• Tidak ada hasil yang ditemukan

THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PENERBIT:

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta,

Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas Universitas Sebelas Maret Surakarta

ALAMAT PENERBIT/REDAKSI:

L AB O R AT O R I U M P U S A T M I P A U N I V E R S I T AS S E B E L AS M AR E T

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375; Tel.: +62-271-646994 Psw. 398, 339; Fax.: +62-271-646655. E-mail: unsjournals@yahoo.com; unsjournals@gmail.com. Online: www.unsjournals.com

TERBIT PERTAMA TAHUN:

2000

ISSN:

1412-033X

TERAKREDITASI BERDASARKAN KEPUTUSAN

DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS RI No. 55/DIKTI/Kep/2005

PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB:

S u t a r n o

SEKRETARIS REDAKSI:

Ahmad Dwi Setyawan, Ari Pitoyo

PENYUNTING PELAKSANA:

Suranto (Biologi Molekuler), Marsusi, Solichatun (Botani), Edwi Mahajoeno, Sugiyarto (Zoologi), Wiryanto (Ilmu Lingkungan)

BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversitymempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap

naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya

dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai. Jurnal ini terbit empat kali setahun, setiap bulan Januari, April, Juli, dan Oktober.

(4)

PEDOMAN UNTUK PENULIS

Format penulisan pada nomor ini merupakan acuan utama bagi para penulis, adapun pedoman ini hanya merupakan ringkasannya. Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan belum pernah dipublikasikan. Penulis diminta mengirimkan dua kopi naskah dan satu disket ukuran 3½” atau compact disc (CD), kecuali naskah yang dikirim melalui e-mail. Pada koreksi terakhir kembali diminta satu disket untuk pencetakan.

Tulisan diketik pada satu sisi kertas putih, ukuran A4 (210x297 mm2), dalam satu kolom, menggunakan spasi ganda, jenis huruf

Times New Roman, ukuran 12 point, dengan jarak tepi 2 cm di semua sisi. Program pengolah kata atau jenis huruf tambahan dapat digunakan, namun harus PC compatible dan berbasis Microsoft Word.

Nama ilmiah (genus, spesies, author), dan kultivar atau strain disebutkan secara lengkap pada penyebutan pertama kali. Nama genus dapat disingkat setelahnya penyebutan yang pertama, kecuali menimbulkan kerancuan. Nama author dapat dihilangkan setelah penyebutan pertama. Misalnya pertama kali ditulis Rhizopus oryzae L. UICC 524, selanjutnya ditulis R. oryzae UICC 524. Nama daerah dapat dicantumkan apabila tidak menimbulkan makna ganda. Penyebutan nama ilmiah secara lengkap dapat diulang pada bagian Bahan dan Metode. Tatanama kimia dan biokimia mengikuti aturan IUPAC-IUB. Simbol-simbol kimia standar dan penyingkatan untuk nama kimia dapat dilakukan apabila jelas dan umum digunakan, misalnya pertama kali ditulis lengkap butilat hidroksitoluen (BHT) selanjutnya ditulis BHT. Ukuran metrik menggunakan satuan SI, penggunaan satuan lain harus diikuti nilai ekuivalen dengan satuan SI pada penyebutan pertama. Penyingkatan satuan, seperti g, mg, ml, dan sebagainya tidak diikuti titik. Indek minus (m-2, l-1, h-1) disarankan

untuk digunakan, kecuali dalam hal-hal seperti “per-tanaman” atau “per-plot”. Persamaan matematika tidak selalu dapat dituliskan dalam satu kolom dengan teks, untuk itu dapat ditulis secara terpisah.

Angka satu hingga sepuluh dinyatakan dengan kata-kata, kecuali apabila berhubungan dengan pengukuran, sedangkan nilai di atasnya dituliskan dalam angka, kecuali di awal kalimat. Pecahan sebaiknya dinyatakan dalam desimal. Dalam teks digunakan “%” bukannya “persen”. Pengungkapan ide dengan kalimat yang rumit dan bertele-tele perlu dihindari, sebaiknya digunakan kalimat yang efektif dan efisien. Naskah hasil penelitian diharapkan tidak lebih dari 25 halaman (termasuk gambar dan tabel), naskah telaah pustaka menyesuaikan, masing-masing halaman berisi 700-800 kata, atau sebanding dengan naskah dalam nomor penerbitan ini.

Judul ditulis secara padat, jelas, dan informatif, maksimum 20 kata. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Naskah yang terlalu panjang dapat dibuat berseri, tetapi naskah demikian jarang diterbitkan jurnal ini. Judul pelari (running title) sekitar lima kata. Nama penulis atau para penulis pada naskah kelompok ditulis secara lengkap dan tidak disingkat. Nama dan alamat institusi ditulis lengkap dengan nama dan nomor jalan (lokasi), kode pos, nomor telepon, nomor telepon genggam, nomor faksimili, alamat e-mail, dan website. Pada naskah kelompok perlu ditunjukkan penulis untuk korespondensi beserta alamat dengan urutan seperti di atas. Abstract sebaiknya tidak lebih dari 200 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia (teks dalam bahasa Indonesia hanya untuk kepentingan keredaksian) atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Kata kunci (Keywords) sekitar lima kata, meliputi nama ilmiah dan daerah (apabila ada), topik penelitian dan metode-metode khusus yang digunakan. Pendahuluan

(Introduction) sekitar 400-600 kata, meliputi latar belakang, tinjauan pustaka dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode (Materials and Methods) sebaiknya ditekankan pada cara kerja dan cara analisis data. Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) ditulis sebagai satu rangkaian, pada tulisan yang cukup panjang sebaiknya dibuat beberapa sub judul. Pembahasan merupakan jawaban pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil penelitian dapat terjadi, bukan sekedar mengungkapkan kembali hasil penelitian dalam bentuk kalimat. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh lebih disukai dari pada pembahasan yang tidak tuntas. Naskah telaah pustaka tanpa sub judul Bahan dan Metode, serta Hasil dan Pembahasan.

Kesimpulan (Conclusion) sebaiknya tetap diberikan, meskipun biasanya sudah terungkap pada Hasil dan Pembahasan. Ucapan terima kasih (Acknowledgments) apabila diperlukan ditulis secara singkat. Gambar dan Tabel maksimum tiga halaman, dapat dibuat dengan tinta cina atau printer laser. Judul gambar ditulis di bawah gambar, sedangkan judul table ditulis di atas tabel. Foto dicetak pada kertas glossy dan diberi keterangan. Gambar berwarna dapat diterima apabila informasi ilmiah dalam naskah dapat hilang tanpa gambar tersebut. Setiap gambar dan foto sebaiknya menyertakan file digital.

Penulis dianjurkan menyertakan foto atau gambar untuk sampul depan, meskipun tidak dimuat dalam naskah sendiri. Tidak ada lampiran, semua data atau analisis data dimasukkan dalam Hasil dan Pembahasan.

Pustaka dalam naskah ditulis dalam bentuk nama belakang penulis dan tahun. Pada kalimat yang diacu dari beberapa penulis, maka nama penulis diurutkan berdasarkan kebaharuan pustaka. Naskah yang ditulis oleh dua penulis, maka nama keduanya disebutkan, sedang naskah yang ditulis oleh tiga penulis atau lebih, maka hanya nama penulis pertama ditulis diikuti et al. atau dkk., misalnya: Sprent dan Sprent (1990) atau (Smith 1982a, b; Baker and Manwell, 1991; Suranto et al., 1998). Pada sitasi bertingkat digunakan kata citatau dalam, misalnya (Gyorgy, 1991 cit Coward, 1999) atau Gyorgy (1991, dalam Coward, 1999).

Daftar Pustaka diketik dengan spasi ganda. Sitasi mengikuti CBE-ELSE-Vancouver style dengan modifikasi sebagai berikut:

Jurnal:

Suranto, S., K.H. Gough, D.D. Shukla, and C.K. Pallaghy. 1998. Coat protein sequence of Krish-infecting strain of Johnson-grass mosaic potyvirus. Archives of Virology 143: 1015-1020.

Buku:

Sprent, J.l., and P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organisms: Pure and Applied Aspects. London: Chapman and Hall.

Bab dalam buku:

Baker, C.M.A. and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular markers and gene conservation of bovine breeds. In: Hickman, C.G. (ed.). Cattle Genetic Resources. Amsterdam: Elsevier Science Publishers B.V.

Abstrak:

Liu, Q., S. Salih, J. Ingersoll, R. Meng, L. Owens, and F. Hammerschlag. 2000. Response of transgenic ‘Royal Gala’ apple (Malus x domestica Borkh.) shoots, containing the modified cecropin MB39 gene to Erwinia amylovora [084]. Abstracts of 97th Annual International Conference of the American Society for Horticultural Science. Lake Buena Vista, Florida, 23-26 July 2000.

Prosiding:

Alikodra, H.S. 2000. Keanekaragaman hayati bagi pembangunan dae-rah otonom. Dalam: Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gunung Lawu, Prosiding Semiloka Nasional Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan Plasma Nutfah di Pulau Jawa. Surakarta, 17-20 Juli 2000.

Skripsi, Tesis, Disertasi:

Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae

UICC 524 dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon dari Tempe terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.

Informasi dari Internet:

Rosauer, D. 1998. Forest Disturbance and Succession. http:// www.anu.edu.au/ Forestry/silvinative/ daniel/chapter1/1.1.html Naskah publikasi “in press” dapat disitasi dan dicantumkan dalam daftar pustaka. “Komunikasi pribadi” dapat disitasi, tetapi tidak dapat dicantumkan dalam daftar pustaka. Penelitian yang tidak dipublikasi-kan atau sedang dalam tahap pengajuan publikasi tidak dapat disitasi.

