• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI INDONESIA *)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTRET PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI INDONESIA *)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

POTRET PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

DI INDONESIA

*)

Oleh:

E. G. Togu Manurung 1),

Retno Kusumaningtyas 2) dan Mirwan3)

Yayasan WWF Indonesia

Kantor Taman A.9, Unit A-1. Jalan Mega kuningan, Jakarta 12950

Ringkasan

Pembangunan HTI selama sepuluh tahun terakhir ini sebagian besar terjadi pada areal hutan yang masih produktif (potensi kayu di atas 20 m3 per hektar), utamanya pada areal bekas tebangan HPH (logged-over area). Hal ini terjadi karena para pengusaha HTI ingin mendapatkan keuntungan besar dari hasil kayu yang berasal dari Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). Sebagian besar kayu IPK ini dipakai sebagai bahan baku industri pulp di Indonesia. Sampai saat ini diperkirakan lebih dari 90% kebutuhan bahan baku kayu pulp masih berasal dari hutan alam (bukan dari HTI). Fakta di lapangan juga menunjukan ada areal konsesi HPH yang akhirnya berubah menjadi areal HTI tetapi izin konsesinya dimiliki oleh satu grup perusahaan yang sama.. Dengan demikian, perusahaan tersebut mendapatkan semua kayu yang ada di atas lahan konsesi hutannya. Adapun kewajiban pemilik konsesi HPH untuk mengelola unit manajemen hutannya secara lestari “diabaikan”, dan lolos dari jeratan hukum.

Sebagai akibatnya, kegiatan pembangunan HTI telah menjadi salah satu sumber perusakan hutan alam Indonesia (deforestation). Rusaknya sumberdaya alam hutan tropis Indonesia menyebabkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan hidup, misalnya hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati yang menjadi tumpuan bagi perekonomian Indonesia pada beberapa dekade mendatang.

Kenyataan adanya kegiatan yang terintergrasi antara kegiatan IPK dengan pembangunan HTI telah menyebabkan perusahaan lebih mengutamakan kegiatan IPK. Sementara itu, realisasi penanaman HTI pada areal lahan hutan yang telah dibuka sangat kecil atau jauh dari target yang direncanakan. Sampai dengan Januari 1999 realisasi pembangunan HTI hanya mencapai 22.3% (1.64 juta ha) dari total luas konsesi areal HTI yang telah diberikan oleh Dephutbun kepada 161 perusahaan, yaitu seluas 7.4 juta ha. Padahal, untuk merangsang para pengusaha HTI dalam melaksanakan kegiatan usahanya, pemerintah telah memberikan Penyertaan Modal Pemerintah, dan pinjaman dari Dana Reboisasi (DR) dengan bunga nol persen. Belakangan diketahui bahwa permasalahan realisasi pembangunan HTI juga diperparah dengan adanya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) terhadap pinjaman dana DR yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk pembangunan HTI, yaitu lebih dari Rp 1.48 triliun.

Permasalahan dalam pembangunan HTI juga ditandai dengan seringnya terjadi konflik kepemilikan lahan antara masyarakat lokal (masyarakat adat) dengan pihak perusahaan HTI. Klaim lahan oleh masyarakat lokal ini seringkali berakhir dengan konflik sosial yang merugikan semua pihak yang terlibat. Disamping itu, kegiatan pembukaan/penyiapan lahan (land clearing) dalam pembangunan HTI juga dilaporkan sebagai salah satu sumber utama terjadinya kebakaran hutan di Indonesia. Hal ini terjadi karena pembukaan/penyiapan lahan seringkali dilakukan dengan pembakaran agar dapat dilakukan dengan cepat dan biayanya murah.

*) Makalah disampaikan pada acara diskusi panel tentang pembangunan HTI di Indonesia: permasalahan

dan solusinya. Diselenggarakan oleh Yayasan WWF Indonesia. Jakarta, 30 September 1999. 1) Forest Policy Advisor, WWF-Indonesia

2) Asisten Peneliti 3) Asisten Peneliti

(2)

1. PENDAHULUAN

Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia pada awalnya merupakan upaya untuk mengurangi degradasi hutan alam, terutama akibat penebangan hutan secara berlebihan dalam kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Tujuan utama pembangunan HTI adalah untuk turut menjamin penyediaan bahan baku kayu yang dibutuhkan oleh industri pengolahan kayu di Indonesia. Prioritas lokasi pembangunan HTI awalnya direncanakan pada areal: lahan kritis, tanah kosong, alang-alang, semak belukar dan areal hutan yang tidak produktif. Jadi, pembangunan HTI juga diharapkan dapat merehabilitasi lahan kritis (tidak produktif) dan membuatnya menjadi produktif.

HTI direncanakan mampu menggantikan peran utama hutan alam dalam menyediakan kebutuhan bahan baku kayu bagi industri perkayuan di Indonesia. Hal ini terjadi karena semakin menurunnya potensi kayu yang berasal dari hutan alam produksi dari tahun ke tahun. Saat ini diperkirakan kemampuan hutan alam produksi untuk menghasilkan kayu bulat secara lestari hanya sekitar 20 juta m3 (lihat Lampiran 2)

Sementara itu, total kapasitas produksi industri perkayuan di Indonesia mencapai setara 68 juta m3 kayu bulat (belum termasuk industri pulp dan kertas) (Departemen Kehutanan, 1996).

Pembangunan HTI dilaksanakan secara mandiri atau dapat dikaitkan dengan HPH yang telah ada. Pembangunan HTI yang dilaksanakan secara mandiri dapat berupa HTI Pulp dan HTI Perkakas/Pertukangan. Sedangkan pembangunan HTI yang dikaitkan dengan HPH disebut dengan HTI Transmigrasi yang biasanya menanam kayu perkakas/pertukangan. HTI Trans dilaksanakan dengan menyertakan transmigrasi sebagai tenaga kerjanya (Hariadi dan Supriono, 1999)1.

