• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

Tinjauan pustaka bertujuan untuk menggambarkan batasan yang digunakan untuk dijadikan pembahasan. Adapun yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah: Novel, terjemahan dan penerjemahan, proses penerjemahan, teknik penerjemahan, keakuratan penerjemahan, istilah budaya, penelitian yang relevan dan kerangka berpikir.

2.1 Pengertian Novel

Salah satu bagian dari sastra adalah novel, yang lebih luas penggambarannya tentang persoalan hidup. Quinn (1955: 43) dalam Manurung (2013) menegaskan bahwa walaupun novel merupakan narasi prosa rekaan tulis yang menggambarkan suatu dunia yang sebagian atau sepenuhnya tercipta dari para tokoh, satu atau lebih memiliki interioritas, bertindak dalam ruang dan waktu yang dibedakan dengan cermat. Namun, novel harus diupayakan serealistis mungkin. Konsep lain diungkapkan oleh Nugriyantoro (1998: 3) dalam manurung (2013) yang mengatakan bahwa novel membuat penghayatan dan perenungan secara intens, penuh kesadaran, dan tanggung jawab pengarang terhadap hakikat hidup dan kehidupan. KBBI (2007: 788) mengatakan bahwa novel adalah sebagai karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku. Novel juga merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab

(2)

menawarkan model-model kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh sipengarang sekaligus menunjukkan sosoknya sebagai karya sastra yang elastis, sehingga membaca sebuah novel berarti menikmati sebuah cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin.

Namun sebuah novel mempunyai dunia tersendiri dengan mekanisme dan realitasnya sendiri, ketika membacanya terkadang dirasakan ada jarak antara kenyataan dengan realitas yang digambarkan dalam novel tersebut. Akan tetapi ada juga keadaan lain, pembaca seakan – akan menjadi satu dengan realitas novel yang sedang dibacanya. Hal ini disengaja oleh pengarangnya yang memiliki kemampuan teknik dalam mengungkapkan realitas tersebut. (Junus, 1985: 93) dalam Manurung (2013).

Beberapa batasan novel diatas dapat dikatakan bahwa novel bukanlah sesuatu yang sangat jauh realitas hidup dan kehidupan yang ada dalam diri manusia. Gambaran dalam sebuah novel, biasanya diusahakan si pengarang agar seolah-olah merupakan gambaran kehidupan nyata. Gambaran itu hidup dalam dimensi waktu yang diciptakan pengarang dan disesuaikan dengan dimensi waktu yang ada dalam kenyataan. Sehingga dapat disimpulkan, novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif. Umumnya novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

2.2 Pengertian Terjemahan dan Penerjemahan

Banyak definisi tentang terjemahan dan penerjemahan menurut para ahli. Kata terjemahan merupakan hasil dari suatu penerjemahan, sedangkan kata penerjemahan mengandung pengertian proses alih pesan (Nababan, 2003: 18). Hal

(3)

senada juga diungkapkan oleh Bell (1991: 13), bahwa terdapat tiga makna kata terjemahan. Pertama, terjemahan mengacu kepada proses menerjemahkan (kegiatan menerjemahkan). Kedua, mengacu kepada proses penerjemahan. Ketiga, konsep abstrak yang menekankan pada keduanya, baik proses menerjemahkan maupun hasil dari proses penerjemahan.

Pengertian terjemahan menurut Munday (2001; 5) adalah peralihan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dalam bentuk teks tulis “…as changing of an

original written text in the original verbal language into a written text in a different verbal language. Translation is the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL). (Catford, 1969: 20)”. “Terjemahan adalah penggantian materi tekstual dalam suatu bahasa (bahasa sumber) dengan padanan materi tekstual dalam suatu bahasa (bahasa sumber) dengan padanan materi testual dalam bahasa lain (bahasa sasaran)”. Sementara Savory (1969: 13) mengungkapkan Translation is made possibly by an equivalence of thought that lies behind its different verbal expressions. Nida dan Taber (1969: 12) mengatakan: “Terjemahan itu mungkin

dibuat kesamaan ide yang ada dibalik ungkapan verbalnya yang berbeda”.

Translation consists of reproducing in the receptor language the closed natural equivalence of the source language message, first interms of meaning and secondly in terms of style.” Di sisi lain Newmark (1981: 7) mengungkapkan

“Terjemahan adalah menghasilkan padanan natural yang paling dekat dari pesan bahasa sumber kedalam bahasa penerima, pertama dari segi makna dan kedua dari segi gaya”. “Translation is craft consisting in the attempt to replace a written

(4)

in another language”. “Terjemahan yaitu suatu keahlian yang meliputi usaha

pengganti pesan atau pernyataan tertulis dalam suatu bahsa dengan pesan atau pernyataan yang sama dalam bahasa lain”.

Penerjemahan selama ini didefinisikan melalui berbagai cara dengan latar belakang teori dan pendekatan yang berbeda. Catford (1965: 20) menyatakan

“Translation as the replacement of textual material in one language by equivalent textual material in another language.” (Penerjemahan merupakan penggantian teks dalam BSu dengan teks yang sepadan dalam BSa).

Penerjemahan menurut Newmark (1988) adalah “rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text

(menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang).

Bell (1991: 5) menyatakan “Translation is the expression in a certain language preserving semantic and stylistic equivalences.” (Penerjemahan

merupakan bentuk padanan BSu kedalam BSa yang mencakup makna semantik dan stilistik).

Larson (1998: 3) menyatakan bahwa “Translation consist of transferring the meaning of the source language into the receptor language.”(Penerjemahan

adalah mengalihkan makna dalam Bsu ke BSa). Hal ini terlihat dari “consist of transferring the meaning” sehingga dalam menerjemahkan teks, seorang

penerjemah harus memiliki gaya bahasa, bentuk situasi komunikasi dan latar belakang konteks budaya yang baik terhadap BSu dan BSa. Menurut Larson (1984: 23) sebuah terjemahan yang berhasil adalah apabila pembaca terjemahan

(5)

(BSa) tidak merasakan bahwa teks yang sedang dibacanya adalah sebuah terjemahan.

Lubis (2009: 45) mengklaim bahwa penerjemahan adalah hasil upaya penerjemah untuk menerjemahkan teks sumber secara jujur, tidak menyimpang dari makna teks sumber ke makna lain; tidak menambah dan mengurangi teks sumber kecuali diharuskan oleh perbedaan sistem linguistik kedua bahasa atau untuk memenuhi tuntutan estetika bahasa. Terjemahan dapat dipahami apabila pembaca dengan mudah dapat memahami hasil terjemahan dan tidak merasa sedang membaca teks asing.

Brislin (1976: 12) mengatakan bahwa translation is the general term referring in the transfer of thoughts and ideas from one language (source) to another (target), whether the languages have established ortographised or do not have such standardization on whether one or both languages is based on signs, as with sign language of the deaf.

Brislin mengemukakan bahwa terjemahan itu adalah istilah umum yang mengacu pada pengalihan pikiran dan ide dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, baik bahasa tulis maupun bahasa lisan. Dimana keduanya ataupun salah satu membentuk ortografi atau tidak mempunyai standar.

Nida dan Taber (1974: 12) menyebutkan bahwa penerjemahan “consist in reproducing in the receptor language the closet natural equivalent of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style”.

