• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEBERAPA CATATAN TENTANG ASPEK BIOLOGI DAN PERIKANAN ABALON Oleh. Marisa Jusie Octaviany 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BEBERAPA CATATAN TENTANG ASPEK BIOLOGI DAN PERIKANAN ABALON Oleh. Marisa Jusie Octaviany 1)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Oseana, Volume XXXII, Nomor 4, Tahun 2007 : 39- 47 ISSN 0216-1877

BEBERAPA CATATAN TENTANG ASPEK BIOLOGI

DAN PERIKANAN ABALON

Oleh

Marisa Jusie Octaviany

1)

ABSTRACT

NOTES OF BIOLOGICAL ASPECTS AND FISHERIES OF ABALONE.

Abalone of genus Haliotis (Haliotidae) is a species group of shellfish (Mollusca) and belongs to the class of Gastropoda. According to its morphology, abalone shells are rounded or oval shaped with a large apex towards one end. The shell has a row of respiratory pores. The muscular foot has strong suction power permitting the abalone to clamp tightly on rocky surfaces. Abalone reaches sexual maturity in a small size, high fertility and increases exponentially with size. Male and female are separated individuals and it has external fertilization. Recently, the world abalone production of farmed fisheries has been dominated by China and Taiwan. While Australia was still the largest producer of abalone from capture fisheries. All part of abalone s body can be utilized. The entire flesh of the abalone is edible; while the shell could be used to make mother-of-pearl inlays on furniture, sold to shell collectors, sold as souvenirs, and used in making jewelry.

PENDAHULUAN

Berbagai jenis hewan invertebrata hidup dan berkembang biak di perairan, hampir di seluruh wilayah perairan di dunia. Salah satu kelompok invertebrata yang paling banyak jumlah dan jenisnya adalah moluska. Moluska dapat ditemukan di perairan laut, perairan tawar dan daratan. Saat ini diperkirakan jumlah jenis moluska berkisar antara 80.000 hingga lebih dari 100.000 jenis. Seperti filum lainnya, moluska dibagi menjadi beberapa kelas. Gastropoda adalah kelas moluska yang terbesar

karena terdapat sekitar 90.000 jenis yang hidup di perairan laut, perairan tawar dan daratan. Gastropoda dalam sistematikanya dibagi menjadi 3 sub kelas, yaitu : Prosobranchia, Opisthobranchia, dan Pulmonada (WILSON & GILLET, 1971).

Abalon termasuk dalam sub kelas Prosobranchia, hidup di perairan laut dan berkerabat dekat dengan tiram dan remis. Abalon hanya memiliki satu keping cangkang

(univalve) dan memiliki kaki otot yang besar yang digunakan untuk menempelkan diri di batu karang dan substrat sejenisnya (ANONYMOUS, 2003).

(2)

Salah satu keistimewaan dari ciri fisik abalon adalah warna cangkang bagian dalamnya yang beragam. Warna yang beragam ini dihasilkan oleh nacre (ANONYMOUS, 2007a). Beberapa jenis abalon merupakan komoditi ekonomis. Permintaan dunia akan abalon meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan variasi sumber protein serta perkembangan industri perhiasan dan akuarium (LITAAY, 2005).

Di Indonesia, abalon dikenal dengan nama siput mata tujuh atau siput lapar kenyang. Nama lokal abalon lainnya adalah

ormer dalam bahasa Guernsey, perlemoen

(Afrika Selatan), abalone (Australia dan Amerika Serikat), aulone (Meksiko), dan paua

(Selandia Baru) (ANONYMOUS, 2007a dan HUTCHINS, 2007).

KLASIFIKASI ABALON

Abalon, Haliotis termasuk dalam suku Haliotidae. Walaupun hanya ada satu marga dalam suku Haliotidae, terdapat sekitar 4-7 buah submarga dan jumlah jenisnya berkisar antara 100-130 jenis (terkait dengan adanya hibridasi). BEVELANDER (1988) menyatakan bahwa terdapat sekitar 100 jenis yang tersebar di seluruh dunia.

