Gambar 3. Gerakan akhir permainan
Berdasarkan gambar di atas, gerakan awal dilakukan bersama dengan nyayian dari syair lagu anak Ucang-ucang angge. Gerakan terus dilakukan bersama dengan nyayian hingga diakhir gerakan si Ibu meninggikan nada pada larik /Ari gog..gog cungungung/ sembari menaikkan ayunan sehingga si anak meninggi dalam ayunan si Ibu. Gerakan terkahir ini dilakukan berulang kali bisa sampai tiga kali.
Dengan demikian, berdasarkan konteks penuturan maka permainan anak ucang-ucang angge
merupakan sebuah permainan yang ingin menunjukkan nilai-nilai kebersamaan sejak dini dari orang tua kepada anaknya. Orang tua hadir memberikan kasih sayang yang penuh kepada anaknya semenjak dini. Sehingga permainan ini selain berfungsi sebagai pola asuh, dapat pula dijadikan sebagai muatan pendidikan kasih sayang dari orang tua kepada anak.
3.3Proses Penciptaan Permainan Anak Ucang-ucang Angge
Proses penciptaan permainan anak Ucang-ucang angge merupakan tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Dalam prosesnya dapat dilihat dari cara masyarakat setempat, masyarakat kampung Sayang, Batu Karut Sukaraja menurunkan khazanah permainan anak ini secara spontan dan juga terstruktur. Dikatakan spontan karena proses penurunan terjadi dengan begitu saja tanpa mempertimbangkan aspek lain. Sehingga dalam konteks penuturan selanjutnya sering terjadi proses interpolasi (penambahan atau pengurangan isi teks). Hal tersebut yang memungkinkan terjadinya berbagai macam versi dalam praktik permainan anak tradisional. Termasuk dalam hal ini permainan anak Ucang-ucang Ange yang merupakan versi tersendiri dari permainan anak sejenis.
Permainan anak Ucang-ucang anngge diperoleh secara vertikal antara si empunya dengan si pewaris. Sesuai dengan tuturan narasumber, bahwa permainan anak ini merupakan sesuatu yang didapatkan dari orang tua yang diwariskan secara turun-temurun. Proses penciptaan teks permainan anak ini dapat dikategorikan terstruktur. Artinya terdapat proses pembelajaran dengan cara menghapal dalam cara pewarisan permainan ini. Oleh karena itu, permainan anak ini tetap bisa
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2017 853 bertahan, walaupun hanya sebagian kecil masyarakat (daerah) yang masih mempertahankannya (menggunakannya).
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, Proses penciptaan merupakan tradisi yang sangat tergantung kepada masyarakat pemilik dan sifat isi yang diciptakannya. Proses penciptaan itu dapat terjadi dalam suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, pilihan proses penciptaan dapat dikembalikan pada kebiasaan masyarakat pemilik tradisi lisan. Dengan demikian, keberlangsungan permainan anak Ucang-ucang anngge ini dapat terjaga dari kepunahan.
3.4 Fungsi Permainan Anak Ucang-ucang Angge
Analisis terhadap fungsi permainan anak ucang-ucang angge ini dapat dilihat dari dua aspek. Keuda aspek tersebut meliputi aspek permainan (games) dan aspek bahasa yang digunakan dalam teks permainan anak ucang-ucang angge ini. Kedua aspek tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam mencari fungsi dan muatan makna yang terkadung dalam permainan ini.
Permainan ucang-ucang angge layaknya sebagai sebuah permainan berisi dengan berbagai macam cara atau aturan (rule) dalam memainkannya. Jika dilihat berdasarkan cara memainkannya, permainan ini merupakan permainan yang cukup dilakukan oleh dua orang. Dua orang tersebut biasanya dilakukan oleh orang tua (ibu/bapak) dengan anak. Dengan mengacu dari kebiaasaan yang dilakukan dalam memainkan permainan anak ini, dapat terlihat bahwa permainan anak ucang-ucang angge ini menunjukkan sebuah pola asuh yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. Makna yang bisa terlihat adalah keakraban antara orang tua dengan anak, atau dapat pula dimaknai sebagai muatan pendidikan kasih sayang yang diberikan orang tua terhadap anak.
