• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kartika Mahardhika Putri (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kartika Mahardhika Putri (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) ABSTRAK"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK HUKUM PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN

PADA PERUSAHAAN TERPADU DI BIDANG INDUSTRI KELAPA SAWIT (ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN PAJAK No. put.36474/PP/M.XII/16/2012)

Kartika Mahardhika Putri - 0906558243 (Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

ABSTRAK

Pengaturan mengenai Pengkreditan Pajak Masukan pada perusahaan terpadu pada industri kelapa sawit sering menjadi masalah dalam penerapannya, khususnya PMK No. 78/PMK.03/2010. Skripsi ini membahas mengenai pengaturan pengkreditan pajak masukan pada perusahaan terpadu kelapa sawit pada UU No. 42 Tahun 2009 dan PMK No. 78/PMK.03/2010. Kesesuaian diantara keduanya, serta penerapannya pada suatu perusahaan terpadu untuk memperjelas analisis. Dengan menggunakan metode studi kepustakaan, diketahui bahwa pengkreditan pajak masukan pada PMK No. 78/PMK.03/2010 adalah berbeda dengan UU No. 42 Tahun 2009.

Kata kunci:

Perusahaan Terpadu, Pengkreditan Pajak Masukan, Pajak Pertambahan Nilai, Kelapa Sawit,

Crude Palm Oil.

1. Pendahuluan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional menetapkan bahwa industri berbasis minyak sawit mentah sebagai prioritas untuk dikembangkan ke arah yang mempunyai nilai tambah lebih tinggi dimana yang pengembangannya dapat dilakukan dengan pendekatan klaster.1

Industri kelapa sawit dibagi menjadi dua jenis, yaitu perkebunan kelapa sawit dan industri berbasiskan minyak sawit mentah. Perkebunan Kelapa Sawit menghasilkan buah kelapa sawit/tandan buah segar pada bagian hulu, kemudian diolah menjadi minyak sawit mentah, pada bagian hilir. Sedangkan jika industri yang berbasiskan minyak sawit mentah, maka bagian hulunya adalah menghasilkan minyak kelapa sawit dan bagian hilirnya adalah kegiatan menghasilkan produk hilir turunan CPO dan PKO.2 Dikarenakan sistem yang saling

1Indonesia, Peraturan Mentri Perindustrian tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Perindustrian Nomor 111/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit, Permen Industri No.13/M-IND/PER/1/2010, lampiran I.

(2)

berkesinambungan dan berhubungan tersebut, maka disebut juga dengan kegiatan usaha terpadu.

Pada perusahaan terpadu yang bergerak di bidang industri kelapa sawit, sering timbul permasalahan di bidang perpajakan. Salah satunya berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yaitu mengenai penghitungan pengkreditan pajak masukan. Permasalahan yang timbul adalah mengenai pajak masukan yang dibayarkan pada saat perolehan bahan baku yang digunakan untuk pelaksanaan perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan Tandan Buah Segar atau TBS, ketika diperiksa oleh pemeriksa pajak, kemudian dinyatakan tidak dapat dikreditkan dengan pajak keluaran yang dipungut pada saat melakukan penjualan CPO. Salah satu kasusnya adalah terjadi pada pengkreditan pajak masukan yang dilakukan oleh PT. Satya Kisma Usaha.

PT. Satya Kisma Usaha tidak dapat mengkreditkan pajak masukan yang dibayarkan dalam rangka perolehan BKP dan/atau JKP untuk kegiatan perkebunan dengan pajak keluaran pada saat penjualan CPO miliknya. Tetapi ketika kasus ini dibawa hingga pengadilan pajak, hakim memutuskan bahwa ia dapat mengkreditkan pajak masukannya berdasarkan KMK No. 575/KMK.04/2000, karena PT. Satya Kisma Usaha dapat membuktikan bahwa apa yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut adalah CPO miliknya.

Terkait dengan pengkreditan pajak masukan tersebut, terdapat suatu peraturan yang menyebutkan mengatur mengenai Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan yang Tidak Terutang Pajak, yaitu peraturan PMK No.78/PMK.03/2010, sebagai peraturan pelaksana dari pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 42 Tahun 2009.

Latar belakang dikeluarkannya peraturan tersebut adalah dikarenakan dalam rangka

equal treatment atau perlakuan penyamarataan pada setiap perusahaan yang bergerak dibidang industri dengan basis perkebunan, yaitu bagi perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan bagi perusahaan yang bergerak di bidang perusahaan terpadu.

Sebelumnya peraturan tersebut dikeluarkan karena timbulnya kasus-kasus mengenai pengkreditan pajak masukan. Seperti misalnya pada perusahaan dengan perkebunan kelapa sawit dengan hasil Tandan Buah Segar, karena menghasilkan Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari pajak atas penyerahannya, maka perusahaan tersebut tidak dapat mengkreditkan pajak masukannya. Kemudian sebaliknya pada perusahaan yang memiliki unit perkebunan dan pabrikan, sehingga menghasilkan Crude Palm Oil atau CPO yang termasuk barang kena pajak yang terutang pajak, dapat mengkreditkan pajak masukannya.

Hal ini kemudian menimbulkan kebingungan di kalangan pengusaha yang berbasis perkebunan. Karena pada peraturan terdahulu, KMK No.575/KMK.03/2000, misalnya, pajak

(3)

masukan dalam rangka perolehan pupuk pada perusahaan tidak terpadu tidak dapat dikreditkan, sedangkan pada perusahaan terpadu dapat dikreditkan.

Untuk itu dikeluarkan PMK No. 78/PMK.03/2010 sebagai pengganti dari KMK No.575/KMK.03/2000. Sehingga semua pajak masukan yang diperoleh dalam rangka kegiatan perkebunan tidak dapat dikreditkan dengan pajak keluaran. Hal ini menimbulkan perlakuan yang sama pada setiap perusahaan, terpadu ataupun tidak terpadu.

Tetapi peraturan ini tidak berjalan lancar, karena menurut beberapa pihak, salah satunya adalah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau GAPKI, PMK No. 78/PMK.03/2010 bertentangan dengan UU No. 42 Tahun 2009, karena seharusnya menurut mereka bahwa perusahaan terpadu dengan hasil CPO dapat mengkreditkan seluruh pajak masukannya.

Jadi, jika pedoman dalam PMK No. 78/PMK.03/2010 dikaitkan dengan kegiatan usaha terpadu kelapa sawit maka pajak masukan yang dapat dikreditkan hanya yang untuk menghasilkan BKP saja dalam hal ini adalah CPO. Sedangkan pajak masukan yang dibayarkan dalam rangka kegiatan perkebunan yang menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) tidak dapat dikreditkan

Sehingga jika dikaitkan dengan kasus pengkreditan pajak masukan pada PT. Satya Kisma Usaha, perusahaan tersebut tidak dapat melakukan pengkreditan pajak masukan dalam rangka kegiatan perkebunan, seperti yang dilakukannya dan seperti putusan hakim pengadilan pajak.

Berangkat dari latar belakang tersebut maka perlu untuk mengetahui bagaimana pengaturan pengkreditan pajak masukan pada perusahaan terpadu dalam industri kelapa sawit, serta analisis kasus Putusan Pengadilan Pajak No. put.36474/PP/M.XII/16/2012 jika ditinjau dari UU No. 42 Tahun 2009 dan PMK No. 78/PMK.03/2010.

2. Pembahasan

Pajak Pertambahan Nilai adalah suatu pajak yang baru di Indonesia, menggantikan Pajak Penjualan pada tahun 1983, dalam rangka meningkatkan peningkatan negara dari bidang non-migas. Pajak Pertambahan Nilai berasal dari Eropa, tapatnya di Prancis, tetapi lebih dahulu diberlakukan di Belanda, menggantikan sales tax, karena dinilai memiliki karakteristik yang lebih menguntungkan, diantaranya adalah tidak menimbulkan pajak berganda.

Pajak Pertambahan Nilai atau Value Added tax menurut Smith, Dan Throop dan James B. Weber adalah, menurut mereka pajak pertambahan nilai adalah pajak yang

(4)

dikenakan pada nilai tambah yang diberikan oleh suatu perusahaan kepada produknya pada saat kegiatan produksi yang mereka lakukan3.

Berdasarkan European Commision, sebagai organisasi pelopor yang mengembangkan konsep PPN, Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi yang dikenakan pada setiap kegiatan komersil yang termasuk dalam proses produksi suatu barang atau jasa4.

Berdasarkan pengertian pajak pertambahan nilai yang dikemukakan oleh beberapa sarjana, maka pajak pertambahan nilai adalah suatu pajak yang dikenakan pada nilai tambah yang timbul dari tiap rantai produksi yang dilalui oleh barang atau jasa tersebut. Sehingga yang dikenakan pajak tersebut bukan barang atau jasa nya tetapi nilai tambah yang kemudian melekat pada barang atau jasa tersebut yang ditambahkan pada tiap jalur rantai produksinya.