Adapun klasifikasi abalon adalah sebagai berikut (ANONYMOUS, 2007a):

MORFOLOGI ABALON

Suku Haliotidae memiliki beberapa ciri yaitu cangkangnya berbentuk bulat sampai oval, memiliki 2-3 buah puntiran (whorl), memiliki cangkang yang berbentuk seperti telinga

(auriform), biasa disebut ear shell. Puntiran yang terakhir dan terbesar (body whorl) memiliki rangkaian lubang yang berjumlah sekitar 4-7 buah tergantung jenis dan terletak di dekat sisi anterior. SETYONO (2004a) mengungkapkan bahwa abalon memiliki cangkang yang berbentuk seperti telinga, sehingga masyarakat di Maluku biota abalon biasa disebut sebagai "bia telinga". Pada bagian kiri cangkang terdapat rangkaian lubang pernafasan. Pada umumnya, terdapat tujuh buah lubang yang dapat terlihat, namun hanya 4-5 buah lubang yang tidak tertutup. Tujuh buah lubang inilah yang dijadikan alasan bagu masyarakat di wilayah Indonesia Timur menyebut abalon sebagai "siput mata tujuh" di Wilayah Indonesia Timur (Gambar 1).

Abalon tidak memiliki operkulum. Cangkang abalon cembung dan melekat kuat (dengan kaki ototnya/muscular foot) di permukaan batu pada daerah sublitoral. Warna cangkang bervariasi antara jenis yang satu dengan jenis yang lain. Salah satu keistimewaan dari ciri fisik abalon adalah warna cangkang bagian dalamnya yang beragam. Warna ini dihasilkan oleh nacre (ANONYMOUS, 2007a).

Bagian dalam cangkang abalon berwarna seperti pelangi, putih keperakan sampai hijau kemerahan. Haliotis iris dapat berwarna campuran merah muda dan merah dengan warna utama biru tua, hijau, dan ungu. Dilihat dari fisiknya, ukuran tubuh abalon berbeda-beda tergantung dari jenisnya, mulai dari 20 mm (seperti Haliotispulcherrima) sampai 200 mm atau lebih (seperti Haliotis rufescens).

(3)

Gambar 1. Penampang cangkang bagian luar dan dalam abalon (HUTCHINS, 2007)

DISTRIBUSI DAN HABITAT ABALON

Suku Haliotidae memiliki distribusi yang luas dan meliputi perairan seluruh dunia, yaitu sepanjang perairan pesisir setiap benua kecuali perairan pantai Atlantik di Amerika Selatan, Karibia, dan pantai timur Amerika Serikat. Abalon paling banyak ditemukan di perairan dengan suhu yang dingin, di belahan bumi bagian selatan yaitu di perairan pantai Selandia Baru, Afrika Selatan dan Australia. Sedangkan di belahan bumi utara adalah di perairan pantai barat laut Amerika dan Jepang (ANONYMOUS, 2007a). Menurut SETYONO (2004a), abalon paling banyak ditemukan di daerah beriklim empat musim, hanya sedikit jenis yang dapat ditemukan di daerah tropis (termasuk Indonesia) dan daerah Artik.

Loco (Concholepas concholepas,

Bruguiere 1789) adalah abalon yang bercangkang keras berwama hitam yang merupakan jenis yang paling banyak diburu dan dikonsumsi di Chili. Abalon Pinto ditemukan di Kepulauan Aleutian, Alaska sampai daerah Point Conseption, California. Abalon Pinto merupakan satu-satunya abalon yang ditemukan hidup di alam di British Columbia (LEPORE, 1993).

