• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Taman Safari Indonesia (TSI) merupakan salah satu kebun binatang yang ada di Indonesia. Salah satu program yang di upayakan di TSI adalah agar dapat meningkatkan populasi bekantan. Bekantan merupakan satwa endemik Indonesia yaitu berasal dari Kalimantan yang tergolong Appendix I yaitu satwa berstatus terancam punah dalam CITES. Jumlah bekantan di TSI sebanyak 11 ekor yang terdiri dari 7 ekor bekantan di anjungan Kalimantan dan 4 ekor bekantan di kandang kaca.

Kandang untuk bekantan yang terdapat di TSI terdiri dari dua jenis yaitu kandang anjungan Kalimantan yang merupakan kesatuan dari kandang peraga dan kandang tidur serta kandang kaca yang terletak bersamaan dengan kandang-kandang primata lainnya. Komposisi populasi bekantan di TSI sudah sudah menunjukkan komposisi yang seimbang karena sudah terdiri dari jantan dewasa, betina dewasa, remaja dan bayi.

Pengamatan bekantan di TSI dilakukan pada kandang anjungan Kalimantan yang terdiri dari 4 ekor jantan yaitu 1 ekor jantan dewasa dan 3 ekor anak, dan 3 ekor betina. Pengamatan dilakukan dari pukul 08.00-16.30 WIB. Data tentang bekantan di anjungan Kalimantan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data kelompok bekantan di kandang anjungan Kalimantan TSI

Nama Jenis kelamin Umur (tahun)

Boky Jantan 15 Shintia Betina 11 Tiara Betina 9 Gita Betina 8 Nakula Jantan >1,5 Boti Jantan <1,5 Upin Jantan <1,5

Dari studbook keeper diperoleh data tentang kelompok bekantan di anjungan Kalimantan yaitu, Boky (♂) merupakan jantan dominan yang berumur

(2)

sekitar 15 tahun yang ada di TSI, mempunyai ciri-ciri hidung besar (telah berkembang sempurna), alat kelamin luar tampak jelas, ukuran tubuh besar dengan berat badan sekitar 20-22 kg, dan terdapat warna putih berbentuk segitiga pada bagian pinggul. Boky datang di TSI pada tahun 2001 dengan estimasi umur sekitar 6 tahun. Shintia betina dewasa yang berumur sekitar 11 tahun datang pada tahun 2002 dengan estimasi umur sekitar 5 tahun, Tiara (9 tahun), dan Gita (8 tahun) juga merupakan betina dewasa dengan ciri-ciri ukuran tubuh relatif lebih kecil dibandingkan ukuran tubuh jantan dewasa dengan bobot badan10-12 kg, puting susu tampak jelas, hidung lebih kecil dan runcing. Morfologi bekantan di TSI sama dengan morfologi bekantan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Yeager (1990).

Anak hasil perkawinan Boky dengan shintia adalah Nakula dan Sadewa yang merupakan bayi bekantan kembar (♂). Pada saat pengamatan hanya ada Nakula dengan estimasi umur sekitar >1,5 tahun karena Sadewa sudah mati sekitar umur 1 bulan, Boti (♂), dan Upin (♂) dengan estimasi umur sekitar <1,5 tahun adalah hasil perkawinan Boky dengan Tiara dan Gita. Anak bekantan mempunyai ciri-ciri warna muka lebih gelap dan masih sangat bergantung pada induknya (Yeager 1990).

Pada habitatnya bekantan hidup berkelompok dan dipimpin oleh satu pejantan dominan. Bekantan hidup berpoligami dan jantan dominan dapat mengawini semua betina yang ada dalam kelompoknya (Alikodra 1997). Hal serupa juga terlihat pada bekantan di TSI. Boky merupakan pemimpin dalam kelompok karena satu-satunya jantan dewasa dan mengawini Shintia, Tiara dan Gita. Boky juga merupakan ayah dari anak-anak bekantan yang ada di anjungan Kalimantan. Jantan dominan mempunyai ciri-ciri hidung yang besar yang juga berfungsi sebagai pengeras suara untuk memberikan tanda pada anggota kelompoknya apabila ada bahaya.