Dalam kaitan ini, Hatim dan Mason (1971: 1) mendefinisikan penerjemahan sebagai “an act of communication which attempts to relay, across

(6)

been intended for different purposes and different readers/hearers. Penerjemah dalam hal ini adalah penerima pesan dalam bahasa asli atau bahasa sumber dan kemudian, pada saat menerjemahkan ia bertindak sebagai pengirim pesan dalam bahasa terjemahan atau bahasa sasaran.

Berdasarkan berbagai macam definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas tentang terjemahan dan penerjemahan, Newmark (1981: 7) mengungkapkan bahwa terjemahan adalah menghasilkan padanan yang natural yang paling dekat dari pesan bahasa sumber ke dalam bahasa penerima, pertama dari segi makna dan kedua dari segi gaya. Namun, pada dasarnya semua menyatakan hal yang sama yaitu bahwa penerjemahan adalah suatu upaya mengalihkan pesan yang sama dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Sebagimana dinyatakan oleh Larson (1984: 3) mendefinsikan penerjemahan sebagai pengalihan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran melalui tiga langkah, yakni: 1) mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya dari teks sumber; 2) menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya; dan 3) mengungkapkan kembali makna yang sama dengan menggunakan leksikon dan sruktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran. Jadi poses penerjemahan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh penerjemah dalam memproses pengalihan informasi dari BSu ke dalam BSa. Hal senada juga diungkapkan menurut Bell (1993: 5) penerjemahan adalah penyampaian pesan bahasa ke dalam bahasa yang berbeda (bahasa target) dengan tetap menjaga nilai-nilai semantik dan gaya padanan bahasa sumber.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjemahan sebagai upaya dalam menghasilkan padanan natural yang paling dekat dari pesan bahasa sumber ke

(7)

dalam bahasa penerima dan penerjemahan sebagai proses pengalihan informasi yang sama dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran serta harus didasarkan kepada siapa penerjemahan itu dilakukan.

2.3 Proses Penerjemahan

Penerjemahan merupakan suatu proses yang melibatkan serangkaian tahapan saling berkaitan. Menurut Nida (dalam McGuire, 1991: 16), proses penerjemahan meliputi tahap-tahap seperti berikut ini:

1. Tahap Analisis

Dalam tahap analisis, struktur lahir dianalisis menurut sistem gramatikal, makna kata atau kombinasi kata, makna tekstual, dan bahkan makna kontekstual. Hal ini sejalan dengan pendapat Brislin (1976: 47), yang menyatakan bahwa

translator should know both the source and the receptor languages, should be familiar with the subject matter, and should have some facility of expression in the receptor language.

2. Tahap Pengalihan

Dalam tahap pengalihan, penerjemah berusaha menemukan padanan makna kata, frasa, klausa atau kalimat dan bahkan keseluruhan sehingga isi makna atau pesan yang terkandung dalam teks bahasa sumber dapat disampaikan sepenuhnya ke bahasa sasaran. Menemukan padanan makna atau pesan suatu teks bahasa sumber ke bahasa sasaran merupakan permasalahan utama dalam bidang penerjemahan. Catford (1974: 21) menyatakan bahwa the central problem of translation-practice is that of finding TL translation equivalents.

(8)

3. Tahap Restrukturisasi (Penyusunan Kembali)

Dalam tahap restrukturisasi, penerjemah mengungkapkan kembali pesan menurut struktur gramatikal yang sesuai dengan struktur gramatikal dan konteks budaya bahasa sasaran yang berlaku tanpa terpengaruh dengan struktur gramatikal bahasa sumber. Dengan kata lain, penerjemah seharusnya mengungkapkan kembali makna atau pesan secara wajar (berterima) menurut struktur gramatikal dan konteks budaya bahasa sasaran.

Menurut Bell (1991: 6) Translation is the replacement of a representation of a text in one language by a representation of an equivalent text in a second language. Dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan bahwa terjemahan adalah penggantian sebuah representasi teks yang sama dalam bahasa kedua.

2.4 Teknik Penerjemahan

Machali (2009) menyatakan bahwa 1) teknik adalah yang bersifat praktis, 2) teknik diberlakukan terhadap tugas tertentu (dalam hal ini tugas penerjemahan)”. Hal ini menunjukkan bahwa teknik secara langsung berkaitan dengan permasalahan praktis penerjemahan dan pemecahannya.

Molina dan Albir (2002) dalam Silalahi (2012) mendefinisikan bahwa “teknik penerjemahan sebagai prosedur untuk menganalisis dan mengklasifikasikan bagaimana keakuratan terjemahan berlangsung dan dapat diterapkan pada satuan lingual”. Teknik penerjemahan memiliki karakteristik:

1. Teknik penerjemahan mempengaruhi hasil terjemahan. 2. Teknik diklarifikasikan dengan perbandingan pada teks BSu. 3. Teknik berada tataran mikro.

(9)

4. Teknik tidak saling berkaitan tetapi berdasarkan konteks tertentu. 5. Teknik bersifat fungsional.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini, lebih sesuai dengan menggunakan teori Molina dan Albir karena teknik berada pada tataran mikro yaitu tataran kata dan frasa serta teknik penerjemahan ini sangat berpengaruh terhadap hasil terjemahan yang sangat bermanfaat untuk memberikan masukan positif kepada penerjemah novel The Good Earth. Teknik penerjemahan yang dimaksud:

1. Peminjaman (Borrowing)

Teknik peminjaman ini menurut Silalahi (2012), penerjemah meminjam kata atau ungkapan dari bahasa sumber. Teknik peminjaman ada 2, yaitu teknik peminjaman murni, yaitu teknik peminjaman yang merujuk kepada peminjaman kata atau bahasa sumber secara utuh tanpa memperhatikan kesesuaian dalam pelafalan. Contoh: software-oftware. Kemudian, teknik peminjaman alamiah, yaitu peminjaman kata atau ungkapan teks sumber tetap diikuti dengan penyesuaian pelafalan. Contoh: Calculator-kalkulator.

2. Adaptasi (Adaptation)

Teknik ini dikenal dengan adaptasi budaya, yakni dengan mengupayakan padanan budaya dari dua situasi dan dari dua budaya yang berbeda. Hal ini terjadi karena ada pesan yang akan disampaikan tetapi padanannya dalam teks sumber sulit untuk dicari dan tidak dikenal apa padanannya. Jadi semua kata atau konsep budaya yang tidak sama antara teks sumber dan teks sasaran haruslah memerlukan adaptasi. Contoh: Dear SirDengan hormat, (bukan Tuan yang terhormat).

(10)

3. Amplifikasi (Amplification)

Teknik penerjemahan ini sama dengan penambahan, yang mana dalam menyampaikan pesan makna dari teks sumber ke teks sasaran dengan menggunakan kombinasi kata-kata bebas yakni menjelaskan satuan-satuan leksikal yang mencerminkan realitas spesifik negeri yang satu karena satuan-satuan seperti itu tidak mempunyai ekuivalensi. Contoh: Ramadhan - bulan suci atau bulan berpuasa untuk umat Muslim.

4. Calque (Kalke)

Teknik penerjemahan dimana penerjemah menerjemahkan frase atau kata dari teks sumber secara literal. Contoh: secretariat general - sekretaris jenderal. Teknik penerjemahan ini mirip dengan teknik penerjemahan peminjaman murni dan alamiah namun bedanya teknik calque ini pada umumnya diterapkan pada tataran frasa dengan jalan tidak mengubah susunan kata (word-for-word translation) atau mengubah susunan kata tetapi dengan meminjam istilah asingnya.