Abalon menyukai daerah bebatuan di pesisir pantai (Gambar 2), terutama pada daerah yang banyak ditemukan alga. Perairan dengan salinitas yang tinggi dan suhu yang rendah juga merupakan syarat hidup abalon. Abalon dewasa lebih memilih hidup di tempat-tempat dimana banyak ditemukan makroalga. Di daerah utara (Alaska sampai British Columbia), abalon umumnya berada pada kedalaman 0-5 m, tetapi di California abalon berada pada kedalaman 10 m (LEPORE, 1993).

(4)

Gambar 2. Sifat hidup abalon yang menempel pada substrat batu (IMAMURA,2005)

MAKANAN DAN KEBIASAAN MAKAN ABALON

Abalon dewasa merupakan herbivora dan pada umumnya memakan makroalga, terutama alga merah, dengan menggunakan radula rhipidoglossate. Rhipidoglossate

adalah jenis radula yang mempunyai ratusan gigi pada setiap barisnya dan biasanya dimiliki oleh siput herbivora (DHARMA, 1988). Abalon termasuk herbivora yang aktif memakan mikroalga dan makroalga pada malam hari (SETYONO, 2004a). Makanan utama abalon dewasa adalah potongan-potongan makroalga yang hanyut terbawa arus dan gelombang, terutama kelompok alga merah. Juvenil abalon memakan alga yang hidup di batu karang, diatom, dan bakteri, sedangkan larva abalon memakan plankton (ANONYMOUS, 2007a dan ANONYMOUS, 2007c).

Pada saat masih larva, H. discuss hannai bersifat planktonik dan setelah bermetamorfosis ke fase juvenil hidup sebagai benthos. Larva H. discuss hannai bersifat

lecithotrophic (tidak mengambil makanan dari

lingkungannya), sumber makanan selama fase larva tersebut adalah kuning telur. Namun demikian, partikel organik terlarut yang ada di perairan sekitarnya merupakan tambahan makanan pada fase ini (MANAHAN & JAECKLE ,1992 dan SHILLING et al., 1996).

Ketersediaan makanan bagi H. discus hannai yang baru memasuki masa post larvae

adalah penting, karena hal ini berkaitan dengan kelangsungan hidupnya (TAKAMI et al.,

2000). Laju pertumbuhan pada fase hidup awal

H. discus hannai bergantung pada ketersediaan makanan dan kemampuan masing-masing individu dalam memanfaatkan makanan yang tersedia (KAWAMURA & TAKAMI, 1995; KAWAMURA et al., 1995; SEKI, 1997 dan TAKAMI et al., 1997a, b).

Abalon Pinto (H. kamtschatkana)

biasanya memakan potongan makroalga coklat. Namun kadang-kadang abalon Pinto juga memakan fitoplankton dan diatom bila tidak ada bahan makanan lain. Saingan alami abalon dalam mencari makan dan ruang hidup adalah bulu babi. Persaingan tersebut biasanya dimenangkan oleh bulu babi (ANONYMOUS, 1990).

(5)

Telur dan larva abalon merupakan mangsa bagi ikan penyaring plankton (filter feeding fish) dan moluska, sedangkan pemangsa bagi abalon yang masih juvenil maupun yang telah dewasa adalah kepiting, lobster, gurita, bintang laut, ikan, anjing laut dan gastropoda lain. Abalon yang ditemukan di daerah perairan yang dihuni oleh anjing laut, pada umumnya berukuran lebih kecil, sehingga cangkangnya lebih mudah untuk diretakkan. Kaki otot abalon merupakan santapan lezat bagi hewan pemangsa abalon (ANONYMOUS, 1990).

REPRODUKSI ABALON

Abalon merupakan hewan yang tergolong dioecious (jantan dan betina terpisah) seperti moluska lainnya. Abalon memiliki satu gonad, baik jantan maupun betina yang terletak di sisi kanan tubuhnya.

Abalon jantan dan betina dewasa mudah dibedakan, karena testis menampakan warna krem sedangkan ovarium menampakan warna kehijau-hijauan saat gonad matang. Pembuahan terjadi di luar (fertilisasi eksternal). Garnet jantan dan betina dilepaskan ke suatu perairan, kemudian terjadi pembuahan (SETYONO, 2004a).

Telur yang sudah dibuahi menetas menjadi larva yang melayang, kemudian pada tahap selanjutnya akan memakan plankton hingga mulai terbentuk cangkang. Ketika cangkang sudah terbentuk, juvenil abalon akan cenderung menuju ke dasar perairan dan melekatkan diri pada batu dengan memanfaatkan kaki ototnya. Setelah menenggelamkan diri, abalon berubah menjadi pemakan makroalga (TOM, 2007). Siklus hidup abalon mulai dari terjadinya pemijahan hingga abalon menjadi dewasa dan kembali memijah, disajikan pada Gambar 3.

(6)

Reproduksi abalon diatur oleh hormon

neurosecretory (HAHN, 1992). Di daerah yang beriklim empat musim dan subtropis, abalon pada umumnya memiliki musim pemijahan yang jelas dan bervariasi berdasarkan jenis dan suhu perairan (SETYONO, 2004a). Abalon hitam (H.

cracherodii), hijau (H. fulgens) dan merah muda (H. corrugate) memijah antara musim semi dan gugur, sedangkan abalon Pinto (H. kamtschatkana) memijah selama musim panas. Pada beberapa lokasi, abalon merah (H.

rufescens) mampu memijah sepanjang tahun (TOM, 2007).

Proses pemijahan abalon, dipengaruhi oleh faktor alam di luar tubuh abalon (eksogen) dan faktor di dalam tubuh abalon (endogen).

Faktor alam yang mempengaruhi pemijahan antara lain adalah perubahan temperatur air laut, kontak dengan udara selama air laut surut rendah, perubahan periode penyinaran

(photoperiod), siklus bulan, garnet yang dilepaskan oleh individu lain dan kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Adapula faktor dari dalam tubuh yang mempengaruhi pemijahan yaitu prostaglandins (PGs) dan beberapa amino yang dihasilkan oleh sel-sel saraf yang diduga sangat berperan penting pada proses pemijahan abalon (SETYONO, 2004b).

Abalon dapat mencapai matang gonad, ketika masih berukuran kecil. Fekunditas abalon tinggi dan meningkat secara eksponensial, seiring dengan pertambahan ukuran. Sel telur dan sperma, dilepaskan ke perairan melalui lubang pernafasan. Walaupun abalon betina mampu menghasilkan jutaan telur pada satu waktu, laju mortalitas larva dan juvenil abalon sangat tinggi (ANONYMOUS, 2007b).

PERIKANAN ABALON

Usaha perikanan abalon baik dalam bentuk perikanan tangkap maupun budidaya paling banyak dilakukan di Kanada, Amerika

Serikat, Meksiko, Jepang, Korea, Australia, Selandia Baru, Perancis, Cili dan Afrika Selatan (HAHN, 1989 dan ANONYMOUS, 2007c). Penghasil terbesar abalon yang berasal dari perikanan tangkap adalah Australia (VIANA, 2002). Sedangkan produksi abalon dari perikanan budidaya didominasi oleh Cina dan Taiwan (ANONYMOUS, 2007c).

Ada empat jenis abalon di Australia yang ditangkap untuk tujuan komersial sejak akhir tahun 1960, yaitu abalon bibir hijau (H. laevigata), abalon bibir hitam (H. rubra),

abalon bibir coklat (H. conicopora), dan abalon Roe (H. roei). Untuk menjaga stok abalon yang hidup di alam dari penangkapan berlebih (over-fishing), pemerintah Australia mengatur jumlah dan ukuran abalon yang boleh ditangkap. Di Australia Selatan, ukuran minimum abalon di alam yang boleh ditangkap adalah 130 mm (ANONYMOUS, 2003). Di perairan Indonesia, terdapat tujuh jenis abalon yang ditemukan, yaitu Haliotis asinina, H. varia, H. squamosa, H. ovina, H. glabra, H. planata, dan H. crebisculpta (DHARMA, 1988).

Daging abalon banyak dikonsumsi dan merupakan santapan yang lezat bagi masyarakat Amerika Latin (terutama Cili), Asia Tenggara, dan Asia Timur (terutama Cina, Jepang dan Korea). Kaki abalon. termasuk bagian tubuh abalon yang dapat dimakan. Berat daging abalon berkisar antara 28-46% dari berat abalon hidup yang tergantung keadaan musim dan lokasi (ANONYMOUS, 2003).

Pada awal perkembangan usaha perikanan abalon di Amerika Serikat, abalon hanya dikeringkan atau diasap untuk diekspor dan dijual segar untuk pasar lokal. Saat ini, hampir semua abalon diekspor ke Jepang, baik dalam bentuk segar maupun beku. Pusat perdagangan abalon di Amerika Serikat adalah di California, untuk diolah menjadi sashimi dan untuk dibuat steak (TOM, 2007).

(7)

Seluruh daging abalon dapat dimakan. Masyarakat tradisional Amerika Serikat cenderung lebih suka mengkonsumsi bagian otot abalon, sedangkan gonad abalon paling disukai oleh masyarakat Jepang, bahkan ketika masih dalam bentuk mentah. Sisa potongan otot abalon dimanfatkan sebagai pelengkap dalam pembuatan daging burger dan steak,

namun saat ini, setelah harga daging abalon meningkat, potongan otot ini dijual dalam bentuk segar maupun beku ke restoran di Asia untuk dijadikan sup atau makanan pembuka lainnya (TOM, 2007).

Beberapa manfaat juga dapat diperoleh dari keindahan warna pada bagian dalam cangkang abalon. Cangkang abalon dapat dimanfaatkan sebagai bahan perhiasan mutiara untuk menghias mebel. Selain itu, cangkang abalon juga dapat dijual kepada kolektor cangkang, dibuat sebagai suvenir dan sebagai perhiasan (TOM, 2007).

PROSPER PERIKANAN ABALON DI INDONESIA

Permintaan pasar terhadap abalon beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat, sedangkan pada kenyataannya terjadi penurunan populasi abalon. Penurunan populasi abalon disebabkan oleh penangkapan berlebih, penangkapan liar, predasi oleh pemangsa abalon terutama anjing laut, kompetisi dengan bulu babi dan biota lainnya. Selain itu, abalon juga kehilangan habitat alami akibat pembangunan di daerah pesisir oleh manusia, serta terjadinya kematian alami karena berbagai alasan (ANONYMOUS, 2007c).

Oleh sebab itu, minat dunia terhadap budidaya abalon semakin meningkat dan dalam waktu dekat akan terjadi persaingan pasar abalon yang semakin ketat di seluruh dunia (VIANA, 2002). Peningkatan jumlah populasi manusia dan jumlah permintaan masyarakat terhadap seafood berdampak pada

pengembangan akuakultur di Indonesia, termasuk budidaya ikan, teripang, dan moluska (SETYONO, 2004a).

SETYONO (2003) dalam penelitiannya telah menemukan teknik reproduksi biologi dan produksi benih untuk H. asinina yang hidup di daerah tropis. Akuakultur bagi abalon yang hidup di daerah tropis, memiliki prospek yang cerah dan H. asinina tumbuh lebih cepat daripada abalon yang tumbuh di daerah beriklim empat musim.

Keuntungan mengembangkan budidaya abalon di Indonesia adalah luasnya wilayah pesisir, melimpahnya alga yang merupakan pakan alami bagi abalon, melimpahnya sumberdaya alam untuk diproduksi menjadi makanan buatan bagi abalon (daging ikan, kedelai, jagung, minyak ikan). Selain itu, upah tenaga kerja yang relatif tidak mahal, tenaga kerja terlatih dalam bidang perikanan dan budidaya dan jaringan pasar ekspor yang sudah terbangun (SETYONO, 2004a).