(3)

Gambar 5 (a) Boky, jantan dominan di TSI; (b) Betina dewasa dan anak-anak di TSI

Bekantan yang terdapat di TSI berasal dari sitaan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), penyerahan langsung dari pemilik satwa (donasi), dan tukar-menukar dengan kebun binatang lain. Hewan yang akan dikandangkan di TSI telah mengalami proses karantina terlebih dahulu selama sekitar 40 hari di instalasi karantina di TSI. Bekantan yang ada di TSI sudah teradaptasi terhadap kehadiran pengunjung di TSI, hal ini terlihat dari sikap bekantan yang tidak menunjukkan perilaku stress. Perilaku yang biasa ditunjukkan oleh hewan yang mengalami stress adalah tidak mau makan dan terkadang mengamuk kepada pengunjung. Bekantan jantan dan betina akan terlihat lebih galak setelah mempunyai anak karena sifat overprotective terhadap bayinya.

Faktor-faktor penting yang menunjang keberhasilan reproduksi meliputi perkandangan dan kecukupan pakan. Kandang anjungan Kalimantan digunakan sebagai kandang pamer atau kandang peraga yang berfungsi untuk menampilkan atau memperagakan bekantan serta merupakan fasilitas yang disediakan untuk

(4)

bekantan agar dapat melakukan kegiatan hariannya. Luas kandang anjungan Kalimantan adalah 16 m x 12 m dengan suasana dibuat semirip mungkin dengan habitat aslinya, yaitu dengan dibuatkan replika dari pohon tinggi yang mempunyai dahan besar untuk melakukan berbagai aktivitasnya seperti makan, istitahat, bermain dan aktivitas lainnya, terdapat kolam untuk tempat mandi bagi bekantan yang dianalogikan sebagai sungai di habitat aslinya, terdapat gantungan tempat bermain bagi bayi bekantan dan tanah yang ditumbuhi rumput-rumput. Hal ini disebut sebagai enrichment untuk kandang. Disekeliling kandang tetap ditutupi dengan pagar kawat, kecuali yang berhadapan dengan anjungan Kalimantan. Pada bagian ini pembatasan menggunakan kaca agar pengunjung dapat melihat bekantan secara langsung.

Tersedianya pohon-pohon buatan dikandang anjungan Kalimantan sesuai dengan tipe pergerakan bekantan yang hidup di antara pepohonan/arboreal (dalam Napier dan Napier 1967). Terdapatnya sungai buatan di anjungan Kalimantan merupakan aspek penting karena menurut Bismark (1994), sungai termasuk komponen ekologis yang mempengaruhi pemilihan habitat oleh populasi bekantan di hutan bakau dan juga sebagai sumber air minum. Pembuatan bebatuan yang ada di sisi lain kandang peraga dapat berfungsi sebagai tempat berteduh bagi bekantan pada saat hujan dan juga diberi lampu sebagai penghangat tubuh bekantan. Kandang di TSI tidak mengikuti habitat asli bekantan yang didominasi oleh tanah rawa dan lumpur karena curah hujan yang cukup tinggi di TSI. Bebatuan ini juga digunakan untuk meletakkan pakan untuk bekantan pada siang hari.

Thohari (1997) menyatakan bahwa bentuk dan tipe kandang berbeda menurut jenis satwa berdasarkan perilaku satwa, pola hidup dan bentuk tubuhnya. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap individu atau sekelompok satwa berhak mendapatkan kandang yang berukuran cukup luas sesuai dengan kebutuhan ruang gerak serta memiliki habitat ex-situ yang sesuai dan mendekati habitat in-situ.

Hal-hal tersebut diatas sudah dilakukan oleh TSI dalam memenuhi kebutuhan hidup satwanya.

(5)

Gambar 6 Kandang anjungan Kalimantan

Bekantan memiliki kandang tidur yang terbuat dari jeruji besi untuk tiap individu yang berukuran 3,0 m x 2,0 m x 2,5 m, dan juga terdapat kandang jepit yang berukuran 2,0 m x 1,0 m x 1,0 m. Kandang tidur digunakan untuk melaksanakan kegiatan pada malam hari yaitu aktivitas makan dan tidur. Kandang tidur terletak dibawah anjungan Kalimantan dan tidak dapat dilihat oleh pengunjung. Bekantan dikeluarkan dari kandang tidur sekitar pukul 08.00 WIB.

Kebersihan kandang bekantan sangat dijaga dengan baik. Kandang hewan dibersihkan setiap hari dengan menggunakan air biasa kemudian disikat dan dilakukan desinfeksi sebanyak dua hari sekali. Desinfektan yang biasa digunakan adalah TH4+ yang merupakan desinfektan berbentuk cairan dengan komposisi mengandung didecyldimethyl ammonium chloride. Desinfektan ini diindikasikan untuk kandang dan peralatan kesehatan hewan. Penggunaannya dapat dengan cara

spraying atau dipping. Penggunaan TH4+ di TSI dilakukan dengan cara mencampurkan dengan air dan menyiramkan ke kandang, didiamkan 5 menit kemudian disikat.

