• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. A. PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 1. Prinsip Pemajakan Menurut Undang-Undang PPh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. A. PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 1. Prinsip Pemajakan Menurut Undang-Undang PPh"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGENAAN PPH FINAL PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DAN BPHTB BAGI PARA PIHAK DALAM

TRANSAKSI LEASING TANAH DAN BANGUNAN JIKA DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK

A. PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 1. Prinsip Pemajakan Menurut Undang-Undang PPh

Undang-Undang PPh menganut prinsip pemajakan atas pengalihan dalam pengertian yang luas yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib Pajak tersebut.48

Pengenaan PPh yang bersifat final berdasarkan teori disebut

scheduler taxation yang berdasarkan pertimbangan kesederhanaan, keadilan, pemerataan dalam pengenaan dan pemungutannya. System

scheduler taxation dengan tariff tersendiri diterapkan terhadap penghasilan tertentu yang dikenakan PPh berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh. Karakteristik PPh final adalah penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lain yang non final

48Gustian DJuanda dan Irwansyah Lubis, Pelaporan Pajak Penghasilan, edisi

(2)

dalam penghitungan PPh berdasarkan SPT tahunan PPh, jumlah PPh Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong pihak lain tidak dapat dikreditkan, biaya-biaya yang dipergunakan untuk memperoleh penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak dapat dikurangkan.49

2. Penggolongan PPh Final

Prinsip scheduler taxation dapat dilihat pada ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) d, Pasal 19, pasal 21 dan Pasal 22 UU PPh dan aturan pelaksanaannya.

Objek pajak yang dikenakan PPh Final dengan sistem perpajakan

scheduler taxation digolongkan kedalam 6 kelompok yaitu:50

a. PPh Pasal 15 terdapat 5 kategori

b. PPh Pasal 17 ayat (2) terdapat 1 kategori c. PPh Pasal 19 terdapat 1 kategori

d. PPh Pasal 21 terdapat 4 kategori e. PPh Pasal 22 terdapat 1 kategori

f. PPh Pasal 4 ayat (2) terdapat 11 kategori

49

Dina Arfina, Kajian Hukum Pengenaan Bea Perolehan Hak atasTanah dan Bnagunan dan Pajak Penghasilan Final Penglihan Hak Atas Tanah dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer), (Medan, Magister Kenotariatan USU, 2014), hal 50

(3)

Sedangkan untuk PPh atas transaksi Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan terdapat dalam kelompok pada Pasal 4 ayat (2).

3. Dasar Hukum PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan bangunan.

Dasar hukum Pajak Penghasilan Final Pengalihan Ha katas Tanah dana Bangunan (PPh PHBTB) adalah:

a. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

b. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

c. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang perubahan pertama Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran PPh PHTB.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang perubahan kedua Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran PPh PHTB.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang perubahan ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran PPh PHTB.

(4)

f. Keputusan Mentri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008.

4. Subjek Pajak

Subjek pajak adalah orang pribadi, warisan atau badan termasuk bentu usaha tetap (BUT) baik yang berada didalam negri maupun yang berada di luar negri yang mempunyai atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.51

Subjek Pajak penghasilan (PPh) Dalam Negeri yang dikenakan pajak berdasarkan penghasilan yang diterima selama satu tahun pajak adalah:52

a. Orang Pribadi

Adalah orang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 bulan atau dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

51Djoko Muljono, Opcit hal 1 52Ibid, hal 2

(5)

b. Badan

Adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, perseroan komaniditer, atau Badan Usaha Milik Negara atau daerah dalam bentuk apapun, Firma, Koperasi, dana pensiun, perkumpulan, persekutuan, yayasan, organisasi massa, organisasi social atau lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif .

c. Warian Yang Belum Terbagi

Adalah sebagai satu kesatuan yang merupakan subjek pajak pengganti dan adapun pihak yang digantikan adalah ahli waris yang berhak yang mana para ahli

Subjek Pajak penghasilan (PPh) luar negeri adalah subjek pajak orang pribadi bukan BUT, badan bukan BUT, BUT, yang bertempat tinggal atau berkedudukan diluar negri yang dapat menerima penghasilan dari Indonesia yang dikenakan PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia baik melalui BUT maupun tanpa BUT di Indonesia.53

(6)

Dalam pengenaan PPh Final Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2008 tentang perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan menegaskan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi dan badan.