Alan Tait mendefinisikan nilai tambah sebagai berikut, (upah dan keuntungan) dan dari sisi selisih output dikurangi dengan input. Menurut Tait, nilai tambah adalah nilai yang ditambahkan oleh produsen pada bahan dasar dari suatu barang sebelum ia menjual barang tersebut. Dalam menambahkan nilai tambah ini didapati biaya-biaya, yaitu diantaranya, transport, pembelian bahan dasarnya, gaji bagi pekerja. Dan kemudian ketika hasil akhir tersebut terjual ada sebagian keuntungan yang hilang, karena dibayarkan untuk biaya-biaya untuk mendapatkan nilai tambah tersebut5.

Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa nilai tambah dapat dihitung dari dua sisi. Pertama adalah bahwa nilai tambah didapat dari selisih antara harga penjualan perusahaan dengan harga pembelian semula barang tersebut. Yang kedua adalah bahwa nilai tambah adalah jumlah dari upah, bunga serta keuntungan sebelum dikenakan pajak, singkatnya sebagai penghasilan bruto dari suatu perusahaan, yang didapat dari penjualan suatu barang adalah nilai tambah

Jadi PPN dikenakan atas nilai tambah, yang didapat dari selisih antara harga jual dan harga beli. Karena hanya dikenakan terhadap pertambahan nilainya saja, maka PPN dipungut pada tiap mata rantai jalur produksi, sehingga pengenaan pajaknya pun tidak terlalu berat.

Legal character dapat didefinisikan sebagai ciri-ciri atau nature dari suatu jenis pajak. Pemahaman tentang feature atau nature dari suatu jenis pajak akan menentukan atau

3Smith, Dan Throop and James B Webber, and Carol M Cerf, and Carol M Cerf, What You

Should Know about the VAT, (Illonois: Down Jones-Irwin Inc, 1973), hlm. 3.

4Schenk, Alan dan Oliver Oldman, Value Added Tax : A Comparative Approach, (Cambridge: Cambridge Unievrsity Press, 2007), hlm. 17-18.

5Tait, Alan. A, Value Added Tax: International Practice and Problems, (Washington DC: International Monetary Fund, 1988), hlm. 4.

(5)

memberikan konsekuensi bagaimana sebaiknya pajak tersebut harus dipungut. Dengan demikian, legislative structure dan interpretasi dari suatu terminology seharusnya dipandu oleh legal character6. Berkaitan dengan hal tersebut, Terra mengatakan suatu legal character

adalah suatu sifat dasar dari suatu pajak yang memberikan konsekuensi hukum. Pada dasarnya menurutnya suatu legal character dari suatu pajak adalah sebagai pedoman dalam menentukan konsekuensi hukumnya, bukan hanya sebagai label atau nama dari pajak tersebut saja7.

Legal character memiliki fungsi sebagai acuan dalam menemukan jawaban atas suatu permasalahan yang dihadapi dalam mengaplikasian suatu jenis pajak. Berikut kutipan pendapat Ben Terra Dalam penjelasannya mengenai hal tersebut, Terra tetap membuka kemungkinan bahwa dalam menerapkan PPN di dalam suatu negara memerlukan suatu aturan yang melibatkan aktivitas politis. Sehingga menurutnya setidaknya dalam hal penyusunan aturan dalam menerapkan keberadaan legal character ini dapat dijadikan sebagai suatu panduan baik dalam mengusun aturan baru atau aturan perubahan8.

Pajak Pertambahan Nilai dipungut dengan menggunakan indirect substraction method.

Pada substraction method pembelian barang dan jasa dikurangi dengan nilai penjualan dalam suatu periode, sedangkan pada addition method melibatkan pejumlahan seluruh elemen yang mempengaruhi nilai tambah. Karena laba secara normal merefleksikan penyusutan aktiva, metode ini akan lebih cocok untuk jenis income type.

Di dalam indirect method, atau tax credit method atau invoice method, kewajiban Pajak Pertambahan Nilai suatu perusahaan dihitung dengan mengurangkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayarkan terkait pembelian dengan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang terkait dengan Penjualan yang dilakukan. Cara menghitung besaran Pajak Pertambahan Nilai yang diterapkan di Indonesia adalah indirect- substraction method dengan menggunakan faktur pajak atau tax invoice dalam pelaksanaan administrasi penghitungan Pajak Pertambahan Nilai.9

Drs. Budiono menyatakan bahwa pada dasarnya sistem pemungutan PPN sebagai Pajak Tidak Langsung sama sebagaimana diterapkan dalam pemungutan pajak penjualan. Pemungutan tidak langsung kepada konsumen, melainkan melalui pihak ketiga yang

6Rosdiana, op.cit, hlm. 204

7 Terra, Ben, Sales Taxation: The case of Value Added Tax in the European Community, (Deventor-Boston: Kluwer Law and Taxation Publishers, 1988), hlm. 7.

8Terra, Ben, Ibid, hlm. 7-8. 9Tait, Alan, op.cit, hlm. 4.

(6)

melakukan peneyrahan barang dan jasa, dalam hal ini adalah pabrikan, penyalur utama atau agen utama, importir, indentor, pemegang hak paten dan/atau merek dagang, pengusaha jasa, grosir, dan pedagang pengecer serta PMKP yang memilih menjadi PKP. Sebagai pihak ketiga tersebut diwajibkan untuk menyetor PPN yang dipungut, melaporkan atas pemenuhannya kepada Kantor Pelayanan ajak. Kewajiban menyetor dilakukan setiap bulan, paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya. Kewajiban untuk melakukan pelaopran adalah paling lambat tanggal 20 bulan yakwim berikutnya. Sedangkan hak PKP adalah pemungut PPN dan/atau PPn BM dari pembeli (konsumen) setiap terjadi penyerahan barang.10

Kemudian metode pemungutan ini juga didasarkan pada berdasarkan legal character

dari pajak pertambahan nilai, yaitu sebagai pajak atas konsumsi, maka penanggung beban pajak adalah konsumen, sehingga ketika pengusaha menjual BKP/JKP akan memungut pajak dari pembeli karena pembeli dianggap sebagai konsumen, sehingga karena pengusaha bukan sebagai penanggung beban pajak, tetapi hanya sebagai pemungut dan penyetor pajak, maka ia dapat mengkreditkan pajak masukannya tersebut, sama saja berarti pengusaha tersebut tidak membayar pajak atas barang atau jasa tersebut, karena dianggap tidak menggunakannya untuk kegiatan konsumsi.

UU Nomor 42 Tahun 2009 memberikan kemudahan bagi wajib pajak, tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.11

Secara singkat Pengkreditan Pajak Masukan berarti mengurangkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.12

Sedangkan Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak,

10Boediono, Perpajakan Indonesai, Cet. 1, (Jakarta: Yayasan Pendidikan kawula Muda, 1997), hlm. 12

11Indonesia, op.cit, Penjelasan Ps. 16B ayat (1). 12Indonesia, op.cit, Ps. 1 angka 24.

(7)

penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.13

Menurut Schenk dan Oldman, pengkreditan pajak masukan adalah selisih antara pajak yang dikenakan atau dipungut pada saat penjualan barang atau jasa (pajak keluaran) dengan pajak yang dibayar atau timbul pada saat perolehan barang atau jasa (pajak masukan). Hal ini berdasarkan definisi dari nilai tambah yang mana pajak pertambahan nilai dibayarkan oleh pihak yang dikenai pajak sebagai pajak masukan yang harus dibayar.14

Pasal 16B UU nomor 42 Tahun 2009, mengatur mengenai fasilitas yang diberikan. Fasilitas tersebut dibagi ke dalam dua bagian, yaitu pajak yang terutang tidak dipungut dan dibebaskan dari pengenaan pajak. Persamaan dari kedua fasilitas tersebut adalah secara ekonomis keuda fasilitas mengakibatkan pihak yang terkait tidak perlu membayar pajak yang terutang. Sedangkan perbedaannya adalah, pada fasilitas berupa pajak yang terutang tidak dipungut, PKP yang melakukan penyerahan tetap diperbolehkan mengkreditkan pajak masukan yang terkait. Sedangkan fasilitas berupa dibebaskan dari pengenaan pajak, PKP yang melakukan penyerahan tidak diperkenankan mengkreditkan pajak masukan yang terkait. Kedua fasilitas tersebut diberlakukan pada kegiatan yang disebutkan dalam Pasal 16B ayat (1).