Dalam perkembangannya, pembangunan HTI banyak mengorbankan hutan alam. Proyek HTI dilakukan hanya untuk mencari keuntungan semata melalui Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang diperoleh bersamaan dengan diperolehnya Hak Pengusahaan HTI. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan studi kelayakan pembangunan HTI dari berbagai perusahaan, hutan yang dialokasikan untuk pembangunan HTI adalah hutan alam bekas HPH yang masih memiliki volume kayu yang tinggi (  20 m3/ha) dan bahkan ada yang dialokasikan di hutan primer (virgin

forest). Kecurigaan penyalahgunaan IPK ini semakin didukung oleh rendahnya realisasi penanaman yang dilakukan di lapangan. Banyak pengusaha HTI ternyata tidak serius dalam melakukan penanaman. Hal ini dapat dilihat dari realisasi penanaman yang rendah, kualitas tanaman dan kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh pengusaha HTI di lapangan.

Akibat penyimpangan yang dilakukan dalam pembangunan HTI, telah muncul sejumlah permasalahan yang berdampak negatif terhadap ekosistim hutan alam dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Permasalahan tersebut antara lain adalah: hilangnya sumber keanekaragaman hayati (Biodiversity) dan maraknya kebakaran hutan yang diduga dilakukan oleh perusahaan HTI.

Makalah ini bertujuan untuk : 1) mengetahui kontribusi proyek HTI terhadap laju deforestasi hutan alam Indonesia, 2) mengetahui perkiraan kemampuan produksi kayu HTI untuk memasok bahan baku bagi industri pulp dan kertas di Indonesia, dan untuk

(3)

3) mempelajari bagaimana peran HTI terhadap kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia, dan bagaimana dampak keberadaan HTI tersebut terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Penulisan makalah ini terutama didasarkan pada penelitian lapangan yang dilaksanakan di lima propinsi (Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Riau) dan didukung oleh studi literatur serta analisa data terhadap kasus-kasus yang timbul di beberapa proyek HTI.

2. ALOKASI LAHAN

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan HTI (HPHTI), dijelaskan bahwa ”areal hutan yang dapat diusahakan sebagai areal HTI adalah kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif” (Pasal 5, ayat 1) dan ”tidak dapat diberikan dalam areal hutan yang telah dibebani hak pengusahaan hutan (HPH)” (pasal 7 ayat 3). Selanjutnya, dalam bagian halaman Penjelasan PP No. 7 tahun 1990 disebutkan: ”wilayah hutan yang merupakan sasaran utama pembangunan HTI adalah wilayah hutan yang tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan tetap sesuai dengan Undang-undang No. 5 tahun 1967. Wilayah hutan ini cukup luas dan terutama berada di dalam kawasan hutan produksi”.

Namun demikian, kenyataan yang ada di lapangan sangat berbeda. Ada ketidaksamaan persepsi mengenai produktifitas suatu lahan hutan. Hutan mana yang dapat dikatakan produktif dan mana yang tidak produktif. Umumnya HTI memang tidak dibangun di atas hutan yang telah dibebani hak HPH, tetapi sebagian besar dibangun pada areal bekas blok tebangan HPH (logged-over area) yang masih produktif (potensi kayunya  20 m3/ha), dan bahkan dibangun pada areal hutan primer (virgin forest). Beberapa contoh alokasi hutan untuk pembangunan HTI adalah:

 Seluruh areal HTI PT. Rimba Equator Permai seluas 21.010 ha merupakan bekas HPH PT. Barito Pasific Timber, bahkan seluas 1.586 ha berupa areal virgin forest2.

 Dari total luas 73.153 ha areal konsesi PT. Sinar Kalbar Raya, diketahui seluas 28.065 ha merupakan bekas areal hutan produksi HPH PT. Pesada Kawi ITC dan seluas 3.250 ha merupakan bekas areal HPH PT. Ponti Jaya3.

 Seluruh areal HTI PT. Adindo Foresta Indonesia seluas 111.355 ha merupakan bekas areal tebangan dari 5 perusahaan HPH, yaitu PT. Inhutani I, PT. Pulau Laut, PT. Segara Timber, PT. Dana Mulya Bhakti dan PT. Karya Jaya Parakawan.4

 Seluruh areal HTI PT. Tanjung Redeb Lestari seluas 180.900 ha merupakan kawasan hutan produktif bekas areal HPH dengan potensi kayu bulat berdiameter diatas 30 cm rata-rata di atas 25 m3/ha.5

 Seluruh areal HTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper seluas 121.000 ha merupakan areal bekas tebangan dari 9 perusahaan HPH dengan potensi kayu komersil mencapai 24 m3/ha.6

Dalam prakteknya, kebijakan pembangunan HTI telah melegitimasi rusaknya hutan alam yang diusahakan oleh HPH. Hutan alam yang telah dirusak oleh HPH di dalam kawasannya akan dikeluarkan untuk kemudian direkomendasikan menjadi kawasan HTI. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat kepemilikan pengusaha HTI yang umumnya merupakan suatu holding company. Perusahaan ini memiliki perusahaan HPH, HTI dan perkebunan secara bersamaan. Contoh holding company

(4)

Kalimanis Sinar Mas, Uniseraya Group dan Texmaco8. Jadi dapat dikatakan bahwa

pembangunan HTI bagi holding company hanyalah merupakan “strategi bisnis” dan upaya menutupi kinerja HPH mereka yang telah merusak hutan alam.

Kebijakan pengalokasian lahan untuk pembangunan HTI yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan adalah dengan mekanisme “perubahan fungsi”. Kawasan hutan (selain Hutan Produksi Tetap/HP) yang dialokasikan untuk pembangunan HTI akan diubah fungsinya menjadi HP melalui SK Menteri Kehutanan. Dari data Dirjen INTAG9 (sampai Maret 1998), tercatat seluas 4,03 juta ha kawasan hutan dan Areal

Penggunaan Lain yang telah dirubah fungsinya menjadi HP. Data lengkap mengenai hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Kebijakan inilah yang mendukung pengalokasian pembangunan HTI dilakukan di hutan bekas HPH dan hutan perawan yang telah dirubah fungsinya menjadi Hutan Produksi.

