BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar-dasar Perpajakan
2.1.1 Pengertian Pajak
Pajak merupakan alat (sumber) untuk memasukan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan.
Terdapat banyak pengertian pajak yang dikemukakan para pakar. Berikut pengertian pajak menurut beberapa ahli antara lain, menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo, S. H. (dikutip dari Waluyo, 2008:2) :
“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.”
Menurut Soeparman Soemahamidjaja (dikutip dari Mardiasmo, 2009:1) : “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hokum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”
Sedangkan menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S. H. dalam bukunya yang berjudul Pajak dan Pembangunan (1974:8) :
“Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.”
Pengertian pajak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 :
“Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dari pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :
1. Pajak merupakan suatu iuran dan penyerahannya bersifat wajib dan jika tidak dilaksanakan dengan sendirinya dapat dipaksakan.
2. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.
3. Pajak dipungut disebabkan suatu keadaan, kejadian, atau perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang.
4. Dalam pembayarannya pajak tidak ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
5. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
2.1.1.1 Fungsi Pajak
Berdasarkan pada pengertian pajak yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi pajak adalah sebagai sumber pendapatan negara guna membiayai pengeluaran-pengeluaran umum negara untuk kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, fungsi pajak yang dipaparkan oleh Suandy (2005:14) adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Budgetair/Finansial
Fungsi Budgetair/Finansial yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. 2. Fungsi Regulerend/Fungsi Mengatur
Fungsi regulerend/fungsi mengatur yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur baik masyarakat dibidang ekonomi, social maupun politik dengan tujuan tertentu.
2.1.1.2 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak yang dipaparkan oleh Siti Resmi (2009:11) terdiri atas :
1. Official Assesment System
Sistem ini member kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Contohnya: Pajak Bumi dan Bangunan 2. Self Assesment System
Sistem ini memeberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
3. With Holding Tax
Sistem pemungutan pajak ini member kewenangan kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak terutang oleh wajib pajak. Contohnya: PPh pasal 21, PPh yang bersifat final
2.1.1.3 Asas-Asas Pemungutan Pajak
Asas-asas pemungutan pajak yang telah dituliskan oleh Adam Smith dalam bukunya yang kemudian dikenal dengan nama The Four Cannons atau The Four Maxims (Suandy, 2005:27) adalah sebagai berikut :
1. Equality
Pembebanan pajak di antara subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di bawah perlndungan pemerintah. Dalam hal equality ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesame Wajib Pajak. Dalam keadaan yang sama Wajib Pajak harus diperlakukan sama dan dalam keadaan berbeda Wajib Pajak harus diperlakukan berbeda.
2. Certainty
Pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hokum yang diutamakan adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan mengenai pembayarannya.
Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi Wajib Pajak, yaitu pada saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak.
4. Economic of Collections
Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri. Karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.
Sedangkan asas pemungutan pajak yang dipaparkan oleh Mardiasmo (2009:7) di dalam bukunya adalah sebagai berikut :
1. Asas Domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
2. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
3. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan
berkebangsaam Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku bagi Wajib Pajak Luar Negeri.
2.1.1.4 Teori Pemungutan Pajak
Beberapa teori pajak yang dikemukakam oleh para ahli sebagai dasar pemungutan pakal yang kemudian dipaparkan oleh Siti Resmi (2009:8) adalah sebagai berikut :
1. Teori Asuransi
Teori ini mengatakan bahwa pajak itu diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap warga negara, karena warga negara tersebut telah mendapatka perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah yaitu keselamatan jiwa dan raganya. Tetapi sekarang teori ini sudah tidak dipakai lagi karena tidak tepat dan bertentangan dengan sifat pajak yang diartikan bahwa untuk pembayaran pajak tersebut rakyat tidak meminta imbalannya secara langsung sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh perusahaan asuransi.