Sementara itu, teks syair lagu yang digunakan merupakan bagian dari penunjang permainan anak ini. Lirik lagu dalam permainan anak Ucang-ucang angge ini jika dilihat dari penggunaan kata (diksi) dibeberapa larik memang tidak sesuai dengan fungsi pendidikan seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Penggunaan kata ucang, mulung muncang, ka parangge, anjing gede, pa lebe, cungungung secara semantis tidak berkaitan dengan pesan yang ingin disampaikan dalam permainan anak ucang-ucang angge ini. Unsur-unsur bahasa (diksi) dalam teks lagu permainan ini digunakan sebagai bentuk ekspresivitas atau penyesuaian keselarasan bunyi dengan gerakan dalam memainkan permainan ini.
Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas, maka dalam permainan anak Ucang-ucang angge mempunyai fungsi sebagai berikut; Pertama, sebagai pengesahan budaya. Artinya, sebagai produk budaya dari suatu kelompok masyarakat yang telah diwariskan secara turun-temurun dalam suatu masyarakat kolektif. Kedua, sebagai alat pendidikan anak. Artinya, walaupun hanya berupa permainan tetapi dalam permainan tersebut terdapat edukasi yang merupakan sebuah bentuk pendidikan. Terutama dalam hal ini pendidikan kasih sayang dari orang tua terhadap anak.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan hasil dan pembahasan dapat diperoleh simpulan dari peneltian ini sebagai berikut; Pertama, Analisis struktur teks permainan anak Ucang-ucang angge yang meliputi analisis formula sintaksis dan formula bunyi menunjukkan bahwa terdapat pola penyusunan teks yang ajeg dengan mempertimbangkan aspek bahasa (teks lagu) digunakan sebagai sarana penunjang kelerasan permainan anak ini dalam gerak maupun lagu.
Kedua, permainan Ucang-ucang angge dilakukan sebagai bentuk pola asuh dari orang tua terhadap anak. Konteks penuturan teks permaian ini digunakan secara bersama sebagai bagian yang tidak terpisahkan antara gerak fisik dengan nyayian. Dengan demikian, sebagai bagian dari folklor setengah lisan, permainan anak Ucang-ucang angge ini telah memenuhi syarat sebagai permainan anak tradisional yang memadukan antara gerakan dengan lagu sebagai permainan yang masih dapat dilakukan dalam bentuk pola asuh anak. Ketiga, permainan anak ucang-ucang angge memiliki fungsi sebagai bentuk pengesahan budaya yang merupakan ciri khas dari masyarakat penuturnya, dan dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan.
854 SENASPRO 2017 | Seminar Nasional dan Gelar Produk DAFTAR PUSTAKA
[1] Arikunto, S. 2003. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
[2] Barthes, Roland. 1996. Mythologies (trans. Annette Lavers). New York: Hill and Wang. [3] Brunvand, Jan Harold. 1978. The Study of American Folklore –an Introducing. New York:
W.W. Norton & Co-Inc.
[4] Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.
[5] Endraswara, Suwardi . 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
[6] Endraswara, Suwardi . 2003. Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress.
[7] Saputra Karsono H. (Ed.). 1997. Tradisi Tulis Nusantara: Kumpulan Makalah Simposium Tradisi Tulis Indonesia. Jakarta: Manasa.
[8] Sukmadinata, N.S (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[9] Kaflan, David. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[10] Kuntjara, Esther. 2006. Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Graha Ilmu. [11] Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
[12] Toffler, Alvin. 1980. The Future Shock “Third Wave”. New York: Banta Book. [13] Zaidan, A.R. (et.al). 2007. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.