• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEK PELEMBAB PALMITOYLETHANOLAMIDE TERHADAP TRANSEPIDERMAL WATER LOSS DAN KOLONI STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA ANAK RIWAYAT ATOPI DAN NON ATOPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEK PELEMBAB PALMITOYLETHANOLAMIDE TERHADAP TRANSEPIDERMAL WATER LOSS DAN KOLONI STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA ANAK RIWAYAT ATOPI DAN NON ATOPI"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

EFEK PELEMBAB PALMITOYLETHANOLAMIDE TERHADAP TRANSEPIDERMAL WATER LOSS DAN KOLONI

STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA ANAK RIWAYAT ATOPI DAN NON ATOPI

EFFECT MOISTURIZING OF PALMITOYLETHANOLAMIDE ON TRANSEPIDERMAL WATER LOSS AND COLONIES OF STAPHYLOCOCCUS AUREUS IN CHILDREN WITH HISTORY OF

ATOPIC AND NON ATOPIC

Maryam Albaar1, Farida Tabri1, Faridha S. Ilyas1, Danny Suwandi2 1

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin

2

Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin

Alamat Korespondensi :

dr. Maryam Albaar

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin, Makassar Hp.08129577290

(2)

2

ABSTRAK

Manifestasi klinis DA ditandai adanya peradangan dan kekeringan kulit, gatal dan peningkatan kolonisasi kuman Staphylococcus aureus (S.aureus). Krim matrix lamelar PEA memiliki sifat anti inflamasi dan antipruritus, hal ini mungkin karena kemampuan PEA mengikat reseptor CB2, yang menghambat aktivasi sel mast. Penelitian ini bertujuan menilai efektivitas pemberian PEA terhadap jumlah koloni S. aureus dan perbaikan fungsi sawar kulit pada anak riwayat atopi dan non atopi. Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSWS dan Rumah Sakit jejaring. Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Parasitologi Fakultas Kedokteran UNHAS Makassar. Metode penelitian adalah Quasy Experimental. Sampel penelitian sebanyak 20 anak riwayat atopi dan 10 anak non atopi, dilakukan pemeriksaan derajat kekeringan kulit dan pengukuran kadar transepidermal water loss (TEWL) dengan menggunakan alat Tewameter® TM 300 dan diberikan pelembab yang mengandung PEA selama 14 hari dioleskan pada kedua lengan, dan dilakukan pengambilan swab kulit pada kedua lengan untuk kultur S.aureus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pelembab dengan PEA selama 14 hari dapat memperbaiki fungsi sawar kulit yang dinilai dengan penurunan TEWL dan penurunan jumlah koloni S.aureus pada anak riwayat atopi dan non atopi, namun tidak terdapat signifikan pada masing-masing kelompok untuk nilai TEWL.

Kata kunci : palmitoylethanolamide, dermatitis atopik, transepidermal water loss, Staphylococcus aureus.

ABSTRACT

The clinical manifestations of AD is characterized by the inflammation and dryness of the skin, itching and increased colonization with Staphylococcus aureus (S. aureus). The lamellar matrix cream has antiinflammatory and antipruritic properties, the former may be due to PEA's ability to bind CB2 receptors, which inhibits mast-cell activation. This aim of study is to assess the effectiveness PEA of the number on colonies of S. aureus and repair the skin barrier function in children with history of atopic and non atopic. The research was conducted at the dermatologyclinic of the Dermatology and Venereology Department, WS hospital; and hospital networks. Investigation performed at the Laboratory of Medical Faculty, UNHAS Makassar. The method is Quasy Experimental. Sample were 20 paediatric with history of atopic and 10 non atopic, the dryness of skin examination and measurements of transepidermal water loss (TEWL) using Tewameter® TM 300 and given preferential treatment of moisturizer with PEA for 14 days that is applied to both arms, and taking swabs of skin for culture S.aureus. The results showed that administration of moisturizer with PEA can improve skin barrier function as measured by decrease TEWL and the colonies S. aureus in children with history of atopic and non-atopic.