Beberapa catatan tambahan. Naskah diketik tanpa tanda hubung (-), kecuali kata ulang. Penggunaan huruf “l” (el) untuk “1” (satu) atau “O” (oh) untuk “0” (nol) perlu dihindari. Simbol D, E, F, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, bukan mengubah jenis huruf. Kata-kata dan tanda baca sesudahnya tidak diberi spasi.

Kemajuan naskah. Pemberitahuan naskah dapat diterima atau ditolak akan diberitahukan sekitar satu bulan setelah pengiriman. Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan korespondensi tidak ditanggapi. Penulis atau penulis pertama pada naskah kelompok akan mendapatkan satu eksemplar jurnal yang memuat tulisannya selambat-lambatnya sebulan setelah naskah diterbitkan. Penulis akan kembali mendapatkan satu eksemplar jurnal nomor penerbitan berikutnya.

PENTING: Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan

BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversitykepada Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta. Penulis tidak lagi diperkenankan menerbitkan naskah secara utuh tanpa ijin penerbit. Penulis atau pihak lain diperkenankan memperbanyak naskah dalam jurnal ini selama tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam jurnal ini.

(5)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X

Volume 9, Nomor 4 Oktober 2008

Halaman: 245-249

j Alamat korespondensi:

Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong Bogor 16911 Tel.: +62-21-8765066/7, Fax.: +62-21-8765063 e-mail: yyspoerba@yahoo.com

Keragaman Genetik berdasarkan Marka Random Amplified

Polymorphic DNA pada

Amorphophallus muelleri

Blume di Jawa

Genetic variability of

Amorphophallus muelleri

Blume in Java based on Random

Amplified Polymorphic DNA

YUYU SURYASARI POERBAj, DIYAH MARTANTI

Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong Science Center - Bogor 16911. Received: 16 Agustus 2008. Accepted: 25 September 2008.

ABSTRACT

Amorphophallus muelleri Blume (Araceae) is valued for its glucomanan content for use in food industry (healthy diet food), paper industry, pharmacy and cosmetics. The species is triploid (2n=3x=39) and the seed is developed apomictically. The present research is aimed to identify genetic variability of six population of A. muelleri from Java (consisted of 50 accessions) using random amplified polymorphic DNA (RAPD). The six populations of the species are: East Java: (1) Silo-Jember, (2) Madiun, (3) IPB (cultivated, from Saradan-Madiun), (4) Panti-Jember, (5) Probolinggo; and Central Java: (6) Cilacap. The results showed that five RAPD primers generated 42 scorable bands of which 29 (69.05%) were polymorphic. Size of the bands varied from 300bp to 1.5kbp. The 50 accessions of A. muelleri were divided into two main clusters, some of them were grouped based on their populations, and some others were not. The range of individual genetic dissimilarity was from 0.02 to 0.36. The results showed that among six populations investigated, Saradan population showed the highest levels of genetic variation with mean values of na = 1.500+0.5061, ne = 1.3174+0.3841, PLP = 50% and He = 0,

0.1832+0.2054, whereas Silo-Jember population showed the lowest levels of genetic variation with mean values na = 1.2619+0.4450, ne = 1.1890+0.3507, PLP = 26.19% and He = 0.1048+0.1887. Efforts to conserve, domesticate, cultivate and improve genetically should be

based on the genetic properties of each population and individual within population, especially Saradan population which has the highest levels of genetic variation, need more attention for its conservation.

© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Key words: Amorphophallus muelleri, RAPD, genetic variability.

PENDAHULUAN

Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) adalah satu dari 27 jenis Amorphophallus di Indonesia dan dari 170 jenis yang dikenal di dunia. Jenis ini merupakan tanaman sumber karbohidrat alternatif yang mengandung glukomanan tertinggi di antara jenis Amorphophallus lainnya di Indonesia (Jansen et al., 1996; Sumarwoto, 2004). Sebagian besar iles-iles Indonesia diekspor ke Jepang, yang membutuhkan iles-iles sedikitnya 3000 ton/tahun. Kebutuhan tersebut belum terpenuhi sehingga prospek pengembangan dan peluang ekspor iles-iles ini masih cukup tinggi (Suara Merdeka 22/11/2001).

Amorphophallus muelleri merupakan tanaman tahunan dan beregenerasi melalui organ vegetatif yaitu umbi atau potongan umbi, bulbil, stek daun dan secara generatif yaitu dengan biji. Jenis ini merupakan tanaman triploid dengan kromosom dasar x = 13 (Jansen et al., 1996; Ishida, 2002). Walaupun tanaman ini dapat bereproduksi melalui biji, namun biji yang terbentuk adalah apomik (Jansen et al., 1996). Dengan demikian keturunan dari tanaman ini secara genetik akan identik dengan induk betinanya.

Penanda molekuler banyak digunakan dalam analisis

keragaman genetik tumbuhan, salah satunya adalah random amplified polymorphic DNA (RAPD). Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi genotipe tumbuhan, karena memiliki kelebihan dalam pelaksanaan dan analisisnya. Dibandingkan dengan penanda DNA yang lain, seperti restriction fragment length polymorphisms (RFLP) dan simple sequence repeats (SSR), teknik RAPD lebih murah, mudah dilakukan, cepat memberikan hasil, menghasilkan polimorfisme pita DNA dalam jumlah banyak, tidak memerlukan pengetahuan tentang latar belakang genom yang dianalisis dan mudah memperoleh primer acak yang diperlukan untuk menganalisis genom semua jenis organisme (Tingey et al., 1994). Walaupun metode ini kurang sempurna dan memiliki kelemahan dalam konsistensi produk amplifikasi (Jones et al., 1997), tetapi kelemahan ini dapat diatasi dengan mengoptimalkan ekstraksi, dan kondisi PCR serta pemilihan primer yang tepat. Marka RAPD sudah banyak digunakan pada jenis-jenis tumbuhan tropis, khususnya dari suku Araceae (Irwin et al., 1998; Jiménez et al., 2002; Prana dan Hartati, 2003; Nowbuth et al., 2005; Poerba dan Yuzammi, 2008).

Hingga saat ini, pengetahuan tentang genetika populasi tanaman ini A. muelleri belum terungkap. Diharapkan dengan diketahuinya informasi genetik ini akan membantu dalam pelestarian maupun dalam upaya pemuliaannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari karakter genetik populasi A. muelleri yang ada di Jawa dengan menggunakan marka RAPD.

(6)

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 245-249

246

BAHAN DAN METODE

Bahan penelitian yang digunakan adalah sampel A. muelleri yang dikoleksi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur serta koleksi Institut Pertanian Bogor (IPB). Bahan penelitian tersebut terdiri atas enam populasi, yaitu Jawa Timur: (1) Silo, Jember, (2) Saradan, Madiun, (3) IPB (budidaya, dikoleksi dari Saradan), (4) Panti, Jember, (5) Probolinggo; dan Jawa Tengah: (6) Cilacap, dengan masing-masing populasi terdiri atas 7-10 individu (Tabel 1). Bahan penelitian dikoleksi dari habitat alami, kecuali koleksi IPB dari lahan budidaya. Metode pengambilan sampel dilakukan sesuai dengan panduan pengambilan sampel DNA di lapangan (Widjaja dan Poerba, 2004).

Tabel 1. Koleksi sampel Amorphophallus muelleri Blume dari enam populasi di Jawa.

No. populasi/No. sampel Populasi No. aksesi

1/1 Silo DM004 1/2 Silo DM005 1/3 Silo DM006 1/4 Silo DM008 1/5 Silo DM009 1/6 Silo DM010 1/7 Silo DM011 1/8 Silo DM012 1/9 Silo DM013 Jumlah sampel 9 2/10 Saradan YSP101 2/11 Saradan YSP127 2/12 Saradan YSP129 2/13 Saradan YSP130 2/14 Saradan YSP144 2/15 Saradan YSP146 2/16 Saradan YSP147 2/17 Saradan YSP158 2/18 Saradan YSP159 2/19 Saradan YSP160 Jumlah sampel 10 3/20 IPB YSPR-1 3/21 IPB YSPB-1 3/22 IPB YSPB-4 3/23 IPB YSPB-6 3/24 IPB YSPB-7 3/25 IPB YSPB-9 3/26 IPB YSPB-13 3/27 IPB YSPB-15 3/28 IPB YSPB-19 Jumlah sampel 9 4/29 Panti DM014 4/30 Panti DM015 4/31 Panti DM016 4/32 Panti DM017 4/33 Panti DM018 4/34 Panti DM019 4/35 Panti DM021 Jumlah sampel 7 5/36 Probolinggo DM068 5/37 Probolinggo DM069 5/38 Probolinggo DM070 5/39 Probolinggo DM073 5/40 Probolinggo DM074 5/41 Probolinggo DM079 5/42 Probolinggo DM080 5/43 Probolinggo DM083 Jumlah sampel 8 6/44 Cilacap DM088 6/45 Cilacap DM089 6/46 Cilacap DM090 6/47 Cilacap DM091 6/48 Cilacap DM092 6/49 Cilacap DM093 6/50 Cilacap DM094 Jumlah sampel 7

Jumlah sampel total 50

Ekstraksi dan isolasi DNA

Ekstraksi dan isolasi DNA genom A. muelleri dilakukan berdasarkan metode CTAB (Delaporta et al., 1983) yang dimodifikasi. Kuantitas setiap DNA hasil isolasi diukur dengan Flourometer (Shimadzu UV1201), sedangkan kualitasnya dilihat pada gel elektroforesis 0.8%. Hasil ekstraksi DNA yang menghasilkan kuantitas dan kualitas DNA yang cukup baik, dilanjutkan dengan polymerase chain reaction (PCR).