5. Kompensasi

Menurut Moentaha (2006: 6) pada teknik penerjemahan ini para pakar teori terjemahan mencatat bahwa aturan proses penerjemahan ini sangat menarik, penerjemah menyampaikan pesan dari teks sumber ke teks sasaran dengan menggunakan sarana bahasa yang lain. Contoh: never did he care his wife - pria itu benar-benar tega tidak memperdulikan isterinya.

6. Deskripsi (Description)

Teknik ini dilakukan apabila penerjemah mengalami kesulitan dalam menemukan terjemahan/padanan kata Tsu. Terjemahan kata Tsu belum ada dalam

(11)

Tsa, penerjemah terpaksa melakukan uraian yang berisi makna kata yang bersangkutan. Contoh: ombus-ombus - kue tradisional batak yang terbuat dari tepung beras dengan kombinasi gula merah dan kelapa parut sangrai.

7. Kreasi Diskursif (Discursive Creation)

Teknik penerjemahan yang satu ini sering dipakai penerjemah dalam pengalihan bahasa imultan di dunia perfilman. Penerjemah mencari dan menggunakan padanan yang di luar konteks. Contoh: film animasi Snow White

diterjemahkan menjadi Putri Salju.

8. Kesepadanan Lazim (Established Equivalent)

Kesepadanan lazim adalah teknik penerjemahan yang menggunakan istilah atau ungkapan yang sudah lazim, baik berdasarkan kamus atau karena penggunaan sehari-hari dan lebih dikenal khalayak ramai. Contoh: snack lebih dikenal daripada kudapan, handphone lebih dikenal dari pada telepon genggam. 9. Generalisasi (Generalization)

Teknik penerjemahan jenis ini diterapkan dengan cara menggunakan istilah atau ungkapan yang lebih umum. Misalnya limousine diterjemahkan dengan mobil. Ungkapan tersebut merupakan cara yang lebih padat, lebih singkat, dan ringkas.

10. Amplifikasi Linguistik (Linguistic Amplification)

Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan cara memberikan keterangan yang eksplisit atau dengan memparafrase sesuatu yang implisit dalam teks sumber. Kata Natal dapat diparafrase menjadi hari kelahiran Yesus.

(12)

11. Kompresi Linguistik (Linguistic Compression)

Teknik penerjemahan ini kebalikan dari teknik penerjemahan amplifikasi linguistik. Dalam teknik ini penerjemah mensintesa unsur-unsur linguistik pada teks sasaran dan dalam penerjemahan simultan dalam dunia perfilman teknik ini juga sering dipakai. Contoh: You must findout! Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Carilah!

12. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)

Teknik penerjemahan ini adalah terjemahan yang hasil realisasinya berada di bawah standar yaitu hasil terjemahan cukup menyampaikan informasi teks sumber ke dalam teks sasaran dengan mematuhi norma-norma teks sasaran. Biasanya teknik ini dilakukan di tingkat kata, yaitu penerjemahan kata demi kata sehingga tidak jarang menghasilkan terjemahan semu. Contoh: Natan will help you - Natan akan membantu anda.

13. Modulasi (Modulation)

Dalam teknik penerjemahan ini, penerjemah memberikan padanan yang secara semantik berbeda sudut pandang artinya cakupan maknanya, tetapi dalam konteks yang bersangkutan memberikan pesan dan maksud yang sama. Contoh: I cut my finger - jari saya tersayat.

14. Partikularisasi (Particularization)

Jenis teknik ini yaitu penerjemah menggunakan istilah yang konkret atau spesifik dan lebih jelas lagi dalam teks sasaran sehingga target reader langsung mengenal dan dapat menerima pesan yang disampaikan. Contoh: air transportation - helicopter.

(13)

15. Reduksi (Reduction)

Dalam teknik penerjemahan ini, penerjemah menerapkan sistem penghilangan parsial karena hal tersebut dianggap tidak menimbulkan distorsi makna. Teknik penerjemahan ini bisa juga disebut teknik penerjemahan penghilangan (Deletion); proses terjemahannya ialah membuang kata yang berlimpah karena seperti kelimpahan semantic (semantic redundancy) yakni tanpa bantuan kata yang berlimpah itu, informasi dalam teks bahasa sumber disampaikan ke dalam bahasa sasaran secara utuh. Contoh: injection swab - kapas. 16. Substitusi (Substitution)

Penerjemah akan mengubah unsur - unsur linguistik dan paralinguistik yaitu pengubahan dalam segi intonasi atau isyarat, untuk menghasilkan terjemahan yang tepat. Bahasa Jepang, sikap hormat dan ucapan terimakasih

diterjemahkan dengan membungkukkan badan.

17. Variasi (Variation)

Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan mengubah unsur-unsur linguistik dan paralinguistik yang mempengaruhi variasi linguistik yaitu perubahan tekstual, gaya bahasa, dialek sosial dan dialek geografis. Para penerjemah naskah drama sering menerapkan teknik ini. Contoh: hi chick? – hai cewek?

18. Pergeseran atau Transposisi

Dalam teknik penerjemahan ini, penerjemah berupaya mengubah struktur kalimat agar dapat memperoleh terjemahan yang benar. Tetapi meskipun struktur terjemahan teks sumber tidak sejajar dengan struktur terjemahan kalimat teks

(14)

sasaran, tetapi pesan yang akan disampaikan dapat diterima. Contoh: operation

-dioperasi.

2.5 Keakuratan dalam Penerjemahan

Penerjemah selalu berorientasi pada hasil terjemahan yang lebih berkualitas. Hal ini dapat dicapai apabila penerjemah tersebut berusaha semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan metode dan teknik penerjemahan yang telah ia pelajari, karena berbagai metode dan teknik penerjemahan itu akan berdampak pada kualitas hasil terjemahan yang dilakukan.

Larson (1984) menyatakan bahwa “There are three main reasons for testing a translation, they are accurate, clear, and natural”. Dengan demikian

terjemahan harus diuji karena penerjemah ingin memastikan keakuratan, kejelasan, dan kealamiahan. Akurat (accurate) berarti pengalihan pesan dari BSu ke BSa tidak ditambah atau dikurangi.; jelas (clear) berarti hasil terjemahannya mudah dipahami oleh pembaca; dan alami (natural) berarti hasil terjemahannya berterima menurut tata bahasa baku BSa. Hal ini menunjukkan bahwa dalam melakukan penilaian kualitas suatu hasil terjemahan akan mudah dipahami dengan kriteria tersebut.

Untuk menilai suatu hasil terjemahan, Nababan (2004) menguraikan kualitas terjemahan dalam 3 komponen yaitu: 1) keakuratan adalah terjemahan yang tidak mengalami distorsi makna. Teks BSu ditransfer secara akurat ke teks BSa. 2) Keberterimaan yaitu terjemahan dikatakan berterima apabila terjemahan tersebut terasa alamiah, lazim dan akrab bagi pembaca. 3) Keterbacaan. Hasil

(15)

terjemahan dikatakan terbaca apabila teks yang diterjemahkan dapat dipahami oleh pembaca.

Silalahi (2009) dalam disertasinya menyatakan bahwa penilaian suatu terjemahan menggunakan kuesioner untuk mengumpulkan data tentang kualitas terjemahan. Kuesioner yang dimaksud ada tiga, yaitu: 1) instrumen tingkat keakuratan yang digunakan untuk menentukan tingkat keakuratan terjemahan, 2) instrumen tingkat keberterimaan yang digunakan untuk mengukur tingkat kebrterimaan terjemahan, 3) instumen tingkat keterbacaan yang dugunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan terjemahan.