Tabel 1. Perubahan Fungsi (Penambahan) Kawasan Hutan Produksi Sampai Maret 1998

Fungsi Kawasan Berubah Fungsi Menjadi HP (Ha)

Suaka Margasatwa 27.500

Taman Buru 101.400

Taman Nasional 51

Hutan Lindung 71.891

Hutan Produksi Terbatas (HPT) 642.320

Hutan Produksi Konversi (HPK) 2.973.000

Areal Penggunaan Lain (APL) 218.131

Total 4.034.293

Sumber : Dirjen INTAG, 1998

Pengalokasian pembangunan HTI di daerah hutan yang tidak produktif dianggap tidak menguntungkan. Perlu tambahan biaya produksi untuk mengembalikan kesuburan lahan agar layak untuk ditanami. Sedangkan apabila dibangun diatas hutan yang masih produktif atau hutan yang masih perawan, akan memberikan keuntungan dari kayu yang diperoleh dari sistem tebang habis (IPK). Inilah yang mendasari kenapa pada akhirnya yang dialokasikan untuk pembangunan HTI adalah hutan alam yang masih produktif.

3. PERAN HTI TERHADAP DEFORESTASI HUTAN ALAM

Pembangunan HTI dialokasikan di dalam kawasan hutan produksi tetap, karena dalam kawasan ini dapat dilakukan sistem tebang habis. Kawasan hutan yang sudah ditebang habis tersebut akan menjadi lahan-lahan kritis baru jika tidak diikuti realisasi penanaman sebagaimana mestinya. Realisasi penanaman HTI tersebut sangat kecil bila dibandingkan dengan kawasan hutan yang telah dilepaskan dalam proyek HTI tersebut. Sampai bulan Januari 1999, pemerintah telah merencanakan pembangunan HTI di Indonesia seluas 7,4 juta ha yang dikelola oleh 161 perusahaan, tetapi realisasi penanaman di lapangan baru mencapai 22,29% atau 1,66 juta ha10.

(5)

Tabel 2. Rekapitulasi Pembangunan HTI (dimonitor hingga Januari 1999) Jenis HTI Luas Areal Konsesi

(ha) Realisasi Penanaman (ha) % - HTI Pulp - HTI Perkakas - HTI Trans 4.939.282 1.689.225 757.441 1.054.634 326.748 261.201 21,4 19,3 34,5 T O T A L 7.385.948 1.642.583 22.3

Sumber : Ditjen Bina Pengusahaan Hutan, 1999.

Kawasan hutan yang dialokasikan untuk pembangunan HTI tidak semuanya merupakan daerah yang produktif dan berhutan. Pada Tabel 3 dapat dilihat data penutupan tajuk kawasan hutan yang dialokasikan untuk pembangunan HTI. Dari 6 perusahaan tersebut, terdapat rata-rata 72% areal berhutan yang dialokasikan untuk lokasi pembangunan HTI.

Tabel 3. Studi Kasus Kondisi Penutupan Lahan Areal HPHTI

No. Nama Perusahaan HTI Luas (Ha) Hutan (Ha) Non hutan (Ha)

1 PT. Okaba Rimba Makmur 283.500 256.464 (90,5%) 27.036 (9,5%) 2 PT. Mentaya Kalang 10.000 6.651 (66,5%) 3.349 (33,5%) 3 PT. Eucalyptus Tanaman Lestari 298.900 253.525 (84,8%) 15.330 (15,2%) 4 PT. Jati Cakrawala 19.170 6.563 (34,2%) 12.607 (65,8%) 5 PT. Maharani Rayon Jaya 206.800 203.570,11 (98,4%) 3.229,89 (1,6%) 6 PT. Riau Abadi Lestari 12.000 7.015 (58,4%) 4.985 (41,6%)

Rata-rata 72,13% 27,87%

Sumber : Dari Studi Kelayakan Masing-masing perusahaan yang sudah mendapat SK

Keterangan : Hutan yang dimaksud terdiri dari hutan primer dan hutan bekas tebangan, Non Hutan terdiri dari semak beluar, ladang penduduk, padang alang-alang, dan pemukiman

Beberapa studi kelayakan yang lain menunjukkan bahwa di dalam kawasan pembangunan HTI terdapat hutan alam yang masih produktif rata-rata sebesar 22%a dari seluruh kawasan hutan yang dikelolanya (Hariadi dan Supriono, 1998)11. Dengan demikian bila dianggap angka persentase ini berlaku pada semua pembangunan HTI, maka hutan alam yang telah dikonversi dalam pembangunan HTI sampai Januari 1999 seluas 1,6 juta Ha (22% x 7,4 juta). Bila angka persentase hutan yang produktif untuk pembangunan HTI sebesar 72 %, maka luas hutan yang telah dikonversi untuk HTI mencapai 5,3 juta Ha (72% x 7,4 juta). Hutan alam seluas inilah yang kemudian menjadi lahan kritis bila tidak dilakukan realisasi penanaman sebagaimana mestinya. Sebagai contoh lain, pada tahun 1994/1995, terdapat 175.000 ha hutan yang telah diberikan IPK, namun hanya 35.055 ha yang telah dibangun/ditanam. Ini berarti pada tahun tersebut, seluas 137.945 ha lahan kritis baru terbentuk (Bisnis Indonesia, 22 April 1997).

Dugaan bahwa para pengusaha HTI hanya mencari kayu dari IPK yang diberikan bukannya tidak beralasan. Sejak tahun 1992/1993, realisasi dari target penanaman selalu kurang dari 50 %, sebagai contoh tahun 1992/1993 hanya mencapai 45% dari target, tahun 1993/1994 menurun hingg 39%. Selama enam tahun pembangunan HTI (1989/1990 – 1995/1996) total realisasi pembangunan HTI hanya 932.630 ha ( Bisnis Indonesia, 22 April 1997). Perhatian pemerintah dan pengusaha dalam rangka

a Dihitung berdasarkan pengalaman dalam melakukan studi kelayakan pembangunan HTI di Kalimantan

(6)

pembangunan HTI hendaknya jangan hanya sampai pada realisasi penanaman saja, tetapi harus sampai kepada kualitas tanaman dan pemeliharaannya.

4. PROYEKSI SUPLAI BAHAN BAKU KAYU DARI AREAL HTI

Kebutuhan industri perkayuan Indonesia pada tahun 2000 diproyeksikan mencapai 80 juta m3 per tahun. Sementara itu kemampuan produksi kayu secara lestari dari hutan alam produksi pada saat ini hanya sekitar 20 juta m3/tahun. Karena itu

pemerintah Indonesia merencanakan memperluas hutan tanaman. Pada tahun 2000 ditargetkan seluas 6,2 juta Ha hutan tanaman (Harahap, 1995).