Optimasi PCR dan Amplifikasi DNA

DNA genom A. muelleri diamplifikasi menggunakan primer acak yang terdiri dari 10 basa (dekamer) (Operon Tech). Optimasi PCR dilakukan untuk mendapatkan kondisi PCR yang optimal. Beberapa variabel seperti konsentrasi primer, konsentrasi cetakan DNA, dan suhu penempelan primer yang digunakan untuk PCR dipelajari dan dicoba untuk mendapatkan produk PCR yang optimal. Untuk memilih primer yang akan digunakan dalam analisis RAPD, setiap populasi A. muelleri diwakili oleh satu individu yang diambil secara acak dan diamplifikasi menggunakan 12 primer dari Operon Tech. (OPA 11, OPA 19, OPB 17, OPC 04, OPC-07, OPD-04, OPU 03, OPU 06, OPU 07, OPU 14, OPN 19 dan OPN-18E). Primer yang memberikan pita amplifikasi yang tegas dan jelas serta menghasilkan pita DNA polimorfik dipilih untuk mengamplifikasi DNA seluruh contohA. muelleri. Amplifikasi DNA dilakukan berdasarkan metode Williams et al. (1990) yang dimodifikasi. Selanjutnya PCR dilakukan pada total volume 15 ȝl. Primer yang digunakan pada penelitian selanjutnya adalah lima primer dari Operon Technology (Tabel 2). Masing-masing tabung PCR berisi 0.2 nM dNTPs; 1.5 ȝl bufer reaksi; 2mM MgCl2; 10 ng DNA ; 5 pmol primer tunggal; dan 1 unit Taq

DNA polymerase (Promega).

Reaksi PCR dengan menggunakan thermocycler (Takara) selama 45 siklus. PraPCR pada suhu 940C selama 5 menit, kemudian diikuti oleh 45 siklus yang terdiri atas denaturasi 1 menit pada suhu 940C, penempelan primer 1 menit pada suhu 360C, dan 2 menit pemanjangan pada suhu 720C. Setelah 45 siklus selesai, kemudian diikuti pascaPCR 4 menit pada suhu 720C dan pendinginan pada suhu 40C selama 30 menit. Hasil amplifikasi difraksinasi secara elektroforesis dengan menggunakan Mupid Mini Cell pada gel agarosa 2.0% dalam bufer TEA (Tris-EDTA) selama 60 menit pada 50 V. Kemudian direndam dalam larutan ethidium bromida dengan konsentrasi akhir 1ȝg ml-1 selama 10 menit. Hasil pemisahan fragmen DNA dideteksi dan difoto menggunakan gel documentation system. Sebagai standar digunakan 100 bp DNA ladder (Promega) untuk menetapkan ukuran pita hasil amplifikasi DNA. Analisis data

Setiap pita RAPD dianggap sebagai satu lokus putatif. Hanya lokus yang menunjukkan pita yang jelas yang digunakan untuk skoring: ada (1) dan kosong (0). Matriks binari fenotipe RAPD ini kemudian disusun untuk digunakan pada analisis kluster individu dengan menggunakan UPGMA (unweighted pair group with arithmeatic average) program NTSYS-pc (numerical taxonomy system) versi 2.0 (Rohlf, 1997). Nilai kesamaan genetika diambil dari Simple Matching Coefficient (Dunn dan Everitt, 1982), sedangkan nilai ketidaksamaan genetik merupakan pengurangan nilai dalam matrik kemiripan oleh nilai 1 (Dunn dan Everitt, 1982). Matrik jarak genetik antar populasi dihitung dengan menggunakan Nei's unbiased genetic distances (Nei, 1978)

dengan program POPGENE (Yeh et al., 1997).

Dendrogram populasi yang dihasilkan dari analisis dilihat menggunakan program TREEVIEW software (Page, 1996).

(7)

POERBA dan MARTANTI – Keragaman RAPD pada Amorphophallus muelleri 247

HASIL DAN PEMBAHASAN Profil RAPD

Hasil amplifikasi total genom DNA dengan menggunakan lima primer RAPD pada 50 sampel A. muelleri menghasilkan produk PCR yang dapat dibaca dan diskor, sehingga hasilnya dapat dianalisis. Hasil PCR dengan salah satu primer (OPB-17) dapat dilihat pada Gambar 1. Sekuens dari kelima primer ini dan jumlah marka RAPD yang dihasilkan tertera pada Tabel 2. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa diperoleh 42 fragmen DNA yang berukuran dari 300bp hingga 1.5 kb, dengan 29 fragmen DNA (69.05%) polimorfik dan hanya 13 fragmen DNA (30.95%) yang monomorfik. Hal ini menunjukkan marka RAPD yang digunakan memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi (>50% pita polimorfik). Kelima primer menghasilkan 6-11 pita DNA yang dapat dideteksi dan diskor. Jumlah maksimum pita polimorfik 9 terdapat pada primer OPD-04 (Tabel 2).

Tabel 2. Primer yang digunakan dan jumlah pita DNA hasil amplifikasi dan tingkat polimorfisme pada 50 aksesi Amorphophallus muelleri Blume

Primer Urutan basa 5’-3’ Pita polimorfik Pita mono-morfik Jumlah OPB-17 AGGGAACGAG 7 1 8 OPC-07 CACACTCCAG 5 3 8 OPD-04 TCTGGTGAGG 9 2 11 OPU-03 CTATGCCGAC 3 6 9 OPN-18E AAGGTGAGGTCA 5 1 6 Jumlah 29 (69.05%) 13 (30.95%) 42 (100%)

Jumlah dan intensitas pita DNA yang dihasilkan setelah amplifikasi DNA dengan PCR sangat tergantung bagaimana primer mengenal urutan DNA komplementernya pada cetakan DNA (DNA template) yang digunakan (Tingey et al., 1994). Hasil amplifikasi DNA A. muelleri menggunakan lima primer acak diatas tidak selalu memperoleh pita dengan intensitas yang sama. Intensitas pita DNA hasil amplifikasi pada setiap primer sangat dipengaruhi oleh kemurnian dan konsentrasi cetakan DNA. Cetakan DNA yang mengandung senyawa-senyawa seperti polisakarida dan senyawa fenolik, serta konsentrasi DNA cetakan yang terlalu kecil sering menghasilkan pita DNA amplifikasi yang redup atau tidak jelas (Weeden et al.,

1992). Sebaran situs penempelan primer pada cetakan DNA dan adanya kompetisi tempat penempelan primer pada cetakan DNA menyebabkan satu fragmen diamplifikasi dalam jumlah banyak dan fragmen lainnya sedikit. Proses amplifikasi mungkin saja diinisiasi pada beberapa tempat, namun hanya beberapa set yang dapat dideteksi sebagai pita sesudah diamplifikasi (Weeden et al., 1992). Pemilihan primer pada analisis RAPD berpengaruh terhadap polimorfisme pita yang dihasilkan, karena setiap primer memiliki situs penempelan tersendiri, akibatnya pita DNA polimorfik yang dihasilkan setiap primer menjadi berbeda, baik dalam ukuran banyaknya pasang basa maupun jumlah pita DNA.

Analisis kluster antar individu dan antar populasi

Analisis kluster kesamaan genetik pada 50 aksesi A. muelleri menunjukkan pemisahan aksesi ke dalam dua kluster utama, yaitu (A) koefisien kesamaan 0.86 dan (B) koefisien kesamaan 0.83. Kluster A terdiri atas dua subkluster yaitu subkluster yang terdiri atas H (aksesi no 9 dan 10 masing-masing dari populasi Silo dan Saradan) dan subkluster lain yang terdiri atas beberapa kelompok kecil yang sebagian besar mengelompok mayoritas berdasarkan populasinya (D, E, F dan G), dan mengelompok secara acak (C). Kluster B terdiri atas dua subkluster, yaitu I dan J. Subkluster I terbagi lagi menjadi dua kelompok kecil yang terdiri L (populasi Cilacap) dan K yang mengelompok lagi berdasarkan populasinya (N, populasi IPB) dan mengelompok secara acak (M). Subkluster J terbagi atas aksesi nomor 29 (Panti) dan O yang mengelompok berdasarkan populasinya (R, populasi Probolinggo) dan mengelompok secara acak (P dan Q).

Amorphophallus muelleri merupakan jenis triploid, apomiksis, dan diperbanyak secara vegetatif. Nampaknya, apomiksis memegang peranan penting pada jenis tanaman ini. Analisis kluster kesamaan genetik pada 50 aksesi A. muelleri menunjukkan pemisahan aksesi ke dalam dua kluster utama yang sebagian mengelompok berdasarkan populasinya dan sebagian lainnya mengelompok secara acak (Gambar 2). Fenomena yang menarik dari hasil analisis kluster ini adalah mengelompoknya individu dari populasi yang berlainan ke dalam satu kluster. Hal ini mengindikasikan adanya keragaman genetik pada A. muelleri yang mungkin disebabkan adanya rekombinasi genetik. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa biji A. muelleri yang bersifat apomiktik bukan merupakan obligat apomiktik.

Gambar 1. Hasil PCR 50 sampel Amorphophallus muelleri Blume dengan primer OPB-17. Keterangan: M = DNA marker (100 bp ladder Promega); Aksesi:1-9 = Silo, 10-19 = Saradan, 20-28 = IPB, 29-35 = Panti, 36-43 = Probolinggo, 44-50 = Cilacap. = pita monomorfik,

(8)

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 245-249

248

Gambar 2. Dendrogram 50 aksesi Amorphophallus muelleri Blume. Keterangan: Aksesi: 1-9 = Silo, 10-19 = Saradan, 20-28 = IPB, 29-35 = Panti, 36-43 = Probolinggo, 44-50 = Cilacap.

Nilai ketidaksamaan genetik (Dunn and Everitt, 1982) untuk ke-50 aksesi berkisar dari 0.02 hingga 0.36 dengan yang tertinggi (0.36) terdapat antara aksesi 16 (Saradan) dan 21 (IPB) dan paling rendah 0.02 antara aksesi 20 dan 26 (keduanya termasuk dalam populasi IPB). Hal ini menunjukkan adanya keragaman genetik antar individu dan antar populasi. Pendugaan pertama adalah lokus polimorfik yang digunakan dalam analisis ini sudah dipilih yang memiliki polimorfisme yang tinggi.