(6)

.

Gambar 7 (a) Kandang tidur individu bekantan ; (b) kandang jepit bekantan

Pakan merupakan aspek yang sangat penting dalam pemeliharaan satwa. Pakan bekantan sekitar 90% terdiri dari daun-daunan. Menurut Napier dan Napier (1986), pakan bekantan merupakan daun-daunan yang berasal dari pohon rambai atau pedada (Sonneratia alba), ketiau (genus Motleyana), beringin (Ficus sp), lenggadai (Braguiera parviflora), dan piai (Acrostiolum aureum). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Purba (2005), di habitat aslinya bekantan paling menyukai daun ketiau (genus Motleyana) yang mengandung mineral yang dibutuhkan bekantan yaitu lateks, resin, tanin, terpenol dan fenol. Menurut Bismark (1994) bekantan membutuhkan pakan dengan kandungan protein yang tinggi. Menurut NRC (2003) mengenai estimasi kecukupan gizi nonhuman primate adalah protein sebesar 15-22%, kalsium (Ca) 0,8% dan fosfor (P) 0,6%.

Pemberian pakan untuk hewan di habitat ex-situ harus memperhatikan jenis pakan yang disukai hewan, jumlah atau komposisinya serta frekuensi pemberian. Pemberian pakan di TSI mengikuti jenis pakan di habitat aslinya yaitu dedaunan dalam jumlah banyak. Bekantan mengonsumsi daun-daun dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan energi dan nutriennya karena daun-daun merupakan pakan dengan kandungan nutrien yang rendah. Bagian daun yang yang dikonsumsi adalah bagian pucuk daun atau daun yang masih lunak (Payne 1985).

Penentuan pakan bekantan yang akan diberikan melalui proses pengujian terlebih dahulu. Berbagai jenis dedaunan yang dapat diperoleh dari alam seperti

(7)

daun kemang, daun benying, daun petai, daun alpukat dan daun ketapang, pada awalnya diberikan pada kelompok bekantan. Hasil pengamatan menunjukkan daun yang paling disukai adalah daun kemang dan daun benying. Walaupun daun-daun tersebut tidak sama seperti habitatnya, kemungkinan bekantan menyukai daun yang muda karena lunak dan rasa yang hampir sama dengan daun yang ada di habitatnya serta karena kandungan proteinnya yang lebih tinggi. Selain kedua jenis daun tersebut, jenis daun lainnya diberikan sesuai dengan musim. Proses pengujian serupa juga dilakukan sebelum pemberian sayuran seperti kacang panjang dan sayur sawi dan kadang-kadang di berikan buah-buahan seperti pisang. Pemberian sayuran dan buah-buahan dilakukan dengan meletakkannya di kandang tidur pada tempat yang disediakan dan tempat-tempat tertentu dikandang anjungan Kalimantan. Jadi pakan bekantan dapat diperoleh dari hutan-hutan disekitar TSI dan dari Koperasi Unit Desa (KUD) Rahayu.

Gambar 8 Pakan bekantan di Taman Safari Indonesia

Pemberian pakan di anjungan Kalimantan dilakukan langsung dengan meletakkan makanan di dalam kandang yang dilakukan oleh keeper. Pakan diletakkan di tempat-tempat tertentu seperti di bebatuan yang ada di kandang dan diletakkan di atas pagar kawat. Pemberian pakan dilakukan minimal 5-7 kali dalam sehari. Pakan diberikan pada jam 08.00, 11.00, 14.00, 16.00, dan malam hari dengan meletakkan di kandang tidur. Dari hasil pengamatan terlihat bekantan mendapatkan pakan yang cukup karena bentuk tubuh bekantan yang terlihat proporsional.

(8)

Bekantan (umumnya pada subfamili colobinae) memiliki perut yang buncit karena makanannya difermentasikan seperti ruminansia. Sistem pencernaannya dikenal dengan polygastric dan bekantan memiliki “fore-stomach”

yang mempunyai banyak kamar tempat terjadinya proses fermentasi makanan oleh bakteri.