Pembangunan HTI yang realisasi tanamnya paling besar adalah HTI-Pulp, walaupun pada awalnya gagasan HPH-Pertukangan yang lebih dulu diusulkan. Luas areal HTI-Pulp yang telah ditanami sampai periode Januari 1999 mencapai 1,04 juta ha12. Pada periode yang sama realisasi HTI kayu perkakas cukup rendah, baru mencapai 327 ribu ha. Padahal sampai saat ini industri pengolahan kayu masih mendominasi pemakaian bahan baku kayu bulat yang disuplai dari hutan alam. Kondisi seperti ini berimplikasi bahwa hutan alam akan tetap menjadi sumber utama bahan baku kayu bulat. Hal ini terjadi karena kurangnya kemampuan HTI kayu perkakas dalam memenuhi permintaan bahan baku kayu yang semakin besar peningkatannya dari tahun ketahun. Kenyataan yang ada juga menunjukkan bahwa kapasitas industri perkayuan di Indonesia telah jauh melebihi kemampuan hutan alam dalam menyediakan bahan baku kayu.

Realisasi pembangunan jenis HTI pulp lebih besar dari jenis HTI lainnya, karena adanya pertimbangan dari para pengusaha, bahwa jangka waktu investasi untuk pembangunan HTI pulp ini lebih singkat dari pada HTI kayu perkakas.13 HTI pulp dapat dipanen setelah berumur 6-8 tahun, sedangkan HTI kayu pertukangan/perkakas baru dapat dipanen setelah berumur 15-20 tahun. Selain faktor di atas, maraknya pengembangan HTI pulp juga didorong oleh perkembangan bisnis industri pulp dan kertas, baik di dalam maupun di luar negeri.

Pertanyaaan yang harus dijawab adalah, seberapa besar kemampuan HTI pulp untuk memasok bahan baku kayu bagi industri pulp dan kertas di Indonesia ? Hal ini dapat dilihat dari beberapa perusahaan HTI yang telah merencanakan pembangunan pabriknya, antara lain:

 PT. Sinar Kalbar Raya merencanakan pembangunan pabrik pulp dengan kapasitas produksi sebesar 300.000 ton/th. Perkiraan kemampuan HTI untuk memasok bahan baku kayu hanya sebesar 530.000 m3/th, diperkirakan akan terjadi defisit bahan baku

kayu sekitar 870.000 m3/th.14

 PT. Adindo Foresta Indonesia merencanakan pembangunan pabrik pulp dengan kapasitas produksi 300.000 ton/th. Perkiraan kemampuan HTI untuk memasok bahan baku kayu sekitar 714.000 m3/th, diperkirakan akan terjadi defisit bahan baku

kayu sekitar 714.000 m3/th.15

 PT. Tanjung Redeb Hutani merencanakan pembangunan pabrik pulp dengan kapasitas produksi 472.000 ton/th, sedangkan dari areal HTI diperkirakan mampu memasok bahan baku kayu untuk menghasilkan pulp sebanyak 383.000 ton/th, diperkirakan akan terjadi defisit bahan baku kayu sekitar 420.000 m3/th.16

(7)

Beberapa kasus di atas memperlihatkan bahwa rencana pembangunan industri pulp, tidak sesuai dengan kemampuan HTI dalam memasok bahan baku kayu. Bila kapasitas produksi terpasang pabrik pulp seperti ini tetap dipertahankan, maka hutan alam kembali menjadi tumpuan utama untuk menutupi defisit bahan baku tersebut. Hal ini terjadi karena dalam hal pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan HTI, sering terdapat bagian atau wilayah yang tidak efektif. Wilayah yang tidak efektif biasanya disebabkan oleh beberapa hal dan yang umum terjadi, seperti tanah yang kurang subur untuk ditanami (kesesuaian dan kemampuan lahan tidak cocok) serta adanya hak ulayat/adat. Ini mengindikasikan betapa proyek HTI tersebut sering dilakukan tanpa persiapan yang matang.

Beberapa pabrik pulp dan kertas yang telah beroperasi saat ini, misalnya PT. Riau Andalan Pulp and Paper dan PT. Wira Karya Sakti. Untuk memenuhi pasokan bahan baku kayu bagi industri pulpnya, masih mengandalkan dari produksi kayu hutan alam sebesar hampir 100%.17 Patut menjadi bahan pertanyaan kita saat ini, bahwa ditengah

rendahnya kemampuan areal HTI untuk menyediakan kayu, ternyata pemilik kedua perusahaan masih merencanakan untuk meningkatkan kapasitas produksi pabrik pulp-nya pada masa yang akan datang. Seharuspulp-nya industri pulp dan kertas mulai dibangun, setelah ada kepastian suplai bahan baku kayu pulp berasal dari areal hutan tanaman (tidak dari hutan alam). Selanjutnya, Izin operasi pabrik pulp oleh Pemerintah hanya boleh diberikan kepada suatu perusahaan yang telah mempunyai kepastian pasokan bahan baku kayu pulp-nya 100% berasal dari hutan tanaman dan tidak berasal dari kayu IPK, hasil kegiatan tebang habis hutan alam (land clearing) untuk membangun HTI dan/atau perkebunan (terutama perkebunan kelapa sawit).

5. STRUKTUR PERMODALAN

Berdasarkan PP No. 7 tahun 1990 pasal 14 ayat 2 disebutkan bahwa pemerintah dapat turut membiayai pembangunan HTI dalam bentuk Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) dan dalam bentuk lain yang diatur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya PMP tersebut, permodalan pembangunan HTI dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama antara BUMN dengan swasta atau koperasi (HTI Swasta) dan HTI yang dibangun oleh BUMN itu sendiri (HTI BUMN). Selanjutnya hal ini diatur dengan SK. Menteri Kehutanan No. 100/Kpts-II/1993 tentang Ketentuan dan Tatacara Penyaluran Dana Reboisasi (DR).