Keragaman genetik antar aksesi pada tiap populasi bervariasi (Tabel 3). Populasi Saradan memiliki nilai na, ne, dan He tertinggi dibandingkan dengan populasi lainnya yaitu

na = 1.500+0.5061, ne = 1.3174+0.3841, PLP = 50% dan He = 0, 0.1832+0.2054. Populasi Silo menunjukkan nilai

keragaman genetik yang paling rendah dengan nilai rata-rata na = 1.2619+0.4450, ne = 1.1890+0.3507, PLP = 26.19% dan He = 0.1048+0.1887.

Hubungan kekerabatan genetik antar populasi dianalisis dengan jarak genetik Nei (1978) dengan metode UPGMA

(Gambar 4). Secara umum, populasi A. muelleri

membentuk dua kelompok utama. Kelompok pertama, terdiri atas populasi 1 (Silo) dan 2 (Saradan) mengelompok

menjadi satu yang menunjukkan kesamaan properti genetik. Kelompok lainnya, dua populasi yaitu populasi 5 (Probolinggo) dan 6 (Cilacap) mengelompok menjadi satu, sedangkan populasi 4 (Panti) dan populasi 3 (IPB) berdiri sendiri-sendiri.

Gambar 3. Dendrogram enam populasi Amoprhophallus muelleri Blume berdasarkan jarak genetic Nei(1978). Populasi: (1) = Silo, 2 = Saradan 3 = IPB, 4 = Panti-Jember, 5 = Probolinggo dan 6 = Cilacap.

Nilai pasangan jarak genetik (Nei, 1978) di antara populasi yang diuji tertera pada Tabel 4. Jarak genetik tertinggi terdapat antara populasi Silo dengan populasi IPB (0.3593), dan yang terkecil terdapat antara populasi Probolinggo dan Cilacap (0.0255).

Tabel 4. Nilai jarak genetik (Nei, 1978) pada enam populasi Amorphophallus muelleri Blume

Populasi 1 2 3 4 5 6 1 **** 2 0.0862 **** 3 0.3593 0.1736 **** 4 0.2849 0.1408 0.1086 **** 5 0.2958 0.1225 0.1184 0.0283 **** 6 0.2777 0.1084 0.0849 0.0491 0.0255 **** Keterangan: Populasi 1=Silo, 2 = Saradan 3 = IPB, 4 = Panti, 5 = Probolinggo dan 6 = Cilacap.

Populasi Saradan memiliki nilai keragaman genetik tertinggi 0.1832+0.2054 (Tabel 3) dibandingkan populasi lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah Saradan merupakan salah satu pusat keragaman A. muelleri di Jawa. Analisis lebih mendalam diperlukan dengan menggunakan aksesi dari populasi lain dan primer yang lebih banyak untuk membuktikan hasil ini. Walaupun tanaman ini merupakan triploid apomiksis, nampak adanya fakultatif apomiksis dalam jenis ini yang memelihara

keragaman genetik melalui reproduksi seksual, yang memungkinkan genotipe baru berkembang dalam kondisi lingkungan yang baru. Keragaman genetik

pada A. muelleri lebih rendah

dibandingkan dengan A. titanum

(tumbuhan yang menyerbuk silang) yang berkisar antara 0,14-0,59 (Poerba dan Yuzammi, 2008). Populasi Panti merupakan populasi yang memiliki keragaman genetik yang paling rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi mungkin berasal dari induk yang terbatas atau sama.

Koefisien kesamaan genetik

Tabel 3. Keragaman genetik enam populasi Amorphophallus muelleri Blume

Populasi Ukuran sampel na Ne Persentase lokus polimorfik He*) Silo 9 1.2619+0.4450 1.1890+0.3507 26.19 % 0.1048+0.1887 Saradan 10 1.500+0.5061 1.3174+0.3841 50.0% 0.1832+0.2054 IPB 9 1.3095+0.4679 1.2048+0.3663 30.95% 0.1130+0.1927 Panti 7 1.3095+0.4679 1.1708+0.3076 30.95% 0.1019+0.1727 Probolinggo 8 1.4524+0.5038 0.1270+0.3090 45.24% 0.1270+0.1728 Cilacap 7 1.4286+0.5009 1.2336+0.3387 42.86% 0.1404+0.1858 Keterangan: * na = jumlah alel yang diamati, * ne = Jumlah alel yang efektif (Kimura dan Crow, 1964), * He = Heterozigitas harapan = keragaman gen (Nei, 1978)

POP 2 POP 1 POP 3 POP 4 POP 5 POP 6

(9)

POERBA dan MARTANTI – Keragaman RAPD pada Amorphophallus muelleri 249 Nilai jarak genetik di antara populasi berkisar dari

0.0255-0.3593. Jarak genetik tertinggi terdapat antara populasi Silo dengan populasi IPB (0.3593). Hal ini menunjukkan bahwa kecil kemungkinan populasi IPB berasal dari Silo. Jarak genetik terdekat terdapat antara populasi Probolinggo dan Cilacap (0.0255) yang menunjukkan bahwa populasi Probolinggo dan Cilacap berkerabat dekat, kemungkinan kedua populasi berasal dari sumber yang sama. Upaya konservasi dan pembudidayan dan pemuliaan A. muelleri hendaknya didasarkan atas kondisi properti genetika setiap populasi dan individu dalam setiap populasi, khususnya populasi Saradan yang memiliki keragaman genetik tertinggi perlu mendapat perhatian dalam pelestariannya.

KESIMPULAN

Hasil pengamatan genetik A. muelleri dengan menggunakan lima primer RAPD menunjukkan bahwa 50 aksesi yang digunakan dalam penelitian memiliki 42 fragmen DNA yang berukuran dari 300bp hingga 1.5kb. Dari 42 fragmen DNA, 29 fragmen (69.05%) diantaranya polimorfik, dengan indeks marka tertinggi terdapat pada primer OPD-04. Ke-50 aksesi memiliki ketidaksamaan genetik antara 0.02-0.36. Analisis kluster kesamaan genetik pada 50 aksesi A. mulleri menunjukkan pemisahan aksesi ke dalam dua kluster utama, sebagian mengelompok berdasarkan populasinya dan sebagian lainnya mengelompok secara acak. Populasi Saradan memiliki nilai keragaman genetik tertinggi 0.1832+0.2054 dibandingkan populasi lainnya, sedangkan populasi Panti merupakan populasi yang memiliki keragaman genetik yang paling rendah 0.1019+0.1727. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya keragaman genetik pada A. muelleri, walaupun lebih rendah apabila dibandingkan dengan A. titanum. Untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap mengenai keragaman genetik A. muelleri sebaiknya penelitian dilanjutkan dengan menggunakan primer yang lebih banyak dan/atau dengan menggunakan primer yang lain dengan jumlah populasi serta jumlah individu dalam populasi lebih banyak.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini dibiayai oleh Proyek Kompetitif Domestikasi Flora dan Fauna Indonesia, LIPI Tahun 2006 dan 2007.

DAFTAR PUSTAKA

Delaporta, S.L., J. Wood, and J.B. Hicks. 1983. A plant DNA minipreparation. Version II. Plant Molecular Biology Reporter 4: 19-21.

Dunn, G. dan B.S. Everitt. 1982. An Introduction to Mathematical Taxonomy. Cambridge: Cambridge University Press.

Irwin, S.V., P. Kaufusi, L. Banks, R. de la Pena, and J.J. Cho. 1998. Molecular characterization of taro (Colocasia esculenta) using RAPD markers. Euphytica 99 (3): 183-189.

Ishida G. 2002. Karyomorphological observations on some Aroids cultivated in the Hiroshima Botanical Garden II. Amorphophallus.Bulletin of the

Hiroshima Botanocal Garden 21:7-30.

Jansen, P.C.M., C. van der Wilk, and W.L.A. Hetterscheid. 1996. Amorphophallus Blume ex Decaisne. In: Flach M dan F. Rumawas (eds.).Plant Resource of South East Asia, No 9, Plant Yielding

non-Seed Carbohydrates. Bogor: Prosea.

Jiménez, J.F., P. Sánchez-Gómez, J. Güemes, O. Werner, and J.A. Rosselló. 2002. Genetic variability in a narrow endemic snapdragon (Antirrhinum subbaeticum, Scrophulariaceae) using RAPD markers.

Heredity 89 (5): 387-393.

Jones, C.J., K.J. Edwards, S. Castagiole, M.O. Winfield, F. Sala, C. van del Wiel, G. Bredemeijer, B. Vosman, M. Matthes, A. Daly, R. Brettsshneider, P. Bettini, M, Buiatti, E. Maestri, A. Malcevschi, N. Marmiroli, R. Aert, G. Volckaert, J. Rueda, R. Linacero, A. Vasquez and A. Karp. 1997. A reproducibility testing of RAPD, AFLP and SSR markers in plants by a network of European laboratories. Molecular Breeding 3 (5): 382-390.

Nei, M. 1978. Estimation of average heterozygosity and genetic distance from a small numbers of individuals. Genetics 89: 583-590.

Nowbuth, P., G. Khittoo, T. Bahorun, and S. Venkatasamy. 2005. Assessing genetic diversity of some Anthurium andraeanum Hort. cut-flower cultivars using RAPD markers. African Journal of Biotechnology 4 (10): 1189-1194.

Page, RDM. 1996. TREEVIEW: An application to display phylogenetic trees on personal computers.Computer Applications in the Biosciences12: 357-358.

Poerba, Y.S. dan Yuzammi. 2008. Pendugaan keragaman genetik

Amorphophallus titanumBecc. berdasarkan marka Random Amplified DNA. Biodiversitas 9 (2): 103-107.