2. Teori Kepentingan
Menurut teori ini, yang harus membayar pajak adalah orang yang berkepentingan, dan besarnya pajak yang dibayar sesuai dengan besarnya kepentingan Wajib Pajak yang dilindungi. Teori ini tidak sesuai lagi dan ditinggalkan orang karena tidak sesuai dengam sifat pajak, dimana kadang-kadang berkepentingan adalah orang yang tidak mampu yang justru
dilindungi oleh negara, misalnya rakyat miskin yang memerlukan jaminan social, sehingga disini terdapat kepentingan yang saling bertentangan. Di satu pihak, negra mempunyai kepentingan untuk menghimpun dana dari pajak, tetapi di lain pihak orang yang mempunyai kepentingan ini tidak mampu membayarnya. Sedangkan menurut teori, seharusnya merekalah yang lebih banyak membayar pajak oleh karena itu tidak sesuai dengan kenyataannya. 3. Teori Daya Pikul
Menurut teori daya pikul semua warga negara harus membayar pajak, dimana besar kecilnya pajak tersebut harus sesuai dengan daya pikul seseorang. Yang termasuk dalam daya pikul ini dalah segala macam beban pemgeluaran dan tanggungan keluarganya, dan ini baru dapat dipikul bila seseorang mempunyai penghasilan. Daya pikul seseorang tergantung dari pendapatam yang diperolehnya, susunan keluarga, dan jumlah kekayaam yang dimilikinya.
4. Teori Daya Beli
Teori ini mengatakan bahwa setiap warga negara harus membayar berdasarkan kemampuan membelinya, apabila daya belinya besar berarti pendapatannya cukup besar juga, kemudian dari daya beli tersebut oleh negara (dalam bentuk pajak) disalurkan kembali kepada masyarakat. Jadi pajak ini berasal dari rakyat sesuai dengan kemampuannya yang kemudian kembali kepada rakyat yang disalurkan negara melalui pembangunan dan sebagainya.
5. Teori Bakti
Teori ini mengutamakan kepentingan negara ang merupakan suatu kesatuan dari individu-individu dimana setiap warga negara terikat kepada pemerintahnya, sehingga negara mempunyai hak atas warganya dan memungkinkan secara mutlak untuk memungut pajak dari rakyatnya. Sebaliknya rakyat secara sadar membayar pajak karena menyadarinya sebagai kewajiban asli untuk membuktikan tanda baktinya kepada negara.
2.1.1.5 Pembagian Pajak
Sebagaimana yang dipaparkan oleh Siti Resmi (2009:7) Pajak dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelempok, yaitu :
1. Menurut Golongan, adalah sebagai berikut :
a. Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan.
b. Pajak tidak langsung, adalah pajak yang dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut Sifat, adalah sebagai berikut :
a. Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Pajak Negara yang berlaku di Indonesia sampai saat ini adalah : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Bea Materai.
b. Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak Reklame, Pajak Hiburan.
2.1.2 Pajak Daerah
2.1.2.1 Pengertian Pajak Daerah Menurut Suandy (2005:236):
“Pajak Daerah adalah iuran wajib pajak yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.”
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah:
“Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
2.1.2.2 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Daerah
Dasar hukum pemungutan pajak daerah adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah. 2.1.2.3 Ciri-ciri Pajak Daerah
1. Pajak daerah berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah.
2. Penyerahaan dilakukan berdasarkan undang-undang.
3. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undang-undang atau peraturan hukum lainnya.
4. Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik.
2.1.2.4 Sistem Pemungutan Pajak Daerah
Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Walikota Bandung Nomor 330 Tahun 2008:
1. Sistem pemungutan pajak daerah
Pemungutan pajak daerah saat ini menggunakan tiga system pemungutan pajak. Sebagaimana yang tertera di bawah ini :
a. Dibayar sendiri oleh wajib pajak b. Ditetapkan oleh kepala daerah c. Dipungut oleh pemungut pajak 2. Pemungutan pajak daerah
Dimungkinkan kerjasama dengan pihak ketiga dalam proses pemungutan pajak, antara lain :
b. Pengiriman surat-surat kepada wajib pajak c. Penghimpunan data objek dan subjek pajak
Untuk wajib pajak, sesuai dengan ketetapan kepala daerah maupun yang dibayar sendiri oleh wajib pajak:
a. Diterbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) b. Surat Keputusan Pembetulan
c. Surat Keputusan Keberatan
d. Putusan Banding sebagai dasar pemungutan dan penyetoran pajak. 2.1.2.5 Jenis-Jenis Pajak Daerah
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 pajak daerah dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Pajak Provinsi terdiri atas: a. Pajak Kendaraan Bermotor
Pajak kendaraan bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam
operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air.