Salah satu peraturan pelaksana yang mengatur mengenai hal tersebut adalah PP Nomor 12 Tahun 2001, sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2007 mengenai Impor dan/atau Penyerahan BKP tertentu yang bersifat startegis yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Peraturan pelaksana tersebut dibuat, selain sebagai peraturan pelaksana dari pasal 16B UU PPN, juga dengan latar belakang untuk memberikan kemudahan untuk berhasilnya sektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing serta memperlancar pembangunan nasional, dengan membantu tersedianya barang-barang yang bersifat strategis.15

Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia, dan cerahna prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak

13Ibid, Ps. angka 25. 14Schenk, op.cit, hlm. 141.

15Indonesia, Peraturan Pemerintah Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu

yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, PP No. 12 Tahun 2001, LN No. 24 tahun 2001, TLN. No. 4083, Penjelasan Umum.

(8)

nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit16.

Menurut Kementrian Perindustrian, Industri Pengolahan Kelapa Sawit adalah termasuk dalam Kelompok Klaster Industri Agro atau Indurstri Perkebunan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa, industri kelapa sawit bermula dari perkebunan, penanaman buah kelapa sawit yang kemudian dipanen dan diolah untuk kemudian memiliki nilai tambah yang dapat dijual ke pasar. Dengan kata lain, industri kelapa sawit bermula dari usaha perkebunan17.

Hasil dari kegiatan usaha perkebunan adalah termasuk katagori Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis karena termasuk ke dalam barang hasil pertanian, seperti disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) dan (2), sehingga berdasarkan pasal 16B UU No. 42 Tahun 2009, terhadap barang-barang tersebut, termasuk ke dalamnya adalah Tandan Buah Segar atau TBS sebagai hasil perkebunan kelapa sawit, maka atas penyerahannya dibebaskan dari pajak.

Berdasarkan keterangan dari bapak Heri Supriyanto selaku Ketua Tim Pemeriksa Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak, barang bersifat strategis ini dapat berubah-ubah setiap waktu dikarenakan alasan ekonomi. Sebagai contoh adalah minyak curah yang termasuk dalam barang bersifat strategis pada tahun 2008, dikarenakan sedang tingginya harga minyak dunia, sehingga untuk menunjang ekspor dan impor maka pemerintah memberlakukan minyak curah sebagai barang kena pajak strategis18.

Pada Hukum Pajak kita mengenal mengenai subjek pajak dan objek pajak. Berdasarkan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pada penjelasan mengenai pasal 1, disebutkan bahwa subjek pajak berkenaan dengan pajak penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak, maka subjek pajak dikenai pajak jika menerima atau memperoleh penghasilan19.

UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau KUP, menyebutkan mengenai wajib pajak pada pasal 1 angka 2, yaitu bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau badan meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak,

16Tim Penyusun, Gambaran Sekilas Industri Minyak Kelapa Sawit, (Jakarta: Departemen Perindustrian), hlm.1.

17http://www.kemenperin.go.id/, diakses pada 19 Desember 2012.

18Wawancara via telepon dengan Bapak Heri Supriyanto, Ketua Tim Pemeriksa Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak, tanggal 10 Januari 2013, pukul 16.15 WIB

19Indonesia, Undang-undang Pajak Penghasilan, UU No. 36 Tahun 2008, LN. Tahun 2008 No. 133, TLN. No. 4893, Ps 1.

(9)

yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dnegan ketentuan perundang-undangan yang belaku20.

Pada perpajakan, yang dimaksud dengan badan tidak hanya badan hukum saja, tetapi juga bukan badan hukum, yang didirikan oleh sekumpulan orang atau juga sekumpulan modal. Sehingga status badan hukum suatu badan tidaklah memiliki korelasi dengan kewajiban para pengusaha sebagai wajib pajak, kewajiban antara status badan hukum dengan non-badan hukum adalah sama pada dasarnya. Hal ini dikarenakan sesuai dengan yang disebutkan dalam pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2007 bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat21. Perseroan Terbatas menurut ketentuan perpajakan adalah sebagai wajib pajak, karena Perseroan Terbatas adalah Badan.

Salah satu perusahaan berbentuk PT adalah PT. Satya Kisma Usaha. Sebagai PT, maka PT. Satya Kisma Usaha wajib mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP, berdasarkan kartu NPWP yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Kementrian Keuangan Republik Indonesia, diketahui bahwa NPWP PT. Satya Kisma Usaha adalah 01.002.743.1-073.000 yanng terdaftar pada 22 April 2002.

PT. Satya Kisma Usaha sebagai pengusaha yang memiliki NPWP maka bertindak sebagai pengusaha kena pajak setelah dikukuhkan oleh Menteri Keuangan. Maka memiliki kewajiban perpajakan untuk melakukan pemungutan, penyetoran dan pelaporan usaha yang dilakukannya. PT. Satya Kisma Usaha bergerak dalam bidang industri kelapa sawit, kegiatan usaha PT. Satya Kisma Usaha bertujuan menghasilkan minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil. PT. Satya Kisma Usaha dalam melakukan kegiatan usahanya melakukan berdasarkan kegiatan usaha terpadu.

Menurut Kementrian Perindustrian, Industri Pengolahan Kelapa Sawit adalah termasuk dalam Kelompok Klaster Industri Agro atau Indurstri Perkebunan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa, industri kelapa sawit bermula dari perkebunan, penanaman buah kelapa sawit yang kemudian dipanen dan diolah untuk kemudian memiliki nilai tambah yang dapat dijual ke pasar. Dengan kata lain, industri kelapa sawit bermula dari usaha perkebunan saja22.

20 Indonesia, Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, LN. Tahun. 2007, No. 28, TLN. No. 4740, Ps. 1 angka 2.

21Ibid, Ps. 1 angka 1.

(10)

Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan menyebutkan bahwa usaha perkebunan adalah usaha yang menghasilkan barang/jasa perkebunan. Sedangkan perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknomolgi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat23.

Maka, dalam hal industri kelapa sawit, pelaku usaha perkebunan, yang mana adalah pekebun dan perusahaan perkebunan, mengelola suatu usaha perkebunan kelapa sawit, dengan mengadakan kegiatan yang mengusahakan tanaman kelapa sawit pada ekosistem yang sesuai, kemudian mengolahnya dan memasarkan hasilnya24.

Pada pasal 27 ayat (3) disebutkan bahwa usaha industri pengeloalaan hasil perkebunan dapat dilakukan di dalam atau di luar kawasan pengembangan perkebunan, dan dilakukan secara terpadu dengan usaha budi daya tanaman25.

Sebelumnya pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa usaha perkebunan dilakukan secara terpadu dan terkait dalam agribisnis perkebunan dengan pendekatan kawasan pengembangan perkebunan. Agribisnis perkebunan adalah suatu pendekatan usaha yang bersifat kesisteman mulai dari subsistem produksi, subsistem pengolaham, subsistem pemasaran dan subsistem jasa lainnya26.

Kemudian pasal 15 menyebutkan mengenai jenis usaha perkebunan. Menurut pasal 15 ayat (1) usaha perkebunan terdiri atas budi daya tanaman perkebunan dan/atau usaha industri pengolaan hasil perkebunan. Usaha budi daya tanaman adalah serangkaian kegiatan pratanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan dan sortasi. Sedangkan usaha industri pengolahan hasil perkebunan adalah kegiatan pengolahan yang bahan baku utamanya hasil perkebunan untuk memperoleh nilai tambah.

Telah disinggung sebelumnya mengenai pengertian dari kata “terpadu”, yaitu bahwa suatu hal yang dibentuk dari bagian-bagian yang kemudian disatukan menjadi satu kesatuan sehingga antar bagian saling berkesinambungan. Jadi maksud dari pasal 27 ayat (3) tersebut adalah bahwa dalam hal melakukan usaha industri pengolahan hasil perkebunan dapat

23Indonesia, Undang-undang Perkebunan, UU No. 18 Tahun 2004, LN. Tahun 2004 No. 24, TLN. No. 4411, Ps. 1 angka 1

24Ibid, Ps. 1 angka 5. 25Ibid, Ps. 27 ayat (3). 26Ibid, Ps 23 ayat (1).

(11)

dijadisatukan menjadi satu kesatuan dengan usaha budi daya tanaman. Begitu juga yang dikatakan pada pasal 23 ayat (1).

Maka dari itu, perusahaan terpadu di bidang kelapa sawit adalah kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit, yang di dalamnya terdiri dari usaha budi daya tanaman dan usaha industri pengolahan hasil perkebunan, yang merupakan satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No.13/M-IND/PER/1/2010 tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit, disebutkan bahwa Industri Pengolahan Kelapa sawit adalah industri hilir kelapa sawit27, dengan demikian, Industri Pengolahan Hasil Perkebunan yang dimaksud oleh UU No. 18 Tahun 2004 jika dimasukan ke dalam perkebunan kelapa sawit, maka adalah termasuk industri hilir kelapa sawit, untuk itu usaha budi daya tanaman kelapa sawit adalah termasuk industri hulu.