(3)

3 PENDAHULUAN

Palmitoylethanolamide (PEA) atau disebut juga palmidrol adalah turunan asam

lemak alami dari etanolamin dan asam palmitat. PEA merupakan lipid endogen yang memodulasi nyeri dan inflamasi.(Lambert et al., 2002, LoVermea et al., 2005) Coburn dkk pertama kali melaporkan aktivitas antiinflamasi dari PEA pada tahun 1954. Beberapa analog PEA telah disintesis dan ditemukan pada peradangan (tes anafilaksis), dan Kuehl dkk telah mengaitkan aktivitas antiinflamasi dengan gugus etanolamin. Namun, PEA adalah senyawa yang paling aktif dalam kelompok ini. Karena PEA dihasilkan selama peradangan, maka telah diusulkan bahwa PEA bertindak sebagai "ALIAmide" (Autocoid Local Inflammation Antagonist Amide). Studi terbaru telah menunjukkan efek positif dari PEA terhadap degranulasi sel mast dalam 10 dari 15 kucing dengan eosinophilic granuloma atau plak eosinofilik. Jadi mungkin PEA merupakan dasar dari pendekatan baru untuk pengobatan inflamasi.(Lambert et al., 2002)

Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit inflamasi yang khas, bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan terutama mengenai bayi dan anak, dapat pula pada dewasa.(Leung et al., 2008, Friedmann et al., 2010) DA dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan keadaan ini berhubungan dengan kondisi atopi lain seperti rhinitis alergika dan atau asma baik pada penderita ataupun keluarganya.(Pourpak et al., 2008)

Etiopatogenesis DA sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun beberapa penelitian mengemukakan bahwa DA merupakan hasil interaksi antara faktor genetik yang dimiliki dengan faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi, baik eksogen atau endogen, maupun keduanya. Faktor-faktor yang berperan antara lain adalah faktor genetik, disfungsi sawar kulit, imunologis, lingkungan, dan psikologis.(Friedmann et al., 2010, Leung et al., 2008, Leung et al., 2001) Kulit penderita DA selain itu juga rentan terhadap infeksi virus, bakteri dan jamur. Keadaan ini dapat terjadi oleh karena pada DA terjadi gangguan fungsi sawar kulit. Gangguan tersebut disebabkan antara lain oleh gangguan fungsi keringat, terjadinya Trans Epidermal Water Lost (TEWL) dan perubahan lemak kulit, serta peningkatan kolonisasi kuman stafilokokus.(Leung et al., 2008)

Strategi penting dalam penatalaksanaan DA adalah mengatasi kekeringan kulit melalui perbaikan fungsi sawar kulit. Pendekatan ini akan mencegah interaksi antigen dengan sistem imun yang abnormal dan mencegah terbentuknya lesi kulit eksematosa.

(4)

4

Salah satu pilihan terapi yang bisa dipilih adalah pelembab. Perbaikan sawar epidermis oleh pelembab akan mencegah penetrasi bahan-bahan iritan dan alergen yang merupakan pencetus lesi eksematosa, misalnya toksin antigen yang dihasilkan oleh S.

aureus, selain itu juga pelembab berfungsi sebagai steroid sparing dan bermanfaat pada

pencegahan dan terapi rumatan (maintenance therapy) DA, idealnya pelembab ini digunakan dalam bentuk ointment ataupun cream.(Rajka, 1989) Anti-inflamasi nonsteroid merupakan pengobatan pilihan bagi pasien DA dan akan menjadi manfaat besar. PEA adalah antiinflamasi senyawa endogen yang ditemukan dalam kulit dan jaringan lain dan akan memberikan pengobatan alternatif terhadap pengobatan kortikosteroid pada DA. PEA terakumulasi selama peradangan, dan beberapa studi telah melaporkan PEA memberikan efek anti-inflamasi dan analgesik pada animal model yang relevan untuk nyeri inflamasi secara klinis. Telah dijelaskan dari data hewan yang tersedia dibedakan PEA dari agen antiinflamasi seperti obat nonsteroid anti-inflamasi dan kortikosteroid; meskipun mekanisme kerja yang tepat masih belum diketahui. Selain itu, PEA telah menjadi subyek percontohan pada beberapa studi pada DA. Hasil awal dari studi DA menunjukkan bahwa PEA merupakan senyawa penting dan harus dipertimbangkan untuk pengobatan pasien DA.(Jorizzo, 2005)