5. Objek Pajak

Objek pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan, kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar negri.54

Objek pajak dalam negeri adalah penghasilan yang diperoleh subjek pajak dalam negeri termasuk BUT maupun subjek pajak luar negri yang berasal dari Indonesia sedangkan objek pajak luar negeri adalah penghasilan yang diterima subjek pajak dalam negeri termasuk BUT yang berasal dari luar Indonesia, Penghasilan yang berasal dari luar negeri yang sudah atau belum dipotong pajak di tempat penghasilan tersebut didapat tetap merupakan objek pajak penghasilan di Indonesia sedangkan bagi objek pajak luar negeri yang sudah dipotong pajak di luar negeri dapat

(7)

diperhitungkan sebagai kredit pajak di Indonesia sesuai dengan Ketentuan Pasal 24 Undang-Undang PPh.

Pengalihan hak atas tanah dan bangunan dibagi menjadi Pengalihan hak atas tanah yang dilakukan secara orang perorangan atau badan hukum swasta dengan orang perorangan atau badan hukum swasta (non pemerintah dengan non pemerintah), atau antaraorang perorangan atau badan hukum swasta dengan pemerintah (non pemerintah dengan pemerintah).

Pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan antara non pemerintah dengan pemerintah dibagi mnejadi Pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang tidak memerlukan persyaratan khusus dan Pengalihan hak atas tanah dan bangunan memerlukan persyaratan khusus. Sedangkan Pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan antara non pemerintah dengan non pemerintah maka atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut wajib dibayar penghasilan finalnya (PPh PHTB), demikian juga antara non pemerintah dengan pemerintah yang tidak memerlukan persyartan khusus juga wajib dibayar PPh PHTB, pengecualian terhadap Pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan antara non pemerintah dengan pemerintah yang memerlukan persyaratan khusus maka penghasilan yang diterima atau

(8)

diperoleh nono pememrintah dikenakan PPh PHTB sedangkan terhadap pemerintah tidak dikenakan PPh PHTB55

Mengenai Pengalihan hak atas tanah dan bangunan dapat dilakukan dengan cara:56

a. Penjualan

b. Tukar menukar termasuk ruislag c. Perjanjian pemindahan hak d. Pelepasan Hak

e. Penyerahan Hak f. Lelang

g. Hibah

h. Cara lain yang disepakati kedua belah pihak non pemerintah i. Cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan

pembangunan termasuk untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyartan khusus.

j. Cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan termasuk untuk kepentingan umum yang memerlukan persyartan khusus.

Terhadap pengalihan hak atas tanah dan bangunan dengan Cara lain yang disepakati, antara lain:

a. Warisan

b. Sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) c. Sale and lease back

d. Penyetoran modal saham dalam bentuk tanah dan bagunan

(inbreng, in-kind participation)

e. Pengalihan hak sehubungan dengan Built Operate Ttransfer (BOT) atau bangunan guna serah

f. Pembubaran badan hukum (likuidasi)

g. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

55Dina Arfina, Opcit, hal 64

56Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak

Penghasilan atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Pasal 1 Ayat (2)

(9)

6. Penghitungan PPh Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Perhitungan Pajak Penghasilan Hak atas Tanah dan Bangunan (PPh PHTB) yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPh PHTB sebesar adalah sebesar 5% (lima persen) dari Jumlah Bruto Nilai Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (JBNPHTB), kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Susun Sederhana (RSS) yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan bangunan dikenai PPh sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan57

Secara ringkas penghitungan PPh PHBT dapat digambarkan sebagai berikut:

PPh PHBT = tarif x DPP PHTB

DPP PPh PHTB = JBNPHTB/ Nilai Risalah Lelang/ Nilai Keputusan Pejabat

JBNPHTB = Nilai tertinggi antara Nilai Transaksi dan NJOP PBB

PPh PHTB = 5% x DPP PHTB

Kecuali untuk RS dan RSS penghitungan PPh PHTB: PPh PHTB = 1% x DPP PPh PHTB.