Struktur permodalan HTI swasta diatur sebagai berikut :

 Penyertaan Modal Pemerintah dari DR sebesar 14%

 Penyertaan modal swasta/koperasi sebesar 21%

 Pinjaman dari DR sebesar 32,5% (bunga 0%)

 Pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sebesar 32,5% Struktur permodalan HTI BUMN diatur sebagai berikut :

 Penyertaan Modal Pemerintah dari Dana Reboisasi sebesar 35%

 Pinjaman dari Dana Reboisasi sebesar 32,5% (bunga 0%)

 Pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sebesar 32,5%

Struktur permodalan di atas memperlihatkan bahwa pemerintah Indonesia memberikan peluang yang sangat besar kepada pengusaha HTI. Hanya dengan menyediakan dana murni sebesar 21%, mereka dapat melakukan eksploitasi kayu sisa

(8)

tegakan hutan produksi. Pengusaha HTI memperoleh keuntungan yang sangat besar (profit before investment) melalui IPK yang diperolehnya. Produksi kayu IPK diperkirakan dapat menutupi modal sebesar 21% yang berasal dari modal murni pengusaha, sekaligus menutupi bunga pinjaman komersil dari bank.

Permodalan HTI ini juga dipermudah dengan adanya proses pelunasan pinjaman DR secara angsuran/bertahap. Pembayaran secara bertahap mulai dilakukan pada saat hasil tebangan pertama dan akan berakhir dalam satu daur produksi. Adapun jumlah angsuran pinjaman disesuaikan dengan luas dan volume hasil tebangan. Dengan meng-asumsikan satu daur untuk HTI pulp selama 8 tahun dan satu daur untuk HTI kayu perkakas selama 15 tahun, maka para pengusaha baru akan melunasi pinjaman dari pemerintah setelah 16 tahun sampai 30 tahun kemudian. Dengan kemudahan permodalan yang diberikan oleh pemerintah dalam membangun HTI di Indonesia, sebenarnya tidak ada alasan bagi para pengusaha HTI, untuk tidak merealisasikan penanaman sesuai dengan rencana karyanya. Apalagi sebagian besar dari para pengusaha tersebut telah memperoleh keuntungan dari IPK yang diberikan.

Sampai Maret 1999 pemerintah telah menyalurkan dana DR sebesar Rp 1,48 triliun kepada 87 perusahaan HTI (HTI-Pulp, HTI-Pertukangan dan HTI-Trans)18, dengan realisasi tanaman mencapai 1,02 juta ha19 (lihat Lampiran 3). Bila diasumsikan biaya rata-rata operasional pembangunan HTI sebesar Rp 3.000.000,-/ha, maka uang negara yang telah tertanam di seluruh areal pengembangan HTI pada 87 perusahaan tersebut mencapai rata-rata Rp 1,5 juta/ha (Rp 1,48 triliun/Rp 3 juta), atau 50% dari total biaya operasional HTI.

6. DAMPAK NEGATIF PEMBANGUNAN HTI

Pembangunan HTI bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan sederhana. Mulai dari tahap perencanaan, pihak perusahaan sudah harus serius dan hati-hati dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam. Tidak hanya itu, perusahaan juga harus mempertimbangkan keadaan biofisik dari areal yang akan ditanam, sistem pengelolaan yang akan diterapkan, sampai kepada seberapa jauh pihak masyarakat dilibatkan dalam pembangunan HTI tersebut. Karena itu, sangat masuk akal kalau pembangunan HTI itu juga mengakibatkan beberapa dampak di dalam pelaksanaannya di lapangan.

Kenyataan yang ditemui di lapangan, sebagian besar areal hutan yang dilepas bagi pembangunan HTI di Indonesia merupakan kawasan hutan, bekas kegiatan HPH. Pada umumnya kawasan-kawasan bekas HPH tersebut tidak dikelola dengan baik, sehingga harus diserahkan kepada BUMN atau dikonversi ke bentuk lain. Pembangunan HTI dengan sendirinya mengubah sistem pertanian dari tanaman heterokultur menjadi tanaman monokultur. Perubahan fungsi hutan alam ini menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistim di areal tersebut. Ini diakibatkan oleh hilangnya beberapa komponen dari ekositem tersebut, seperti hilang satwa-satwa liar yang dulu tinggal di dalam kawasan hutan tersebut.

Fenomena di atas berlangsung di sebagian besar lahan HTI. Akibatnya timbul masalah yang sangat kompleks. Mulai dari persoalan aspek budidaya tanaman HTI, sampai pada perubahan perilaku kehidupan masyarakat. Sebelumnya masyarakat menggantungkan sumber mata pencaharian mereka pada lahan hutan. Semenjak adanya proyek HTI tersebut, aktifitas masyarakat di dalam dan sekitar hutan semakin terbatasi.

(9)

Kondisi ini memicu munculnya konflik yang lebih besar antara masyarakat dengan para pengusaha HTI tersebut.

Kasus lain yang terjadi di lapangan adalah berkembangnya berbagai hama penyakit yang tidak hanya menyerang tanaman HTI, tetapi juga menyerang tanaman pertanian masyarakat. Permasalahan lain yaitu, rendahnya daya serap tanah menahan air hujan akibat pembukaan vegetasi lahan. Hal ini mengakibatkan meningkatnya laju erosi tanah, yang akhirnya mengakibatkan pendangkalan sungai.

Hal lain yang kembali marak akhir-akhir ini adalah terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan land clearing dengan sistem pembakaran merupakan pilihan yang paling efektif dan ekonomis. Permasalahannya kemudian adalah tidak dikuasainya sistem pembakaran terkendali. Karyawan-karyawan HTI yang melakukan pembakaran belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam melakukan pembakaran terkendali. Akibatnya, kebakaran merembes kemana-mana. Kebakaran di areal HTI yang telah di-

land clearing lebih mudah meluas karena menumpuknya sumber bahan bakar organik di lahan HTI. Kebakaran yang tidak terkendali ini juga merembes ke kawasan-kawasan lindung dan konservasi yang mengakibatkan hilangnya berbagai satwa dan habitatnya. Beberapa permasalahan utama yang muncul setelah mulai beroperasinya kegiatan HTI, antara lain :

a. Konflik Lahan

Penentuan tata batas antara areal HTI dengan lahan masyarakat menyebabkan munculnya konflik kepemilikan lahan. Konflik yang terjadi antara pengelola HTI dengan masyarakat adat ini lebih diakibatkan oleh keterbatasan informasi suatu kawasan hutan yang dimiliki oleh pemerintah c.q. Departemen Kehutanan. Sehingga keberadaan masyarakat adat/hak ulayat sering tidak diperhitungkan dalam melepaskan suatau kawasan hutan. Keadaan ini bukan saja memicu “perang terbuka”, antara masyarakat dengan pihak perusahaan, tetapi juga akan menghambat realisasi kegiatan HTI di lapangan. Kasus konflik lahan ini diantaranya terjadi di areal HTI PT. Inti Indorayon Utama. Seluas 7.500 ha lahan perusahaan, termasuk ke dalam areal yang telah diklaim oleh masyarakat, sebagai lahan garapan mereka.20