Sejauh mana efektivitas penggunaan PEA terhadap jumlah koloni stafilokokus pada kekeringan kulit anak riwayat atopi dan non atopi belum sepenuhnya diketahui, oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh pemberian PEA terhadap koloni stafilokokus dan penurunan transepidermal waterloss (TEWL) pada anak riwayat atopi dan non atopi.

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Quasy Experimental dengan menganalisis TEWL pada kulit anak riwayat atopi dan non atopi sebelum dan dua minggu setelah pemberian palmitoylethanolamide (PEA), serta menilai jumlah kolonisasi S. aureus sebelum dan setelah dua minggu pemberian PEA.

Subjek penelitian

Jumlah sampel yang diambil adalah sampel minimal yaitu sebanyak 20 orang untuk anak riwayat atopi dan 10 orang anak non atopi. Setelah mendapat persetujuan dari komite etik penelitian, didapatkan 30 subjek yang memenuhi kriteria penelitian

(5)

5

dimasukkan dalam studi ini. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan cara

consecutive random sampling. Kriteria inklusi kelompok kasus : Anak riwayat atopi dan

non atopi berusia 2-12 tahun, pasien tidak menggunakan preparat topikal lainnya (kortikosteroid, antibiotik, pelembab lain) ditempat pengukuran TEWL serta obat-obatan sistemik dalam dua minggu terakhir, orangtuanya menyetujui dan menandatangani formulir informed concent. Kriteria eksklusi : Pasien alergi terhadap agen pelembab, penderita DA dengan lesi, menggunakan antibiotik topikal/sistemik dalam 2 minggu terakhir. Penelitian dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit jejaring. Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Waktu penelitian yaitu bulan Januari hingga Maret 2013.

Metode

Seluruh subjek yang telah memenuhi kriteria penelitian diminta mengisi kuesioner mengenai data pribadi dan riwayat penyakit, dilakukan pengukuran tinggi dan berat badan, pengambilan gambar kulit kering dengan menggunakan kamera digital dan pemeriksaan TEWL dilakukan dengan menggunakan alat Tewameter® TM 300 dan pengambilan swab kulit untuk kolonisasi S.aureus dengan metode

scrub-wash Kligman & Williamson. Teknik Pelaksanaan

Cara mengoperasikan Tewameter/Corneometer 350: Hubungkan alat TC 350 dengan sumber arus listrik, pasang probe tewameter disebelah kiri di depan alat TC 350, letakkan pada probe holder, nyalakan alat TC 350 dengan cara menekan tombol on, setelah layar menyala, ketajaman angka dapat diatur melalui tombol kontras dibelakang alat. Cara pengukuran TEWL: Lepaskan tutup pelindung kepala probe tewameter (warna merah). Pada waktu mengukur TEWL, pegang probe tewameter dengan lembut di antara jari-jari tangan pada ujung pegangannya. Letakkan ujung pendek kepala probe tewameter menempel di permukaan kulit yang diteliti. Selama memegang probe tewameter, jari-jari tangan harus diam. Tekan tombol start, setelah 30 detik tekan tombol STOP, dan pada layar terbaca nilai rerata TEWL. Interpretasi nilai TEWL: 0-<25 g/h/m2 : kondisi normal, >25 g/h/m2 : kondisi terganggu (tinggi).