Pengembangan usaha perikanan abalon baik perikanan tangkap maupun budidaya, diharapkan tidak hanya berorientasi untuk mencapai keuntungan. Pengembangan tersebut harus juga memperhatikan ketersediaan stok alami di alam dengan menjaga jumlah sediaan stok alaminya.

DAFTAR PUSTAKA

ANONYMOUS 1990. Abalone study : Haliotis kamtschatkana. Marine Biology for Teachers. Bamfield Marine Station Publications.

ANONYMOUS 2003. Abalone Aquaculture in South Australia. Primary Industries a n d R e s o u r c e s S A . h t t p : / / www.pir.sa.gov. au/factsheets. Tanggal akses 13 April 2007.

(8)

ANONYMOUS 2007a. Abalone. Wikipedia. h Up ://en. wikipedia. o rg/wiki/A b alone.

Tanggal akses 11 April 2007.

ANONYMOUS 2007b. Northern Abalone.

Government of Canada. Fisheries and Ocean. Canada, http://www.dfo-mpo.gc.ca/species-especes/species/ species northern Abalone _e. asp.

Tanggal akses 16 April 2007.

ANONYMOUS. 2007c. Facts About Abalone. FISHTECH™ INC. California, http:// www.fishtech.com/facts. Tanggal akses 11 April 2007.

BEVELANDER, G 1988. Abalon : Gross and fine structure. The Boxwood Press. Pacific Grove : 80 pp.

DHARMA, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia I. PT. Sarana Graha, Jakarta. : l l l h a l .

HAHN, K.O. 1989. Survey of Commercially Important abalon species in the World.

In: Handbook of Culture of Abalon and Other Marine Gastropods (K.O HAHN ed.). CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida : 3-12.

HAHN, K.O. 1992. Review of Endocrine Regulation of Reproduction in Abalon, spp. In : Abalon of The World: Biology, Fisheries, and Culture. (S.A. SHEPPERD, M.J. TEGNER and S.A. GUZMAN del PROO eds.). Blackwells, Oxford: 49-58.

HUTCHINS, P. 2007. Culturing Abalone Half-Pearls : The story of the New Zealand Eyris Blue Pearl™. Wide Bay Valuation Services. Bundaberg. www.australiangemmologist.com.au/ abalone_pearls.pdf Tanggal akses 13 April 2007.

IMAMURA, K. 2005. Abalone : Wild Life Notebook Series. Alaska Department of Fish and Game, www.adfg.state.ak.us.

Tanggal akses 16 April 2007.

KAWAMURA, T. and H. TAKAMI 1995. Analysis of Feeding and Growth Rate of Newly Metamorphosed Abalon

Haliotis discus hannai Fed on Four Species of Benthic Diatom. Fisheries Sci. 61: 357-358.

KAWAMURA, T; T. SAIDO; H. TAKAMI and Y. YAMASHITA1995. Dietary Value of Benthic Diatoms for the Growth of Post-Larval Abalon Haliotis discus hannai. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 194 : 189-199.

LEPORE, C. 1993. Feasibility of abalone culture in British Columbia. Principles of Aquaculture. Bamfield Marine Station Publications.

LITAAY, M. 2005. Peranan Nutrisi dalam Siklus Reproduksi Abalon. Oseana XXX (3): 1-7.

MANAHAN, D.T. and W.B. JAECKLE. 1992. Implications of dissolved organic matter in Seawater for the Energetics of Abalon Larvae Haliotis Rufescens: A Review,

In: "Abalon of the World: Biology, Fisheries and Culture" (S.A. SHEPPERD, M.J. TEGNER and S.A. GUZMAN del PROO eds.). Blackwells, Oxford: 95-106.

SETYONO, D.E.D. 2003. Reproductive Biology and Seed Production Techniques for Tropical Abalon (Haliotis asinina L) in Eastern Indonesia. PhD thesis, Otago University, New Zealand : 274 pp.