Prana, T.K. dan N.S. Hartati. 2003. Identifikasi sidik jari DNA talas (Colocasia esculenta L. Schott) Indonesia dengan teknik (RAPD): Skrining primer dan optimalisasi kondisi PCR. Jurnal Natur Indonesia 5 (2): 107-112.

Rohlf, F.J. 1997. NTSYS-pc. Numerical taxonomy and multivariate analysis. Version 2.0. New York: Exeter Software.

Suara Merdeka 22/11/2001. Tanaman Iles-iles Bernilai Ekspor Tinggi.

Sumarwoto. 2004. Beberapa Aspek Agronomi Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume). [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tingey, S.V., J.A. Rafalski, and M.K. Hanafey. 1994. Genetic analysis with RAPD markers. In: Coruzzi, C. and P. Puidormenech (eds.). Plant Molecular Biology. Belin: Springer-Verlag.

Weeden, N.F., G.M. Timmerman, M. Hemmat, B.E. Kneen, and M.A. Lodhi. 1992. Inheritance and reliability of RAPD markers. In: Applications of

RAPD Technology to Plant Breeding. Joint Plant Breeding Symposia

Series, November 1, 1992, Minneapolis, MN. Crop Science Society of America, Madison, WI.

Widjaja, E.A. dan Y.S. Poerba. 2004. Pengumpulan data plasma nutfah dan genetika. Dalam: Rugayah, EA Widjaya dan Praptiwi (ed.). Pedoman

Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora. Bogor: Pusat Penelitian

Biologi, LIPI.

Williams, J.G., A.R. Kubelik, K.J. Livak, J.A. Rafalsky, and S.V. Tingev. 1990. DNA plolymorphism amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acid Research 18 (22): 6531-6535.

Yeh, F.C., Y. Rongcai and T. Boyle. 1997. POPGENE version 1.2: Microsoft Window-based Software for Population Genetic Analysis. A Quick User’s Guide. Alberta: University of Alberta and CIFOR.

(10)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X

Volume 9, Nomor 4 Oktober 2008

Pages: 250-254

jAlamat korespondensi:

Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Tel. +62-251-8624065, Fax. +62-251-8626886, email:siregar@ipb.ac.id, izsiregar@yahoo.com

Implikasi Genetik Metode Pembiakan Tanaman

Shorea johorensis

Foxw pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)

Genetic implication of

Shorea johorensis

Foxw propagation methods in selective

cutting and line planting silvicultural system

ISKANDAR ZULKARNAEN SIREGARj, TEDI YUNANTO, PRIJANTO PAMOENGKAS Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Kampus Darmaga, Bogor 16680.

Diterima: 13 Agustus 2008. Disetujui: 3 September 2008.

ABSTRACT

Attempt to rehabilitate degraded natural forests in Indonesia is recently carried out by applying selective cutting and line planting (TPTJ) silvicultural system. One of the most important aspects of TPTJ silvicultural system is the procurement methods of large number of planting stocks.Shorea johorensis Foxw was investigated in this regards as one of promising Shorea species for rehabilitating degraded forests due to its fast growing character. The species is usually propagated by three different propagation techniques, namely up-rooted seedlings, seeds and cuttings. Genetic consequences due to different propagation methods in this species are poorly known and need to be studied in order to determine genetic variation and differentiation. Material from five origins (populations), namely: (i) up-rooted seedlings, (ii) seeds, (iii) cuttings, (iv) young plantation and (v) natural forest were randomly taken in the field and subsequently assessed by RAPD using three previously tested random primers of OPO-11, OPO-13 and OPO-16. Results showed that natural tree populations showed the highest levels of genetic variation with mean values na = 1.2593, ne = 1.2070, PLP = 25.93% and He = 0.1109. Cutting populations showed the

lowest levels of genetic variation with mean values na = 1.1111, ne = 1.0773, PLP = 11.11% and He = 0.0445. Meanwhile, according to the

propagation techniques, up-rooted seedling population revealed the highest levels of genetic variation with mean values na = 1.2222, ne = 1.1613, PLP = 22.22% and He = 0.0886. Particular methods of plant propagation in this company, especially cutting method, reduced

significant genetic variation of S. johorensis.

© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Key words: Shorea johorensis Foxw, RAPD, genetic variation, silvicultural system.

PENDAHULUAN

Selama tiga dasawarsa terakhir sejak dimulainya pemanfaatan dan pengusahaan hutan secara komersial dalam skala besar pada tahun 1970-an, sektor kehutanan telah menjadi salah satu pilar utama pembangunan ekonomi nasional yang memberikan dampak positif; namun di sisi lain, pada dasawarsa terakhir, hutan di Indonesia juga menghadapi tekanan yang sangat berat sebagaimana ditunjukkan oleh adanya perubahan penutupan vegetasinya. Menurut Poernama (2004) areal yang perlu direhabilitasi baik yang ada di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan adalah 46,3 juta ha. Pembalakan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu cenderung terus meningkat terutama jenis meranti (Shorea spp.), namun kurang diimbangi dengan rehabilitasi lahan, sehingga menjadi salah satu penyebab tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia.

Untuk menanggulangi kerusakan hutan, perlu dilakukan rehabilitasi. Salah satu upaya rehabilitasi adalah dengan penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Sistem ini dipandang berhasil dalam pengelolaan hutan karena tidak memberikan dampak buruk terhadap

lingkungan (tanah dan biodiversitas) (Pamoengkas, 2006). Hal ini didukung oleh penelitian-penelitian yang berhubungan dengan dampak penerapan sistem silvikultur TPTJ ini, tetapi dampak baik atau buruk penerapan sistem silvikultur TPTJ dari sudut pandang genetik belum banyak diteliti.

Terdapat tiga jenis utama meranti yang dikembangkan oleh beberapa perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) di Indonesia saat ini, yaitu S. leprosula, S. parvifolia dan S. johorensis. Ketiganya secara umum diperbanyak dengan tiga metode perkembangbiakkan, yaitu dari biji, stek dan cabutan. Secara teoritis perbedaan teknik perkembangbiakan akan menyebabkan perbedaan struktur genetik. Mengingat daur hidup pohon hutan lebih lama dibandingkan tanaman pertanian, maka dari sudut pandang genetik, teknik pengadaan bibit memegang peranan penting pada sistem silvikultur TPTJ. Dampak ketidaktepatan pemilihan metode perbanyakan bibit untuk hutan tanaman tidak dapat diketahui secara langsung, tetapi baru diketahui beberapa tahun setelah penanaman (Finkeldey, 2005). Untuk menghindari resiko penanaman bibit dari variasi genetik yang sempit, maka informasi mengenai pengaruh teknik perkembangbiakkan bibit terhadap struktur genetik menjadi penting bagi pengelolaan hutan.

Salah satu metode yang digunakan untuk penelusuran sifat tanaman dari segi genotipe adalah teknik analisis Deoxyribose Nucleic Acid (DNA), misalnya Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Teknik RAPD

(11)

SIREGAR dkk. – Variasi genetik pada Shorea johorensis 251 merupakan teknik analisis DNA yang sederhana dan

mudah diaplikasikan dibandingkan dengan teknik analisis DNA lainnya. Teknik ini merupakan modifikasi dari Polymerase Chain Reactions (PCR) yang dikembangkan oleh Williams et al. (1990).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode perkembangbiakkan tanaman terhadap variasi genetik S. johorensis dengan membandingkan variasi genetik antara metode biji, stek, cabutan, hasil tanaman dan pohon di hutan alam.

BAHAN DAN METODE Tempat penelitian

Pengambilan sampel daun Shorea johorensis Foxw dari biji, stek, cabutan, hasil tanaman dan pohon di hutan alam, masing-masing dengan jumlah sampel minimum 6 individu berbeda secara acak, dilakukan di PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah pada 111o18’-114o42’ BT dan 01o 59’-00o36’ LU. Penelitian elektroforesis dan analisis DNA dilakukan di Bagian Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah daun S. johorensis dari biji, stek, cabutan, hasil tanaman dan pohon di hutan alam. Bahan-bahan yang digunakan untuk proses ekstraksi DNA dan RAPD adalah silika gel, nitrogen cair, bahan-bahan kimia seperti Tris-HCl, EDTA, NaCl, CTAB 10%, etanol, propanol, kloroform, fenol, HotStarTaq Master Mix (Qiagen), primer (Operon Technology) dan DNA, sedangkan untuk proses uji kualitas DNA hasil ekstraksi dan RAPD dilakukan proses elektroforesis dengan gel agarose dan ethidium bromide (EtBr) untuk proses pewarnaan.

Alat-alat yang digunakan untuk ekstraksi DNA, RAPD dan analisis data di laboratorium meliputi mortar dan pestel, sarung tangan, pipet, pipet mikro, tips, mesin sentrifugasi, tube 2 mL dan mikrotube 0,2 mL, vortex, cetakan gel, bak elektroforesis, microwave, power supply, pH meter, gelas piala, gelas ukur, timbangan analitik, pengaduk magnet, desikator, freezer, water bath, ultraviolet transilluminator, kamera digital, mesin PCR dan komputer.

Ekstraksi DNA

Kegiatan ekstraksi dan isolasi DNA dari daun dilakukan menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) yang telah dimodifikasi untuk mendapatkan DNA yang cukup murni. Sampel daun (2x2 cm2) digerus menggunakan nitrogen cair di dalam pestel bersih, lalu dipindahkan ke dalam tube 1,5 mL dan ditambahkan 500-700 uL larutan buffer ekstrak dan 100 uL PVP 2%, kemudian hasil gerusan divortex agar menjadi homogen, selanjutnya diinkubasi dalam waterbath selama 45-60 menit pada suhu 65oC.