(10)

Contoh: NJOP TB = Rp. 347.000.000,00 Harga Transaksi/Jual = Rp. 500.000.000,00 PPh PHTB terutang 5% x Rp 500.000.000,00 =Rp. 25.000.000,00.

B. Bangunan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

1. Dasar Hukum BPHTB

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah maka penyelenggaraan pemerintah daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan perimbangan hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintah Negara.58Berdasarkan pertimbangan tersebut

(11)

maka tanggal 15 September 2009 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang bertujuan untuk memperbaiki kewenangan pemungutann, meningkatkan local taxing

power, dan meningkatkan efektivitas pengawasan dan sistem pengelolaan.59

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa salah satu jenis pajak daerah kabupaten/kota adalah Bea Perolehan Hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) sehingga Bea Perolehan Hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dahulu pajak pusat menjadi pajak daerah.

Dasar hukum BPHTB adalah Pasal 85 sampai dengan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang memuat tentang ketentuan objek pajak, subjek pajak, wajib pajak, tarif pajak, dasar pengenaan pajak dan lain-lain.

58

Dwi Sartika Paramyta, Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Terhadap Hibah Wasiat Pasca Pemberlakuan Undnag-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah , (Medan, Magister Kenotariatan USU, 2014), hal 93

(12)

2. Subjek BPHTB

Subjek BPHTB pada dasarnya adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan60 akibat suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang menyebabkan beralihnya hak atas tanah dan atau bangunan.

Sedangkan subjek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah:61

a. Perwakilan Diplomatik, Konsultat dengan asas timbal balik.

b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan/atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum.

c. Badan/Perwakilan Organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.

d. Orang Pribadi atau badan yang memperoleh objek pajak karena konversi hak atau peraturan hukum lain tanpa perubahan nama.

60 Gatot S.M. Faisal, How To Be A Smarter Taxpaper, Bagaimana Menjadi

Wajib Pajak yang Lebih Cerdas, (Jakarta: PT. Grasindo, 2009), hlm. 31

61 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

(13)

e. Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh objek pajak karena wakaf.

f. Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh objek pajak untuk kepentingan ibadah.

3. Objek BPHTB

Objek Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah atau bangunan, bukan tanah dan bangunannya (yang dikenakan PBB). Dengan demikian BPHTB dikenakan terhadap peristiwa hukum perolehan hak atas tanah-bangunan.62 Sesuai dengan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang meliputi:63

a. Pemindahan hak karena: 1) Jual beli;

2) Tukar-menukar; 3) Hibah;

62Gatot S.M. Faisal, Op.cit, hlm. 30

63Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

(14)

4) Hibah wasiat; 5) Waris;

6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum; 7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8) Penunjukan pembeli dalam lelang;

9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

10) Penggabungan usaha; 11) Peleburan usaha; 12) Pemekaran usaha; 13) Hadiah.

b. Pemberian hak baru karena: 1) Kelanjutan pelepasan hak; 2) Di luar pelepasan hak

Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.

(15)

Menurut ketentuan pasal 85 ayat (3) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), hak atas tanah tersebut meliputi:64

a. Hak Milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah;

b. Hak Guna Usaha (HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku;

c. Hak Guna Bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.

d. Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang

64Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

(16)

ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. e. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yaitu hak milik atas satuan

yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.

f. Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

(17)

4. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB

Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah:65

a. Objek pajak yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

b. Objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

c. Objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut; d. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena

konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

e. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf;

f. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

65Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

(18)

Dalam hal ini yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.

Sedangkan yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria,66 termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah. Kemudian yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.