Teknik pengambilan sampel kulit untuk kolonisasi S. aureus (metode scrub-wash

(6)

6

menggunakan kassa steril yang telah dibasahi dengan NaCl 0,9%. Menggunakan kapas lidi steril digulirkan secara perlahan-lahan di kulit daerah fossa cubiti pada kedua fleksor ekstremitas superior. Kapas lidi dimasukkan ke dalam tabung media transport

stuart untuk dikirim ke bagian Mikrobiologi. Analisis statistik

Data diolah menggunakan Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 17. Metode statistik yang digunakan adalah perhitungan nilai rerata, simpang baku, sebaran frekuensi dan uji statistik. Uji statistik yang digunakan adalah Mann-Whitney

U, Wilcoxon Signed Rank Test dan Kruskall Wallis test dengan tingkat kemaknaan

p<0,05.

HASIL

Selama periode penelitian, diperoleh 32 jumlah sampel yang terbagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok anak dengan riwayat atopi dan kelompok anak non atopi terdiri dari 17 anak perempuan (56,67%) dan 13 (43,33%) anak laki-laki yang memenuhi kriteria penelitian dengan rata-rata usia 2-12 tahun. Pada kelompok atopi terdiri dari 9 (30%) anak laki-laki dan 11 (36,67%) anak perempuan, dengan usia 2-4 tahun (26,67%) dan 5-12 tahun (40%). Sedangkan kelompok non atopi terdiri dari 4 (13,33%) anak laki-laki dan 6 (20%) anak perempuan, dengan usia 2-4 tahun (13,33%) dan 5-12 tahun (20%).

Data dari penelitian ini tidak terdistribusi normal, dengan jumlah sampel < 50 dan p<0,05 dari uji Shapiro-Wilk, sehingga untuk menguji derajat kering dan nilai TEWL sebelum dan sesudah pemberian pelembab PEA pada kedua kelompok digunakan uji Wilcoxon Signed Rank Test.

Berdasarkan tabel 1, tidak terdapat perbedaan yang signifikan p>0,05 pada derajat kering sebelum dan sesudah pemberian palmitoylethanolamide, pada tabel 2 terdapat perbedaan yang signifikan p<0,05 untuk nilai TEWL pada kelompok anak non atopi sebelum dan sesudah pemberian palmitoylethanolamide. Dengan demikian,

palmitoylethanolamide mempengaruhi derajat kekeringan kulit dan menurunkan nilai

TEWL pada anak non atopi namun tidak terlalu berpengaruh pada anak atopi. Pada tabel 3 diadapatkan bahwa perbandingan nilai TEWL antara kelompok atopi dan non atopi setelah pemberian palmitoylethanolamide secara statistik tidak signifikan dengan p>0,05. Tabel 4 menunjukkan bahwa pada pemeriksaan awal, ditemukan adanya

(7)

7

perbedaan signifikan frekuensi keberadaan koloni S aureus antara kelompok atopi dengan non atopi (p<0,05). Frekuensi keberadaan koloni S aureus lebih tinggi pada kelompok non atopi dibandingkan atopi. Pada pemeriksaan hari 1, 7 dan 14, tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan frekuensi keberadaan S aureus diantara kedua kelompok (p>0,05). Namun terlihat kecenderungan bahwa frekuensi keberadaan S

aureus lebih tinggi pada kelompok non atopi dibandingkan atopi. Pada tabel 5

menjelaskan pada kelompok atopi dan non atopi, ditemukan adanya perbedaan signifikan jumlah koloni S aureus (masing-masing dengan p<0,001 dan p<0,05), dimana terlihat bahwa jumlah koloni semakin menurun dengan berambahnya waktu pengamatan.

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini menemukan pengaruh palmitoylethanolamide (PEA) terhadap transepidermal water loss (TEWL) dan koloni S.aureus pada anak riwayat atopi dan non atopi, dengan melakukan pemeriksaan terhadap kadar TEWL sebelum dan sesudah penggunaan pelembab yang mengandung PEA dengan menggunakan alat Tewameter ®TM300 dan menilai penurunan jumlah koloni S.aureus dengan kultur pada medium Manitol salt agar (MSA). Penelitian dilakukan selama 14 hari dengan memberikan perlakuan pemberian pelembab Physiogel AI®.