Dalam melakukan penilaian kualitas terjemahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan instrumen tingkat keakuratan. Penilaian keakuratan terjemahan dalam 3 hal, yaitu penilaian terhadap: 1) tingkat keakuratan terjemahan, yaitu terjemahan yang merujuk pada terjemahan yang tidak mengalami distorsi makna, 2) terjemahan kurang akurat, yaitu terjemahan yang merujuk pada terjemahan yang sebagian besar makna dari BSu telah dialihkan secara akurat ke dalam BSa, namun masih terdapat distorsi makna atau terdapatnya makna ambigu atau makna ganda atau makna yang dihilangkan, 3) terjemahan tidak akurat, yaitu merujuk pada terjemahan yang makna dari BSu dialihkan secara tidak akurat ke dalam BSa atau dihilangkan.

2.6 Pengertian Istilah Budaya

Stevenson (2012) menyatakan “terms is a word or phrase used to describe a thing or to express an idea” bahwa istilah adalah kata atau frasa yang digunakan

(16)

Istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas di bidang tertentu, Moeliono, dkk, (1988: 341) dalam Ahmad (2011). Istilah juga merupakan perkataan yang khusus mengandung arti yang tertentu di lingkungan ilmu pengetahuan, pekerjaan atau kesenian, Poerwadarminta (1982: 388) dalam Ahmad (2011).

Kridalaksana (2008: 97) menyatakan istilah sebagai kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu. Setiap bahasa memiliki istilah khusus yang menunjuk pada sesuatu yang sifatnya spesifik. Istilah-istilah itu menunjukkan suatu konsep tertentu yang kadang-kadang terikat konteksnya.

Menurut Mulyana dan Rakhmat (2006: 25) budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas. Banyak budaya turut menentukan perilaku komunikatif.

Dengan demikian istilah budaya adalah kata atau gabungan kata yang menyatakan makna khusus tentang budaya. Setiap masyarakat memiliki ungkapan tertentu yang berhubungan dengan budaya yang dimilikinya. Terkait erat dengan definisi di atas perlu diberi batasan yang operasional mengenai istilah budaya.

Newmark (1988: 95) membagi aspek-aspek istilah budaya dalam kategori dan sub kategori sebagai berikut.

(17)

1. Ekologi (flora, fauna, gunung, angin, dan daratan)

2. Kebudayaan Material (makanan, pakaian, rumah, kota, sarana transportasi, komunikasi)

3. Kebudayaan sosial (pekerjaan, liburan)

4. Organisasi, adat – istiadat, aktivitas, konsep-konsep kepercayaan yang terdiri dari sistem pemerintahan, politik, nilai-nilai artistik dan acara-acara keagamaan.

5. Bahasa isyarat dan Kebiasaan

Penerjemahan tidak dapat dipisahkan dari budaya itu sendiri karena kedua hal ini memiliki hubungan yang erat. Bahasa akan membentuk budaya dan sebaliknya. Bahasa memiliki makna yang diwadahi oleh budaya sebagai tempat berkembangnya sebuah bahasa. Hal ini tidak dipungkiri bahwa penerjemah sering menemukan kesulitan dalam hal kesetaraan kata dalam menerjemahkan budaya. Jadi, seorang penerjemah harus menguasai pemahaman lintas budaya (cross culture communication). Kosa kata dalam sebuah bahasa mencerminkan kekhasan budaya pemakai bahasa tersebut yang mungkin saja tidak dimiliki oleh bahasa-bahasa lain.

Bahasa merupakan bagian dari budaya sekaligus juga merupakan komponen budaya, karena itulah bahasa mempunyai makna hanya dalam kebudayaan yang menjadi wadahnya. Penerjemahan disini tidak hanya mengalihkan pesan tapi juga mengalihkan budaya. Sedemikian eratnya hubungan bahasa dengan kebudayaan hingga House dalam Riccardi (2002: 92) menyatakan

(18)

Menurut Baker dalam Mulyani (2006: 52) keanekaragaman perbedaan budaya itu sendiri disebabkan oleh perbedaan geografis, kepercayaan, adat istiadat, wawasan, jenis makanan, dan kemajuan teknologi masing-masing negara. Konsep yang berhubungan dengan budaya yang sukar diterjemahkan dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran sebagai akibat dari perbedaan budaya tersebut dapat dibedakan menjadi dua, konsep yang dikenal dan konsep yang tidak dikenal. Bahasa mengungkapkan realitas budaya. Bahasa mengungkapkan fakta, ide, atau kejadian yang dapat diteruskan karena menunjukkan isi dari pengetahuan tentang dunia yang dibagikan oleh masyarakat lain, (Kramsch 1998: 3) dalam Fadillah (2012).

Adat sosial dan norma adalah produk dari komunitas pengguna bahasa. Masyarakat yang menyatakan bahwa diri mereka sebagai anggota dari kelompok sosial memerlukan cara umum dalam melihat dunia melalui interaksi dengan sesama anggotanya. Pandangan ini diperkuat melalui institusi seperti keluarga, sekolah, kantor, gereja, pemerintahan dan tempat sosial lainnya. Sikap, kepercayaan dan nilai-nilai sosial ditunjukkan dalam cara anggota kelompok menggunakan bahasa, (Kramsch 1998: 6).

Bahasa adalah bagian dari budaya, karena itu penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain tidak bida dilakukan tanpa pengetahuan yang cukup tentang budaya dari struktur bahasa tersebut (Larson, 1984: 431).

Penerjemahan mencakup pemahaman kosa kata, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya bahasa sumber untuk menentukan maknanya dan selanjutnya makna tersebut direkonstruksi dengan menggunakan kosa kata dan struktur gramatika yang sesuai dalam bahasa dan konteks budaya

(19)

BSa, (Lason, 1984: 3). Sebuah terjemahan yang berhasil adalah bila pembaca terjemahan (BSa) tidak merasakan bahwa teks yang sedang dibacanya adalah sebuah terjemahan, (Larson 1984: 23).

Snell dan Hornby (1988: 39) mendeskripsikan budaya: As I see it, a society’s culture consists of whatever it is one has to know or belive in order to

operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage, must consist of the end product of learning: knowledge, in a most general, if relative, sense of the term. Dapat disimpulkan bahwa, budaya merupakan aspek kondisi sosial dari kehidupan sosial masyarakat. Budaya masyarakat yang terdiri dari suatu hal yang harus kita tahu atau percaya agar diterima oleh anggotanya, dan melakukannya dalam setiap peran yang mereka terima untuk diri mereka sendiri. Kebudayaan merupakan suatu hal yang harus dipelajari karena adanya perbedaan dari warisan biologis mereka, harus ada produk akhir dari pembelajaran: pengetahuan, dan yang paling umum, jika berhubungan dengan pengertian istilah tersebut. Dari definisi ini, kita harus mencatat bahwa kebudayan bukanlah fenomena materi, budaya tidak terdiri dari benda, masyarakat, perilaku, atau emosi. Budaya merupakan kesatuan. Budaya adalah sesuatu hal yang ada dalam pikiran, cara untuk mengamati, berkaitan satu sama lain, dan cara untuk menginterpretasikannya. Dengan demikian, budaya adalah apa yang orang katakan dan lakukan, pengaturan sosial dan peristiwa, sebagai produk atau dengan produk budaya mereka menerapkan budaya dalam hal memahami dan berurusan dengan situasi mereka. Untuk orang

(20)

yang mengetahui budaya mereka, kebiasaan dan peristiwa juga menandakan bentuk atau model kebudayaan sebagai representasi material.

2.7 Penelitian Yang Relevan

Penelitian mengenai terjemahan yang berkaitan dengan budaya telah dilakukan sebelumnya antara lain oleh:

1. Tinambunan (2013) dalam Tesisnya yang berjudul Analisis Kesepadanan Terjemahan dalam Buku Bilingual Active English for Nurses. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesepadanan terjemahan buku bilingual Active English for Nurses. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mendeskripsikan teknik penerjemahan kata dan frasa dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, 2) mendeskripsikan kesepadanan terjemahan kata dan frasa dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Penulis menerapkan metode deksriptif kualitatif, sumber data adalah buku bilingual Active English for Nurses sebagai produk terjemahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 91 data (80,5%) menggunakan teknik penerjemahan tunggal, teknik penerjemahan kuplet 16 data (14,2%) dan teknik penerjemahan triplet ada 6 data (5,3%). Berdasarkan frekuensi penggunaannya, dari 112 data yang berwujud kata dan frasa teridentifikasi bahwa teknik penerjemahan harfiah dipakai pada 42 (37,1%), adaptasi 19 (17%), peminjaman alamiah 17 (15%), peminjaman murni 10 (9%), deskripsi 6 (5,3%), amplifikasi 5 (4,4%), kreasi diskursif 4 (2,6%). Hasil penelitian ini menunjukkan 76 (67,9%) data diterjemahkan secara tidak akurat. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingginya tingkat penggunaan teknik penerjemahan harfiah dan teknik penerjemahan adaptasi disebabkan BSu dan BSa memiliki pola bahasa

(21)

yang berbeda. Terjemahan yang menerapkan penyesuaian terhadap BSa akan mengalami perubahan makna bagi pembaca. Selain itu, dampak pada keakuratan terjemahan dalam penelitian ini terdapat 25 (22,3%) data yang berwujud kata dan frasa diterjemahkan secara kurang akurat ke dalam BSa, dan 11 (9,85%) yang berwujud kata dan frasa diterejmahkan secara tidak akurat ke dalam BSa.

Penelitian yang dilakukan Tinambunan relevan dalam penelitin ini. Karena penelitian ini menganalisis produk terjemahan dengan mencari teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan buku Active English for Nurses ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, mencari tingkat kesepadanan terjemahan kata dan frasa.

2. Sinde (2012) dalam Tesisnya yang berjudul Analisis Teknik, Metode dan Ideologi Penerjemahan Terhadap Buku Cerita Anak BilingualFour Funny Animal Stories”. Penelitian ini bertujuan 1) mengidentifikasi teknik-teknik

penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan cerita anak, 2) menganalisis metode dan ideologinya.

Dalam penelitian ini, Sinde menggunakan metode kualitatif desriptif. Sumber datanya adalah buku cerita anak bilingual. Dari data tersebut, Sinde mengidentifikasi teknik-teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan cerita anak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat 6 teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerejmah dalam menerjemahkan buku cerita anak tersebut, yaitu teknik literal berjumlah 515 data (91,47%), peminjaman murni berjumlah 22 data (3,73%), kreasi dikskursif berjumlah 12 data (2,13%), reduksi 7 data (1,24%), kompresi linguistik 7 data (1,24%) dan

(22)

teknik tunggal. Mayoritas teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah metode penerjemahan literal dengan kecenderungan mempertahankan bentuk BSu atau menggunakan ideologi foreignisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Sinde, relevan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini, selain mencari teknik yang digunakan oleh penerjemah pada produk yang dianalisis, penulis juga mencari bagaimana dampak teknik itu pada kualitas terjemahan pada tingkat keakuratan terjemahan.

3. Anam (2012) dalam jurnalnya yang berjudul Teknik Penerjemahan Naskah Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan naskah pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia. Data dalam penelitian ini berupa kata, frasa dan kalimat yang berasal dari naskah pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia tahun 2006 yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan terjemahannya dalam bahasa Inggris yang berjumlah 317. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, 1) Terdapat 11 teknik yang digunakan oleh penerjemah, yaitu teknik amplifikasi sebanyak 64 data (9, 37%), teknik peminjaman murni sebanyak 63 data (9,22%), peminjaman natural sebanyak 43 data (6,30%), teknik kalke sebanyak 11 data (1,61%), teknik generalisasi sebanyak 56 data (8,20%), teknik penerjemahan harfiah sebanyak 263 data (38,51%), teknik modulasi sebanyak 35 data (5,12%), teknik reduksi sebanyak 4 data (0,59%), teknik transposisi sebanyak 58 data (8,49%) dan teknik penambahan sebanyak 19 data (1,61%). Kedua teknik penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah didominasi oleh teknik ganda yang berfokus pada teknik harfiah.

(23)

Penelitian yang dilakukan oleh penulis, relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anam. Dalam penelitian ini, penuulis hanya menentukan teknik penerjemahan yang digunakan.

4. Yahya (2012) dalam Tesisnya yang berjudul Analisis Terjemahan Kata-Kata Kultural Dalam Novel Pride and Prejudice Dan Novel Terjemahannya Keangkuhan dan Prasangka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai jenis kata kultural, teknik penerjemahan, dan kualitas terjemahan dari kata-kata kultural tersebut. Dari penelitian ini didapat bahwa dari 213 data yang ada organisasi, tradisi, aktifitas, prosedur dan konsep adalah domain yang paling dominan, yaitu sebanyak 134 atau 62,91% lalu disusul dengan budaya materi sebanyak 45 data, kemudian isyarat dan kebiasaan sebanyak 15 data, lalu ekologi sebanyak 12 data dan budaya sosial sebanyak 7 data. Adapun teknik penerjemahan yang digunakan paling ada tiga varian, yaitu tunggal, kuplet, dan triplet. Pada varian tunggal tercatat 3 teknik yang paling banyak digunakan, yaitu padanan lazim sejumlah 51 data, adaptasi sebanyak 32 data dan generalisasi sebanyak 24 data. Dari segi teknik penerjemahan penerjemah cenderung memilih teknik penerjemahan komunikatif dan berideologi domestikasi. Selain itu beberapa teknik penerjemahan yang digunakan berdampak pada terjemahan yang berkualitas tinggi yaitu padanan lazim dengan nilai 2,89; adaptasi dengan nilai 2,65; generalisasi dengan nilai 2,50; amplifikasi dengan nilai 2,71 dan literal dengan nilai 2,59.

Penelitian yang dilakukan oleh penulis, relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yahya. Dalam penelitian ini, penulis mencari kategori istilah

(24)

budaya serta menentukan teknik penerjemahan yang digunakan serta menentukan kualitas terjemahan.