Seperti disebutkan dalam Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit sebagai bagian tak terpisahkan dalam Peraturan Mentri Perindustrian No. 13/M-IND/PER/1/2010, bahwa kelompok industri kelapa sawit jika dilihat dari industri hilirnya maka ada dua jenis. Jenis pertama adalah Perkebunan kelapa sawit dengan industri hulunya adalah perkebunan penghasil tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dan industri hilirnya adalah pengolahan TBS menjadi minyak sawit mentah yang kemudian dipasarkan. Jenis yang kedua adalah Industri yang berbasiskan Minyak sawit mentah, jadi industri hulunya adalah mengenai pengadaan minyak sawit mentah, dan industri hilirnya adalah mengenai pengolahan produk hilir turunan dari Crude Palm Oil (CPO) dan Minyak sawit mentah (PKO)28.

Jadi, perusahaan terpadu pada industri kelapa sawit adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha yang berbasis perkebunan atau berbasis minyak sawit mentah, yang kemudian melakukan pengolahan untuk mendapatkan nilai tambah, Jika berbasis perkebunan maka akan melakukan pengolahan TBS hingga mendapatkan hasil akhir berupa CPO dan PKO, sedangkan jika berbasiskan CPO dan PKO maka akan melakukan pengolahan hingga menghasilkan produk turunan dari CPO dan PKO tersebut.

PT. Satya Kisma Usaha sebagai perusahaan yang bergerak dibidang industri kelapa sawit, dengan kegiatan pokok menghasilkan minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO),

memiliki unit kegiatan usaha perkebunan dan unit usaha pabrikan yang menghasilkan CPO.

27Indonesia, Peraturan Mentri Perindustrian tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster

Industri Hilir Kelapa Sawit, Permenperind No.13/M-IND/PER/1/2010, Ps 1 angka 2. 28Ibid, Lampiran Permenperind No.13/M-IND/PER/1/2010.

(12)

PT. Satya Kisma Usaha memiliki dua areal perkebunan, salah satunya di Jambi dan lainnya di Sumatera Utara. Unit usaha pabrikan yang dimilikinya terletak di kawasan Jambi.

Sebagai suatu perusahaan terpadu kelapa sawit yang melakukan kegiatan perkebunan, sehingga berbasis perkebunan, dengan mengolah hasil perkebunan menjadi CPO, maka PT. Satya Kisma Usaha dapat digolongkan menjadi perusahaan terpadu dalam bidang industri kelapa sawit.

CPO dan PKO dapat dibuat menjadi berbagai jenis produk. Pabrik pengolahan CPO dan PKO disebut refineri dan ekstraksi yang menghasilkan beberapa jenis minyak siap pajak seperti minyak goreng dan beberapa jenis minyak yang harus diproses lebih lanjut untuk menghasilkan produk lain.29

Untuk mendapatkan hasil CPO dan PKO tersebut, maka bagi perusahan yang berbasiskan perkebunan dimana hasil dari kegiatan perkebunan adalah Tandan Buah Segar (TBS), TBS tersebut harus melalui proses pengolahan lebih lanjut dalam unit pabrikan.

Pada Pajak Pertambahan Nilai, nilai tambah adalah yang dikenakan PPN. PPN dipungut dengan menggunakan metode pengkreditan pajak masukan, selisih antara pajak masukan dengan pajak keluaran akan dipungut dan disetor ke negara, selisih tersebut dianggap sebagai nilai tambah yang dikenai pajak berdasarkan tarif sesuai peraturan perundang-undangan.

Pada UU No. 42 Tahun 2009 tidak diatur mengenai pengkreditan pajak masukan pada perusahaan terpadu, tetapi diatur mengenai pengkreditan pajak masukan. Pada perusahaan terpadu diatur dalam PMK No. 78/PMK.03/2010, untuk perusahaan terpadu di bidang kelapa sawit, sebagai penjelasan atas PMK No. 78/PMK.03/2010 diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-90/PJ/2011. Pengkreditan pajak masukan pada UU No. 42 Tahun 2009 memiliki beberapa persyaratan, yaitu, harus adanya pajak keluaran, dengan adanya pajak keluaran maka harus terjadi penyerahan. Pajak keluaran dipuungut oleh pengusaha kena pajak pada saat melakukan penyerahan. Untuk mengetahui besarnya pajak masukan dan pajak keluaran maka dibutuhkan faktur pajak. Pajak masukan dan pajak keluaran harus berada pada satu masa pajak yang sama.

Alasan harus adanya penyerahan adalah bahwa salah satu legal character PPN adalah bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi, seperti yang dikemukakan oleh Untung Sukardji30

29Maruli Pardamean, Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit, cet. 1, (Jakarta: PT AgroMedia Pustaka, 2008), hlm. 12

(13)

dan Ben Terra31, PPN dikenakan atas kegiatan konsumsi atas barang dan jasa. Atas dasar ini, maka pemungut PPN dan pemikul beban PPN adalah berbeda. Pemikul beban PPN adalah pihak yang mempergunakan barang atau jasa yang dia terima untuk kegiatan konsumsi.

Seperti juga disebutkan dalam Penjelasan Umum UU No. 42 Tahun 2009 bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi32, serta didukung dengan pasal 4, mengenai hal-hal apa saja yang dikenakan PPN, salah satunya adalah bahwa PPN dikenakan atas penyerahan BKP/JKP di dalam daerah pabean, pengenaan PPN pada saat penyerahan adalah karena yang akan menanggung adalah si penerima BKP, karena dianggap sebagai pemikul beban PPN, hal itu jika dia akan menggunakannya untuk kegiatan konsumsi, jika tidak maka dia bukan pemikul, tetapi jika ya, maka dia sebagai pemikul.

Berdasarkan uraian mengenai perusahaan terpadu kelapa sawit, kita mengetahui bahwa, perusahaan terpadu kelapa sawit adalah peusahaan yang bergerak di bidang industri kelapa sawit yang memiliki perkebunan sebagai basis usahanya dalam mengolah TBS menjadi CPO dan/atau PKO. Berarti hasil dari perusahaan terpadu tersebut adalah CPO dan/atau PKO yang kemudian dijual atau dipasarkan.

CPO dan/atau PKO adalah termasuk dalam BKP, sehingga pada saat melakukan penyerahan atau dipasarkan, perusahaan memungut pajak keluaran. Ketentuan mengenai BKP dan/atau JKP terdapat pada pasal 4A, mengenai yang bukan termasuk BKP dan/atau JKP, dikarenakan PPN adalah suatu pajak yang netral maka sejatinya PPN dikenakan pada semua barang dan jasa. Hanya saja untuk menekan tingkat regresifitas yang tinggi, maka undang-undang melakukan pengecualian terhadap barang-barang yang tidak dikenakan pajak.

Pajak masukan yang dibayarkan tidak termasuk pajak masukan dalam hal yang disebutkan pasal 8. Dalam rangka melakukan kegiatan usahanya, perusahaan terpadu yang berbasiskan perkebunan harus membeli alat-alat untuk dalam rangka kegiatan perkebunan dan pabrikannya, pada saat pembelian ini, perusahaan membayarkan pajak masukan.

Sehingga PKP melakukan pengkreditan pajak masukan, yaitu mengurangkan pajak keluaran pada saat melakukan penyerahan CPO dan/atau PKO dengan pajak masukan yang dibayarkan dalam rangka perolehan BKP dan atau JKP yang dimaksudkan dalam rangka menunjang kegiatan menghasilkan CPO dan/atau PKO tersebut.

Pengkreditan pajak masukan pada perusahaan terpadu menurut PMK No. 78/PMK.03/2010 adalah bahwa mengenai pajak masukan yang dibayarkan dalam rangka

31Terra, Ben, Sales Taxation: The case of Value Added Tax in the European Community, (Deventor-Boston: Kluwer Law and Taxation Publishers, 1988), hlm. 8.

(14)

menghasilkan suatu BKP dan/atau JKP dapat dikreditkan seluruhnya, tetapi jika dalam rangka menghasilkan bukan BKP dan/atau JKP tidak dapat dikreditkan seluruhnya.

Pada perusahaan terpadu kelapa sawit, maka yang memiliki basis usaha perkebunan dan pabrik minyak kelapa sawit, dimana jika mengacu kepada pengertian pada PMK No. 78/PMK.03/2010 tersebut, berarti usaha perkebunannya menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) dan pabrik minyak kelapa sawit menghasilkan CPO dan/atau PKO. Sehingga perusahaan tersebut hanya dapat melakukan pengkreditan pajak masukan yang dibayarkan untuk perolehan dalam usaha kegiatan pabrik saja. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam UU No. 42 Tahun 2009.