Untuk mengikat DNA ditambahkan kloroform 500 uL dan fenol 10 uL, lalu dikocok hingga homogen. Sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan fase air dan fase bahan organik (supernatan) pada kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Supernatan diambil dan dipindahkan ke dalam tube baru, ditambahkan isopropanol dingin 500 uL dan NaCl 300 uL, kemudian dikocok. Campuran supernatan dengan isopropanol dingin dan NaCl disimpan dalam freezer selama 45-60 menit untuk mendapatkan pelet DNA.

Kegiatan selanjutnya adalah proses pencucian DNA dengan menambahkan etanol 100% sebanyak 300 uL, lalu disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Cairan etanol dibuang dengan hati-hati agar pelet DNA tidak ikut terbuang, kemudian pelet DNA disimpan di dalam desikator selama ± 15 menit, selanjutnya ditambahkan larutan buffer TE 20 uL, setelah itu divortek dan disentrifugasi kembali.

Seleksi primer

Primer adalah rantai pendek DNA yang dihasilkan secara buatan biasanya terdiri antara 10-25 nukleotida (Finkeldey, 2005). Primer berfungsi sebagai titik pemula terjadinya reaksi. Segmen DNA di antara kedua titik pertemuan primer akan diamplifikasi dalam reaksi PCR. Dalam teknik RAPD, umumnya primer yang digunakan berupa oligonukleotida yang memiliki panjang sebesar 10-mer yang dipilih secara acak dan minimum memiliki lima basa G dan C. Primer yang mempunyai panjang kurang dari 9-mer dapat digunakan, tetapi akan menghasilkan produk amplifikasi yang lebih sedikit dan diperlukan metode pewarnaan yang lebih sensitif untuk mendeteksinya.

Seleksi primer dimaksudkan untuk mencari primer acak yang menghasilkan penanda polimorfik, karena tidak semua primer nukleotida dapat menghasilkan produk amplifikasi (primer positif) dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen DNA polimorfik. Pada penelitian ini dilakukan survei terhadap 35 primer, yaitu primer dari golongan OPO dan OPY yang diproduksi oleh Operon Technology. Primer dari golongan OPO yaitu dengan memiliki kode primer O.1, O.2, O.4, O.5, O.6, O.7, O.8, O.9, O.10, O.11, O.12, O.13, O.14, O.15, O.16, O.18, O.19, dan O.20. Primer dari golongan OPY memiliki kode primer Y.1, Y.2, Y.3, Y.4, Y.5, Y.6, Y.8, Y.9, Y.11, Y.12, Y.13, Y.14, Y.15, Y.16, Y.17, Y.18, dan Y.20, dari hasil seleksi hanya dipilih 3 primer yaitu O.11, O13 dan O.16. Urutan nukleotida dari masing-masing primer adalah OPO.11 (5'-GACAGGAGGT-3'), OPO.13 (5’-GTCAGAGTCC-3’), dan OPO.16 (5’-TCGGCGGTTC-3’). Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

Menurut Bernard (1998) PCR merupakan suatu teknik untuk memperbanyak potongan DNA spesifik. Ada 4 komponen utama yang dibutuhkan untuk melakukan proses PCR yaitu (i) DNA target, (ii) Primer, (iii) DNA polymerase, dan (iv) 4 dNTP. Prinsip proses PCR adalah suatu siklus berjangka pendek (30-60 detik) dengan tiga perubahan suhu yang berubah secara cepat. Teknik RAPD tidak membutuhkan informasi awal tentang urutan basa suatu jenis, yang diperlukan adalah DNA yang relatif murni dan dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan RFLP. RAPD dapat diterapkan pada hampir semua jenis tanaman (Rimbawanto et al., 2001). Jumlah DNA yang diperlukan dalam proses PCR-RAPD sangat sedikit yaitu sekitar 1 µL atau” 10 ng/µL (Promega, 2003).

Reaksi PCR-RAPD dilakukan menggunakan 13 uL volume larutan yang terdiri dari H2O 2 uL, primer 1,5 uL,

HotStarTaq Master Mix 7,5 uL dan 2 uL genomik DNA. Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan mesin PTC-100 Progammable Thermal Cycler (MJ Research, Massachussetts, USA). Proses RAPD dilakukan menggunakan primer hasil dari seleksi. Pengaturan suhu pada mesin PTC-100 untuk reaksi PCR didasarkan atas penelitian Ratih et al. (1998) yang dimodifikasi (Tabel 1).

(12)

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 250-254

252

Tabel 1. Tahapan-tahapan dalam proses RAPD.

Tahapan Suhu Waktu Jumlah siklus

Pre-denaturation 950C 15 menit 1 Denaturation Annealing Extension 950C 370C 720C 1 menit 2 menit 2 menit 45 Final extension 720C 10 menit 1 Uji kuantitas dan kualitas DNA

Karakteristik pita DNA hasil ekstraksi dan RAPD dapat diamati dengan melakukan elektroforesis menggunakan gel agarose dalam larutan buffer 1x TAE. Karakteristik pita DNA hasil ekstraksi dapat diamati dengan gel agarose konsentrasi sebesar 1% (b/v), sedangkan hasil RAPD dianalisis dengan melakukan elektroforesis menggunakan 2,0 % (b/v) gel agarose.

Analisis data

Hasil RAPD yang telah dielektroforesis selanjutnya difoto dan dianalisis dengan melakukan scoring pola pita yang muncul. Pola pita yang muncul (positif) diberi nilai 1 dan pola pita yang tidak muncul (negatif) diberi nilai 0. Hasil scoring kemudian dianalisis untuk mengetahui frekuensi dan keragaman dalam dan antar populasi S. johorensis menggunakan software POPGENE Versi 1.2 (Yeh et al., 1997). Pendugaan hubungan kekerabatan dilakukan berdasarkan jumlah pita polimorfik yang dimiliki bersama, sedangkan pengelompokan kerabat berdasarkan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic mean) dengan software NTSYS Versi 2.0 (Rohlf, 1998).

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis RAPD

Jumlah fragmen DNA hasil amplifikasi 3 primer (OPO-11, OPO-13, dan OPO-16) berkisar antara 1-10 pita tergantung pada jenis primer yang digunakan dan DNA yang dianalisis.Untuk primer OPO-11 dan OPO-13 ukuran fragmen yang didapatkan berkisar antara 400-2500 bp, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1 (biji, stek, tanaman dan alam).

Variasi genetik

Variasi genetik dalam populasi

Data keragaman genetik S. johorensis di dalam populasi ditunjukkan oleh nilai parameter keragaman genetik seperti disajikan pada Tabel 2. Parameter keragaman genetik yang

diukur adalah jumlah alel yang diamati (na), jumlah alel yang efektif (ne), jumlah lokus polimorfik, persentase lokus polimorfik (PLP), dan heterozigitas harapan (He).

Tabel 2. Pengukuran variasi genetik dalam populasi.

Populasi Jumlah Na Ne PLP He Biji 6 1,1852 1,1281 18,52% 0,0710 Stek 6 1,1111 1,0773 11,11% 0,0445 Cabutan 6 1,2222 1,1613 22,22% 0,0886 Tanaman 6 1,2593 1,1609 25,93% 0,0896 Alam 6 1,2593 1,2070 25,93% 0,1109 Keterangan: na: Jumlah alel yang diamati; ne: Jumlah alel yang efektif; He: Heterozigitas harapan = keragaman gen (Nei, 1973);

PLP: Persentase Lokus Polimorfik.

Pada Tabel 2 terlihat bahwa populasi alam memiliki nilai rata-ratana = 1,2593, ne = 1,2070, PLP = 25,93% dan He =

0,1109, nilai ini merupakan nilai yang paling besar di antara 4 populasi yang lainnya, sedangkan populasi stek memiliki nilai rata-rata na, ne, PLP dan Heyang paling kecil (na =

1,1111, ne = 1,0773, PLP = 11,11% dan He = 0,0445)

dibandingkan dengan nilai rata-rata 4 populasi lainnya. Dilihat dari teknik perkembangbiakkannya, populasi cabutan memiliki nilai rata-rata na, ne, PLP dan He lebih

besar (na = 1,2222, ne = 1,1613, PLP = 22,22%, He =

0,0886) dari populasi biji (na = 1,1852, ne = 1,1281, PLP = 18,52%, He = 0,0710) dan populasi stek (na = 1,1111, ne =

1,0773, PLP = 11,11%, He = 0,0445).

Berdasarkan parameter keragaman genetik pada Tabel 2, dapat dikatakan populasi alam memiliki keragaman genetik (He) paling tinggi, tetapi nilai keragaman genetik

tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan jenis Shorea sp. lainnya (Tabel 3). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kerapatan populasi yang rendah. Kerapatan populasi yang rendah menyebabkan suatu jenis kurang bervariasi.

Populasi alam memiliki keragaman genetik paling tinggi di antara 4 populasi lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya dinamika struktur genetik akibat seleksi viabilitas, ukuran populasi, dan lain-lain. Menurut Alvarez-Buylla (1996) struktur genetik setiap siklus tanaman dari benih sampai dewasa berbeda-beda. Nilai heterozigositas meningkat seiring dengan perkembangan tanaman.

Populasi biji dan cabutan memiliki keragaman genetik lebih tinggi dibandingkan dengan stek, karena biji dan cabutan merupakan hasil perkembangbiakan secara seksual. Menurut Finkeldey (2005) reproduksi seksual menghasilkan sejumlah keturunan yang secara genetik berbeda pada kebanyakan pohon hutan. Populasi stek

Gambar 1. Hasil proses RAPD dengan primer OPO-11 (A) dan OPO-13 (B) pada S. johorensis yang didapat dari populasi biji, stek, tanaman dan hutan alam (data dari cabutan tidak ditunjukkan).

2642 bp 1000 bp 500 bp 100 bp M M 2642 bp 500 bp 100 bp 1000 bp

biji stek tanaman alam biji stek tanaman alam

(13)

SIREGAR dkk. – Variasi genetik pada Shorea johorensis 253

Tabel 3. Variasi genetik famili Dipterocarpaceae.