Hasil pengamatan langsung, wawancara dan pengolahan data sekunder tentang reproduksi bekantan yang dilakukan di TSI dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Data reproduksi bekantan di TSI

No Hal yang diamati Hasil Pengamatan 1 Umur dewasa kelamin 6 tahun

2 Menstruasi Tidak terlihat jelas seperti primata lain

3 Perilaku kawin Perkawinan juga diawali dengan keinginan kawin dari betina, betina akan terlihat menyendiri dan memasang mimik muka yang cemberut. Kemudian betina akan mendekati pejantan dominan untuk di kawini. 4 Lama kebuntingan 7 bulan

5 Masa Menyusui 1,5 tahun

Umur dewasa kelamin atau pubertas dikontrol oleh mekanisme-mekanisme fisiologi tertentu yang melibatkan gonad dan hipotalamus maka pubertas tidak luput dari faktor-faktor herediter dan lingkungan yang mempengaruhi organ tersebut. Menurut Murai (2006) bekantan mengalami pubertas dan siap untuk kawin pada umur lima tahun. Pada umur ini bekantan mulai memperlihatkan keinginan kawin dengan lebih sering terlihat murung dan sekali-kali menghampiri pejantan. Dewasa kelamin pada primata dapat juga ditunjukkan dengan hewan mengalami menstruasi, tetapi menstruasi pada bekantan tidak terlihat jelas seperti yang terjadi pada primata lain, misalnya orang utan dan macacca. Hampir sama dengan habitat aslinya bekantan di TSI kawin pada umur 6 tahun. Sedikit perbedaan yang terjadi dapat disebabkan karena pengaruh dari faktor lingkungan seperti suhu dan pakan.

Pada awal dikandangkan setelah dari karantina, frekuensi kawin bekantan bisa terjadi setiap hari, apalagi pada saat baru dikandangkan dengan jantan baru. Musim kawin pada hewan tergantung pada saat estrusnya. Bekantan termasuk

(9)

hewan yang mengalami polyestrus bermusim yang artinya bekantan dapat mengalami beberapa kali estrus dalam satu musim. Musim bereproduksi pada beberapa hewan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kelembaban, suhu, dan fotoperiode terutama di negara dengan empat musim.

Musim kawin bekantan pada habitat aslinya sekitar bulan Februari sampai November (dalam Rajanthan dan Bennett 1990). Perkawinan bekantan di TSI tidak tergantung musim, hal ini dapat disebabkan karena perbedaan suhu lingkungan antara TSI dengan habitat aslinya. Suhu di TSI lebih rendah yaitu sekitar 18,0o-24,0oC (dalam Luthfiani 2002) dibandingkan dengan suhu di habitat aslinya dalam Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan (2002) yaitu 18,2ºC (Februari)-36,8ºC (April). Hal lain yang dapat menyebabkan tidak adanya musim kawin pada bekantan di habitat ex-situ adalah ketersediaan makanan. Di habitat aslinya ketersediaan makanan juga tergantung musim sehingga bekantan harus berpindah-pindah untuk mencari makanan baru. Nutrisi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi aktivitas reproduksi sehingga bekantan tidak dapat kawin sepanjang waktu sedangkan bekantan di TSI mendapat asupan makanan yang cukup dan tidak tergantung musim untuk mendapatkan pakan.

Perilaku kawin bekantan menurut Yeager (1990) ditandai dengan kesediaan betina terhadap jantan untuk memulai interaksi seksual. Hal ini disebabkan karena betina hanya mau menerima jantan pada saat estrus saja. Perkawinan di TSI juga menunjukkan hal yang serupa dengan bekantan di habitat aslinya. Interaksi itu ditandai dengan sikap tubuh betina, yaitu dengan posisi berdiri (quadrupedal), betina menggerakkan kepalanya ke arah belakang sehingga bagian muka terdorong ke depan serta mulut dan hidung di mancungkan ke depan. Betina akan terlihat menyendiri dan memasang mimik muka yang cemberut. Reaksi ini akan mendapat respon dari jantan dengan melakukan gerakan yang sama kemudian menghampiri betina. Jantan akan memegangi bagian pinggang betina dengan kedua tangannya dan melakukan intromisi. Dalam Murai (2006), jantan hanya satu kali menaiki betina pada saat kopulasi. Durasi jantan menaiki betina berlangsung sekitar 27 detik. Perilaku kawin pada bekantan seperti terlihat pada Gambar 9.