Kemudian akibat klaim lahan masyarakat, di areal HTI PT. Sinar Kalbar Raya, telah menyebabkan rendahnya realisasi penanaman di lapangan.21

b. Kebakaran Hutan dan Lahan

Kegiatan pembakaran sisa-sisa kayu hasil penebangan pada saat penyiapan lahan HTI merupakan faktor dominan yang memicu meluasnya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Pilihan metode pembakaran dalam penyiapan lahan merupakan alternatif terbaik yang dimiliki oleh pihak perusahaan HTI. Metode ini merupakan cara yang paling praktis dan ekonomis. Dengan cara pembakaran ini, biaya operasional penyiapan lahan dapat ditekan dan waktu penyiapan lahan juga relatif singkat bila dibandingkan dengan cara mekanis. Seringkali pembakaran dilakukan tanpa adanya persiapan pengendalian, untuk mengontrol luas areal yang dibakar. Api merembet ke areal hutan dan kebun masyarakat. Pada beberapa kasus, disinyalir kebakaran hutan dan lahan sengaja diciptakan oleh pihak perusahaan HTI dan masyarakat. Karena adanya konflik lahan, api kemudian digunakan sebagai senjata yang paling ampuh untuk menyelesaikan masalah enclave tersebut. Bagi pihak perusahaan terdapat suatu indikasi, bahwa pembakaran lahan masyarakat, dapat dijadikan sebagai upaya untuk mengurangi biaya ganti rugi tanah. Karena tidak ada

(10)

lagi tanaman perkebunan penduduk yang tumbuh di atas lahan konflik. Bagi masyarakat, pembakaran lahan dan hutan sebagai reaksi balas dendam kepada pihak perusahaan.

c. Hilangnya Habitat Tumbuhan dan Satwa

Penyiapan lahan dengan melakukan tebang habis mengakibatkan hilangnya habitat dari berbagai satwa. Satwa-satwa ini akan pindah mencari habitat baru, bahkan ada yang akhirnya masuk ke perkampungan masyarakat dan menggangu masyarakat. Sering di laporkan di media massa, sebagai contoh Republika 4 Maret 1999 : “

Harimau Sumatera Memangsa 2 orang penduduk”. Atau kawanan gajah yang merusak tanaman penduduk.

Kelestarian satwa-satwa liar, terutama jenis-jenis yang endemik perlu mendapat perhatian dari pengusaha HTI. Keberadaan satwa-satwa tersebut harus tetap dipertahankan. Oleh karena itu, di dalam areal HTI harus disisakan areal hutan alam sebagai habitat satwa. Pembangunan HTI dengan menyisakan 40% hutan alam di dalam arealnya, akan mengakibatkan kehilangan satwa sebesar 23,4% dari jenis satwa yang ada sebelumnya.22 Hal ini memperlihatkan besarnya dampak pembangunan HTI terhadap penurunan keragaman hayati di hutan alam.

d. Hilangnya Sumber Matapencaharian Penduduk Setempat

Pada umumnya masyarakat yang hidup di sekitar hutan memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan hutan. Hampir semua aktifitas hidupnya dilakukan di dalam hutan. Setelah areal hutan alam dikonversi menjadi HTI (atau areal perkebunan kelapa sawit), berbagai aktifitas mereka semakin terbatasi. Berladang yang dulunya dilakukan sebagai kegiatan sampingan terhenti akibat klaim perusahaan atas lahan mereka. Ditengah sulitnya mencari sumber penghasilan untuk memenuhi tuntutan kehidupan, masyarakat terdorong untuk melakukan penebangan liar. Penebangan liar ini semakin marak dengan adanya perusahaan perkayuan, yang bersedia menampung kayu hasil tebangan liar ini.

7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan

1. Sebagian besar areal yang telah dialokasikan untuk pembangunan HTI di Indonesia merupakan bekas areal tebangan HPH (logged over area). Di dalamnya masih terdapat areal hutan produktif dengan potensi kayu komersial, berdiameter diatas 30 cm, lebih besar dari 20 m3/ha. Selain itu, ada juga HTI yang dibangun pada areal hutan primer (virgin forest). Jadi, kegiatan pembangunan HTI telah menjadi salah satu sumber kerusakan (deforestasi) hutan alam di Indonesia.

2. Rendahnya realisasi penanaman HTI di lapangan mengindikasikan bahwa para pengelola HTI hanyalah mengejar produksi kayu dari ijin IPK. Sampai dengan Januari 1999 realisasi pembangunan HTI hanya mencapai 22.3% (1.64 juta ha)

(11)

dari total luas konsesi areal HTI yang telah diberikan oleh Dephutbun kepada 161 perusahaan, yaitu seluas 7.4 juta ha.

3. Pembangunan HTI belum dapat memenuhi besarnya permintaan bahan baku kayu bagi industri perkayuan di Indonesia pada masa yang akan datang.

4. Kegiatan penyiapan lahan HTI dengan metode pembakaran, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Pembakaran yang dilakukan belum menggunakan teknik pembakaran terkendali, yang mampu manahan meluasnya areal pembakaran.

5. Pembangunan HTI sering menimbulkan konflik kepemilikan lahan antara masyarakat lokal (masyarakat adat) dengan pihak perusahaan HTI. Klaim lahan oleh masyarakat lokal/adat ini seringkali berakhir dengan konflik sosial yang merugikan semua pihak yang terlibat.

6. Pembangunan HTI merubah bentuk lahan menjadi tanaman monokultur yang menyebabkan hilangnya sebagian besar habitat satwa liar dan hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity).