Jenis Metode He Sumber

S. leprosula Isozim 0,369 Lee et al., 2000 S. cordifolia Mikrosatelit 0,723 Stacy et al., 2001 S. curtisii Mikrosatelit 0,639 Ujino et al., 1998 S. leprosula Mikrosatelit 0,622 Lee et al., 2004 S. leprosula Mikrosatelit 0,686 Isoda et al., 2001 S. leprosula AFLP 0,161 Siregar et al., 2005 S. parvifolia AFLP 0,138 Siregar et al., 2005 Keterangan: AFLP: Amplified Fragment Lenght Polymorphism.

merupakan populasi yang memiliki keragaman genetik paling rendah. Menurut Suryo (1986) stek merupakan hasil dari perkembangbiakan secara aseksual yang umumnya secara genetik lebih seragam. Metode pembiakan vegetatif dapat menghasilkan sejumlah ramet dari genotipe tertentu saja yang akhirnya dapat mempengaruhi tingkat keragaman genetik.

Variasi genetik cabutan hidup di alam lebih besar dibandingkan dengan variasi genetik biji, hal ini disebabkan antara lain oleh seleksi kemampuan hidup (viabilitas), jumlah individu yang banyak dari multigenerasi, sehingga seleksi viabilitas dalam merespon perubahan kondisi lingkungan lebih intensif dibandingkan dengan biji yang dikembangkan di persemaian.

Variasi genetik antar populasi

Berdasarkan analisis gerombol dan nilai jarak genetik (Tabel 4) menggunakan metode pemasangan kelompok aritmatika tidak berbobot (Unweighted Pair-Grouping Method with Aritmatic Averaging, UPGMA) dihasilkan dendrogram jarak genetik antar populasi seperti terlihat pada Gambar 2. Populasi biji dan stek membentuk kelompok (klaster) pertama, setelah itu populasi cabutan bergabung dengan kelompok pertama. Populasi alam membentuk kelompok ketiga dengan populasi tanaman. Akhirnya kelompok kedua dengan kelompok ketiga menyatu membentuk kelompok yang lebih besar.

Tabel 4. Jarak genetik antar populasi S. johorensis.

Populasi Biji Cabutan Stek Tanaman Alam

Biji ****

Cabutan 0,1382 ****

Stek 0,0590 0,2011 **** Tanaman 0,3573 0,2779 0,2974 ****

Alam 0,2382 0,2016 0,1693 0,1243 ****

Gambar 2. Dendrogram jarak genetik antar populasi S. johorensis.

Berdasarkan Tabel 4 hasil analisis gerombol menunjukkan bahwa jarak genetik terdekat adalah antara populasi stek dengan biji yaitu 0,0590. Hal ini menunjukkan populasi stek dikembangbiakkan dari populasi biji. Populasi stek dikembangbiakkan dari biji karena stek harus dikembangbiakkan dari induk yang memiliki fisiologis yang masih muda. Cabutan di alam walaupun memiliki tinggi yang sama dengan bibit yang dikembangbiakkan dari biji, tetapi umurnya bisa mencapai 1-2 tahun. Dilihat dari teknik perkembangbiakkan populasi tanaman memiliki jarak genetik terdekat dengan populasi cabutan yaitu 0,2779. Hal ini sesuai dengan data penanaman dari PT. Sari Bumi Kusuma yang menyebutkan bahwa penanaman berasal dari cabutan sebanyak 70% dari total bibit yang ditanam setiap tahunnya pada saat musim tak berbuah (Suparna, 2004). Tidak menentunya musim berbunga dan berbuah pada famili Dipterocarpaceae menyebabkan perlunya pengembangan teknik perkembangbiakkan vegetatif (Smits, 1993).

Implikasi genetik pada S. johorensis

Kegiatan tebang pilih dalam penerapan sistem silvikultur dapat menyebabkan ukuran populasi menjadi kecil dan jarak antar individu menjadi semakin jauh, sehingga aliran gen dan migrasi rendah serta penghanyutan genetik tinggi. Kegiatan tebang pilih yang sudah dilakukan selama kurang lebih 25 tahun menyebabkan ukuran populasi menjadi semakin kecil. Resiko hilangnya variasi genetik akibat penghanyutan akan meningkat pada populasi berukuran kecil (Finkeldey, 2005).

Ada dua aspek penting yang dipertimbangkan dalam pemilihan jenis untuk pembangunan hutan tanaman yaitu ekonomi dan ekologi. Dari segi ekonomi pembangunan hutan tanaman didasarkan atas sifat fenotipe yang ”unggul” sesuai dengan tujuan penanaman, bersifat lestari, efisien, bersifat multifungsi dan untuk kegiatan persilangan. Dari segi ekologi aspek yang sangat penting dari pengelolaan hutan tanaman adalah tingginya kemampuan adaptabilitas tanaman terhadap kondisi lingkungan yang heterogen baik pada tingkat jenis maupun populasi.

Pengelolan hutan dilakukan untuk jangka waktu yang panjang. Menurut Namkoong et al. (1996) salah satu indikator genetik dalam praktek manajemen hutan yang lestari adalah besarnya variasi genetik. Variasi genetik yang besar sangat mempengaruhi kemampuan suatu jenis untuk beradaptasi. Jenis dengan variasi genetik yang sempit akan rentan terhadap kondisi lingkungan yang heterogen. Sempitnya variasi genetik menyebabkan tanaman mudah terserang hama dan penyakit.

Salah satu aspek penting dalam pengelolaan hutan tanaman adalah metode pengadaan bibit. Dalam pengelolaan dan pembangunan hutan tanaman dibutuhkan jumlah bibit yang banyak. Salah satu cara pengadaan bibit dalam jumlah banyak dan cepat adalah menggunakan teknik perkembangbiakan secara vegetatif, misalnya stek. Teknik perkembangbiakan vegetatif cenderung memiliki keragaman genetik yang rendah dan tergantung jumlah pohon induk ataupun bibit yang digunakan sebagai sumber bahan vegetatif. Pemilihan bahan reproduktif untuk bahan penanaman harus berasal dari bibit yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tapak yang akan ditanami. Hal ini bertujuan agar pohon-pohon mampu hidup dalam jumlah cukup sampai akhir daur. Pemilihan bahan reproduktif yang tidak sesuai tidak dapat diperbaiki dengan segera karena baru terlihat jelas setelah beberapa tahun sehingga mengancam keberhasilan penanaman.

(14)

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 250-254

254

Berdasarkan hasil penelitian ekploratif ini, bibit yang dikembangbiakkan melalui cabutan memiliki nilai keragaman genetik yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit lainnya (stek dan biji). Di hutan alam, bibit famili Dipterocarpaceae dari cabutan tersedia dalam jumlah yang sangat banyak. Untuk meningkatkan keberhasilan penanaman, maka perlu ditingkatkan proporsi penggunaan bibit cabutan serta dicari metode baru untuk menyimpan bahan tanaman bibit cabutan dalam jumlah banyak.

KESIMPULAN

Perbedaan teknik perkembangbiakkan bibit S. johorensis menyebabkan perbedaan variasi genetik, dimana He ketiga bibit menunjukkan nilai yang

berbeda-beda. Nilai He paling tinggi adalah dari populasi cabutan

(0,0886), disusul biji (0,0710) dan stek (0,0445). Dilihat dari nilai He tanaman (0,0896) dan alam (0,1109) yang lebih

tinggi dibandingkan ketiga metode di atas, penerapan sistem silvikultur TPTJ dengan metode perbanyakan bahan tanamannya memberikan indikasi awal terjadinya penurunan variasi genetik pada jenis S. johorensis. Nilai parameter genetik S. johorensis secara umum lebih rendah dibandingkan Shorea spp. lainnya yang pernah diteliti.

DAFTAR PUSTAKA

Alvarez-Buylla, E.R., A. Chaos, D. Piñero, and A.A. Garay. 1996. Demographic genetic of a pioneer tree species: patch dynamics, seed dispersal, and seed banks. Evolution 50, 1155-1166.

Bernard, J. 1998. Molecular Biotechnology, Principles and Application of

Recombinant DNA. Waterloo Ontario: University of Waterloo, Canada:.

Finkeldey, R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Penerjemah: Jamhuri, E. I.Z. Siregar, U.J. Siregar, dan A.W. Kertadikara. Gottingen: Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding, Georg-August-University-Göttingen.

Isoda, K., I. Yasman, R. Anto, and P. Istiana. 2001. Estimation of genetic variation of Shorea leprosula in the hedge orchard of PT. INHUTANI I Dipterocarp center, East Kalimantan using DNA markers. Proceedings of the International Conference on Ex-situ and In-situ Conservation of

Comercial Tropical Trees. Centre for Forest Biotechnology and Tree

Improvement. Yogyakarta: 11-13 June 2001.

Lee, S.L., R. Wickneswari, M.C. Mahani and A.H. Zakri. 2000. Genetic Diversity of a tropical tree species, Shorea leprosula Miq. (Dipterocarpaceae), in Malaysia: implications for conservation of genetic resources and tree improvement. BIOTROPICA 32 (2): 213-224.

Lee, S.L., N. Tani, K.K.S. Ng, and Y. Tsumura. 2004. Isolation and characterization of 20 microsatelit loci for an important tropical tree

Shorea leprosula (Dipterocarpaceae) and their applicability to Shorea parvifolia.Molecular Ecology Notes 4: 222-225.

Namkoong, G., T. Boyle, H-R. Gregorius, H. Joly, O. Savolainen, W. Ratnam, and A. Young 1996: Testing Criteria and Indicators for Assessing the Sustainability of Forest Management: Genetic Criteria and

Indicators. CIFOR Working Paper No. 10. Bogor: CIFOR.