(10)

Gambar 9 Perilaku kawin bekantan

Sumber: Jarkasih 2005

Pada saat kawin biasanya remaja atau bayi mengganggu dengan cara menaiki jantan, memegangi hidung jantan, bersuara atau bergerak di dekat dewasa yang sedang kawin (untuk menganggu atau mengacaukan) (Yeager 1990). Perilaku kawin bekantan berbeda dengan perilaku kawin kebanyakan primata lainnya, karena perkawinan pada spesies ini jarang sekali dimulai oleh pejantannya (dalam Murai 2006). Pejantan dominan tidak bisa disatukan dengan jantan dewasa lainnya, kecuali dengan jantan remaja karena pola hidup bekantan yang berkelompok dan dipimpin oleh satu jantan dominan saja. Apabila dalam satu kelompok terdapat dua jantan dewasa akan terjadi pertengkaran di antara keduanya sehingga akan terbentuk satu kelompok lain yang dipimpin oleh jantan yang kalah.

Kebuntingan adalah masa persiapan pertumbuhan yang terjadi di dalam uterus dimana perkembangan embrio terjadi pada lingkungan yang stabil pada saat yang sangat rentan (dalam Jolly 1972). Di TSI tidak terdapat perlakuan khusus dalam pemeriksaan kebuntingan. Kebuntingan dapat diketahui dari ciri-ciri yang terlihat seperti frekuensi kawin bekantan yang menurun dan bentuk perut yang membesar. Apabila ciri-ciri tersebut mulai terlihat maka sangat dihindari untuk menangkap bekantan baik secara manual maupun secara kimiawi karena dikhawatirkan dapat membuat bekantan menjadi stress dan dapat mengakibatkan keguguran. Di TSI dilakukan deworming setiap 3 bulan dengan cara membius

(11)

sekaligus dilakukan pemeriksaan umum. Pada saat pemeriksaan umum juga dilakukan palpasi untuk memeriksa kebuntingan. Apabila diketahui betina sedang bunting maka pemberian obat cacing tidak dilakukan, melainkan hanya dilakukan pemberian vitamin seperti haematophan dan biosalamin.

Lama kebuntingan pada bekantan adalah 166–200 hari, tapi kadang-kadang bisa lebih dari 200 hari (dalam Napier & Napier 1985; Bennett & Sebastian 1988; Ankel-Simons 2007). Hal ini hampir sama dengan bekantan di TSI yang mengalami kebuntingan selama 6-7 bulan atau sekitar 180-210 hari. Menurut Gorzitze (1996) bekantan akan mengalami estrus pasca pembuahan. Hal ini menyebabkan akan terjadinya perkawinan walaupun bekantan dalam keadaan awal kebuntingan sehingga sulit dilakukan perkiraan tentang waktu kelahiran.

Bekantan termasuk ke dalam subordo Anthropoidea yang plasentanya adalah haemochorial. Dalam Soma dan Benirchke (1977) dijelaskan bahwa tipe plasenta bekantan adalah bidiskoid bervili dalam uterus. Implantasi embrio bekantan terjadi di superfisial uterus. Fetus dan plasenta bekantan seperti ditunjukkan dalam Gambar 10.

Gambar 10 Fetus dan plasenta Bekantan (Nasalis larvatus)

Sumber: Benirschke 2002

Dalam Jolly (1972) primata melahirkan satu anak setiap kelahiran, begitu pula pada bekantan. Di Taman Safari Indonesia pernah terjadi kelahiran kembar. Shintia merupakan bekantan betina yang melalui kelahiran di TSI dapat melahirkan bayi kembar yaitu Nakula dan Sadewa. Salah satu anak dari bayi kembar yaitu Sadewa dibuang oleh induknya. Sadewa dipelihara secara

(12)

hanya bisa bertahan 1 bulan saja karena ketidakcocokan susu formula dengan sistem pencernaan bayi bekantan yang merupakan hewan pemakan daun-daunan.

Bekantan tidak dapat memelihara anak kembar, hal ini dapat terjadi karena dari hasil pengamatan terlihat induknya selalu menggendong anaknya pada bagian dadanya. Anak kembar membuat bekantan kesulitan dalam merawat anaknya karena bekantan tidak dapat menggendong dua anak sekaligus.