7.2. Rekomendasi

Berdasarkan berbagai permasalahan yang terjadi selama sepuluh tahun pembangunan HTI di Indonesia, WWF Indonesia mendesak pemerintah Indonesia untuk mengkaji ulang kebijakan pembangunan HTI dan merekomendasikan untuk:

1. Menghentikan pembangunan HTI di atas lahan hutan bekas areal penebangan HPH (logged-over area), dan menghentikan konversi hutan alam lainnya untuk pembangunan HTI. Selanjutnya, mengupayakan agar pembangunan HTI dilaksanakan pada areal lahan kritis dan lahan yang tidak produktif.

2. Menyelesaikan permasalahan konflik kepemilikan lahan dengan penduduk lokal (masyarakat adat) secara terbuka/transparan. Selanjutnya, lokasi konsesi HTI hanya diberikan pada areal hutan yang bebas konflik kepemilikan lahan.

3. Mendesak para pengusaha HTI untuk betul-betul melakukan realisasi penanaman HTI dan memberikan sangsi kepada perusahaan HTI yang tidak melakukan realisasi penanaman seperti yang direncanakan dan disetujui sebelumnya.

4. Melarang penyiapan/pembukaan lahan untuk HTI dengan cara pembakaran.

5. Memberikan sangsi yang tegas kepada pengusaha HTI yang terlibat dalam pengrusakan hutan.

Selanjutnya, WWF Indonesia merekomendasikan kepada pemerintah agar pembangunan suatu pabrik pulp hanya diijinkan bila sudah ada kepastian sumber bahan baku kayu pulp yang berasal dari HTI. Pasokan bahan baku kayu pulp yang berasal dari hutan alam (kayu IPK) harus segera dihentikan karena merusak hutan.

(12)

Catatan :

1 Hariadi dan Supriono, 1999. Dampak Pembangunan Sektoral Terhadap Degradasi Hutan Alam : Kasus

Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. Draft Final. Cifor. Bogor.

2 Laporan Studi Kelayakan HTI PT. Rimba Equator Permai. 3 Laporan Studi Kelayakan HTI PT. Sinar Kalbar Raya. 4 Laporan Studi Kelayakan HTI PT. Adindo Foresta Indonesia. 5 Laporan Studi Kelayakan HTI PT. Tanjung Redeb Lestari. 6 Laporan Studi Kelayakan HTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper

8 Informasi ini diperoleh dari Departemen Kehutanan dan Pusat Data Bisnis Indonesia, dalam berbagai

tahun

9 Direktorat Jenderal INTAG, 1998. Rekapitulasi Inventarisasi Tata Guna Hutan sampai Maret 1998.

Jakarta

10 Direktorat Bina Pengusahaan Hutan (1999)

11 Hariadi Kartodihardjo dan Agus Supriono. 1999. Dampak Pembangunan Sektoral Terhadap Degradasi

Hutan Alam : Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. Draft. Project I CIFOR. Bogor

12 Direktorat Bina Pengusahaan Hutan (1999) 13 Republika (07/06/1997)

14 Laporan Studi Kelayakan HTI PT. Sinar Kalbar Raya 15 Laporan Studi Kelayakan HTI PT. Adindo Foresta Indonesia

16Laporan Studi Kelayakan HTI PT. Tanjung Redeb Lestari

17 Laporan Studi Kelayakan HTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper dan PT. Wira Karya

Sakti

18 Departemen Kehutanan dalam Tropis (No. 09, 08/1999) 19 Departemen Kehutanan dalam Tropis (No. 09, 08/1999) 20 Laporan Studi Kelayakan HTI PT. Inti Indorayon Utama 21 Studi Kasus di HTI PT. Sinar Kalbar Raya

22Bismark, M. 1998. Konservasi Biodiversitas Satwa Liar di Areal Hutan Tanaman Industri dalam Duta

Rimba (220/XXIV, 10/1998)

Harahap, R. 1994. Sekilas Perkembangan Hutan Tanaman dan Kesesuaian Lahan. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta.

(13)

Lampiran 1. Perkembangan Pembangunan HTI Menurut Propinsi Di Indonesia Sampai Bulan Desember 1998 (Monitoring s/d Januari 1999)

Luas Areal Realisasi Persentase Jumlah

(Ha) (Ha) Realisasi Perusahaan

I. HTI-Pulp Yang Diprioritaskan Pada 13 Perusahaan

1 D.I Aceh 207,899 53,652.00 25.81% 2 2 Sumatera Utara 269,060 48,553.20 18.05% 1 3 Jambi 78,240 60,924.00 77.87% 1 4 Riau 459,475 243,968.44 53.10% 2 5 Sumatera Selatan 296,400 200,155.00 67.53% 1 6 Kalimantan Selatan 268,585 79,452.00 29.58% 1 7 Kalimantan Timur 726,578 293,243.00 40.36% 4 8 Kalimantan Barat 299,700 29,188.71 9.74% 1 2,605,937 1,009,136.35 38.72% 13

II. HTI-Pulp Diluar 13 Perusahaan Yang Diprioritaskan

1 Sumatera Utara 143,000 10,262.00 7.18% 1 2 Riau 90,715 10,262.00 11.31% 1 3 Sumatera Selatan 43,700 17,250.00 39.47% 1 4 Kalimantan Timur 66,659 - - 1 5 Kalimantan Tengah 185,511 - - 2 6 Kalimantan Barat 414,560 7,723.34 1.86% 4 7 Irian Jaya 1,389,200 - - 6 2,333,345 45,497.34 1.95% 16

III. HTI Kayu Perkakas

1 Sumatera Utara 176,893 24,422.18 13.81% 6

2 Jambi 124,390 14,850.40 11.94% 6

3 Riau 227,418 43,089.40 18.95% 11

4 Sumatera Selatan 49,180 300.00 0.61% 2

5 Lampung 175,152 54,694.00 31.23% 7

6 Nusa Tenggara Timur 55,074 5,945.00 10.79% 2

7 Timor-Timur 41,187 3,374.00 8.19% 1 8 Kalimantan Selatan 53,135 20,352.53 38.30% 4 9 Kalimantan Timur 369,719 90,871.61 24.58% 11 10 Kalimantan Barat 152,780 44,886.93 29.38% 3 11 Kalimantan Tengah 79,000 1,000.00 1.27% 2 12 Sulawesi Selatan 57,000 4,655.47 8.17% 3 13 Sulawesi Tengah 30,601 5,005.98 16.36% 2 14 Sulawesi Tenggara 72,845 5,399.23 7.41% 2 15 Maluku 24,851 7,901.35 31.79% 3 1,689,225 326,748.08 19.34% 65