Surat Edaran No. SE-90/PJ/2011 berisikan mengenai perlakuan pengkreditan pajak masukan khusus bagi perusahaan terpadu di bidang kelapa sawit, yang isinya juga sama dengan PMK No. 78/PMK.03/2010.

Jadi, syarat pengkreditan pajak masukan pada PMK No. 78/PMK.03/2010 adalah bahwa pajak masukan dapat dikreditkan jika pajak masukan dibayarkan dalam rangka perolehan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak (yang atas penyerahannya terutang pajak).

Berdasarkan penjabaran tersebut, kita dapat mengetahui bahwa telah terjadi perbedaan pengaturan dalam UU No. 42 Tahun 2009 dan PMK No. 78/PMK.03/2010 dalam hal pengkreditan pajak masukan. Pada UU No. 42 Tahun 2009 kita menemukan bahwa pengkreditan pajak masukan adalah berdasarkan kegiatan penyerahan, tidak adanya penyerahan maka tidak akan adanya pengkreditan, sedangkan PMK No. 78/PMK.03/2010 mengatur bahwa kegiatan pengkreditan pajak masukan berkaitan dengan kegiatan menghasilkan. Selama yang dihasilkan adalah BKP dan/atau JKP maka pajak masukan yang ada dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada saat penjualan atau penyerahan BKP dan atau JKP.

Pada kegiatan usaha terpadu kelapa sawit, jika kita merujuk kembali kepada kegiatan usaha terpadu dari perusahaan terpadu kelapa sawit maka dapat diketahui bahwa jika menggunakan kegiatan penyerahan sebagai dasar pengkreditan pajak masukan, sesuai dengan UU No. 42 Tahun 2009, maka pajak masukan dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada saat melakukan penyerahan yang terutang pajak, yaitu penyerahan BKP dan/atau JKP, dimana penyerahan tersebut kembali lagi harus sesuai dengan definisi penyerahan pada pasal 1A UU No. 42 Tahun 2009.

Sehingga jika penyerahan yang dilakukan oleh perusahaan terpadu kelapa sawit,sesuai dengan definisi penyerahan pada pasal 1A, dimana sebagai contoh, penyerahan tersebut

(15)

adalah penyerahan CPO yang dilakukan perusahaan terpadu, maka pajak masukan atas kegiatan perkebunan dan pabrikan sebagai suatu sistem kegiatan usaha terpadu dapat di kreditkan dengan pajak keluaran saat penyerahan CPO tersebut.

Lain halnya dengan PMK No. 78/PMK.03/2010, sepanjang yang dihasilkan adalah BKP dan/atau JKP maka yang dapat dikreditkan adalah yang dalam rangka menghasilkan BKP dan/atau JKP tersebut.

Pada perusahaan terpadu yang menghasilkan BKP dan/atau JKP tersebut, maka perusahaan terpadu yang berbasiskan perkebunan dan menghasilkan CPO, seharusnya dapat mengkreditkan pajak masukan, karena menghasilkan CPO sebagai BKP.

Tetapi berdasarkan wawancara dengan bapak Asep Muhammad dan bapak Heri Supriyanto, diketahui bahwa berdasarkan PMK No. 78/PMK.03/2010, pajak masukan dalam rangka kegiatan perkebunan tidak dapat dikreditkan dengan pajak keluaran saat menyerahkan CPO. Karena dianggap bahwa pajak masukan atas kegiatan perkebunan adalah dalam rangka menghasilkan suatu barang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak, yaitu Tandan Buah Segar atau TBS.

Sehingga berdasarkan PMK No. 78/PMK.03/2010 yang dapat dikreditkan hanya pajak masukan dalam rangka kegiatan pabrikan yang nyata-nyata digunakan dalam rangka menghasilkan CPO.

Untuk hal ini penulis sependapat dengan pengatruan dalam UU No. 42 Tahun 2009, karena berkaitan dengan kegiatan penyerahan, dimana dalam penjelasan sebelumnya penulis telah menjabarkan bahwa kegiatan penyerahan berkaitan dengan legal character dari PPN tersebut yaitu sebagai pajak yang dikenakan atas konsumsi. Sehingga bukan berkaitan dengan kegiatan menghasilkan.

Putusan Pengadilan Pajak No. put.36474/PP/M.XII/16/2012 adalah mengenai perkara banding atas Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-065A/WPJ.26/BD.06/2010, tanggal 29 Oktober 2010, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Januari hingga Maret 2008. Antara PT. Satya Kisma Usaha dengan Direktur Jenderal Pajak33.

Salah satu kasus mengenai pengkreditan pajak masukan adalah yang dialami oleh PT Satya Kisma Usaha, yang mengajukan banding pada tanggal 1 Maret 2010 atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai masa Pajak Januari sampai

33Pengadilan Pajak, Putusan Atas Perkara banding terhadap Surat Keputusan Direktur

Jenderal Pajak No. KEP-065A/WPJ.26/BD/06/2010, tanggal 1 Februari 2012, antara PT Satya Kisma Usaha melawan Direktur Jenderal Pajak. Putusan No.36474/PP/M.XII/16/2012.

(16)

dengan Maret 2008 Nomor : 00015/207/08/116/10 tanggal 4 Januari 2010, diterbitkan berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pajak Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Rantau Prapat Nomor: LAP-79/WPJ.26/KP.0305/2009 tanggal 29 Desember 2009. Banding tersebut ditolak dengan Keputusan Terbanding Nomor : KEP-065A/WPJ.26/BD.06/2010 tanggal 29 Oktober 2010. Pada 23 November 2010 PT Satya Kisma Usaha kembali mengajukan banding atas putusan tersebut.

Banding diajukan oleh PT Satya Kisma Usaha terhadap SKPKB PPN yang diterbitkan oleh KPP Pratama Rantau Prapat, karena keberatan terhadap koreksi pajak yang dilakukan oleh KPP Pratama Rantau Prapat. Pada koreksi pajak tersebut, KPP Pratama Rantau Prapat dalam SKPKB PPN nya berpendapat bahwa, pajak masukan yang dibayar pada saat perolehan BKP/JKP yang dalam rangka untuk digunakan dalam perkebunan kelapa sawit tidak dapat dikreditkan seluruhnya oleh PT Satya Kisma Usaha. Karena berdasarkan PP No. 7 Tahun 2007 jo. PP no. 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan BKP tertentu yang bersifat startegis, maka pajak masukan atas pelaksanaan kebun tersebut tidak dapat dikreditkan. Sehingga menurut pemeriksa pajak, pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah pajak masukan atas biaya pengolahan produk.

Alasan lainnya adalah bahwa menurut hasil pemeriksaan, berdasarkan Perjanjian Pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) diketahui bahwa PT Satya Kisma Usaha tidak memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit, hasil kebun berupa TBS dititip olah menjadi CPO dan PK, pada pabrik milik PT Tapian Nadenggan, yang memiliki saham pada PT Satya Kisma Usaha sebesar 37%. Menurut pemeriksa pajak telah terjadi penyerahan TBS pada hal ini, sehingga timbul pengenaan PPN, tetapi berdasarkan PP No. 7 Tahun 2007 jo. PP no. 12 Tahun 2001, maka atas penyerahan tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN, sehingga pajak masukan tersebut tidak dapat dikreditkan.

Perjanjian antara PT Satya Kisma Usaha dengan PT Tapian Nadenggan adalah perjanjian pengolahan tandan buah segar. Perjanjian dimaksudkan bahwa PT Satya Kisma Usaha menunjuk PT Tapian Nadenggan untuk mengolah hasil TBS miliknya menjadi CPO dan PKO, dengan menggunakan fasilitas pengolahan yang dimiliki oleh PT Tapian Nadenggan.

Pada pasal 1 Perjanjian Pengolahan Tandan Buah Segar, disebutkan bahwa semua TBS milik PT Satya Kisma Usaha yang terdapat pada PT Tapian Nadenggan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya selain untuk diolah menajdi CPO dan/atau PKO kecuali ada persetujuan dari PT Satya Kisma Usaha. Kemudian PT tapian Nadenggan harus menjaga kualitas dan kuantitas CPO dan/atau PKO milik pihak pertama agar sesuai dengan standar

(17)

yang berlaku, selama CPO dan PKO tersebut berada dalam gudang penyimpanan milik PT Tapian Nadenggan.

Berdasarkan kronologis kasus tersebut maka permasalahannya adalah Bahwa menurut PT Satya Kisma Usaha Pajak Masukan yang dibayar dalam rangka perolehan BKP/JKP atas pelaksanaan perkebunan kelapa sawit miliknya, dapat dikreditkan dengan Pajak keluaran yang dipungut pada saat ia menjual CPO dan PK sebagai hasil akhir perusahaannya. Hal ini berbeda dengan koreksi pajak yang dilakukan pemeriksa pajak KPP Pratama Rantau Prapat.