b.Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Bea balik nama kendaraan bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pajak bahan bakar kendaraan bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. Bahan bakar kendaraan bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor. d.Pajak Air Permukaan
Pajak air permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baiak yang berada di laut maupun di darat.
e. Pajak Rokok
Pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
2. Pajak Kota/Kabupaten terdiri atas: a. Pajak Hotel
Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumahpenginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
b.Pajak Restoran
Pajak restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasui jasa boga/katering.
c. Pajak Hiburan
Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
d.Pajak Reklame
Pajak reklame adalah pajak atas penyelengaraan reklame. Reklame adalah benda, alata, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan. Yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
e. Pajak Penerangan Jalan
Pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pajak mineral bukan logam dan batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
g.Pajak Parkir
Pajak parker adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parker di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
h.Pajak Air Tanah
Pajak air tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau bantuan di bawah permukaan tanah.
i. Pajak Sarang Burung Walet
Pajak sarang burung wallet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Pajak bumi dan bangungan perdesaan dan perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh
orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
k.Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
2.1.3 Tarif Pajak Daerah
Tarif pajak daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang ditetapkan dengan pembatasan tarif paling tinggi, yang berbeda untuk setiap jenis pajak daerah, yaitu :
1. Pajak Provinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi 10%
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi 20% c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi 10% d. Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi 10%
e. Pajak Rokok ditetapkan paling tinggi 10% 2. Pajak Kota/Kabupaten
a. Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi 10% b. Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi 10% c. Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi 35% d. Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi 25%
e. Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi 10%
g. Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi 30% h. Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi 20%
i. Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi 10%
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi 0,3%
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi 5% 2.1.4 Ekstensifikasi Pajak
Pengertian ekstensifikasi pajak menurut Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No. SE – 06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Pajak dan Intensifikasi Pajak adalah sebagai berikut:
“Ekstensifikasi pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jendral Pajak (DJP)”
Dengan diberlakukannya otonomi daerah pemerintah kota/kabupaten harus mampu mandiri dalam penyelenggaraan pemerintah, menentukan arah kebijakan pembangunan serta kemandirian dalam hal pembiayaan program-program pembangunan. Selain itu dengan diberlakukan otonomi daerah di pemerintah, maka pemerintah memberikan kebebasan kebijakan dalam melakukan pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi wajib pajak sesuai dengan situasi dan kondisi serta potensi yang terdapat didalam daerah tersebut.
Ekstensifikasi pajak memfokuskan pada peningkatan kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan memfokuskan pada penambahan
jumlah wajib pajak terdaftar dan perluasan objek pajak. Terdapat tiga fungsi utama aparatur perpajakan untuk menjamin suksesnya system perpajakan (termasuk pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi), yaitu penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan. Ketiga hal tersebut tidak boleh dipisahkan dan harus berjalan bersamaan untuk mewujudkan sistem perpajakan yang baik yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dari sector pajak. Selain itu kesadaran wajib pajak sangat dibutuhkan karena dengan meningkatnya kesadaran dan jumlah wajib pajak maka akan meningkatkan jumlah pendapatan negara melalui pajak.
2.1.5 Intensifikasi Pajak
Pengertian intensifikasi pajak menurut Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No. SE – 06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Pajak dan Intensifikasi Pajak adalah sebagai berikut:
“Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta subjek yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak.”
Intensifikasi pajak merupakan cara meningkatkan pendapatan daerah dengan memfokuskan pada kegiatan optimalisasi penggalian pendapatan atau penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat. Kegiatan intensifikasi ini dapat diwujudkan dalam peningkatan tarif pajak, peningkatan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.
2.1.6 Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan. Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang dihasilkan dari upaya daerah itu sendiri yang berasal dari berbagai sumber, antara lain adalah dari pajak daerah, retribusi, hasil keuntungan perusahaan daerah, dan dari berbagai hasil usaha lainnya yang sah menurut peraturan.