5. Barathayomi (2012) dalam Tesisnya yang berjudul Strategi Penerjemahan Istilah Budaya dalam Novel Olive Kiiteridge: Kritik Terjemahan Berdasarkan Model Analisis Teks yang Berorientasi Pada Penerjemahan. Tesis ini ditulis dengan tujuan mengkaji strategi penerjemahan istilah budaya dalam novel Olive Kitteridge dan membuat kritik atas terjemahan tersebut. Dari penelitian ini ditemukan bahwa penerjemah menggunakan 11 strategi penerjemahan yang oleh Molina dan Albir dianggap sebagai teknik penerjemahan. Dari segi kritik, peneliti menganggap penerjemah berhasil dalam menggunakan terjemahan sebagai sarana memperkenalkan budaya sumber kepada pembaca sasaran. Adapun kegagalan penerjemah terlihat dari penerapan strategi transferensi dan harfiah saat menerjemahkan istilah budaya tersebut. Dalam penelitian ini peneliti tidak menilai tingkat kualitas terjemahan istilah budaya tersebut, baik dari segi keakuratan, keberterimaan maupun keterbacaan. Peneliti pun hanya mengambil kesimpulan tanpa menghubungkan kontribusi strategi penerjemahan yang diterapkan terhadap kualitas terjemahan.

6. Simanihuruk (2013) dalam Tesisnya yang berjudul Analysis of Translation Techniques and Shifts of Batak Toba Cultural Terms in “Inside Sumatra: Tourism and Life Style Magazine”. Tesis ini ditulis dengan tujuan menemukan kategori budaya suku Batak Toba, menganalisis teknik penerjemahan yang digunakan dan menganalisa pergeseran yang terjadi pada 6 artikel majalah Inside Sumatra. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) kategori budaya organisasi, adat-istiadat dan konsep mendominasi dalam 6 artikel tersebut

(25)

(55,93%), diikuti oleh budaya materi (25,42%), ekologi (10,17%), dan budaya sosial (8,47%); 2) teknik penerjemahan yang paling mendominasi adalah peminjaman murni (34,72%) diikuti oleh penerjemahan harfiah (16,66%), kalke (9,72%), kompensasi (8,33%), deskripsi (6,94%), reduksi (5,55%), adaptasi (4,16%), generalisasi (4,16%), kreasi diskursif (2,77%), partikularisasi (2,77%), amplifikasi (1,38%), modulasi (1,38%) dan transposisi (2,77%); 3) dari segi pergeseran, pergeseran unit intra-system mendominasi (50%), diikuti oleh unit shifts (35,18%), structure shifts (11,12%), dan class shifts (3,07%).

Penelitian yang dilakukan oleh penulis, relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Simanihuruk. Dalam penelitian ini, penulis mencari kategori istilah budaya serta menentukan teknik penerjemahan yang digunakan.

7. Ndruru (2013), dalam Tesisnya yang berjudul Terjemahan Istilah Budaya Dalam Novel Negeri 5 Menara Ke Dalam Bahasa Inggris The Land of Five Towers. Penelitian ini mengkaji terjemahan Istilah Budaya Dalam Novel Negeri 5 Menara Ke dalam Bahasa Inggris The Land of Five Towers. Penguasaan budaya sangat penting dipahami oleh penerjemah dalam menerjemahkan istilah BSu ke dalam BSa karena budaya sangat khas dalam suatu masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan istilah budaya dalam novel Negeri 5 Menara ke dalam bahasa Inggris The Land of Five Towers, dan (2) teknik penerjemahan apa yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan novel Negeri 5 Menara ke dalam bahasa Inggris The Land of Five Towers. Data yang dianalisis pada tataran kata dan frasa dengan menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif. Temuan-temuan penelitian yang berkaitan dengan istilah

(26)

diikuti makanan dan bangunan (rumah/kota) (13,59%), transportasi dan benda budaya memiliki persentase yang sama (8,73%), flora (6,79%), pakaian dan organisasi memiliki persentase yang sama (5,82%), pekerjaan dan kesenian memiliki persentase yang sama (4,85%), agama dan fauna memiliki persentase yang sama (2,91%), admnistratif dan konsep memiliki persentase yang sama (1,94%), dan persentase yang paling rendah adalah hukum dan bahasa isyarat (0,97%). Dan teknik penerjemahan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah teknik penerjemahan menggunakan satu teknik (tunggal) penerjemahan dan menggunakan dua teknik penerjemahan (kuplet). teknik penerjemahan harfiah merupakan teknik yang digunakan paling banyak oleh penerjemah (32,03%), diikuti teknik penerjemahan adaptasi (20,38%), peminjaman murni (16,50%), generalisasi (9,70%), amplifikasi dan kalke + peminjaman murni memiliki persentase yang sama (5,82%), deskripsi dan reduksi memiliki persentase yang sama (2,91%), dan teknik penerjemahan yang memiliki persentase yang terendah adalah modulasi, amplifikasi + peminjaman murni, peminjaman murni + deskripsi dan generalisasi + deskripsi (0,97%).

Penelitian yang dilakukan oleh penulis, relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ndruru. Dalam penelitian ini, penulis mencari kategori istilah budaya serta menentukan teknik penerjemahan yang digunakan.

8. Nurhidayah (2014) dalam jurnalnya yang berjudul “Analisis Teknik dan Kualitas Terjemahan Istilah Budaya Dalam Film “Percy Jackson and The Olympians Thief”. Penelitian ini mengkaji penerjemahan istilah budaya dalam

subtitle film yang berjudul Percy Jackson and The Olympians The Lightning Thief. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menemukan macam-macam istilah

(27)

budaya yang terdapat dalam subtitle film Percy Jackson and The Olympians The Lightning Thief, (2) menemukan dan mendeskripsikan teknik-teknik penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan itilah budaya, (3) untuk mengetahui sifat teknik penerjemahan yang digunakan, (4) mendeskripikan kualitas penerjemahan subtitile film Percy Jackson and The Olympians The Lightning Thief. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dan merupakan studi kasus terpancang. Data diperoleh dengan beberapa metode, antara lain: catat, simak, kuesioner dan wawancara dengan para informan. Data yang berupa istilah budaya akan diperoleh dari keseluruhan dialog dalam film Percy Jackson and The Olympians The Lightning Thief dan terjemahannya dalam subtitle berbahasa Indonesia, sedangkan penilaian kualitas terjemahannya diperoleh dari para rater. Terdapat 80 data istilah budaya yang ditemukan dan dikelompokkan berdasarkan kategorinya, yaitu ekologi, kebudayaan material/artefak, sosial, organisasi dan kebiasaan. Terdapat 8 teknik yang digunakan dalam menerejmahkan istilah budaya, yaitu harfiah, generalisasi, peminjaman murni, peminjaman naturalisasi, deskripsi, amplifikasi dan transposisi. Varian teknik yang ditemukan terdiri dari varian tunggal dan varian kuplet. Ditemukan dua sifat teknik yaitu sifat Obligatory dan Optional. Teknik harfiah merupakan teknik yang paling banyak digunakan dengan frekuensi 44 kali, teknik peminjaman murni dengan frekuensi penggunaan 20 kali, peminjaman naturalisasi 9 kali. Secara keseluruhan kualitas terjemahan istilah budaya dalam subtitle film Percy Jackson and The Olympians The Lightning Thief tergolong baik, dengan rincian nilai 2,84 untuk keakuratan dan 2,76 untuk keberterimaan.

(28)

Penelitian yang dilakukan oleh penulis, relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhidayah. Dalam penelitian ini, penulis mencari kategori istilah budaya, menentukan teknik penerjemahan yang digunakan kemudian menentukan kualitas terjemahan.