66A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, (Bandung: Mandar Maju,

(19)

5. Saat Terutang BPHTB

Mengenai saat terutang pajak yang berupa BPHTB tersebut diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (selanjutnya disebut Undang BPHTB) jo Pasal 90 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, yaitu:

a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta. b. Tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya

akta.

c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

d. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor Pertanahan.

e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

g. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.

h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

(20)

peralihan hak nya ke Kantor Pertanahan.

j. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditanda-tanganinya dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak.

k. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditanda tanganinya dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak.

l. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

m. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta.

n. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

o. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

6. Penghitungan BPHTB

Formula menghitung BPHTB adalah: BPHTB = Tarif x NPOP – NPOPTKP

= Tarif x NPOPKP

NPOP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak, yang menjadi dasar pengenaan BPHTB.

(21)

Pada dasarnya ada 3 jenis nilai (harga) yang menjadi NJOP, yaitu nilai pasar, harga transaksi, dan harga transaksi risalah lelang. Bila nilai pasar atau harga transaksi yang menjadi NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.

NPOPTKP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidaj Kena Pajak yang merupakan jumlah tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak. Ketentuan NPOPTKP diatur dalm ketentuan Pasal 87 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), yang berbunyi :

(4) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.

(5) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(22)

Tarif adalah aturan pungutan, dalam pungutan BPHTB tarif digunakan adalah tarif proporsional. Ketentuan Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) menentukan tarif BPHTB maksimal sebesar 5% (lima persen), menurut ketentuan Pasal 88 ayat (2) terhadap tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tarif Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah 5% (lima persen) secara flat artinya berapapun nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan tetap dikenakan maksimal 5% (lima persen).

Tarif pajak dibagi dalam enam jenis yaitu: a. Tarif Tetap

Tarif yang berupa jumlah atau besarnya tetap untuk berapapun besarnya DPP. Contoh: BM = Rp. 3.000,- untuk pembayaran dengan cek atau giro bilyet dalam jumlah berapapun.

b. Tarif Proporsional (Sebanding).

Tarif berupa % tertentu yang sifatnya tetap terhadap berapapun besarnya DPP. Contoh: PPn = 10% x DPP.

c. Tarif Progresif (Meningkat).

Tarif berupa % tertentu yang semakin meningkat dengan meningkatnya DPP. Contoh: PPh OP = 5% x sampai dengan Rp.

(23)

50 juta, 15% x Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 250 juta, 25% x di atas Rp.250 juta sampai dengan Rp. 500 juta, 30% di atas Rp. 500 juta.

d. Tarif Degresif (Menurun).

Traif berupa % tertentu yang semakin menurun dengan menurunnya DPP, kebalikan tarif PPh OP.

e. Tarif Advalorum.

Tarif dengan % tertentu yag dikenakan pada harga atau niali suatu barang. Contoh: Barang impor 1.000 unit @ Rp. 100, Bea Masuk = 10% x 1.000 x Rp. 100.

f. Tarif Spesifik.

Tarif dengan jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu. Contoh: impor 1.000 unit, Tarif Rp. 100 per unit, Bea Masuk = 1.000 x Rp. 100.

Secara umum, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) (Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Terdapat 3 jenis NJOP yang dijadika Dasar Pengenaan Pajak: a. Nilai Pasar, pada transaksi perolehan berupa:

1) Tukar-menukar, 2) Hibah,

(24)

3) Hibah Wasiat, 4) Waris,

5) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, 6) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,

7) Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap,

8) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak,

9) Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak, 10) Penggabungan usaha,

11) Peleburan usaha, 12) Pemekaran usaha, 13) Hadiah.

b.Harga Transaksi, pada transaksi perolehan berupa Jual Beli. c. Harga Transaksi Risalah Lelang, pada transaksi perolehan berupa

penunjukan pembeli dalam lelang.

Apabila Nilai Pasar (NP) atau Harga Transaksi (HT) yang menjadi NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP PBB, maka Dasar Pengenaan Pajak yang dipakai adalah NJOP PBB (Pasal 87 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan regional dengan ketentuan:

a. Paling rendah sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak (Pasal 87 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).

(25)

b. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurussatu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) (Pasal 87 ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).

Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat (6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak diatur lebih lanjut Peraturan Daerah. Sebagai ilustrasi/gambaran, Pemerintah Daerah Kota Medan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (7) dan ayat (8) Perda Nomor 1 Tahun 2011 ditetapkan besarnya NPOPTKP adalah sebagai Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak, dan besarnya NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat

(26)

ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Tata cara pemungutan pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menganut sistem Self Assesment dan Official Assesment, sebagaimana ternyata dalam Pasal 96 ayat (2) yang mengatur bahwa setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh wajib pajak berdasrakan peraturan perundang-undangan perpajakan. Lebih lanjut sistem Official Assesment pemungutan pajak ini tampak dalam ketentuan Pasal 96 ayat (3) jo. ayat (4) yang mengatur bahwa Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Kepala Daerah dibayar dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lain yang dipersamakan berupa karcis dan nota perhitungan. Sedangkan sistem Self Assesment tampak dalam ketentuan Pasal 96 ayat (5) yang mengatur bahwa Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), dan/atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT).

(27)

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Pajak yang dapat dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan ketentuan lainnya berkaitan dengan pemungutan Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 98 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Kemudian sebagai peraturan pelaksanaan diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentan Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, dimana dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) diatur bahwa pemungutan pajak terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak merupakan pembayaran pajak terutang oleh Wajib Pajak berdasarkan penetapan Kepala Daerah dengan menggunakan:

a. Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan; atau

b. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, pemungutan pajak terutang dengan cara dibayar sendiri oleh Wajib

(28)

Pajak merupakan pembayaran pajak terutang oleh Wajib Pajak dengan menggunakan:

a. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.

b. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar; dan/atau c. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan.

Sistem pemungutan BPHTB menganut Self Assesment di mana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak yang menentukan dalam Pasal 4 bahwa Bea Masuk Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan jenis pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.

Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif BPHTB sebesar 5% dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:

BPHTB = Tarif x NPOP – NPOPTKP Tarif = maksimal 5%

(29)

NPOP = Nilai tertinggi antara Harga Transaksi atau Nilai Pasar dengan NJOP PBB

Contoh:

Rumah dengan luas tanah 600 m2dan bangunan 400 m2dijual P kepada Q, harga transaksi Rp. 500.000.000,- NJOP Tanah Rp. 335.000,-/m2, Bangunan Rp. 365.000,/m2, dan NPOPTKP di kota R tahun 2009 Rp. 30.000.000,-. Akta transaksi jual beli 18 Januari 2009, maka perhitungan BPHTB adalah: NJOP T 600 x Rp. 355.000,- = Rp. 201.000.000,-NJOP B 400 x Rp. 365.000,- = Rp. 146.000.000,-NJOP TB = Rp. 347.000.000,-Harga Transaksi/jual = Rp. 500.000.000,-NPOP = Rp. 500.000.000,-NPOPTKP = Rp. 30.000.000,-NPOPKP = Rp. 470.000.000,-BPHTB terutang 5% x Rp. 470.000.000,- = Rp.

23.500.000,-C. Pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan BPHTB Dalam Transaksi leasing Tanah dan Bangunan. 1. Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Leasing Tanah dan

Bangunan

Peraturan-peraturan pemerintah dan perpajakan yang mempengaruhi transaksi leasing tanah dan bangunan adalah:

(30)

1) Pasal 23 ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa sewa yang dibayarkan atau yang terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) dikecualikan pemotongan pajak penghasilan Pasal 23 sebesar 15%. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat 4 huruf b ini maka kegiatan perusahaan pembiayaan lainnya seperti pajak, piutang, kartu kredit dan pembiayaan konsumen merupakan objek pajak penghasilan atau transaksi yang terutang pajak penghasilan Pasal 23 sebesar 15%.

2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, adapun pokok-pokok isi dari peraturan pemerintah ini yang berhubungan dengan kegiatan pembiayaan

multifinance adalah:

a). Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh prang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan wajib dibayar pajak penghasilan

(31)

b). Pasal 1 ayat 2 huruf a bahwa pengalihan hak atas tanah dan ataupun bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1 diatas adalah penjualan, tukar menukar, perjanjian dan pemindahan hak, penyerehan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah.

Ketentuan Pasal 1 ayat 1, 2 h huruf a tersebut diatas mempunyai hubungan dengan ketentuan umum point 1.1 dalam surat edaran Direktorat Jendral Pajak keuangan Republik Indonesia Nomor SE-04/PJ.33/1996 tanggal 26 Agustus 1996 tentang pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan ha katas tanah dan/atau bangunan yang menerangkan bahwa transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi dan sale and lease back dikategorikan sebagai pengalihan hak atas dan bangunan dengan cara lain yang disepakati bersama oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

3) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 635/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemungutan Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah atau Bangunan. Surat Keputusan Menteri Keuangan ini berhubungan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1994, tentang transaksi jual beli tanah dan bangunan dan lebih spesifik lagi akan mempengaruhi transaksi sewa usaha dan pembiayaan

(32)

konsumen dengan objek tanah dan bangunan, baik diawal kontrak ataupun pada waktu pelaksanaan hak bagi transaksi sewa guna usaha.

4). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tanggal 9 April 1996 yang berkaitan dengan tanah dan/bangunan Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah (Hak Tanggungan), adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bemnda-benda lain yang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya (Pasal 1 ayat 1). Adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 akan berkaitan dengan transaksi pembiayaaan yang dilakukan perusahaan pembiayaan Bank dengan objek tanah/bangunan, terutama perlindungan terhadap kreditur melakukan pengamanan terhadap objek pembiayaan tersebut.

(33)

5). Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tanggal 16 April 1996 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 merupakan penyempurnaan dari beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran Pajak Penghasilan Atas Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan.

6). Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 392/KMK.04/1996 tanggal 5 Juni 1996 tentang perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 tentang pelaksanaan pembayaran dan Pemungutan Pajak Penghasilan dari Pengalihan hak atas tanah/bangunan. Adapun pokok-pokok isi dari Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 392/KMK.04/1996 mengatur kewajiban wajib pajak yang melakukan pembiayaan transaksi jual beli tanah/bangunan, bagi perusahaan pembiayaan akan mempengaruhi transaksi pembiayaan sewa guna usaha dan pembiayaan konsumen.

(34)

7). Surat Edaran Jendral Pajak Departemen Keuangan Republik Indonesia Nomor SE-04/PJ.33/1996 tanggal 26 Agustus 1996 tentang Pembayaran PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas tanah/bangunan.

2. PPh Final Dalam Transaksi Leasing Tanah dan Bangunan a. Leasing dengan Hak Opsi

Adapun ketentuan perpajakan transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi, maka Lessor, perusahaan pembiayaan wajib membayar 5% dari nilai sisa (residual Value) yang tercantum dalam perjanjian

Besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud adalah 5 % (lima persen) dari nilai sisa (residual value).

Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara lain yaitu:67

1. Sewa guna usaha dengan hak opsi dan tanpa hak opsi.

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan pelaksanaan opsi sewa guna usaha dengan hak opsi maka Lessor harus

67 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.33/1996 Tentang

(35)

membayar 5 % dari nilai sisa (residual value) yang tercantum dalam perjanjian.

Dalam Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (finance lease) maka Bagi Lessor penghasilan yang dikenakan PPh adalah sebagian dari pembayaran sewa guna usaha yaitu seluruh pembayaran sewa guna usaha dikurangi dengan angsuran pokok. Dalam hal sewa guna usaha sindikasi, imbalan jasa bagi masing-masing anggota dihitung secara proporsional sesuai dengan perjanjian antar anggota sindikasi yang bersangkutan. Terhadap perjanjian Sewa Guna Usaha yang dibuat sebelum tanggal 19 Januari 1991 dan berakhir sesudah tanggal tersebut, tetap berlaku ketentuan lama yaitu penghasilan yang dikenakan PPh adalah seluruh pembayaran Sewa Guna Usaha yang diterima atau diperoleh Lessor dan