Kemudian Bahwa menurut PT Satya Kisma Usaha, tidak ada kegiatan penyerahan TBS kepada PT Tapian Nadenggan, menurutnya itu hanya dititip olah saja. Hal ini berbeda dengan keyakinan dari pemeriksa pajak.

Kemudian fakta lainnya adalah, dikarenakan PT Satya Kisma Usaha, yang walaupun adalah perusahaan terpadu yang menghasilkan CPO, tidak memiliki pabrik minyak kelapa sawit, maka ia menggunakan jasa titip olah pada PT. Tapian Nadenggan, untuk mengolah TBS miliknya menjadi CPO yang kemudian dipasarkan.

Kemudian, dikarenakan yang dipermasalahkan adalah pengkreditan pajak masukan pada masa pajak Januari hingga Maret 2008, maka peraturan yang digunakan adalah berdasarkan peraturan yang berkaitan yang berlaku pada 2008, yaitu UU No. 18 Tahun 2000 sebelum dirubah dengan UU No. 42 Tahun 2009 dan KMK 575/KMK.03/2000.

Sebagai perusahaan terpadu, PT. Satya Kisma Usaha yang bergerak di bidang industri kelapa sawit, melakukan kegiatan usaha terpadu yang menghasilkan CPO. Kegiatan usaha terpadu tersebut terdiri dari kegiatan pada perkebunan dan kegiatan pada pabrikan.

Pada kegiatan perkebunannya ia membutuhkan BKP dan/atau JKP dalam rangka melaksanakan kegiatan tersebut, begitu juga dengan kegiatan pada pabrikan. Sehingga ketika ia menjual CPO, PT. Satya Kisma Usaha melakukan pengkreditan pajak masukan atas BKP dan/atau JKP yang ia gunakan dalam rangka menghasilkan CPO miliknya. Kriteria pajak masukan menurut PT. Satya Kisma Usaha adalah BKP dan/atau JKP yang ia gunakan pada kegiatan perkebunan dan pada kegiatan pabrikan.

Berdasarkan pasal 1 angka 1, PP No. 31 tahun 2007 sebagai perubahan atas PP No. 12 Tahun 2001, salah satu BKP strategis adalah barang hasil pertanian, lebih lanjut dikatakan pada pasal 1 angka 2 bahwa barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha dibidang, salah satunya, pertanian, perkebunan dan kehutanan. Dikarenakan TBS adalah barang hasil perkebunan maka termasuk dalam BKP strategis.

(18)

Pasal 16B ayat (3) UU No. 18 Tahun 2000 memberikan ketentuan bahwa pajak masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan.

Maka berdasarkan kedua pasal tersebut, pajak masukan atas perolehan barang atau jasa kena pajak yang dibayarkan pada saat pembelian tidak dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada saat penyerahan TBS, menurut pemeriksa pajak, berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Januari Sampai dengan Maret 2008 No. 00015/207/08/116/10 tanggal 4 Januari 2010 yang diterbitkan berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pajak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Rantau Prapat No. LAP-79/WPJ.26/KP.0305/2009 tanggal 29 Desember 2009.

Kita mengetahui bahwa PT. Satya Kisma Usaha menggunakan jasa titip olah dengan PT Tapian Nadenggan berdasarkan perjanjian titip olah antara keduanya. Menurut pemeriksa pajak, PT Satya Kisma Usaha telah melakukan penyerahan TBS kepada PT Tapian Nadenggan, yaitu penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian.

Perjanjian antara PT Satya Kisma Usaha dengan PT Tapian Nadenggan adalah perjanjian pengolahan tandan buah segar. Perjanjian dimaksudkan bahwa PT Satya Kisma Usaha menunjuk PT Tapian Nadenggan untuk mengolah hasil TBS miliknya menjadi CPO dan PKO, dengan menggunakan fasilitas pengolahan yang dimiliki oleh PT Tapian Nadenggan.

Pada pasal 1 Perjanjian Pengolahan Tandan Buah Segar, disebutkan bahwa semua TBS milik PT Satya Kisma Usaha yang terdapat pada PT Tapian Nadenggan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya selain untuk diolah menajdi CPO dan/atau PKO kecuali ada persetujuan dari PT Satya Kisma Usaha. Kemudian PT tapian Nadenggan harus menjaga kualitas dan kuantitas CPO dan/atau PKO milik pihak pertama agar sesuai dengan standar yang berlaku, selama CPO dan PKO tersebut berada dalam gudang penyimpanan milik PT Tapian Nadenggan.

Benda dibedakan menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Kemudian benda bergerak dibedakan lagi dengan benda bergerak berwujud dan benda bergerak tidak berwujud. Pembedaan terhadap benda ini adalah penting untuk mengetahui bagaimana penyerahannya.

Penyerahan benda bergerak berwujud sesuai dengan pasal 612 ayat (1) Kuhper diserahkan secara nyata dari tangan ke tangan, tetapi ada kemungkinan barangnya sudah ditaruh di gudang jadi yang ada hanya penyerahan secara simbolik saja. Kemudian penyerahan untuk benda bergerak tidak berwujud adalah dengan cara sesuai dengan pasal 613 Kuhper yaitu untuk surat piutang atas nama dengan cara cessie, surat piutang atas bawa

(19)

dengan penyerahan nyata dari pemilik lama kepada pemilik baru, dan surat piutang atas unjuk diserahkan dengan cara melalui penyerahan dan endorsmen.

Tandan Buah Segar atau TBS adalah termasuk benda bergerak berwujud. Sehingga penyerahannya cukup dengan diserahkan secara fisik saja. Tetapi untuk sahnya penyerahan tersebut terdapat syarat sah nya penyerahan, yaitu adanya alas hak yang sah maksudnya terdapat suatu hubungan hukum yang mengakibatkan adanya peralihan, dan diserahkan kepada orang yang berwenang/berhak.

Penyerahan tersebut adalah berdasarkan Perjanjian Pengolahan TBS, dimana dalam perjanjian disebutkan bahwa PT Satya Kisma Usaha menitipkan TBS hasil perkebunannya kepada PT Tapian Nadenggan untuk diolah dalam pabriknya, setelah diolah menjadi CPO, CPO akan diberikan kepada PT Satya Kisma Usaha dan kemudian dijual. Jadi TBS tersebut di titip olah, tidak ada alas hak yang sah dalam hal ini.

Maka berdasarkan uraian tersebut, tidak terjadi penyerahan TBS berdasarkan perjanjian. Sehingga penyerahan TBS tersebut tidak mengalihkan hak kepemilikan atas TBS tersebut dari PT Satya Kisma Usaha terhadap PT Tapian Nadenggan. Maka penyerahan tersebut tidak memenuhi unsur pasal 1A ayat (1) angka 1.

Kemudian, berdasarkan keterangan sebelumnya, PT Satya Kisma Usaha adalah sebuah perusahaan terpadu di bidang kelapa sawit, untuk itu kegiatan usaha terpadunya adalah seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, yaitu berbasis perkebunan dan menghasilkan CPO. Karena itu hasil yang dipasarkan adalah CPO dan PKO bukan TBS, jad penyerahan barang kena pajak terjadi pada saat PT Satya Kisma Usaha melakukan penyerahan CPO dan PKO. Sehingga pajak masukan dapat dikreditkan dengan pajak keluaran, karena hal tersebut memenuhi juga persyaratan dari UU No. 18 Tahun 2000 yang berlaku saat itu ketika kasus ini terjadi.

Berdasarkan KMK No. 575/KMK.04/2000, peraturan menteri keuangan yang mengatur mengenai pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak (saat ini berlaku PMK No. 78/PMK.03/2010), salah satu pengertian pengusaha kena pajak adalah pengusaha yang melakukan kegiatan usaha terpadu.

Pada pasal 1 ayat (1), disebutkan bahwa pajak masukan yang dibayarkan oleh pengusaha kena pajak pada saat perolehan barang modal yang digunakan dalam rangka menghasilkan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya terutang pajak pertambahan nilai, dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada saat penyerahan BKP atau JKP.

(20)

melakukan pengkreditan pajak masukan atas kegiatan perkebunan tersebut, karena berdasarkan kegiatan usaha terpadu yang dilakukannya, PT Satya Kisma Usaha menghasilkan CPO dan PKO, yang adalah BKP yang atas penyerahannya terutang pajak pertambahan nilai.