9. Sulaiman (2011) dalam Tesisnya yang berjudul Analisis Terjemahan Istilah-Istilah Budaya pada Brosur Pariwisata Berbahasa Inggris Provinsi Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi istilah-istilah budaya yang terdapat pada brosur pariwisata berbahasa Indonesia dan Inggris Provinsi Sumatera Utara, 2) mengidentifikasi teknik penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan istilah-istilah budaya dari BSu (bahasa Indonesia, Arab, Batak, Nias dan Melayu) ke dalam bahasa Inggris Provinsi Sumatera Utara. Dalam penelitiannya Sulaiman menggunakan metode deskriptif kualitatif.

Dari hasil penelitian beliau ditemukan sebnayak 67 data istilah budaya pada brosur pariwisata berbahasa Indonesia dan Inggris. Istilah budaya yang berkaitan dengan ekologi sebanyak 1 data (1,49%), makanan sebanyak 13 data (19,40%), benda/artefak sebanyak 2 data (2,98%), transportasi sebanyak 1 data (1,49%), bahasa sebanyak 4 data (5,97%), sosial budaya sebanyak 13 data (19,40%), kemasyarakatan sebanyak 8 data (11,94%), agama sebanyak 3 data (4,48%) dan seni sebanyak 12 data (17,91%). Teknik penerjemahan yang digunakan dalam penerjemahan istilah-istilah budaya tersebut adalah teknik penerjemahan deskripsi sebanyak 25 (37,31%), peminjaman sebanyak 21 (31,34%), kalke sebanyak 12 (17,91%), generalisasi sebanyak 6 (8,96%), harfiah sebanyak 2 (2,99%) dan couplet sebanyak 1 (1,49%). Sedangkan pergeseran

(29)

terdapat 44 data, terdiri atas pergeseran unit, sebanyak 28 (63,63%), pergeseran struktur sebanyak 13 (29,55%) dan pergeseran sebanyak 3 (6,82%).

Penelitian yang dilakukan oleh Sulaiman relevan dengan penelitian ini. Bedanya Sulaiman menganalisis pergeseran dalam terjemahan. Namun dalam penelitian ini, Sulaiman juga tidak melihat bagaimana keakuratan terjemahan. Untuk itu, penulis mencoba mencari padanan bagaimana dampak teknik penerjemahan pada tingkat keakuratan hasil terjemahan.

10. Silalahi (2009) dalam Disertasinya yang berjudul Dampak Teknik, Metode dan Ideologi Penerjemahan pada Kualitas Terjemahan Teks Medical – Surgical Nursing dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini bertujuan: 1) merumuskan teknik penerjemahan yang diterapkan dalam menerjemahkan kata, frasa, klausa dan kalimat yang terdapat dalam teks Medical – Surgical Nursing ke dalam bahasa Indonesia, 2) mendeskripsikan metode penerjemahan yang ditetapkan dalam menerjemahkan kata, frasa, klausa dan kalimat yang terdapat dalam teks Medical – Surgical Nursing ke dalam bahasa Indonesia, 3) mengekspresikan ideology penerjemahan yang dianut oleh penerjemah dalam menerejemahkan kata, frasa dan kalimat yang terdapat dalam teks Medical – Surgical Nursing ke dalam bahasa Indonesia, 4) Menilai dampak teknik penerjemahan, metode penerjemahan dan ideology penerjemahan tersebut pada kualitas terjemahan. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan alasan studi kasus terpancang. Data yang dikaji merupakan data kualitatif, yang berwujud kata, frasa dan kalimat yang berasal dari sumber data dokumen maupun informasi kunci dan respon. Data tersebut dideskripsikan dan disesuaikan

(30)

penerjemahan diterapkan dalam penerjemahan teks Medical – Surgical Nursing

yaitu harfiah menempati urutan pertama (489), yang diikuti oleh peminjaman murni (224), peminjaman alamiah (222), transposisi (68), kalke (67), modulasi (25), penghilangan (16) dan teknik penambahan (9).

Pada penelitian beliau menunjukkan bahwa kualitas terejmahannya didapatkan 338 (64,75%) diterjemahkan secara akurat, 136 (26,05%) diterejmahkan secara kurang akurat dan 48 (9,20%) tidak akurat. Teknik yang memberikan dampak positif adalah teknik peminjaman murni, teknik peminjaman alamiah, kalke dan harfiah.

Kontribusi penelitian yang dilakukan oleh penulis, relevan dengan penelitian yang dilakukan Silalahi dalam penelitiannya. Beliau mengkaji teknik, metode dan ideologi dalam Medical – Surgical Nursing ke dalam bahasa Indonesia, dengan menganalisis makna pada tataran kata, frasa dan kalimat. Kemudian, Silalahi mencari dampaknya pada kualitas terjemahan pada tingkat keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan. Namun, dalam penelitian ini penulis hanya mengkaji teknik yang digunakan oleh penerjemah dengan mencari dampaknya pada kualitas terjemahan pada tingkat keakuratan. Penelitian ini mengadopsi teknik penerjemahan dan cara mengukur aspek keakuratan penilaian kualitas terjemahan oleh Silalahi (2009).

2.8 Landasan Teori

Newmark (1988: 95) memberi istilah untuk kata bermuatan budaya dengan

cultural word. Newmark membedakan antara cultural word dan universal word. Menurut Newmark kata-kata seperti hidup, bintang, berenang, dan artefak yang

(31)

dapat ditemui dimana-mana seperi cermin, meja, dan sebagainya adalah kata-kata universal dan tidak menimbulkan masalah dalam penerjemahan. Sedangkan kata-kata budaya seperti monsoon, stepa, sake, koto, kimono dan sarung adalah kata-kata yang bermuatan budaya. Kata-kata-kata tersebut merupakan cerminan dari budaya masyarakat tertentu yang hidup dalam suatu lingkungan tertentu pula. Kata bermuatan budaya merupakan lambang dari benda dan konsep-konsep yang terdapat dalam suatu kebudayaan masyarakat, sehingga kata bermuatan budaya dalam suatu teks akan mudah dikenali karena terkait dengan suatu konteks kebudayaan tertentu. Kata bermuatan budaya tidak dapat diterjemahkan secara harfiah atau kata demi kata karena dapat menimbulkan distorsi makna.

Kebudayaan menurut Newmark adalah cara hidup dan manifestasi manusia yang isimewa terhadap komunitasnya dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk mengekspresikan maksudnya (Newmark 1988: 95). Newmark membagi budaya menjadi 5 kategori, yaitu:

1. Ekologi (ecology)

Kategori ekologi antara lain mengena flora, fauna, bukit-bukit, angin, keadaan geografis dan alam misalnya padang pasir, nama musim, savanna dan sebagainya. Dua negara yang keadaan geografisnya sangat berbeda akan memiliki kosakata yang berkaitan dengan ekologi berbeda pula. Hal ini dapat terlihat bila menerjemahkan teks budaya Eskimo mengenai salju ke dalam bahasa Arab karena perbedaan faktor ekologi. Keadaan geografis Eskimo menyebabkan di Eskimo banyak terdapat salju yang tidak ditemui di Arab yang dipenuhi gurun (Larson 1988: 150). Masalah seperti ini juga akan ditemui dalam menerjemahkan teks

(32)

bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia karena Jepang adalah negara yang memiliki empat musim, sedangkan Indonesia memili dua musim.