Pemilihan kelompok usia pada penelitian ini berdasarkan pertimbangan bahwa usia tersebut merupakan kelompok yang terbanyak di antara semua penderita DA. Studi yang dilakukan oleh Boediardja,1998 berdasarkan data dari RS kota besar di Indonesia, dari seluruh pasien DA didapatkan bahwa kelompok usia terbanyak adalah 5-14 tahun, diikuti kelompok 1-4 tahun, dan sisanya kelompok dewasa. (Boediarja, 1998) Pada penelitian ini didapatkan kasus anak riwayat atopi terbanyak pada usia 5-12 tahun sebanyak 12 orang (40%).

Jenis kelamin pada penelitian ini didapatkan anak riwayat atopi pada perempuan sebanyak 11 orang (36,67%) dan laki-laki sebanyak 9 orang (30%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilaporkan oleh Leung dkk (2008), menyebutkan bahwa prevalensi DA berdasarkan jenis kelamin bervariasi pada beberapa penelitian dan dilaporkan bahwa predominan terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio 1,3 : 3 (Leung et al., 2008)

(8)

8

Telaah kepustakaan menyebutkan bahwa pada pendertita DA terjadi penurunan kandungan air stratum korneum serta lemak pada permukaan kulit. (Sator et al., 2003) Kerusakan lemak interseluler pada DA menyebabkan menurunnya fungsi sawar lapisan korneum sehingga terjadi peningkatan penguapan air melalui lapisan korneum yang dikenal dengan istilah TEWL. Kandungan air yang berkurang menyebabkan korneosit mengkerut sehingga terbentuk celah diantaranya yang dapat berfungsi sebagai jalan masuk bagi zat-zat iritan dan allergen. (Setyaningrum et al., 2003)

Pada penelitian ini diukur penurunan nilai TEWL sesudah perlakuan yaitu pemberian pelembab yang mengandung PEA. Pelembab akan mengembalikan barier kulit yang terganggu pada pasien DA dengan pengisian kembali lipid alami yang ditemukan dalam kulit termasuk PEA, dengan menyerupai struktur lamelar barier kulit, yang memodulasi respon kekebalan tubuh dan membantu melindungi kulit dari lingkungan yang menyebabkan tanda dan gejala DA. Meskipun mekanismenya belum sepenuhnya dimengerti, krim matrix lamelar dengan PEA memiliki sifat anti inflamasi dan antipruritus, hal ini mungkin karena kemampuan PEA untuk mengikat reseptor CB2, yang menghambat aktivasi sel mast. Selanjutnya, komponen lipid dari krim ini berinteraksi dengan barier kulit dan bergabung dengan lipid alami dalam stratum korneum sehingga efektif mempengaruhi TEWL dan fungsi barier. Dampak positif dari mekanisme ini pada TEWL ditunjukkan dalam salah satu penelitian razor-induced trauma kulit dimana menunjukkan bahwa krim matrix lamelar melakukan perbaikan secara signifikan lebih besar pada TEWL dibandingkan dengan krim triamcinolone 0,05% dan krim pimekrolimus 1%, dan juga telah menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan pada anak-anak dan orang dewasa. Krim PEA telah menunjukkan efikasi setara dengan krim hidrokortison 1% dalam mengurangi pruritus, infiltrasi, ekskoriasi dan lichenifikasi pada pasien DA dengan gejala ringan sampai sedang, dan lebih efektif daripada hidrokortison dalam mengurangi kekeringan, meskipun tidak eritema. Hasil positif yang sama juga ditemukan pada penelitian ATOPA (adjuvant treatment of atopic

eczema: penilaian suatu emolien yang mengandung N-palmitoylethanolamine) studi,

internasional, multicenter, observasional, yaitu suatu penelitian kohort pada 2.456 pasien berusia 2 - 70 tahun dengan DA gejala ringan sampai sedang lebih dari 38 hari, yang mengevaluasi perawatan kulit dari krim yang mengandung PEA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa krim yang mengandung PEA menunjukkan peningkatan yang signifikan terhadap tanda-tanda DA termasuk kekeringan, ekskoriasi, lichenifikasi,

(9)

9

eritema, skuama, dan pruritus telah menurun secara signifikan (P <0,001). (Kircik, 2010).