Bekantan mempunyai perilaku tersendiri pada saat melahirkan. Pengamatan terhadap proses kelahiran di TSI dilakukan dengan cara memasang CCTV pada kandang bekantan yang akan melahirkan. Menurut literatur dari penelitian yang dilakukan Gorzitze (1996) diketahui bahwa bekantan umumnya melahirkan pada waktu malam hari dan dini hari, hal ini juga terjadi pada bekantan yang ada di TSI sehingga menjadi alasan pemasangan CCTV di TSI agar proses kelahiran dapat diamati pada malam hari. Bekantan juga mengonsumsi plasentanya, menjilat-jilat anaknya setelah dilahirkan dan membiarkan anggota kelompok lain untuk mengasuh anaknya (Gorzitze 1996), hal serupa juga dilakukan oleh bekantan yang ada di TSI membiarkan anggota kelompok lain untuk mengasuh anaknya.

Secara fisiologis laktasi dimulai saat estrogen dan progesteron tertekan, dan hormon laktogenik hipofise mengambil alih (dalam Napier dan Napier 1986). Laktasi akan menyebabkan ovulasi terhambat akibat dari efek penghisapan oleh bayi. Pembuatan susu dan sekresinya oleh sel mamari ke dalam lumen alveolar merupakan proses yang terus menerus dengan bantuan hormon prolaktin. Pengaruh prolaktin dalam proses ini juga berubah-ubah tergantung dari perpindahan susu dari lumen pada saat difusi dan transportasi susu keluar kelenjar mamari. Pelepasan oksitosin dari hipofise posterior menyebabkan kontraksi sel mioepitel pada duktus dan alveoli kelenjar mamari sehingga susu bisa keluar melalui puting ke bayi.

Dalam Milligan et al. (2008) susu yang dihasilkan primata memiliki kadar densitas kalori yang rendah (kadar air lebih banyak). Oleh karena itu primata harus menyusui anaknya setiap saat mulai dari pagi sampai malam hari dan dilaporkan juga masa sapih yang panjang bagi bayi-bayi bekantan. Selama masa laktasi pada primata tidak akan terjadi folikulogenesis dan ovulasi, hal ini

(13)

disebabkan oleh pelepasan hormon LH dari hipofise dihambat oleh pelepasan GnRH. Pelepasan gonadotropin hormon ini lebih dipengaruhi oleh rangsang hisap dari pada produksi susu oleh kelenjar mamari (dalam Mc Neilly 1994).

Penyapihan bisa berlangsung setelah pertumbuhan gigi susu anak. Masa menyusui bagi bekantan yang ada di TSI selama 1,0 tahun – 1,5 tahun, pada bulan pertama bayi bekantan selalu di gendong di bagian dada induknya, dua sampai tiga bulan mulai dilepas dari gendongan, enam sampai sebelas bulan bayi sudah jarang di gendong induknya,tapi bayi bekantan masih suka menyusu pada induknya sampai umur 1,5 tahun. Perilaku menyusui bekantan seperti ditunjukkan Gambar 11.

Gambar

Tabel 1 Data kelompok bekantan di kandang anjungan Kalimantan TSI
Gambar 5  (a) Boky, jantan dominan di TSI; (b) Betina dewasa dan anak-anak  di TSI
Gambar 7  (a) Kandang tidur individu bekantan ; (b) kandang jepit bekantan
Gambar 8  Pakan bekantan di Taman Safari Indonesia
+5

Referensi

Dokumen terkait

30 Mampu memahami penerapkan ilmu rekayasa sipil dalam pelaksanaan bangunan teknik sipil (seperti: tata-cara, kasus, solusi, perkembangan teknologi material), manajemen

Saya menyatakan bahwa saya kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan/kebidanan : dengan prosedur teknis seperti tercantum dibawah ini sebagai bagian dari kewenangan klinis

Jumlah saham yang ditawarkan 215.000.000 Saham Biasa Atas Nama Seri B dengan nilai nominal Rp..

Penelitian ini bertujuan untukmendapatkan genotipe terbaik berdasarkan karakteristik potensi produksi lateks dan kayu dari hasil persilangan tahun 2001-2003.Data hasil

Hal ini berarti tingkat laju eksploitasi ikan pedang di Samudera Hindia berdasarkan hasil tangkapan armada rawai tuna Indonesia berada pada kondisi padat tangkap (fully exploited)

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui aktivitas antibakteri fraksi etil asetat dari ekstrak etanol 50% daun murbei hitam terhadap Staphylococcus aureus dan kadar

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Situmorang dan Budiman (1990), menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata 14.6 mm/hari, jumlah hari hujan rata-rata 8 hari, kecepatan angin 8

Ada kemungkinan bahwa investor akan bereaksi positif terhadap informasi laba IFRS jika, misalnya, mereka berharap penerapan IFRS dapat menghasilkan kualitas informasi laba yang