2. Kebudayaan Material (material culture)

Kebudayaan material menyangkut nama makanan, pakaian, bangunan, tempat tinggal, peralatan hidup seperti alat transportasi dan sebagainya. Setiap negara memiliki istilah-istilah untuk menyebut kebudayaan materialnya, misalnya dalam bahasa Jepang terdapat istilah kimono, koto, dan sebagainya. Demikian pula dalam bahasa Indonesia juga dikenal istilah sarung, becak, andong dan sebagainya.

3. Kebudayan Sosial (social culture)

Kebudayaan sosial menyangkut pekerjaan, permainan, hiburan, istilah kekerabatan, olah raga dan seni. Istilah-istilah kebudayaan sosial antara dua budaya yang berbeda juga menimbulkan masalah dalam penerjemahan, misalnya kata sensee yang mempunyai komponen makna berbeda dengan guru. Sensee

dalam bahasa Jepang dapat bermakna guru, dokter atau orang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu.

4. Organisasi/kelompok

Kategori ini meliputi politik dan administrasi, agama dan seni. Agama yang dianut orang Jepang dan orang Indonesia berbeda sehingga menimbulkan perbedaan istilah keagamaan. Kata kami sebagai sesuatu yang dipuja dalam agama

Shintoo akan sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia karena agama di Indonesia bermacam-macam sehingga padanan kami dapat Tuhan, Allah, Dewa dan sebagainya.

(33)

Teknik penerjemahan adalah pendekatan penerjemah secara spesifik yang berlaku dalam penerjemahan ekspresi individu dalam teks BSu, seperti kata-kata, tata bahasa konstruksi, idiom dan lain lain. Berbeda dengan metode atau ideologi penerjemahan yang merupakan pendekatan global diterapkan pada teks sebagai keseluruhan, teknik penerjemahan yang digunakan untuk kalimat dan unit yang lebih kecil dari bahasa dalam sebuah teks (Newmark, 1988: 81). Teknik penerjemahan diterapkan untuk melaksanakan metode yang diberikan pada perumusan kesepadanan untuk tujuan mentransfer unsur makna dari teks sumber ke teks sasaran.

Molina dan Albir (2002: 502) menggunakan istilah 'teknik penerjemahan' dan memastikan teknik yang digunakan bersifat fungsional dan dinamis dalam hal: (1) teks genre (surat keluhan, kontrak, brosur wisata, dll), (2) jenis Penerjemahan (teknis, sastra, dll), (3) Modus penerjemahan (penerjemahan tertulis, penerjemahan penglihatan, berturut-turut menafsirkan, dll); (4) tujuan dan karakteristik penerjemahan, dan (5) metode yang dipilih (interpretatif-komunikatif, dll). Teknik penerjemahan tersebut digunakan sebagai sarana untuk menganalisis dan mengklasifikasikan bagaimana hasil penerjemahan yang ekuivalen.

Molina dan Albir (2002: 502) menggunakan istilah 'teknik penerjemahan' dan memastikan teknik yang digunakan bersifat fungsional dan dinamis dalam hal: (1) teks genre (surat keluhan, kontrak, brosur wisata, dll), (2) jenis Penerjemahan (teknis, sastra, dll), (3) Modus penerjemahan (penerjemahan tertulis, penerjemahan penglihatan, berturut-turut menafsirkan, dll); (4) tujuan dan

(34)

komunikatif, dll). Teknik penerjemahan tersebut digunakan sebagai sarana untuk menganalisis dan mengklasifikasikan bagaimana hasil penerjemahan yang ekuivalen.

Teknik penerjemahan dicirikan oleh lima karakteristik dasar, yaitu: (1) mempengaruhi hasil penerjemahan, (2) diklasifikasikan dibandingkan dengan aslinya; (3) mempengaruhi unit mikro teks, (4) secara alam diskursif dan kontekstual dan (5) fungsional.

Untuk menilai suatu hasil terjemahan, Nababan (2004) menguraikan kualitas terjemahan dalam 3 komponen yaitu: 1) keakuratan adalah terjemahan yang tidak mengalami distorsi makna. Teks BSu ditransfer secara akurat ke teks BSa. 2) keberterimaan yaitu terjemahan dikatakan berterima apabila terjemahan tersebut terasa alamiah, lazim dan akrab bagi pembaca. 3) keterbacaan. Hasil terjemahan dikatakan terbaca apabila teks yang diterjemahkan dapat dipahami oleh pembaca.

Penilaian keakuratan terjemahan dalam 3 hal, yaitu penilaian terhadap: 1) tingkat keakuratan terjemahan, yaitu terjemahan yang merujuk pada terjemahan yang tidak mengalami distorsi makna, 2) terjemahan kurang akurat, yaitu terjemahan yang merujuk pada terjemahan yang sebagian besar makna dari BSu telah dialihkan secara akurat ke dalam BSa, namun masih terdapat distorsi makna atau terdapatnya makna ambigu atau makna ganda atau makna yang dihilangkan, 3) terjemahan tidak akurat, yaitu merujuk pada terjemahan yang makna dari BSu dialihkan secara tidak akurat ke dalam BSa atau dihilangkan.

(35)

2.9 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir dalam penelitian ini berkaitan dengan rumusan masalah yang telah disebutkan di dalam Bab I yang meliputi 1) klasifikasi istilah budaya yang terdapat dalam novel The Good Earth dan Bumi Yang Subur, 2) teknik terjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan istilah budaya pada novel The Good Earth dan Bumi Yang Subur, 3) keakuratan terjemahan istilah budaya dalam novel The Good Earth dan Bumi Yang Subur. Kerangka berpikir menggambarkan alur pikiran peneliti. Pertama penulis mengidentifikasi istilah-istilah berkonteks budaya dalam novel The Good Earth dan Bumi Yang Subur dan meneliti teknik terjemahan yang digunakan. Dari hasil penelitian terhadap teknik terjemahan, selanjutnya penulis mengkaji keakuratan terjemahan tersebut.

Bumi Yang Subur

(Bahasa Indonesia)

(1989)

( The Good Earth

(Bahasa Inggris) (1958) ( Novel Istilah Budaya (Newmark 1988: 95) Teknik Penerjemahan (Molina dan Albir 2002)

Keakuratan Terjemahan (Silalahi 2009)

Temuan/Hasil

Referensi

Dokumen terkait

this study is to obtain a method of in vitro ger- mination of alfalfa seed, and the formulation of appropriate media for shoot induction and multiplication.. MATERIALS

Dari pernyataan tersebut tentunya memang wajib pajak sudah memenuhi aturan dengan mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), membayar pajak, namun sebagian warga di

 Persilangan sapi $ertanduk hetero%igot dengan Persilangan sapi $ertanduk hetero%igot dengan sapi tidak $ertanduk hetero%igot& dihasilkan ' sapi tidak $ertanduk

Pedoman Pelayanan Keperawatan Rumah Sakit xxx ini diharapkan menjadi acuan kerja seluruh petugas baik Perawat maupun Bidan yang bekerja di Bagian Keperawatan maupun

Peningkatan Keterampilan Membaca Memindai Melalui Metode SQ3R Berbantuan Media Kliping Pada Siswa Kelas V SD 1 Jepang Kudus .Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan

Paper ini menyajikan pengerjaan hukum kekekalan energi pada pemodelan hidrodinamika gelombang pendek. Pengerjaan hukum kekekalan energi dilakukan dengan mensuperposisikan

[r]

Adanya praktik poligami suami yang istrinya menjadi tenaga kerja Indonesia di Desa Bulubrangsi Kecamatan Laren Kabupaten Lamongan, jika dipandang dalam hukum Islam tidak