Nei, M. 1972. Genetic distance between populations. American Naturalist

106: 283-292.

Pamoengkas, P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) (Studi Kasus di Areal HPH

PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah. [Disertasi]. Bogor: Program

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Poernama, B.M. 2004. Kehutanan Indonesia Saat Ini (seminar nasional). [Makalah]. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Seminar Nasional Pelepasan Prof. Dr. Soekotjo, Fak. Kehutanan UGM, Yogyakarta, 4-5 Maret 2004.

Promega. 2003. PCR Core System. USA: Promega Corporation

Ratih, P., G. Rajaseger, J.G. Chong and P.K. Prakash. 1998. Phylogenetic analysis of dipterocarps using Random Amplified Polymorphic DNA markers. Annals of Botany 82: 61-65.

Rimbawanto, A., K. Isoda, Y. Irsyal, and P. Istiana. 2001. Estimation of

Genetic Variation of Shorea leprosula in the Hedge-Orchad of the

Inhutani I Dipterocarp Center East Kalmantan using DNA Markers.

Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Rohlf, F.J. 1998. Numerical Taxonomy and Analysis System (NTSYSpc)

Version 2.0. New York: Department of Ecology and Evolution Sate

University of New York.

Siregar, I.Z., U.J. Siregar, C.Cao, G. Gailing, and R. Finkeledey. 2005.

Genetic Variation of Indonesian Dipterocarps Assesed by Amplified

Fragment Length Polymorphisms. www.afapri.go.id.

Smits, W.T.M. 1993. Mass Propagation of Dipterocarps by Vegetative Methods in Indonesia. In: Davidson, J. (ed.). Proceedings of the Symposium on Mass

Clonal Multiplication of Forestry Trees for Plantation Programmes.

Indonesia, 1-8 December 1992.

Stacy, E.A., S. Dayanandan, B.P. Dancik, and P.D. Khasa. 2001. Microsatelite DNA markers for the Sri Lankan rainforest tree species,

Shorea cordifolia (Dipterocarpaceae), and cross-species amplification inShorea megistophylla.Molecular Ecology Notes 1: 53-54.

Suparna, N. 2004. Pengalaman Membangun Hutan Tanaman Meranti di PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah (seminar nasional). [Makalah]. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Seminar Nasional Pelepasan Prof. Dr. Soekotjo, Fak. Kehutanan UGM, Yogyakarta, 4-5 Maret 2004.

Suryo. 1986. Genetika. Yogyakarta: UGM Press.

Ujino, T., T. Kawahara, Y. Tsumura, T. Nagamitsu, H. Yoshimaru, and W. Ratnam. 1998. Development and polymorphism of Simple Sequence Repeat DNA markers for Shorea curtisii and other Dipterocarpaceae species. Heredity 81: 422-428.

Williams, J.G.K., A.R. Kubelik, K.J. Livak, J.A. Rafalski, and S.V. Tingey. 1990. DNA polymorphisms amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Research 18: 6531-6535.

Yeh, F.C., Y. Rongcai and T. Boyle. 1997. POPGENE version 1.2: Microsoft Window-based Software for Population Genetic Analysis. A Quick User’s Guide. Alberta: University of Alberta and CIFOR.

(15)

B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X

Volume 9, Nomor 4 Oktober 2008

Halaman: 255-258

jAlamat korespondensi:

Jl. Raya Bogor Km.46 Cibinong 16911 Tel. +62-21-8754587; Fax. +62-21-8754588

e-mail: ruthmell2000@yahoo.com, ruth.melliawati@lipi.go.id

Kajian Bahan Pembawa untuk Meningkatkan Kualitas Inokulum

Pasta Nata de Coco

The evaluation of carrier material for increasing qualities of gel inoculum for nata de coco

RUTH MELLIAWATIj

Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911 Diterima: 13 Juli 2008. Disetujui: 28 September 2008.

ABSTRACT

Producion of nata de coco is growing fast, in line with increasing product of biocellulose demand. It is requrire a pure inoculum to reach the best biocellulose product. The aim of this reseach is to evaluate the most appropriate carrier material of gel inoculum for nata de coco. The four carrier material are Carboxy Methyl Cellulose (CMC), Agar, Sagu starch and biocellulose pap and its inoculated by Acetobacter sp. RMG-2 and Acetobacter xylium. After inoculation, then put in the plastic bag (50 g/bag) and stored in 4°C. The texture of gel, population of cell and biocellulose production were observer in 7 days. The result shown that all matterial were suitable to used as carrier for gel inoculum. Both CMC and biocellulose pap have good texture as standard qualities. Population of Ac. xylium was 1.28x109 cfu/mL (in CMC carrier), 1.6x106 cfu/mL (in biocellulose pap carrier) after 15 weeks. The weight of biocellulose production was 500 g/L and 740 g/L media

respectively. While the population of Acetobacter sp. RMG-2 on CMC carrier was 1.79x108cfu/mL and 7.75x107cfu/mL on cellulose carrier with the weight of biocellulose production 630 g/L and 775 g/L media respectively. Thus, the carrier material (CMC and Biocellulose pap) are able to keep bacteria without loss their capability to produce cellulose.

© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Key words: Acetobacter sp. RMG-2, Acetobacter xylinum, carrier material, gel inoculum, nata de coco.

PENDAHULUAN

Nata de coco atau bioselulosa merupakan salah satu produk pangan di negara kita, dengan kualitas yang berbeda-beda. Di negara maju bioselulosa bukan hanya sekedar untuk keperluan pangan, melainkan dapat digunakan untuk beberapa macam keperluan. Salah satu produk yaitu kristalin murni sangat penting untuk bahan baku industri, sebagai bahan material baru untuk digunakan dalam memproduksi kertas berkualitas (Johnson dan Winslow, 1990). Disamping itu bahan ini juga dapat digunakan sebagai bahan aditif (Cannon dan Anderson, 1991), baik digunakan untuk diet dan sebagai makanan penutup. Uji coba lainnya, selulosa bakteri dibuat sebagai kulit buatan (Fontana dkk., 1990), dan sebagai membran ultrafiltrasi (Takai dkk., 1991).

Beberapa tahun terakhir ini permintaan produk nata de coco untuk diekspor cukup besar, sehingga jumlah pengrajin nata de coco berkembang dengan cepat, di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Akibatnya kebutuhan bibit meningkat, sedangkan untuk memperoleh bibit semakin sulit. Permasalahan lain adalah sulitnya pengemasan dan transportasi dalam pengiriman bibit sampai ke lokasi, karena bibit yang ada saat ini berupa cairan dalam botol. Kendala yang dihadapi para pengrajin adalah kualitas bibit tidak stabil, produksi mudah menurun dan persentase kegagalan tinggi.

Hasil pengamatan dan penelitian terhadap bibit yang digunakan oleh produsen menunjukkan bahwa bibit tersebut tidak murni mengandung bakteri selulosa. Beberapa bakteri yang dapat menghasilkan selulosa, di

antaranya dari genus Acetobacter, Rhizobium,

Agrobacterium, dan Sarcina (Ross dkk., 1991). Umumnya bakteri yang digunakan untuk membuat nata de coco adalah bakteri Acetobacter xylium, bakteri tersebut termasuk bakteri gram negatif, aerob, dan dapat mensintesis selulosa secara ekstraseluler (Schramm dan Hestrin, 1954). Berbagai aspek telah dipelajari untuk meningkatkan produksi selulosa yaitu skrining terhadap agitasi kultur (Toyosaki dkk., 1995), kultivasi dalam stirred fermenter (Krusong dkk., 1998; Yang dkk., 1998), kultivasi dalam air-lift reactor (Chao dkk., 1997), dan penambahan bahan pembawa mikroaerofilik (Krusong dkk., 1998, 1999).

Beberapa penelitian telah dilakukan di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI terhadap Acetobactner sp. RMG-2, Acetobacter sp. EMN-1 dan Ac. xylium sebagai inokulum cair nata de coco untuk produksi selulosa (Melliawati dkk. 1998, 1999, 2000, 2001a, 2001b, 2003). Penelitian yang telah dilakukan Melliawati dkk. (2001b) termasuk membuat inokulum pasta menggunakan bahan pembawa carboxy methyl cellulose. Penelitian ini bertujuan untuk menguji beberapa bahan pembawa untuk meningkatkan kualitas inokulum pasta nata de coco.

BAHAN DAN METODE Alat dan bahan

Peralatan yang digunakan adalah botol skot ukuran 250 mL yang diisi media 100 mL, baki plastik transparan

Referensi

Dokumen terkait

Apakah rasio ROA secara parsial mempunyai pengaruh yang positif signifikan terhadap CAR pada Bank-Bank Swasta Nasional yang berpusat di Surabaya?. Apakah rasio NIM secara

Keberadaan data bermuatan kualitatif adalah catatan lapangan yang berupa catatan atau rekaman kata- kata, kalimat, atau paragraf yang diperoleh dari wawancara

PENGEMBANGAN METODOLOGI PENGAJARAN MATA KULIAH KEWIRAUSAHAAN DI JURUSAN ADMINISTRASI NIAGA POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA 34 pada pelaksanaan proses belajar yang baru pada

[r]

Hasil penelitian ini, tidak mendukung dengan hasil penelitian Elloumi dan Gueyie (2001) yang menyatakan Proporsi Komisaris Independen dalam suatu perusahaan memilki

Meskipun kegiatan operasionalnya masih dilakukan di dalam rumah, pengusaha ini juga membuka sebuah warung kecil yang tempatnya berada tepat di depan PT. Djarum di desa

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana peran perpustakaan Sekolah Luar Biasa Bagian Tunanetra (SLB-A) Panti Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra (PRPCN) Palembang

Berdasarkan uji korelasi menggunakan uji Anova seperti yang ditunjukkan pada table 4, pengaruh mengkonsumsi makanan manis dan lengket setelah 30 menit di SDN