Hakim pada pengadilan pajak dalam pertimbangan putusannya menyatakan bahwa pemeriksa pajak tidak dapat membuktikan bahwa PT. Satya Kisma Usaha sebagai pengusaha yang melakukan penjualan CPO dan PKO karena tidak memiliki unit pabrikan, melainkan meminjam pabrik milik PT Tapian Nadenggan. Majelis hakim berpendapat bahwa anggapan terbanding tidak tepat karena penjualan CPO dan PK yang telah dilaporkan oleh PT Satya Kisma Usaha dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai telah diakui oleh PT Satya Kisma Usaha tanpa melakukan reklasifikasi yang berarti bahwa walaupun ia tidak mempunyai pabrik pengolahan, ia tetap dapat melakukan penyerahan CPO miliknya yang diolah olehnya dari TBS miliknya. Sehingga menurut majelis hakim, koreksi pemeriksa pajak tersebut tidaklah tepat.

Maka dari itu sepanjang perusahaan PT. Satya Kisma Usaha dapat membuktikan bahwa kegiatan usaha terpadu yang dilakukannya adalah dalam rangka menghasilkan CPO yang BKP maka pajak masukan dapat dikreditkan. Hal ini sesuai dengan putusan hakim pada pengadilan pajak yang menyatakan bahwa pajak masukan dapat dikreditkan saat penjualan CPO.

Jika kasus tersebut ditinjau dengan menggunakan UU No. 42 Tahun 2009, bahwa untuk mengetahui apakah pajak masukan tersebut dapat dikreditkan, kita harus melihat kepada syarat dari pengkreditan pajak masukan itu sendiri.

Pertama, untuk melihat apakah terdapat pajak keluaran dalam kasus tersebut, kita harus mengetahui dahulu apakah terdapat kegiatan penyerahan atau tidak. Yang termasuk dalam kegiatan penyerahan menurut pasal 1A UU No. 42 Tahun 2009 adalah :

Berdasarkan hasil pemeriksaan oleh pemeriksa dari KPP Pratama Rantau Prapat, PT Satya Kisma Usaha telah menyerahkan TBS, yaitu hasil dari perkebunan kelapa sawit, untuk dititip olah pada pabrik milik PT Tapian Nadenggan, yang mana berdasarkan Perjanjian Pengolahan Tandan Buah Segar (TBS).

Penyerahan yang dilakukan oleh PT Satya Kisma Usaha tersebut, apakah termasuk ke dalam penyerahan yang terutang pajak, untuk mengetahuinya maka harus merujuk kepada pasal 1A, jika penyerhan itu termasuk dalam pasal 1A maka telah terjadi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Pada kasus ini, objek penyerahannya adalah TBS. Berdasarkan PP No. 37 Tahun 2007 TBS merupakan BKP startegis yang dibebaskan dari pengenaan pajak, sehingga berdasarkan

(21)

pasal 16B atas penyerahannya adalah tidak terutang PPN.

Walaupun begitu, hal mengenai adanya kegiatan penyerahan adalah tetap berhubungan dengan pengkreditan pajak masukan, untuk mengetahui ada atau tidaknya pengkreditan pajak masukan, kita harus mengetahui dahulu ada atau tidaknya penyerahan, kemudian untuk mengetahui apakah pajak masukan tersebut dapat dikreditkan atau tidak kita harus melihat apakah penyerahan tersebut terutang atau tidak terutang pajak, kalau dia terutang pajak, maka akan timbul pajak keluaran yang dapat dikreditkan dengan pajak masukan.

BKP adalah Barang Kena Pajak, jadi suatu barang yang dikenakan pajak. Barang dapat juga disebut dengan benda, benda dalam hukum perdata adalah segala sesuatu yang dapat di haki oleh seseorang. Penyerahan hak atas suatu BKP berarti menyerahkan hak atas suatu benda. Hak kebendaan dalam hukum perdata adalah hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang, memberikan suatu kekuasan atas suatu benda.

Penyerahan benda bergerak berwujud sesuai dengan pasal 612 ayat (1) Kuhper diserahkan secara nyata dari tangan ke tangan, tetapi ada kemungkinan barangnya sudah ditaruh di gudang jadi yang ada hanya penyerahan secara simbolik saja. Kemudian penyerahan untuk benda bergerak tidak berwujud adalah dengan cara sesuai dengan pasal 613 Kuhper yaitu untuk surat piutang atas nama dengan cara cessie, surat piutang atas bawa dengan penyerahan nyata dari pemilik lama kepada pemilik baru, dan surat piutang atas unjuk diserahkan dengan cara melalui penyerahan dan endorsmen.

Tandan Buah Segar atau TBS adalah termasuk benda bergerak berwujud. Sehingga penyerahannya cukup dengan diserahkan secara fisik saja. Tetapi untuk sahnya penyerahan tersebut terdapat syarat sah nya penyerahan, yaitu adanya alas hak yang sah maksudnya terdapat suatu hubungan hukum yang mengakibatkan adanya peralihan, dan diserahkan kepada orang yang berwenang/berhak.

Penyerahan tersebut adalah berdasarkan Perjanjian Pengolahan TBS, dimana dalam perjanjian disebutkan bahwa PT Satya Kisma Usaha menitipkan TBS hasil perkebunannya kepada PT Tapian Nadenggan untuk diolah dalam pabriknya, setelah diolah menjadi CPO, CPO akan diberikan kepada PT Satya Kisma Usaha dan kemudian dijual. Jadi TBS tersebut di titip olah, tidak ada alas hak yang sah dalam hal ini, tidak terjadi penyerahan TBS berdasarkan perjanjian. Sehingga penyerahan TBS tersebut tidak mengalihkan hak kepemilikan atas TBS tersebut dari PT Satya Kisma Usaha terhadap PT Tapian Nadenggan. Maka penyerahan tersebut tidak memenuhi unsur pasal 1A ayat (1) angka 1.

(22)

perkebunan dapat dikreditkan karena tidak adanya unsur penyerahan pada saat menyerahkan TBS kepada PT. Tapian Nadenggan berdasarkan perjanjian Titip Olah, maka itu tidak terpenuhinya syarat pengkreditan pajak masukan pada saat itu. Tetapi terjadi syarat pengkreditan pajak masukan pada saat melakukan penyerahan yang terutang pajak, yaitu pada saat melakukan penyerahan CPO.

Kasus tersebut terjadi sebelum keluarnya PMK No. 78/PMK.03/2010, bagaimana penyelesaian atas kasus tersebut jika menggunakan PMK No. 78/PMK.03/2010, karena PT. Satya Kisma Usaha termasuk dalam kegiatan usaha terpadu.

Kemudian, dikarenakan PT. Satya Kisma Usaha adalah suatu perusahaan terpadu yang bergerak dibidang kelapa sawit, maka perlu menggunakan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No. SE-90/PJ/2011 tentang Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan pada Perusahaan Terpadu Kelapa Sawit. SE-90/PJ/2011 berisi penegasan dari PMK No. 78/PMK.03/2010, berdasarkan keterangan dari Bapak Heri Supriyanto, Ketua Tim Pemeriksa Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak, bahwa SE-90/PJ/2011 bersifat mengatur teknis dilapangan agar lebih khusus mengatur dan lebih jelas mengenai perusahaan terpadu kelapa sawit, tetapi isi dari SE-90/PJ/2011 adalah sama halnya dengan PMK No.78/PMK.03/2010. Sebagai contoh adalah dibagian lampiran mengenai perlakuan pengkreditan pajak masukan di perusahaan terpadu kelapa sawit, bahwa pada PMK No. 78/PMK.03/2010 menggunakan jagung dan minyak jagung, kemudian pada SE-90/PJ/2011 menggunakan TBS dan CPO, sementara itu pengaturan perlakuannya tetap sama.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka PT Satya Kisma Usaha hanya dapat mengkreditkan pajak masukan atas perolehan BKP/JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan BKP, yaitu CPO. Sehingga segala pajak masukan atas perolehan BKP/JKP yang nyata-nyata tidak digunakan untuk menghasilkan CPO tidak dapat dikreditkan, yaitu termasuk pajak masukan atas perolehan BKP/JKP atas kegiatan pengolahan perkebunan yang menghasilkan TBS (dibebaskan dari pengenaan PPN). Maka yang dapat dikreditkan hanya pajak masukan atas perolehan BKP/JKP dalam rangka kegiatan pabrikan yang menghasilkan CPO tersebut.

Sehingga jika menurut peraturan setelah tahun 2009. Berdasarkan PMK No. 78/PMK.03/2010 dan SE-90/PJ-2011, PT. Satya Kisma Usaha walaupun dapat membuktikan bahwa hasil dari kegiatan usahanya adalah CPO yang BKP ia tetap tidak dapat mengkreditkan pajak masukannya karena ia dianggap juga menghasilkan TBS yang bukan BKP pada unit usaha perkebunannya.