Pada penelitian ini didapatkan penurunan TEWL secara signifikan pada anak non atopi pada hari ke-1, ke-7 dan hari ke-14 dengan nilai p<0,05. Sementara nilai TEWL pada anak riwayat atopi tidak terlihat adanya penurunan yang signifikan dengan nilai p>0,05. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Sator dkk yang menemukan nilai TEWL yang lebih tinggi pada penderita DA dibandingkan dengan orang sehat (Sator et al., 2003). Pada penelitian ini hasilnya berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam menurunkan derajat kekeringan kulit, hal ini terlihat pada beberapa subyek penelitian anak riwayat atopi yang kembali meningkat nilai TEWL pada hari ke 14, hal ini mungkin disebabkan oleh faktor lingkungan/penggunaan air conditioner yang berlebihan pada ruangan/kamar. Beberapa faktor bisa mempengaruhi fungsi sawar kulit antara lain; stress psikologis, lingkungan yang lembab, lingkungan yang kering, penyakit kulit, umur, steroid eksogen, trauma dan inflamasi. Hal ini menjelaskan bahwa keadaan lingkungan dengan kelembababn yang rendah akan mengakibatkan penurunan TEWL disertai penurunan natural moisturizing factor (NMF), sebaliknya kelembaban tinggi (penggunaan AC) akan meningkatkan TEWL (Proksch et al., 2002).

Kulit manusia normal dihuni oleh sejumlah besar bakteri yang hidup komensal pada permukaan kulit atau di dalam folikel, dan dapat dibagi atas flora transien dan residen. Apabila terjadi pertumbuhan yang berlebihan dari organisme residen, maka akan timbul penyakit pada kulit atau apendiksnya. Defisiensi lipid pada kulit DA, berperan penting terhadap efek antimikrobial dan peningkatan TEWL, yang menyebabkan kulit kering serta merupakan predisposisi kolonisasi S. aureus.(Leung, 2001) Kolonisasi S. aureus dapat terjadi akibat berbagai hal, yaitu gangguan pada fungsi sawar kulit, hilangnya aktivitas sistem imun alamiah, dan perubahan pada pH permukaan kulit (Maintz et al., 2007)

Peristiwa kolonisasi S. aureus pada kulit penderita DA diawali dengan proses penempelan S. aureus pada permukaan kulit, yang diperantarai adesin, S. aureus melekat erat pada korneosit dan melakukan penetrai ke dalam epidermis melalui ruang interselular sebagai akibat defisiensi lipid pada penderita DA.(Baker, 2006) Kekeringan dan fisura sebagai akibat TEWL yang belebihan dapat meningkatkan kolonisasi S.

(10)

10

Perbaikan sawar epidermal kulit oleh pelembab akan mencegah penetrasi bahan-bahan iritan dan alergen yang merupakan pencetus lesi eksematosa, misalnya toksin yang bekerja sebagai superantigen yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Pada tabel 4 dan 5 menunjukkan bahwa pemakaian pelembab dengan kandungan PEA sebagai antiinflamasi dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan kuman SA dimana terjadi penurunan jumlah koloni SA pada sampel yang mengalami pertumbuhan SA pada awal pemeriksaan dan menurun pada akhir pemeriksaan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Terdapat penurunan derajat kekeringan kulit pada anak non atopi namun tidak terlalu berpengaruh pada anak riwayat atopi dari pemakaian pelembab yang mengandung palmitoylethanolamide (PEA). Namun, PEA mempengaruhi kolonisasi bakteri S.aureus yaitu terlihat penurunan kolonisasi yang bermakna baik pada anak riwayat atopi maupun non atopi. Pemberian pelembab yang mengandung PEA dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan terhadap kulit kering pada anak riwayat atopi untuk mengatasi kekeringan kulit dan mencegah terjadinya kekambuhan dermatitis atopi. Penelitian ini perlu dilakukan lebih baik lagi dengan menggunakan metodologi penelitian lain, waktu penelitian yang lebih panjang untuk melihat efektifitas pelembab yang mengandung PEA terhadap derajat kekeringan kulit pada anak atopi.