Pendapatan Asli Daerah merupakan cerminan pertumbuhan ekonomi di dalam suatu pemerintah daerah dan dapat dijadikan alat ukut untuk menilai perkembangan ekonomi dari suatu kabupaten/kota, nilai Pendapatan Asli Daerah sangat bergantung pada taxable capacity atau kapasitas perpajakan kabupaten/kota yang bersangkutan. Besaran pajak yang diterima mencerminkan volume aktivitas ekonomi. Selama ekonomi tidak bergerak maka Pendapatan Asli Daerah tidak bias dikembangkan oleh pemerintah daerah. Salah satu kesulitan pembangunan daerah adalah kemampuan pendanaan dan sebagian besar daerah masih mengandalkan dana alokasi umum (DAU) untuk menutupi kebutuhan fiskalnya.
Pendapatan Asli Daerah terdiri atas: 1. Pajak Daerah
2. Retribusi Daerah
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 4. Lain-lain PAD yang sah
Selain Pendapatan Asli Daerah, komponen Pendapatan Daerah yang digunakan untuk melaksankan program-program pembangunan dan diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih adalah Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan terdiri atas:
1. Dana Bagi Hasil
Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
2. Dana Alokasi Umum
Dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
3. Dana Alokasi Khusus
Dana alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada derah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
1. Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah lainnya 2. Dan Penyesuaian dan Otonomi Khusus
3. Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah daerah lainnya 2.1.6.1 Kota Bandung
Secara geografis Kota Bandung terletak di wilayah Jawa Barat dan merupakan Ibu kota Provinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak di antara 107° - 43° Bujur Timur dan 6°00 - 6°20 Lintang Selatan. Kota Bandung terletak pada ketinggian 768 Meter di atas permukaan laut, titik tertinggi di daerah Utara dan dengan ketinggian 1.050 Meter dan terendah du sebelah Selatan adalag 675 Meter di atas permukaan laut.
Kota Bandung dikelilingi oleh pegunungan, sehingga Bandung merepakan suatu cekungan (Bandung Basin), di bagian Selatan permukaan tanah relative datar, sedangkan di wilayah Kota Bandung bagian Utara berbukit-bukit.
Adapun batas-batas administratif Kota bandung, sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung. 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Terusan Pasteur Kecamatan Cimahi
Utara, Cimahi Selatan dan Kota Cimahi.
4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Dayeuh Kolot, Bojongsoang, Kabupaten bandung.
Kota Bandung tidak bediri bersama dengan pembentukan Kabupaten Bandung. Kota Bandung dibangun dengan tenggang waktu cukup jauh setelah Kabupaten Bandung berdiri. Kabupaten Bandung dibentuk sekitar pertengahan abad ke-17 masehi, secara pasti tidak diketahui berapa lama Kota Bandung dibangun. Kota Bandung dibangun bukan atas prakarsa Daendles, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung, bahkan pembangunan kota itu langsung dipimpin oleh Bupati. Dengan kata lain, Bupati R. A Wiranatakusuma II adalah pendiri (the founding father) Kota Bandung.
2.1.6.2 Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung
Sumber Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung adalah sebagai berikut: 1. Pajak Daerah.
2. Retribusi Daerah.
3. Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah. 4. Lain-lain Penerimaan yang sah.
2.1.6.3 Jenis Pajak Daerah yang dapat dimanfaatkan dan dikelola oleh Pemerintah Kota Bandung sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandung
1. Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pajak Hotel. 2. Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Restoran. 3. Peraturan Daerah Nomor 08 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan. 4. Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2010 tentang Pajak Reklame.
5. Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Pajak Penerangan Jalan. 6. Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2004 tentang Pajak Parkir.
2.2 Kerangka Pemikiran
Secara etimologi kata otonomi berasal dari bahasa Latin, “Autos” yang berarti “sendiri” dan “Nomos” aturan. Amran Muslim mengatakan otonomi itu termasuk salah satu sari azas-azas pemerintahan negara, dimana pemerintah suatu negara dalam pelaksanaan kepentingan umum untuk mencapai tujuan.
Dengan munculnya provinsi-provinsi baru yang dibentuk, maka penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah tersebut erat kaitannya dengan pemberian otonomi daerah yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertanggung jawab. Untuk mewujudkan tugasnya maka pemerintah daerah harus memiliki sumber keuangan yang cukup dan memadai karena untuk melaksanakan pembangunan daerah diperlukan biaya yang tidak sedikit. Salah satu sumber keuangan untuk penyelenggaraan pembangunan daerah tersebut adalah Pajak Daerah.