IV. HTI Trans

1 D.I Aceh 32,870 11,704.00 35.61% 5 2 Sumatera Utara 6,200 3,374.00 54.42% 1 3 Sumatera Barat 6,675 2,039.00 30.55% 1 4 Riau 83,190 31,502.00 37.87% 6 5 Jambi 34,835 13,279.00 38.12% 4 6 Sumatera Selatan 3,700 3,625.00 97.97% 1 7 Kalimantan Barat 150,230 31,359.10 20.87% 12 8 Kalimantan Tengah 138,295 52,598.80 38.03% 14 9 Kalimantan Timur 183,989 65,447.30 35.57% 14 10 Kalimantan Selatan 41,040 12,142.42 29.59% 4 11 Sulawesi Selatan 13,300 3,930.00 29.55% 1 12 Sulawesi Tengah 13,400 7,831.09 58.44% 1 13 Maluku 49,717 22,369.45 44.99% 3 757,441 261,201.16 34.48% 67 7,385,948 1,642,583 22.24% 161 Total Total Grand Total No. Propinsi Total Total

(14)

Lampiran 2. Produksi Kayu Bulat Menurut Sumber Produksi Selama Pelita VI (s/d 1997/1998)

No. Sumber Produksi 1994/1995 (m3) 1995/1996 (m3) 1996/1997 (m3) 1997/1998* (m3) Data MPI 1998 (m3) 1. 2. 3. 4. 5. Hutan alam (RKT) Areal Konversi (IPK) Kayu Rakyat Hutan Tanaman (Perum Perhutani) Hutan Tanaman Industri (HTI) 17.308.737,29 4.708.696,46 138.105,62 1.871.737,18 0,00 16.943.933,26 5.398.195,76 124.883,47 1.868.356,00 514.692,45 15.268.134,46 8.021.328,48 682.006,35 1.868.356,00 474.267,60 15.597.546,30 10.038.228,00 1.266.455,20 1.821.297,00 425.892,80 26.160.000 8.200.000 3.000.000 24.027.276,55 24.850.060,94 26.314.092,89 29.149.419,30 37.360.000

Sumber : Statistik Pengusahaan Hutan 1997/1998, Departemen Kehutanan

Keterangan : *Data sementara, Forest Product Annual : Indonesian Forest Product, 1998. Draft 10/29/1998. USDA. p.14

Lampiran 3. Penyaluran Dana Reboisasi Kepada 87 Perusahaan Yang Melaksanakan Pengusahaan HTI Pada 14 Propinsi Di Indonesia, Sampai Maret 1999

1 DI. Aceh 68,016,216,000 - 17,704,707,495 85,720,923,495 2 Sumatera Utara - 1,489,022,000 7,107,359,000 8,596,381,000 3 Riau - - 67,623,641,212 67,623,641,212 4 Sumatera Barat - - 4,280,279,000 4,280,279,000 5 Jambi - 37,659,629,112 22,035,435,189 59,695,064,301 6 Sumatera Selatan 179,300,418,507 12,424,597,759 - 191,725,016,266 7 Lampung - 36,084,110,345 - 36,084,110,345 8 Kalimantan Barat 44,625,043,000 - 57,448,470,275 102,073,513,275 9 Kalimantan Tengah - - 86,333,010,250 86,333,010,250 10 Kalimantan Selatan 144,406,854,000 - 24,667,631,675 169,074,485,675 11 Kalimantan Timur 431,639,029,510 80,285,828,390 80,461,739,793 592,386,597,693 12 Sulawesi Selatan - - 23,664,941,650 23,664,941,650 13 Sulawesi Tengah - 7,211,736,000 11,847,742,428 19,059,478,428 14 Maluku - - 38,483,308,500 38,483,308,500 867,987,561,017 175,154,923,606 441,658,266,467 1,484,800,751,090 HTI Trans (Rp) Total (Rp)

Total

No. Propinsi HTI Pulp (Rp) HTI Non Pulp (Rp)

(15)

Lampiran 4. Luas Areal HTI Yang Terbakar Di Indonesia Dari Tahun 1985 – 1996

No. Tahun Luas (ha)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 42.569,86 22.038,20 49.323,40 17.661,40 15.185,34 25.573,54 118.881,18 14.531,65 40.897,48 161.798,00 6.705,58 10.411,61

Rata-rata per tahun 43.798,10

Gambar

Tabel 1.  Perubahan Fungsi (Penambahan) Kawasan Hutan Produksi Sampai Maret 1998
Tabel 2.  Rekapitulasi Pembangunan HTI (dimonitor hingga Januari 1999)  Jenis HTI  Luas Areal Konsesi

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan daripada analisis keseluruhan menunjukkan bahawa faktor tertinggi yang mendorong masyarakat Baba dan Nyonya di Bandar Melaka menceburi bidang keusahawanan

Kompetensi paedagogik guru adalah kemampuan, pemahaman, dan penguasaan guru dalam mengelola pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan efisien,

Dalam pembuatan teks persuasi terdapat struktur agar teks yang disusun dapat dituliskan secara sistematis dan saling terhubung. Dengan adanya struktur yang tersusun dengan

Di sisi lain, perkembangan bank dan lembaga keuangan syariah ini perlu dibarengi dengan penyediaan sumber daya insani yang kompenten, handal, dan profesional dalam bidang ekonomi

Pada tahap pelaksanaan dalam program simpan pijam kegiatan yang dilakuakan adalah persiapan penyaluran dana dan pancairan. Pada kegiatan penyaluran, dana tersebut

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pelembab dengan PEA selama 14 hari dapat memperbaiki fungsi sawar kulit yang dinilai dengan penurunan TEWL dan penurunan jumlah

Jika dua pasien menerima dosis anestetik lokal yang sama, dan, pada keduanya, obat bergerak dalam jarak yang sama di sepanjang kanalis spinalis, maka pasien yang

PERTAMA : Menetapkan Daftar Nomor dan Nama Pendaftar yang dinyatakan DITERIMA sebagai Calon Peserta Didik Baru MAN YOGYAKARTA III dan santri asrama Mutasyirul