(23)

3. Penutup Simpulan

Maka didapatkan hasil yang berbeda dari menggunakan peraturan ketika kasus tersebut keluar, yaitu dengan UU No. 18 Tahun 2000, PP No. 31 Tahun 2007 dan KMK No. 575/KMK.04/2000 dengan menggunakan UU No. 42 Tahun 2009 dan PMK No. 78/PMK.03/2010.

Pada putusan pengadilan pajak, PT. Satya Kisma Usaha dapat mengkreditkan pajak masukannya yang dibayarkan dalam rangka peroelahan BKP dan/atau JKP untuk kegiatan perkebunan, karena PT. Satya Kisma Usaha dapat membuktikan bahwa menurut hakim pengadilan pajak tersebut dia menghasilkan CPO sebagai BKP yang terutang pajak atas penyerahannya.

Sedangkan jika peraturan setelah tahun 2010, berdasarkan analisis dengan UU No. 42 Tahun 2009 maka PT. Satya Kisma Usaha dapat mengkreditkan pajak masukannya, sedangkan berdasarkan PMK No. 78/PMK.03/2010 hanya pajak masukan dalam rangka kegiatan pabrik saja yang dapat dikreditkan dengan pajak keluaran saat penjualan CPO miliknya.

Saran

Berdasarkan penelitian ini, penulis dapat menyarakan agar pemerintah dalam menerbitkan peraturan terkait perpajakan untuk lebih memperhatikan mengenai legal character dari suatu pajak, dalam hal ini adalah pajak pertambahan nilai, agar tidak terjadi pertentangan antar tiap peraturan yang mengatur terkait pajak pertambahan nilai.

DAFTAR PUSTAKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-undang Perkebunan. UU No. 18 Tahun 2004, LN. Tahun 2004 No. 24, TLN. No. 4411

Indonesia, Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan. UU No. 28 Tahun 2007. LN No. 28 Tahun 2007

Indonesia, Undang-undang Pajak Penghasilan, UU No. 36 Tahun 2008, LN. Tahun 2008 No. 133, TLN. No. 4893

Indonesia. Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. UU no. 42 tahun 2009. LN No. 150 Tahun 2009.

(24)

Indonesia. Peraturan Pemerintah Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai,

PP No. 12 Tahun 2001, LN No. 24 tahun 2001, TLN. No. 4083 Tahun 2001.

Kementrian Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak. PMK No. 78/PMK.03/2010. BN No. 168 Tahun 2010.

Indonesia. Peraturan Mentri Perindustrian tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit. Permenperind No.13/M- IND/PER/1/2010 Direktur Jenderal Pajak. Surat Edaran tentang Pengkreditan Pajak Masukan Pada

Perusahaan Terpadu (Intergrated) Kelapa Sawit. SE No. SE-90/PJ/2011 KEPUTUSAN PENGADILAN

Mahkamah Agung. Keputusan Perkara Permohonan Uji Materil antara Joefly J. Bachroeny dengan Menteri Keuangan RI tentang Peraturan Menteri Keuangan No. 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak. Putusan Nomor 57P/HUM/2010.

Pengadilan Pajak, Putusan Atas Perkara banding terhadap Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-065A/WPJ.26/BD/06/2010, tanggal 1 Februari 2012, antara PT Satya Kisma Usaha melawan Direktur Jenderal Pajak. Putusan No.36474/PP/M.XII/16/2012.

BUKU

Boediono, B. Pajak Pendjualan. Djakarta: Jamunu, 1971

Direktorat Jenderal Pajak, Buku Panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, Jakarta: Kementrian Keuangan Republik Indonesia, 2011

Pardamean, Maruli, Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit, cet. 1, Jakarta: PT AgroMedia Pustaka, 2008.

Rosdiana, Haula. Perpajakan : Teori dan Aplikasi. Ed. 1. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005

Schenk, Alan dan oliver Oldman. Value Added Tax : A Comparative Approach. Cambridge: Cambridge University Press, 2007

(25)

Sukardji, Untung. Pokok-pokok Pajak Pertambahan Nilali Indonesia. Cet.7. Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011

Sukardji, Untung. UU PPN 1984 Setelah Perubahan Ketiga dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 Komentar Pasal Demi Pasal. Cet.1. Jakarta: PT RajaGrafindo, 2010

Tait, Alan. A. Value Added Tax: International Pratice and Problems. Washington DC: International Monetary Fund, 1988

Terra, Ben. Sales taxation: The case of Value Added tax in European Community. (Deventor-Boston: Kluwer Law and Taxation Publishers, 1988.

Tim Penyusun. Gambaran Sekilas Industri Minyak Kelapa Sawit. Jakarta: Departemen Perindustrian.

KARYA ILMIAH

Krisyanto. “Penyandingan Pajak Masukan-Pajak Keluaran Sebagai Pengaman Sistem Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai Indonesia.” Tesis Magister Sains Universitas Indonesia. Jakarta, 2001

Noviyanto, Heru Tri. “Analisis Kebijakan Pengkreditan Pajak Masukan atas Kegiatan Pasca Produksi : Studi Kasus Pajak Masukan atas Kegiatan Pertambangan yang Memiliki Kontrak Karya.” Tesis Magister Sains Universitas Indonesia. Jakarta, 2011

Riyadi, Deden. “Analisis Nilai Wajar Tanaman Kelapa Sawit Berdasarkan

International Accounting Standard 41 Agriculture Dibandingkan dengan Berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 16 Aset Tetap: Studi Pada PT Agro Indonesia. Tesis Magister Akuntansi. Jakarta, 2010.

Rut, Oktaria. “Input Value Added tax Refund Policy for Taxable Enterprise Experiencing Production Failures”. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi. Januari 2011

Teoh, Cheng Hai. “Persoalan Keberlanjutan Kunci dalam Sektor Minyak Kelapa Sawit”. Naskah Diskusi untuk Konsultasi pada Pemangku Kepentingan (ditugaskan oleh World Bank Group). International Finance Corporation, World Bank Group

Yulianto, Andy. “Tinjauan Pengenaan PPN atas Pemakaian Sendiri dan Pemberian Cuma-cuma Terhadap Netralitas Pajak dan Perhitungan Pajak Terhutang.” Tesis Magister Sains. Universitas Indonesia. Jakarta, 2003.

(26)

“Polemik Seputar Penghitungan Kembali Pajak Masukan” http://sulistnugroho.blogspot.com/2012/05/polemik-seputar-

penghitungan-kembali.html. Diunduh pada 13 Juni 2012.

Ahmadi “Pedoman Penghitungan Pengkreditan pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak

Terutang Pajak sesuai PMK Nomor: 78/PMK.03/2010”.

http://pajakita.blogspot.com/. Diunduh pada 13 Juni 2012.

“Gapki Tetap inginkan PPN dapat dikreditkan”.

http://m.mucglobal.com/index.php/news/detail/293. Diunduh pada 13 Juni 2012.

“Pajak Masukan Atas Kebun Kelapa Sawit”.

http://pajaktaxes.blogspot.com/2011/09/pm-atas-kebun-kelapa- sawit.html. Diunduh pada 13 Juni 2012.

Dwi Martani “Perpajakan – PPN”. http://staff.blog.ui.ac.id/martani/dwi-martani/perpajakan/perpajakan-ppn/. Diunduh pada 20 Juni 2012.

Referensi

Dokumen terkait

5,0 8,3 8,3 6,7 13,3.. Aktivitas lain yang presentasinya cukup besar adalah memberi umpan balik/ evaluasi, tanya jawab dan menjelaskan materi yang sulit

Puji Tuhan penulis diberikan kelancaran oleh Allah SWT, sehingga mampu menyelesaikan skripsi dengan judul PENGGAMBARAN SUPERHERO PADA TOKOH DEADPOOL DALAM FILM

prestasi belajar yang baik dari seorang anak yang tidak berminat. untuk mempelajari sesuatu. Memahami kebutuhan anak

Penelitian ini sendiri lebih berfokus pada mahasiswa Indonesia Timur karena kerap terjadi gesekan baik dengan sesama kelompok mahasiswa maupun dengan masyarakat

Untuk itu UII menetapkan standar fasilitas yang terdiri atas fasilitas pembelajaran, laboratorium pengajaran, perpustakaan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, sistem

Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan metode Crashing pada proyek dengan mengunakan bantuan Primavera 6.0 untuk menentukan durasi optimum yang didapat dengan

Mikroorganisme yang tumbuh melekat pada media akan mendegradasi polutan organik seperti zat organik, fosfat dan polutan organik lainya dengan kondisi cukup oksigen terlarut

hlm.. ةصاخلا ثحبلا تافشتكم صالخا تافشتكم نم نوثحابلا اهيلع لصح تيلا جئاتنلل ضرعتلا يه ثحبلا اذله نم تلاباقم نوثحابلا ىرجأ .قئاثولا قئاثو وأ