(11)

11 DAFTAR PUSTAKA

Baker, B. S. (2006) The role of microorganisms in atopic dermatitis. Clin Exp Immunol, 144, 1-9.

Boediarja, S. (1998) Diagnosis Dermatitis atopik pada Bayi dan Anak. . Simposium

Mini dan Lokakarya Dermatitis atopik pada Bayi dan Anak., 1, 681-700.

Faergemann, J. (2002) Atopic Dermatitis and Fungi. Clin Microbiol Rev, 15, 545-54. Friedmann, P. S., Ardern-Jones, M. R. & Holden, C. A. (2010) Atopic Dermatitis. In

Burns, T., Breathnach, S., Cox, N. & Ths, C. G. (Eds.) Rook’s Textbook of

Dermatology.8th ed. Oxford, Wiley-Blackwell.

Jorizzo, J. (2005) The palmitoylethanolamide family: a new treatment choice For atopic dermatitis? J Am Acad Dermatol, P73.

Kircik, L. (2010) A nonsteroidal lamellar matrix cream containing

palmitoylethanolamide for the treatment of atopic dermatitis. Juornal of Drugs

in Dermatology, 1-8.

Lambert, D. M., Vandevoorde, S., Jonsson, K.-O. & Fowler, C. J. (2002) The Palmitoylethanolamide Family: A New Class of Anti-Inflammatory Agents?

Current Medicinal Chemistry, 9, 663-674.

Leung, D. Y. M., Eichenfield, L. F. & Boguniewicz, M. (2008) Atopic Dermatitis (Atopic Eczema). In Wolff, K., Goldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S. & Leffell, D. J. (Eds.) Fitzpatrick's dermatology in general

medicine. 7th ed. New York, McGraw-Hill Companies Inc.

Leung, D. Y. M. & Soter, N. A. (2001) Cellular and immunologic mechanisms in atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol, 44, S1-S12.

Lovermea, J., Ranab, G. L., Russob, R., Calignanob, A. & Piomellia, D. (2005) The search for the palmitoylethanolamide receptor. Life Sciences, 77, 1685-1698. Maintz, L. & Novak, N. (2007) Getting more and more complex: the pathophysiology

of atopic eczema. Eur J Dermatol, 17, 267-83.

Pourpak, Z., Mozaffari, H., Gharagozlou, M., Daneshmandi, Z. & Moin, M. (2008) Asthma in Patients with Atopic Dermatitis. Indian J Pediatr, 75, 139-141.

Proksch, E. & Elias, P. M. (2002) Epidermal Barier in Atopic Dermatitis. In Bieber, T. & Leung, D. Y. M. (Eds.) Atopic Dermatitis. New York, Marcel-Dekker.

Rajka, G. (1989) On definition and framework of atopic dermatitis. . Acta Derm

Venereol, 144, 10-12.

Sator, P. G., Schmidt, J. B. & Honigsmann, H. (2003) Comparison of epidermal hydration and skin surface lipids in healthy individuals and in patients with atopic dermatitis J Am Acad Dermatol, 48, 1-8.

Setyaningrum, T. & Hutomo, M. (2003) Penggunaan pelembab pada Dermatitis Atopi.

(12)

12 Tabel 1. Perbandingan nilai TEWL setelah pemberian pelembab pada kelompok atopi

Kelompok

atopi n

Nilai TEWL

p* Min - Max Median Rerata ± SB

Hari 0 Hari 1 Hari 7 Hari 14 20 20 20 20 4,61 - 29,67 6,16 - 25,04 6,82 - 20,89 5,13 - 34,14 12,07 11,42 11,33 9,33 14,63 ± 7,28 13,47 ± 5,73 11,96 ± 3,92 11,28 ± 6,29 0,478 0,185 0,135 . Wilcoxon Signed Rank test

Tabel 2. Perbandingan nilai TEWL setelah pemberian pelembab pada kelompok non atopi