(9)

SETYONO, D.E.D. 2004a. Abalon (Haliotis asinina L): LA Prospective Species for Aquaculture in Indonesia. Oseana XXIX (2): 25-30.

SETYONO, D.E.D. 2004b. Abalon (Haliotis asinina L): 3. Induction of Spawning.

Oseana XXIX(3): 17-23.

SEKI, T. 1997. Biological Studies on the Seed Production of the Northern Japanese Abalon, Haliotis discus hannai Ino.

Bull. Tohoku Natl Fish. Res. Inst. 59 : 1-71.

SHILLING, F.M.; O. HOEGH-GULDBERG and D.T. MANAHAN 1996. Sources of Energy for Increased Metabolic Demand During Metamorphosis of the Abalon

Haliotis rufescens (Mollusca). Biol. Bull 191:402-412.

TAKAMI, H.; T. KAWAMURA and Y. YAMASHITA 1997a. Contribution of Diatoms as Food Sources for Post-Larval Abalon Haliotis discus hannai

on a Crustose Coralline Alga. Moll. Res. 18: 143-151.

TAKAMI, H.; T. KAWAMURA and Y. YAMASHITA 1997b. Survival and Growth Rates of Post-Larval Abalon

Haliotis discus hannai Fed Conspecific Trail Mucus and/or Benthic Diatom

Cocconeis scutellum Var. parva. Aquaculture 152 : 129-138.

TAKAMI, H.; T. KAWAMURA and Y. YAMASHITA 2000. Starvation Tolerance of Newly Metamorphosed Abalon Haliotis discus hannai. Fisheries Sci. 66: 1180-1182.

TOM, P.D. 2007. Abalone. Seafood Network Information Center. http:// seafood.ucdavis.edu/. Tanggal akses 11 April 2007.

VIANA, M.T. 2002. Abalon Aquaculture: An Overview. World Aquaculture 33 : 34-39.

WILSON, B.R and K. GILLET. 1971. A Field Guide to Australian Shells : Posobranch Gastropods. Reed Books PTY Ltd. : 9- 23.

Gambar

Gambar 1. Penampang cangkang bagian luar dan dalam abalon (HUTCHINS, 2007)
Gambar 2. Sifat hidup abalon yang menempel pada substrat batu  (IMAMURA,2005)

Referensi

Dokumen terkait

Rutan Lindung Muara Angke merupakan daerah rawa !mangrove yang berhubungan dengan daerah pesisir Utara Jawa di Muara Kapuk, Jakarta Utara. Daerah ini merupakan daerah yang

Peta distribusi ikan demersal di perairan Arafura tahun 2006 (Gambar 4), menunjukkan bahwa ikan demersal yang mempunyai ukuran atau laju tangkap lebih besar adalah ikan

(Scomberomorus commerson) dan tenggiri papan (S. guttatus) yang tergolong dalam fa- mili Scombridae. Urutan selanjutnya dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama memaparkan

Berbeda dengan teripang lainnya, teripang jenis Holothuria leaucospilota daerah penyebaran- nya relatif lebih luas, yaitu selain di daerah tubir dan lereng terumbu, teripang ini

(1987) bintang laut jenis Acanthaster planci yang hidup di perairan sekitar Kepulauan Fiji, pada usia di atas 5 bulan hidup dari mengkonsumsi algae benang (coraline algae)..

Angin pasat timur laut (angin muson timur laut) Menyebabkan musim hujan pada bulan Oktober- April di daerah tropis.. Ini disebabkan karena angin bertiup dari udara di

32/2004 - Dan lain lain Sistem Pengembangan Perikanan Pelagis Kecil di Teluk Piru Input tidak terkontrol - Potensi sumberdaya ikan pelagis - Musim dan daerah penangkapan

Lumut Bryophyta merupakan jenis tumbuhan yang hidup di daerah tropis, pada umumnya lumut ditemukan pada batang pohon, kayu mati, kayu lapuk, lumut sendiri merupakan sekumpulan tumbuhan