• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Pernikahan Masyarakat Minang Rantau di Jakarta. [erni,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Budaya Pernikahan Masyarakat Minang Rantau di Jakarta. [erni,"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 Budaya Pernikahan Masyarakat Minang Rantau di Jakarta

1

Erni Hastuti, 2Teddy Oswari 1

Fakultas Sastra, Universitas Gunadarma 2

Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma E-mail: [erni, toswari]@staff.gunadarma.ac.id

Abstraksi

Pernikahan atau perkawinan pada budaya masyarakat Minangkabau merupakan suatu proses perkawinan menurut adat yang digambarkan mulai dari akad nikah cara adat antara seorang pria dan wanita yang bersifat unik dan khas hingga proses perayaan. Adanya akad nikah cara adat ini, bertujuan agar perkawinan kedua mempelai semakin diingat dan dikenal secara umum. Perkawinan adat masyarakat Minangkabau terdapat nilai-nilai moral yang sangat kuat dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau. Tujuan penulisan ini adalah (1) mendeskripsikan pandangan masyarakat Minangkabau pada umumnya terhadap perkawinan, (2) mendeskripsikan pelaksanaan budaya perkawinan adat masyarakat Minang rantau di Jakarta, (3) mendeskripsikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam budaya perkawinan masyarakat Minang rantau di Jakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan dengan cara observasi partisipatif dan studi dokumentasi. Análisis data yang digunakan adalah model análisis interaktif. Penelitian dilakukan di wilayah Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Jakarta Timur dengan obyek penelitian adalah masyarakat Minang rantau, yaitu tokoh masyarakat, dan warga masyarakat minang di beberapa komunitas.

Hasil penelitian adalah (1) pandangan masyarakat pada perkawinan adat merupakan sarana untuk mempererat hubungan kekerabatan, (2) pelaksanaan budaya perkawinan adat masyarakat Minang meliputi beberapa proses tahapan yaitu: (a) sebelum upacara pelaksanaan dilaksanakan 1) maresek 2) maminang dan batuka tando 3) mahanta, 4) babako, 5) malam bainai, 6) manjapuik marapulai dan 7) manyambuik dirumah anak daro, yang dilanjutkan dengan akad nikah, (b) pelaksanaan upacara perkawinan 1) malamar, 2) akaik nikah, 3) sasarahan, 4) pangajian dan 5) babaleh lamaran, (c) setelah pelaksanaan upacara perkawinan dilanjutkan ke baralek. (3) Nilai-nilai moral yang terkandung dalam budaya perkawinan masyarakat Minang rantau yaitu nilai berkaitan dengan ketuhanan, nilai yang berkaitan dengan sosial dan nilai moral individual.

Kata kunci: budaya, pernikahan, masyarakat, minang, rantau

LATAR BELAKANG

Indonesia memiliki banyak pulau dan suku bangsa dengan corak kebudayaan yang beragam. Perbedaan letak geografis, keadaan alam dan latar belakang kebudayaan bukan menjadi halangan dalam . Suatu kebudayaan dibentuk oleh kumpulan individu yang mempunyai latar belakang dan ciri khas sendiri sesuai dengan lingkungan tempat individu tersebut bertempat tinggal. Hasil karya yang diperoleh dari individu merupakan unsur-unsur kebudayaan dan masyarakat yang

(2)

2 disatukan oleh cita dan pandangan hidup individu yang amat abstrak. Suatu cita-cita yang abstrak dapat mempengaruhi unsur dalam kehidupan kebudayaan dan menjadi pendorong unsur kebudayaan, serta sebagai pendorong banyak aktivitas dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1974:89).

Salah satu corak kebudayaan adalah tradisi atau adat. Tradisi merupakan bagian kebudayaan yang dihayati oleh setiap suku bangsa sesuai dengan kondisi dan latar belakang sejarah suku bangsa itu. Terlebih-lebih dalam masyarakat pedesaan di pelosok tanah air. Dalam kehidupan sehari-hari tradisi selalu melibatkan sekumpulan orang. Tradisi termasuk salah satu aspek kebudayaan yang diekspresikan dalam kebiasaan-kebiasaan tidak tertulis, pantangan-pantangan dan sanksi-sanksi. Tradisi berpengaruh terhadap suatu masyarakat tentang apa yang layak dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dihindari.

Tradisi suatu masyarakat merupakan bagian dari kebudayaan yang dapat memperkaya kebudayaan nasional. Hal ini sesuai dengan pasal 32 ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “ Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya “. Dari pernyataan tersebut dimaksudkan bahwa nilai-nilai budaya suku bangsa pada kebudayaan daerahnya harus dipelihara dan dikembangkan. Pengembangan kebudayaan Indonesia harus meliputi pengakuan dan pengukuhan kebudayaan daerah dan sekaligus memungkinkan sikap keterbukaan untuk menerima unsur kebudayaan suku-suku bangsa di Indonesia yang dianggap baik dan pengaruhnya positif terhadap kemajuan bangsa Indonesia.