Lessor tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang

disewa-guna-usahakan. Terhadap perjanjian Sewa Guna Usaha yang dibuat sebelum tanggal 19 Januari 1991 dan berakhir sesudah tanggal tersebut,

Lessor tetap harus melakukan penyusutan atas barang modal yang

disewa-guna-usahakan sampai saat berakhirnya Kontrak Sewa Guna Usaha dan/atau lessee menggunakan hak opsinya untuk membeli barang modal tersebut. Dalam hal demikian, maka berlaku ketentuan mengenai

(36)

penarikan harta dari pemakaian karena sebab biasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (7) huruf b Undang-Undang PPh 1984.

b. Leasing Tanpa Hak Opsi

Transaksi leasing tanpa hak opsi berdasarkan Pasal 4 (2) Undang-Undang PPh tidak dikenakan PPH Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan karena dalam transaksi leasing tanah dan bangunan tanpa hak opsi maka pengalihan hak atas tanah dan bangunan tidak pernah terjadi.

c. Sale and lease back.

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan secara "sales and

lease back" merupakan pemindah tanganan hak dengan 2 (dua) transaksi,

dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Transaksi pertama, pada saat pemilik hak atas tanah dan/atau bangunan (calon lessee) menjual tanah dan/atau bangunan kepada Lessor harus dibayar Pajak Penghasilan sebesar 5 % (lima persen) dari nilai tertinggi antara nilai berdasarkan akta pengalihan hak dengan NJOP tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan.

b. Transaksi kedua, pada saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli kembali hak atas tanah dan/atau bangunan terutang Pajak Penghasilan sebesar 5 % dari nilai sisa (residual value) yang tercantum dalam perjanjian.

(37)

c. Dalam hal lessee menggunakan hak opsi lebih cepat dari waktu yang tercantum dalam perjanjian sewa guna usaha atau apabila

lessee ingkar janji sehingga Lessor mengalihkan hak atas tanah

dan/atau bangunan kepada pihak lain, maka Lessor harus membayar Pajak Penghasilan sebesar 5 % (Lima persen) dari jumlah yang harus dipenuhi oleh lessee sehubungan dengan dipercepatnya penggunaan hak opsi tersebut atau dari jumlah yang harus dibayar pihak lain.

Berdasarkan uraian diatas dan rincian mengenai peraturan-peraturan pemerintah dan perpajakan yang mengatur keberadaan industri pembiayaan baik langsung maupun tidak langsung, terlihat bahwa industry ini belum mempunyai landasan yang kokoh seperti layaknya industri asuransi ataupun perbankan.

Dalam rangka menghadapi perdagangan bebas alangkah baiknya industri pembiayaan khususnya leasing tanah dan bangunan dilindungi dengan undnag-undang tentang usaha pembiayaan dan adanya alternatif baru sumber pendanaan selain kredit perbankan dan/atau insentif khusus bagi perusahaan pembiayaan. Dalam transaksi leasing maka sewa guna

(38)

usaha dengan hak opsi, sale and lease back merupakan pengalihan hak tanah dan bangunan dengan cara lain68

Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Kewajiban pembayaran PPh atas transaksi Sales and lease Back adalah pada saat calon lessee mengalihkan haknya kepada Lessor sebagaimana diuraikan pada diatas, maka atas transaksi tersebut calon

lessee wajib menyetor PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebesar 5% dari nilai tertinggi antara lain menurut akta dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atas tanah dan/atau bangunan tersebut. Pada saat lessee menggunakan hak opsinya untuk membeli sebagaimana diuraikan pada keterangan diatas., maka atas transaksi tersebut Lessor tidak wajib menyetor PPh Pasal 25

68 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.33/1996 Tentang

(39)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994.