Kelompok non

atopi n

Nilai TEWL

p*

Min - Max Median Rerata ± SB

Hari 0 Hari 1 Hari 7 Hari 14 10 10 10 10 8,42 - 33,09 9,62 – 24,89 6,61 – 16,85 4,20 – 11,90 17,81 12,13 9,53 7,20 18,89 ± 7,21 14,71 ± 5,27 10,85 ± 3,58 7,83 ± 2,65 0,028 0,007 0,005 Wilcoxon Signed Rank test

Tabel 3. Perbandingan nilai TEWL antara kelompok atopi dan kelompok non atopi

Kelompok

n Nilai TEWL p*

Min - Max Median Rerata ± SB Hari 0 Atopi Non atopi Hari 1 Atopi Non atopi Hari 7 Atopi Non atopi Hari 14 Atopi Non atopi 20 10 20 10 20 10 20 10 4,61 – 33,09 6,16 – 25,04 6,61 – 20,89 4,20 – 34,14 14,14 11,96 10,03 8,75 16,04 ± 7,42 13,89 ± 5,51 11,59 ± 3,78 10,13 ± 5,55 0,104 0,428 0,582 0,086 Mann-Whitney U test

(13)

13

Tabel 4. Perbandingan frekuensi keberadaan S.aureus menurut kelompok

Hari Pengamatan Kelompok n Rerata Simpang Baku p

Hari 0 Hari 1 Hari 7 Hari 14 Atopi 20 1,30 0,470 0,040 0,075 0,306 0,309 Non Atopi Atopi Non Atopi 10 20 10 1,70 1,35 1,70 0,483 0,489 0,483 Atopi Non Atopi 20 10 1,50 1,70 0,513 0,483 Atopi Non Atopi 20 10 1,90 2,00 0,308 0,000 Mann-Whitney U test

Tabel 5. Perbandingan Log Jumlah Koloni S aureus menurut Hari Pengamatan

Kelompok n Rerata Simpang Baku p

Atopi Non Atopi Hari 0 14 15,0 3,7 0,000 0,027 Hari 1 13 8,7 2,2 Hari 7 Hari 0 10 3 3,8 15,6 1,5 0,2 Hari 1 3 9,3 0,8 Hari 7 3 2,9 0,7

Gambar

Tabel  3.  Perbandingan  nilai  TEWL  antara  kelompok  atopi  dan  kelompok  non  atopi
Tabel  5. Perbandingan Log Jumlah Koloni S aureus menurut Hari Pengamatan

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi, cara ini memiliki keterbatasan, yaitu jumlah sel terhitung biasanya lebih kecil dari sebenarnya (kemungkinan besar 1 koloni dapat berasal lebih dari

Pengamatan terhadap aktivitas siswa dilakukan oleh dua pengamat menggunakan instrumen lembar aktivitas siswa yang telah tersedia. Berdasarkan hasil analisis diperoleh

Menurut pernyataan Menteri Perindustrian MS Hidayat (2012), tantangan yang dihadapi sektor industri manufaktur masih berkisar pada minimnya infrastruktur dan

Pengertian angkutan kota adalah sebuah model transportasi perkotaan yang merujuk kepada kendaraan umum untuk memindahkan penumpang dengan trayek yang sudah ditentukan.

akan mendapat sentimen negatif global dari tumbangnya saham perusahaan teknologi di Amerika seperti Facebook.. Tahun lalu saham sektor teknologi mengalami rally

Tujuan dari penelitian ini adalah yang pertama untuk mendiskripsikan tipe tindak ilokusi yang terdiri dari representative or assertive, directive, commisive, expressive,

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi / karya ilmiah saya, dengan judul : VALIDASI METODE ANALISIS CAMPURAN VITAMIN B 1 , B 2 , DAN B 6 DALAM SEDIAAN

Tujuan Penelitian ialah untuk mengevaluasi dan mengetahui sejauh mana sistem informasi persediaan yang sedang berjalan (meliputi pengendalian manajemen dan pengendalian