Masing-masing suku di Indonesia memiliki kebudayaan khas. Salah satu unsur budaya yang masuk sekaligus berpengaruh dalam kehidupan masyarakat adalah sistem perkawinan sebagai bagian dari sistem kemasyarakatan yang hidup pada perilaku masyarakat. Perkawinan sebagai salah satu unsur kebudayaan yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat membuat perkawinan menjadi salah satu ritual yang cukup penting bagi masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan diadakannya upacara -upacara menjelang ritus peralihan dari masa remaja ke masa hidup berkeluarga. Masyarakat menganggap bahwa upacara untuk merayakan ritus peralihan ini mempunyai fungsi sosial yang penting yaitu untuk menyatakan kepada khalayak ramai, tingkat hidup yang baru yang dicapai oleh individu.

Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada. Budaya perkawinan dan aturannya dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan. Aturan tata tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat adat atau para pemuka agama.

Tujuan perkawinan menurut undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa, sedangkan menurut Hilman (2003:23) tujuan perkawinan bagi masyarakat adat yang bersifat kekerabatan berfungsi untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis keturunan kebapakan atau keibuan untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga atau kerabat untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian dan untuk mempertahankan kewarisan.

Menurut Hilman (2003:105) perkawinan adat di berbagai lingkungan masyarakat Indonesia pelaksanaannya sangat berbeda-beda, hal ini dikarenakan

(3)

3 adanya perbedaan adat dan bentuk yang dilakukan. Setiap lingkungan masyarakat mempunyai cara-cara perkawinan tersendiri misalnya lingkungan masyarakat Minangkabau, Batak, Bali, Jawa, dan Madura. Masyarakat di minang kecamatan Geger bagian dari wilayah Madura mempunyai cara perkawinan yang berbeda dengan di tempat lain dan mempunyai nilai-nilai moral yang sangat kuat.

Masyarakat Jawa menganggap bahwa perkawinan adalah sebuah hal yang sangat fundamental dan universal. Fundamental artinya sebuah hal yang mendasar dan wajib dijalani. Sedangkan universal diartikan bahwa perkawinan merupakan sebuah peristiwa ritual yang pasti akan dialami oleh setiap orang kapanpun dan di usia berapapun. Bahkan Islam menganjurkan agar melangsungkan perkawinan apabila kedua pasangan merasa sudah sama-sama suka. Hal ini untuk menghindarkan adanya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Meski demikian Islam tetap menganjurkan agar setiap pasangan seyogyanya lebih siap terlebih dahulu baik fisik, mental, maupun materi (Basri, 1995:13-14).

Pelaksanaan perkawinan dapat dilakukan melalui catatan sipil, upacara agama, atau perkawinan adat setempat. Kedua pasangan akan merasa bahagia apabila perkawinannya direstui secara sosial. Tanpa pengakuan sosial, secara psikologis perkawinan tidak membahagiakan, orang akan malu untuk tampil di depan umum. Melalui jalur perkawinan yang resmi, anak-anak yang akan lahir merupakan anak yang sah dari hasil ikatan suami isteri dan diakui oleh keluarga sekaligus lingkungan masyarakatnya. Penerimaan ini sangat mempengaruhi perkembangan psikis emosional anak.

Perkawinan merupakan lembaga sosial. Artinya perkawinan mempunyai dampak tertentu dalam kehidupan bermasyarakat. Di samping itu, masyarakat mempunyai aturan-aturan yang menyangkut kehidupan berkeluarga. Melalui perkawinan seorang laki-laki dan perempuan mengakui bahwa mereka tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain dan mereka berusaha untuk membahagiakan pasangannya. Peristiwa perkawinan adalah peristiwa eksistensial yang sangat bermakna dalam kehidupan suami isteri. Selain itu peristiwa perkawinan menciptakan seorang laki-laki dan perempuan menjadi satu kesatuan suami isteri (Subhan, 1993:20-23).

Masyarakat Minang mempunyai pandangan yang khusus terhadap perkawinan yang syarat dan nilai-nilai moral. Hal tersebut tercermin dalam upacara perkawinan adat masyarakat di Minang.

METODOLOGI PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tentang nilai moral pada perkawinan adat masyarakat di Minang adalah pendekatan deskriptif kualitatif karena secara garis besar adalah untuk mendeskripsikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam perkawinan adat masyarakat Minang tentunya untuk melukiskan suatu keadaan secara kualitatif yaitu, situasi lapangan yang bersifat natural, wajar, dan apa adanya tanpa manipulasi atau perlakuan khusus terhadap objek penelitian.

Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti sekaligus merupakan perencana, pelaksana, pengumpul data, penganalisis, penafsir data dan pada akhirnya menjadi pelapor hasil penelitian. Peneliti bertindak sebagai instrumen dan sekaligus sebagai pengumpul data. Lokasi penelitian ini adalah masyarakat Minang di Jakarta Timur, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Adapun alasan memilih lokasi tersebut disebabkan terdapatnya seringnya acara perkawinan adat dan kegiatan-kegiatan budaya Minang yang sampai sekarang tetap eksis dilaksanakan. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah model interaktif. Alasan penggunaan teknik analisis data model interaktif

(4)

4 didasarkan pertimbangan, dengan maksud untuk kelengkapan informasi yang mungkin kurang lengkap saat wawancara.

PEMBAHASAN

Hasil wawancara menjelaskan bahwa rata-rata usia perkawinan pada masyarakat Minang di Jakarta Timur, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan terdapat kesamaan berkisar pada usia 27 tahun sampai dengan 31 tahun yaitu 42.5%. Hal ini dipandang sejalan dengan usia perkawinan menuju masa depan ekonomi mapan. Sebanyak 25.7% yaitu usia 32 tahun sampai dengan 34 tahun masuk dalam usia perkawinan siaga dan secara ekonomi sudah mulai cukup terpenuhi. Selebihnya usia 25 tahun hingga 26 tahun yaitu 31.8% merupakan usia ideal walau belum mapan secara ekonomi.

Analisis diawali secara upacara pada perkawinan yang merupakan suatu pengakuan sosial bahwa pada saat itu telah diresmikan hubungan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, dengan kata lain pemberitahuan kepada masyarakat, bahwa si pria dan si wanita akan menyelesaikan masa lajangnya. Dalam proses pelaksanaan perkawinan adat masyarakat Minang, ada beberapa tahap yaitu: Sebelum upacara pelaksanaan perkawinan, maka akan dilaksanakan 1) maresek 2) maminang dan batuka tando 3) mahanta, 4) babako babaki, 5) malam bainai, 6) manjapuik marapulai dan 7) manyambuik dirumah anak daro, yang dilanjutkan dengan akad nikah,

Maresek merupakan penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian tatacara pelaksanaan pernikahan. Sesuai dengan sistem kekerabatan di Minangkabau, pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga yang datang membawa buah tangan berupa kue atau buah-buahan sesuai dengan sopan santun budaya timur. Pada awalnya beberapa wanita yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu apakah pemuda yang dituju berminat untuk menikah dan cocok dengan si gadis. Prosesi bisa berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga

Maminang dan batuka tando dimana keluarga calon mempelai wanita mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk meminang. Bila tunangan diterima, berlanjut dengan bertukar tanda sebagai simbol pengikat perjanjian dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara melibatkan orang tua atau ninik mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak. Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang dengan membawa sirih pinang lengkap disusun dalam carano atau kampla yaitu tas yang terbuat dari daun pandan. Menyuguhkan sirih diawal pertemuan dengan harapan apabila ada kekurangan atau kejanggalan tidak akan menjadi gunjingan. Sebaliknya, hal-hal yang manis dalam pertemuan akan melekat dan diingat selamanya. Selain itu juga disertakan oleh-oleh kue-kue dan buah-buahan. Benda-benda yang dipertukarkan biasanya benda-benda pusaka seperti keris, kain adat atau benda lain yang bernilai sejarah bagi keluarga. Benda-benda ini akan dikembalikan dalam suatu acara resmi setelah berlangsung akad nikah. Tata caranya diawali dengan juru bicara keluarga wanita yang menyuguhkan sirih lengkap untuk dicicipi oleh keluarga pihak laki-laki sebagai tanda persembahan. Juru bicara menyampaikan lamaran resmi. Jika diterima berlanjut dengan bertukar tanda ikatan masing-masing. Selanjutnya berembug soal tata cara penjemputan calon mempelai pria.

Mahanta calon mempelai pria mengabarkan dan mohon doa restu rencana pernikahan kepada mamak-mamaknya, saudara-saudara ayahnya, kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan para sesepuh yang dihormati. Hal yang sama dilakukan oleh calon mempelai wanita, diwakili oleh kerabat wanita yang sudah berkeluarga

(5)

5 dengan cara mengantar sirih. Bagi calon mempelai pria membawa selapah yang berisi daun nipah dan tembakau (namun saat ini sedah digantikan dengan rokok). Sementara bagi keluarga calon mempelai wanita ritual ini menyertakan sirih lengkap. Ritual ini ditujukan untuk memberitahukan dan mohon doa rencana pernikahannya. Biasanya keluarga yang didatangi akan memberikan bantuan untuk ikut memikul beban dan biaya pernikahan sesuai kemampuan.

Babako babaki pihak keluarga dari ayah calon mempelai wanita (disebut bako) ingin memperlihatkan kasih sayangnya dengan ikut memikul biaya sesuai kemampuan. Acara berlangsung beberapa hari sebelum acara akad nikah. Perlengkapan yang disertakan biasanya berupa sirih lengkap (sebagai kepala adat), nasi kuning singgang ayam (makanan adat), antaran barang yang diperlukan calon mempelai wanita seperti seperangkat busana, perhiasan emas, lauk pauk baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah, kue-kue dan sebagainya. Sesuai tradisi, calon mempelai wanita dijemput untuk dibawa ke rumah keluarga ayahnya. Kemudian para tetua memberi nasihat. Keesokan harinya, calon mempelai wanita diarak kembali ke rumahnya diiringi keluarga pihak ayah dengan membawa berbagai macam barang bantuan tadi.

Malam bainai berarti melekatkan tumbukan halus daun pacar merah atau daun inai ke kuku-kuku calon pengantin wanita. Tumbukan ini akan meninggalkan bekas warna merah cemerlang pada kuku. Lazimnya berlangsung malam hari sebelum akad nikah. Tradisi ini sebagai ungkapan kasih sayang dan doa restu dari para sesepuh keluarga mempelai wanita. Filosofinya: Bimbingan terakhir dari seorang ayah dan ibu yang telah membesarkan puterinya dengan penuh kehormatan, karena setelah menikah maka yang akan membimbingnya lagi adalah suaminya. Busana khusus untuk upacara bainai yakni baju tokoh dan bersunting rendah. Perlengkapan lain yang digunakan antara lain air yang berisi keharuman tujuh kembang, daun iani tumbuk, payung kuning, kain jajakan kuning, kain simpai dan kursi untuk calon mempelai. Bersamaan dengan inai dipasang, berkumandang syair tradisi Minang pada malam bainai diwarnai dengan pekikan seruling. Calon mempelai wanita dengan baju tokoh dan bersunting rendah dibawa keluar dari kamar diapit kawan sebayanya. Acara mandi-mandi secara simbolik dengan memercikkan air harum tujuh kembang oleh para sesepuh dan kedua orang tua. Selanjutnya, kuku-kuku calon mempelai wanita diberi inai.

Manjapuik Marapulai merupakan acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat Minangkabau. Calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah calon pengantin wanita untuk melangsungkan akad nikah. Prosesi ini juga dibarengi pemberian gelar pusaka kepada calon mempelai pria sebagai tanda sudah dewasa. Lazimnya pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa sirih lengkap dalam cerana yang menandakan datangnya secara beradat, pakaian pengantin pria lengkap, nasi kuning singgang ayam, lauk pauk, kue-kue serta buah-buahan. Untuk daerah pesisir Sumatera barat biasanya juga menyertakan payung kuning, tombak, pedang serta uang jemputan atau uang hilang.Rombongan utusan dari keluarga calon mempelai wanita menjemput calon mempelai pria sambil membawa perlengkapan. Setelah prosesi sambah mayambah dan mengutarakan maksud kedatangan, barang-barang diserahkan. Calon pengantin pria beserta rombongan diarak menuju kediaman calon mempelai wanita.

Manyambuik dirumah anak daro merupakan tradisi menyambut kedatangan calon mempelai pria di rumah calon mempelai wanita lazimnya merupakan momen meriah dan besar. Diiringi bunyi musik tradisional khas Minang yakni talempong dan gandang tabuk, serta barisan Gelombang Adat timbal balik yang terdiri dari

(6)

pemuda-6 pemuda berpakaian silat, serta disambut para dara berpakaian adat yang menyuguhkan sirih. Sirih dalam carano adat lengkap, payung kuning keemasan, beras kuning, kain jajakan putih merupakan perlengkapan yang biasanya digunakan.Keluarga mempelai wanita memayungi calon mempelai pria disambut dengan tari Gelombang Adat timbal balik. Berikutnya, barisan dara menyambut rombongan dengan persembahan sirih lengkap. Para sesepuh wanita menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning. Sebelum memasuki pintu rumah, kaki calon mempelai pria diperciki air sebagai lambang mensucikan, lalu berjalan menapaki kain putih menuju ke tempat berlangsungnya akad.

Saat pelaksanaan upacara perkawinan 1) malamar, 2) akaik nikah, 3) sasarahan, 4) pangajian dan 5) babaleh lamaran. Malamar sebelum proses akad nikah dilakukan, di kediaman keluarga mempelai laki-laki diadakan do’a bersama dan mengundang masyarakat setempat. Setelah do’a selesai seorang tokoh agama sebagai wakil dari pihak keluarga mempelai laki-laki beserta masyarakat bersama-sama mengantar mempelai laki-laki menuju kediaman mempelai wanita. Mereka membawa

lencak (tempat tidur) dan perlengkapannya, lemari, dan sandang pangan.

Akaik nikah dimulai setelah rombongan dari pihak mempelai laki-laki tiba di kediaman mempelai wanita, mempelai laki-laki langsung dibawa ke tempat khusus pelaksana akad nikah biasanya di langgar atau mushola. Di tempat tersebut sudah menunggu mempelai wanita, wali dari mempelai wanita, mudin, dan para saksi. Selesai akad nikah kedua mempelai duduk di pelaminan yang sudah disiapkan bagi yang mampu, bagi yang tidak mampu biasanya hanya duduk di kursi sofa.

Sasarahan setelah proses akad nikah selesai dan sudah dinyatakan sah, selanjutnya dilakukan serah terima (Pemasrahan). Serah terima adalah proses penyerahan mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai wanita dan penerimaan dari keluarga mempelai wanita kepada mempelai laki-laki. Dalam serah terima ini wali mempelai laki-laki mewakilkan kepada orang lain atau tokoh agama untuk menyerahkan mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai wanita. Setelah penyerahan dari pihak laki-laki selesai, selanjutnya sambutan penerimaan dari pihak keluarga mempelai wanita mewakilkan kepada orang lain atau tokoh agama atas permintaan keluarga mempelai wanita.

Pangajian sdanya ceramah agama dalam perkawinan adat di Minang merupakan suatu yang sangat dianjurkan oleh ulama dan sesepuh desa karena sudah menjadi tradisi dalam masyarakat. Tujuan diadakan ceramah agama tersebut pertama, untuk mendoakan kedua mempelai agar menjadi pasangan suami isteri yang kekal dari dunia sampai akhirat. Kedua, mendoakan keluarga suami isteri menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Ketiga, dikaruniai rizki yang halal dan anak atau keturunan yang shaleh dan shalehah. Setelah ceramah agama selesai, kemudian dilanjutkan dengan doa penutup. Selesai pembacaan doa dan ramah tamah, maka rangkaian acara perkawinan dianggap sudah selesai dan semua pengantar dari keluarga mempelai laki-laki pulang.

Babaleh lamaran merupakan tahap terakhir dari upacara perkawinan adat di Minang, yaitu balasan lamaran dari keluarga mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki. Barang- barang yang dibawa hampir sama dengan barang-barang dari keluarga mempelai laki-laki, namun jumlahnya lebih sedikit dan tidak ada lencak (tempat tidur) dan lemari. Ketika rombongan sudah tiba di kediaman mempelai laki-laki, kedua mempelai duduk di tempat duduk yang sudah disediakan. Di depan tempat duduk kedua mempelai sudah disediakan sebuah wadah, yaitu tempat uang pemberian dari anggota-anggota keluarga dan semua kerabat dari mempelai laki-laki kepada mempelai wanita.

(7)

7 Setelah pelaksanaan upacara perkawinan dilanjutkan ke baralek. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam budaya perkawinan masyarakat Minang rantau yaitu nilai berkaitan dengan ketuhanan, nilai yang berkaitan dengan sosial dan nilai moral individual.

Berdasarkan hasil penelitian tentang pandangan tokoh masyarakat terhadap perkawinan, maka peneliti menyimpulkan yaitu Upacara sebagai tindakan ritual, diartikan sebagai suatu aktivitas atas tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku di masyarakat yang berhubungan dengan berbagai peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Upacara adat merupakan salah satu usaha manusia sebagai jembatan antara dunia bawah (manusia) dengan atas (Tuhan dan mahkluk halus). Hal ini tampak seolah-olah ada hubungan timbal balik antara roh halus, leluhur dengan manusia. Pelaksanaan upacara perkawinan adat masyarakat Minang terdiri dari tiga tahap yaitu tahap sebelum upacara perkawinan, pelaksanaan dan setelah upacara perkawinan.

Temuan tentang upacara perkawinan adat Minang sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1990: 337) bahwa dalam sistem upacara perkawinan adat Minang mengandung unsur keagamaan atau kepercayaan yang terdiri benda-benda atau alat-alat upacara, dan orang-orang yang melaksanakan upacara yang terdiri dari kegiatan sesaji, berdoa dan berprosesi.

Perkawinan adat yang dilaksanakan masyarakat Minang, merupakan tradisi adat yang masih dipertahankan sampai saat ini. Masyarakat Minang dikenal sebagai masyarakat yang memegang nilai-nilai hakiki yang luhur sebagai warisan nenek moyang. Nilai tersebut salah satunya adalah nilai moral yang terkandung dalam upacara perkawinan adat masyarakat Minang sebagai ajaran baik buruk yang dapat diterima oleh masyarakat luas mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, ahklak, budi pekerti yang dicita-citakan, diinginkan dan dianggap penting. Nilai moral tersebut sebagai berikut:

1. Nilai moral yang berkaitan dengan Ketuhanan. Kepercayaan pada Tuhan merupakan pengakuan terhadap adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Kepercayaan kepada Tuhan diwajibkan dengan pemelukan terhadap salah satu agama. Nilai moral Ketuhanan merupakan nilai moral yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan ini adanya keterkaitan masyarakat Minang dengan Tuhan. Dalam upacara perkawinan adat masyarakat Minang mengandung nilai moral yang berkaitan dengan ketuhanan. Hal ini dapat dilihat pada pelaksanaannya yang diinteraksikan dengan ajaran agama atau keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam memilih jodoh yang tepat adalah menurut tuntutan agama yang dianut dan berdasarkan pada keyakinan agama yang sama.

2. Nilai moral yang berkaitan dengan sosial. Sebagai makhluk sosial manusia tidak akan lepas dari interaksinya dengan manusia lain. Manusia difitrahkan Tuhan sebagai makhluk sosial harus berusaha menyatu dengan kehidupan sosial dan menjalin hubungan baik dengan sesamanya. Nilai moral sosial adalah nilai moral yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat. Nilai moral biasanya selalu dimiliki masyarakat yang berbudi luhur. Nilai itu digunakan untuk menilai setiap kegiatan hidup dan sekaligus dasar pelaksanaan kegiatan hidup bermasyarakat. Nilai moral sosial digunakan untuk merumuskan tujuan dan aspirasi masyarakat yang selanjutnya digunakan untuk mengontrol gerakan dan arah hidup masyarakat. Dalam hal ini upacara perkawinan adat masyarakat Minang terkandung nilai moral sosial yaitu:

a. Menghormati orang lain Dalam interaksinya manusia dengan manusia lain dalam masyarakat harus saling menghormati sesama. Dalam upacara perkawinan adat di

(8)

8 Minang bentuk menghormati orang lain ditunjukkan dengan : (1) penyelenggara upacara menyapa dengan ramah, menjamu setiap tamu yang hadir tanpa kecuali. (2) Pada prosesi pemasrahan untuk lebih menghormati pihak keluarga mempelai perempuan yang dipilih sebagai orang yang bertugas memasrahkan pengantin adalah orang yang ahli memasrahkan pengantin dan mengerti tentang adat.

b. Kegotongroyongan Gotong royong merupakan kebiasaan tradisi yang biasa dilakukan oleh seluruh warga masyarakat untuk menyelesaikan dan meringankan berbagai pekerjaan. Gotong royong ini merupakan kebiasaan tradisi yang biasa dilakukan oleh seluruh warga masyarakat untuk menyelesaiakan dan meringankan berbagai pekerjaan. Dalam upacara perkawinan adat masyarakat Minang membutuhkan partisipasi berupa bantuan tenaga dalam menyiapkan segala macam yang dibutuhkan. Dengan ini bidhek merupakan tenaga partisipan yang bukan termasuk kerabat dalam penyelenggaraan upacara perkawinan adat masyarakat Minang, membantu tanpa imbalan dan tanpa pamrih sampai pelaksanaan upacara perkawinan adat selesai.

c. Mempererat Hubungan kekeluargaan. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan adat masyarakat Minang mulai dari peminangan sampai akad atau janji nikah disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua saksi dan dilanjutkan dengan acara selamatan yang dihadiri oleh masyarakat dan kerabat handai taulan sehingga tidak memutuskan tali silaturrahmi. Pada acara undangan (Konjengan) semua keluarga dari pihak mempelai laki-laki berkumpul dengan pihak keluarga mempelai wanita, hal ini dimaksudkan bahwa kedua belah pihak telah menjadi satu keluarga dan juga sebagai pengikat perkawinan yang sah.

d. Kerukunan. Adanya upacara perkawinan adat masyarakat Minang sebagai wujud kebersamaan dalam masyarakat. Karena dalam pelaksanaannya merupakan wadah berkumpulnya masyarakat yang saling tolong menolong dalam mempersiapkan upacara perkawinan adat sehingga terjalin kerukunan antar warga masyarakat. Bentuk kerukunan ini tercemin dalam kebersamaan keluarga dan para tamu yang hadir.

e. Sebagai wujud pelestarian adat istiadat dalam masyarakat. Upacara perkawinan adat masyarakat Minang sebagai tradisi adat dan warisan leluhur sangat dipegang teguh oleh masyarakat. Sampai saat ini masyarakat Minang masih mempertahankan tradisi yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.

3. Nilai Moral Individual. Nilai moral individual adalah nilai moral yang menyangkut hubungan manusia dengan diri pribadi sendiri. Nilai moral individual ini merupakan arah dan aturan yang perlu dilakukan dalam kehidupan pribadinya untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup melalui pemanfaatan potensi yang ada yang dimiliki tanpa merugikan orang lain. Nilai moral individual dalam upacara perkawinan adat adalah sebagai berikut:

a. Tanggung Jawab. Suatu wujud tanggung jawab orang tua untuk menikahkan anaknya dengan menggunakan upacara perkawinan adat sesuai dengan tradisi yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Wujud tanggung jawab seorang suami untuk memberikan kebahagiaan pada isteri, membimbing, memberikan perlindungan, menafkahinya, bersikap bijaksana pada isteri, isteri juga harus menghormati suami dan melayaninya dengan penuh kasih sayang. Hal ini tercermin pada tahapan prosesi upacara yaitu: (1) pemasrahan, wujud tanggung jawab orang tua pada anaknya masih melekat tercermin pada saat pihak orang tua pengantin laki-laki memasrahkan pada pihak pengantin perempuan untuk melaksanakan pernikahan. (2) Pada prosesi janji nikah pengantin laki-laki melakukan ikrar bersama yang disaksikan oleh orang tua dan keluarga. Kedua belah pihak bertanggung jawab

(9)

9 menjaga keutuhan dari ikrar yang telah disepakati. Pada prosesi ini wujud pengikat ikrar dengan memberikan mas kawin. Kedua pengantin sejak saat itu telah terikat perkawinan yang sah, sehingga bukan sebagai orang yang bebas.

b. Permohonan restu. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan adat masyarakat Minang mempelai harus meminta restu orang tua karena orang tua yang telah mengasuh sejak bayi hingga dewasa.

c. Kemandirian. Mandiri berarti tidak bergantung kepada orang lain atau dapat mengatasi keperluan dan segala tantangan pada dirinya sendiri. Kemandirian juga merupakan sikap yang mampu menguasai dirinya sendirinya dan membebaskan diri dari pengaruh buruk dan ancaman dari luar dirinya. Setiap orang tua mengharapkan anaknya mandiri setelah menikah tidak lagi bergantung pada orang tua. Pada adat masyarakat Minang, walaupun secara adat orang tua mengharapkan anaknya mandiri akan tetapi jika orang tua mampu maka mereka tetap menginginkan anaknya tinggal bersama.

d. Kesabaran. Kesabaran dalam menghadapi cobaan merupakan sikap hati yang melekat dalam setiap pribadi sehingga bersifat personal. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan adat masyarakat Minang membutuhkan kesabaran yang cukup lama sekitar satu jam untuk menyelesaikan setiap tahap upacaranya. Selain itu dalam persiapannya dalam menghitung hari pelaksanaan menggunakan perhitungan yang rumit, sehingga membutuhkan kesabaran. Disamping itu dalam mengarungi rumah tangga sangat membutuhkan sikap sabar dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.

e. Kepatuhan. Patuh adalah perbuatan yang dilandasi keikhlasan selain mengikuti perintah dan bersedia melakukan berbagai hal sesuai dengan keinginan orang yang memberi perintah. Selama perintah tersebut tidak melanggar norma-norma yang berpegang teguh pada prinsip hukum yang berlaku. Patuh kepada suami dalam menjalani rumah tangga adalah perbuatan yang positif. Agama menganjurkan bahwa seorang isteri harus selalu patuh pada suami tetapi tidak boleh bertentangan dengan hukum agama. Seorang isteri harus ikut ambil bagian dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik masalah mengasuh anak sampai ekonomi keluarga. Bentuk sikap patuh yang terkandung dalam upacara perkawinan adat masyarakat Minang yaitu pada prosesi akad nikah selesai, mempelai wanita mencium tangan mempelai laki-laki dan mempelai laki-laki mencium tangan wali mempelai perempuan. Hal ini merupakan ajaran moral bahwa seorang isteri harus patuh kepada suami dan seorang anak harus patuh kepada orang tuanya.

f. Rela berkorban. Rela berkorban adalah keikhlasan diri untuk membantu orang lain baik berupa materi maupun non materi. Berkorban untuk orang lain adalah perbuatan yang mulia dan dianjurkan. Sikap rela berkorban dapat ditemukan pada pelaksanaan upacara perkawinan adat masyarakat Minang yaitu ketika para Bidhek atau pelayan rela memberikan tenaganya tanpa diberi upah mulai dari sebelum pelaksanaan upacara perkawinan sampai upacara perkawinan selesai. Pekerjaan yang dilakukan oleh para Bidhek dan pelayan sangat banyak sekali antara lain membuat jajanan untuk Tambul atau suguhan untuk para undangan, menyiapkan hidangan, menyiapkan oleh-oleh atau berkat. Sikap rela berkorban ini senantiasa dimiliki oleh masyarakat adat yang masih bersifat paguyuban yang selalu rela berkorban untuk sesama. Dalam masyarakat paguyuban yang ada pada masyarakat adat selalu menjunjung kebersamaan tidak mementingkan diri sendiri. Sikap rela berkorban ini ditanamkan oleh masyarakat sejak anak-anak. Demikian juga masyarakat Minang yang merupakan masyarakat adat yang masih bersifat paguyuban yang tingkat tolong menolongnya masih kuat.

(10)

10 KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Pandangan tokoh masyarakat terhadap perkawinan adat masyarakat Minang adalah: a. perkawinan adat merupakan sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah menjauh. b. Perkawinan adat merupakan suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial. c. Pelaksanaan perkawinan adat masyarakat Minang merupakan tradisi yang biasa dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. Karena menurut prinsip masyarakat itu sendiri perkawinan adat dan pelaksanaannya berhubungan dengan urusan famili, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi. 2) Pelaksanaan upacara perkawinan adat masyarakat Minang terdiri dari 3 tahap: sebelum upacara perkawinan, pelaksanaan upacara dan setelah upacara. a) Pada tahap awal sebelum upacara perkawinan yaitu (1) Burleburen (2) Penta oca’ (3)

Abekalan, yang dilanjutkan dengan akad nikah. b) Pada tahap pelaksanaan upacara

perkawinan yang dilakukan yaitu: 1. Lamaran (Mar Lamar) 2. Akad Nikah (Bin

Kabin) 3. Serah Terima (Pemasrahan) 4. Pengajien (Ceramah Agama) 5. Les Beles

(Balasan lamaran). c) Setelah pelaksanaan upacara selesai biasanya pasangan suami-isteri bertempat tinggal di rumah keluarga suami-isteri, namun hal itu bukan suatu aturan yang mutlak. Karena dalam menentukan tempat tinggal setelah upacara perkawinan terlebih dahulu diadakan kesepakatan melalui musyawarah dengan orang tua dari kedua belah pihak untuk menentukan tinggal di rumah suami atau di rumah isteri. Penentuan tempat tinggal ini dilakukan apabila pasangan suami isteri belum mempunyai rumah sendiri atau mereka belum ingin berpisah dengan orang tua mereka. 3) Nilai-nilai moral yang terkandung dalam perkawinan adat masyarakat Minang antara lain: a) Nilai moral yang berkaitan dengan Ketuhanan tercemin pada pelaksanaannya yang diinteraksikan dengan ajaran agama atau keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam memilih jodoh yang tepat adalah menurut tuntutan agama yang dianut dan berdasarkan pada keyakinan agama yang sama. b) Nilai moral yang berkaitan dengan sosial yang tercemin dalam tahapan upacara perkawinan adat masyarakat Minang antara lain: (1) Menghormati orang lain (2) Kegotongroyongan (3) Mempererat Hubungan Kekeluargaan (4) Kerukunan (5) Wujud pelestarian adat istiadat dalam masyarakat (6) Kehormatan. c) Nilai Moral Individual merupakan nilai moral yang menyangkut diri sendiri yang tercermin dalam perkawinan adat masyarakat Minang antara lain: (1) Tanggung Jawab (2) Permohonan restu (3) Kemandirian (4) Kepatuhan (5) Rela berkorban.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Baal, VJ. 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya Hingga Periode 1970. Jakarta: PT. Gramedia.

Berten, K. 2004. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hariwijaya, M. 2005. Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta: Hanggar Kreator.

Isnaini, N. 2008. Pembelajaran Nilai Moral Kepada Masyarakat Melalui Upacara Adat “Rokat Tase” (Studi praktik pendidikan informal di Desa Dharma Camplong Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang-Madura. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. Maleong. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:Dirjen Dikti PP2 PTK Universitas Negeri Malang. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: UM

(11)

11 Wahyuningsih , Sri. 2007. Nilai-nilai Moral pada Upacara Perkawinan Adat Walagara Masyarakat Suku Tengger di Desa Jetak Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.

Referensi

Dokumen terkait

Jika kit instalasi tersedia dengan ukuran kabel power yang berbeda, pilih kabel power yang paling kuat untuk meningkatkan kualitas suara dan untuk memungkinkan lebih

Pada eksperimen ini dicari beberapa eksplorasi bentuk dari kombinasi pada teknik coiling dengan teknik lattice. Teknik lattice yaitu proses serut bambu untuk

Teknik yang digunakan penulis adalah teknik seni grafis cetak tinggi karena teknik ini merupakan teknik yang membuat penulis puas dalam menciptakan karya seni grafis.. Prosses

Tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah salah satu cita-cita yang diinginkan oleh para pendiri negara Indonesia. Proses

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Poernomo (2009) dari Universitas Diponegoro yang melakukan penelitian tentang Analisis Pengaruh

Setelah ikan masuk ke dalam kantong, maka rangkaian jaring kaki panjang dan kaki pendek secepat mungkin dilepaskan dari jaring kantong, kemudian jaring kantong

Telur penggerek batang tebu raksasa Phragmatoecia castaneae (Lepidoptera: Cossidae) diletakkan secara berkelompok di permukaan bawah daun pucuk yang mati atau pada daun tua

(1) Kepala Bidang Kepemudaan mempunyai tugas membantu Kepala Dinas melalui Sekretaris melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan teknis dan pelaksanaan Bidang