Contoh pembayaran pajak PPH atas sewa tanah bangunan yang disewakan kembali yaitu:

Ravi menyewa rumah milik Haji Syaifulloh selama 5 tahun dari tahun Desember 2010 sampai dengan Desember 2015 sebesar Rp. 200.000.000,00 yang dibayar pada awal sewa. Atas pembayaran sewa tersebut Haji Syaifulloh Hidayatulloh telah membayar Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final atas penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bangunan sebesar Rp. 20.000.000,00. Dalam perjanjian dimasukkan syarat bahwa Ravi Murdono dapat menyewakan kembali rumah yang disewanya tersebut kepada orang lain meskipun tanggung jawabnya tetap berada di Ravi. Pada bulan Juli 2013 Ravi, tanpa membatalkan sewa dengan Haji Syaifulloh menyewakan rumah tersebut kepada adik kandungnya Kinan yang berprofesi sebagai pedagang kue sampai dengan Desember 2015 sebesar Rp. 80.000.000,00 yang dibayar pada tanggal 3 Juli 2013. Meskipun rumah yang disewakan Ravi kepada Kinan adalah rumah yang disewa dari Haji Syaifulloh, namun atas transaksi tersebut tetap termasuk dalam kriteria sewa atas tanah dan/atau bangunan yang dikenai Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang bersifat

(40)

final. Dengan demikian atas penghasilan yang diterima oleh Ravi Murdono dari Kinan Pali tersebut harus dibayar Pajak Penghasilannya. Mengingat Kinan bukan merupakan pemotong pajak, maka Ravi wajib menyetorkan sendiri Pajak Penghasilan yang terutang tersebut ke KPP tempat dia terdaftar.

Besarnya Pajak Penghasilan yang Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final yang wajib disetorkan adalah: 10% x Rp. 80.000.000,00 = Rp8.000.000,00 Kewajiban Ravi atas transaksi tersebut adalah:

1. melakukan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp8.000.000,00 paling lambat tanggal 15 Agustus 2013;

2. melaporkan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Juli 2013 paling lambat tanggal 20 Agustus 2013.

3. BPHTB Dalam Transaksi Leasing Tanah dan Bangunan

Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak. sedangkan Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau

(41)

bangunan adalah perbuatan (disengaja) atau peristiwa hukum (otomatis/tidak disengaja) yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Pelunasan BPHTB menjadi slah satu syarat yang harus dipenuhi hak untuk melakukan pendaftaran hak atas tanah guna perolehan sertipikat tanda bukti hak atas tanah.

Dalam transaksi leasing tanah dan bangunan yang menggunakan cara leasing dengan hak opsi dan sale and lease back perubahan status hak atas tanah jika terjadi dengan berubahnya hak atas kepemilikan tanah yang dileasingkan. Tetapi dalam ketentuan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) tidak memasukkan Leasing tanah dan bangunan sebagai objek pajak pengalihan tanah dan bangunan, sehingga dengan demikian terhadap BPHTB dalam transaksi leasing tidak ada dasar hukum pemungutannya.

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian surat paksa yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang berbunyi bahwa surat paksa merupakan

Made Prama Astika, 2011, Analisis Hukum Penanganan Imigran Ilegal sebagai Pencari Suaka dan Pengungsi Di Indonesia berdasarkan perpektif Hukum Internasional, Fakultas Hukum

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa organisasi profesi kependidikan adalah sebuah wadah perkumpulan orang – orang yang memiliki suatu keahlian dan keterampilan mendidik yang

Selain itu terdapat pusat aktivitas pendidikan baru, Institut Teknologi Sumatera (ITERA), dan aktivitas pemerintahan baru yaitu Kota Baru. Sebagai daerah yang

PENGARUH STRES KERJA, KELELAHAN, STRES FISIOLOGIS TERHADAP KINERJA MANAJER PROYEK, Natalia Puteri Rembulan Mayang Betari, NPM 09.02.13401, tahun 2014, Bidang Keahlian

Sinar matahari yang masuk ke dalam rumah sangat penting bagi kesehatan penghuni rumah karena sinar matahari karena mengandung ultraviolet sehingga dapat berfungsi

Apakah motivasi dan prestasi kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Nganjuk.. KAJIAN PUSTAKA

Dari sekian banyak bagian cantik di bangunan tersebut, fasadlah yang sejak awal