Menurut H. Mohammad Zain (2006:312) pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan undang-undang yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Adanya Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah bertujuan untuk menetapkan ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijakan dan arahan bagi daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi daerah sekaligus menetapkan pengaturan untuk menjamin penerapan prosedur umum perpajakan daerah dan retribusi daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya yang berasal dari pajak daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2009, jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, yaitu:
1. Pajak Provinsi terdiri atas : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok.
2. Pajak Kota/Kabupaten terdiri atas : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pada hakikatnya pembayaran pajak daerah merupakan salah satu sarana perwujudan kegotong royongan nasional, sehingga dalam pengenaannya harus memperhatikan prinsip kepastian umum, keadilan, dan kesederhanaan serta
ditunjang oleh sistem administrasi perpajakan yang memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak.
Definisi Pendapatan Asli Pajak Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 adalah pendapatan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam mencapai pembangunan pemerintah daerah diperlukan kerjasama dan peran aktif masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut, tetapi kepatuhan dan kesadaran dalam melaksanakan kewajiban perpajakan tidak dapat dicapai dalam waktu singkat, menginat tidak seorangpun yang dengan sukarela dan senang hati mau membayar pajak tunggakan yang dilakukan oleh wajib pajak dapat menggambar usaha pemerintahan dalam mencapai target penerimaan daerah, oleh karena itu pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan pendapatan asli daerah melalui ekstensifikasi dan intesifikasi pajak daerah.
Pengertian ekstensifikasi dan intesifikasi menurut Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No. SE – 06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Pajak dan Intesifikasi Pajak adalah sebagi berikut. Ekstensifikasi Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam adminsitrasi Direktorat Jendral Pajak (PJD), sedangkan Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta subjek yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Riduansyah (2003) dalam jumlahnya yang berjudul Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaean Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pemerintah Kota Bogor) menyimpulkan bahwa untuk medukung pelaksanaan otonomi daerah, kiranya perlu bagi Pemerintah Daerah Bogor untuk memperhatikan peluang yang ada. Dengan diberitahukannya Undang-undang No. 34 Tahun 2000, pemerintah daerah dapat membuat pajak daerah serta retribusi baru asalkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kewenangan yang dimilikinya. Langkah ini merupakan bentuk inovasi yang baik di samping tentunnya mengintesifikan pelaksanaan penarikan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah diberlakukan sebelumnya.
Kemudian penerlitian yang dilakukan oleh Risnandi (2009) menyimpulkan bahwa secara parsial ekstensifikasi dan intesifikasi tidak signifikan mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah sedangkan secara simultan ekstensifikasi dan intensifikasi berpengaruh signifikan terhadapa Pendapatan Asli Daerah. Hasil analisis korelasi menunjukan angka 0,092 hal ini menunjukan bahwa antara variable indepeden dan variable dependen terdapat hubungan yang kuat dan sifatnya searah.
Oleh karena itu pemerintah daerah diharapkan mampu melaksanakan upaya peningkatan pendapatan daerah dengan melakukan upaya-upaya pelaksanaan ekstensifikasi dan intesifikasi pajak daerah.
Intensifikasi Pajak
Mengingat pokok-pokok pemikiran tersebut, penulis mencoba untuk meneliti mengenai ekstensifikasi dan intesifikasi pajak daerah dengan melihat seberapa besar pengaruhnya terhadap Pendapatan Asli Daerah dimana yang menjadi subjek penelitian bagi penulis, yaitu Kota Bandung.
Berdasarkan uraian diatas penulis mengemukakn hipotesis sebagai berikut : “Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Daerah berpengaruh signifikan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah”.
Bila digambarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan diatas akan terlihat skema sebagai berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.3 Hipotesis Penelitian
Menurut Sugiyono (2008), hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian
Ekstensifikasi Pajak
Pajak Daerah
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah
biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data.
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada atau tidaknya pengaruh antara variable X terhadap variable Y, dimana hipotesis nol (Ho) sedangkan hipotesis alternatif untuk ditolak (Ha) merupakan hipotesis yang diajukan peneliti dalam penelitian ini, masing-masing hipotesis tersebut dijabarkan sebagai berikut:
Ho : Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Daerah tidak berpengaruh signifikan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
Ha : Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Daerah berpengaruh signifikan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah