Mereka yang Dilupakan
Situasi Penyandang Disabilitas Psikososial di
Panti-Panti Sosial
Yeni Rosa Damayanti Perhimpunan Jiwa sehat
Ribuan penyandang disabilitas psikososial dikurung di
panti-panti sosial di Indonesia
Kyai Jasono, Cilacap 2018
Brebes
, 2017Apa Yang Terjadi di panti2 sosial?
Penghuni panti ditempatkan dalam fasilitas menyerupai penjara dalam kurun waktu yang tidak tertentu, bisa berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.
Di banyak panti, mereka bukan hanya terkurung di kompleks panti, mereka bahkan tidak bisa meninggalkan ruangan/sel dimana mereka berada, kecuali untuk makan. Mereka dikunci dalam ruangan siang dan malam. Lamanya mereka dikurung di panti bisa bulanan sampai tahunan. Perempuan yang tampak dalam gambar ini rata-rata telah berada disana selama 2 tahun.
.
Bukan hanya dikurung,
banyak dari mereka juga dirantai.
Permasalahan yang sering dihadapai:
Pengobatan Paksa:
Obat diberikan tanpa persetujuan bahkan sepengetahuan yang bersangkutan.
Dalam kunjungan th 2018 ke yayasan Galuh Bekasi, semua penghuni yang berjumlah hampir 450 orang, diberikan
suntikan obat anti psikotik dengan jenis obat yang sama dengan dosis yang sama.
Tidak ada penegakan diagnosis individual. Tidak semua penghuni menderita psikotik.
Obat yang disuntikkan itu obat generasi lama dengan banyak efek samping.
Penguni yang diwawancara mengatakabn mereka disuntik 2 minggu sekali, tanpa mengetahui apa dan untuk apa
suntikan tersebut.
Beberapa penghuni mengeluhkan badan sakit dan kaku, yang khas merupakan efek samping Haloperidol
Komnasham juga menemukan hal yang sama selama dalam kunjungan ke 6 panti2 sosial di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Panti2 yang menjalankan pengobatan tradisional juga melakukannya tanpa perestujuan ybs. Tindakan yang dilakukan antara lain, direndam, dipijat dengan kasar dll.
Tidak ada layanan kesehatan yang memadai.
Tidak ada layanankesehatan yang memadai.
Angka Kematian tinggi
Di panti Al Fajar Berseri rata2 3 sd 4 0rang
meninggal dalam sebulan (Kunjungan tahun 2018)
Tidak ada yang pernah melakukan monitoring mengenai tingkat kematian ini. Penghuni mati secara diam-diam tanpa ada yang memtanyakan.
Situasi perempuan penghuni panti yang hamil dan melahirkan
Di panti Al Fajar Berseri ada beberapa penghuni panti perempuan yang hamil.
Saat dikunjungi bulan Oktober th 2018, pengurus panti mengatakan tidak ada pemeriksaan kesehatan selama kehamilan.
Saat melahirkan hanya dibantu oleh staff panti, tanpa kehadiran bidan, perawat, atau tenaga medis. Ada kasus2 dimana ibu dan bayi meninggal saat proses kelahiran.
Gizi Buruk
Di beberapa panti penghuni dibiarkan kelaparan seperti di Padepokan Mbah Marsiyo in Kebumen (Okt, 2018). Di Kabupaten Sragen District, di panti Sehat Waras Sejahtera,
Penggundulan
Banyak panti, termasuk institusi milik
pemerintah, mencukur kepala penghuni pria dan wanita tanpa persetujuan dari orang tersebut
merupakan hal yang dianggap wajar. Pengurus panti berpendapat bahwa pencukuran ini dilakukan karena ada kutu atau borok di kepala warga.
Seorang penghuni perempuan yang kami wawancarai mengatakan bahwa dia telah dicukur dua kali. Dia merasa sangat terhina dan dilecehkan oleh perlakuan ini tetapi tidak dapat melakukan apapun.
Ketika ditanya apa yang akan terjadi jika dia menolak, dia mengatakan ada risiko dia bisa dipukuli.
Kondisi tempat tinggal
Rata2 tidak ada kasur, penghuni tidur di lantai.
Sanitasi buruk.
Di yayasan Galuh bahkan
penghuni ada yang buang air di selokan kecil di tengah ruangan.
Situasi perempuan disabilitas psikososial di
panti2 sosial
Seringkali, kamar mandi dan toilet
terbuka tanpa pintu, sehingga petugas laki-laki dapat melihat tubuh perempuan.
Kami mengamati ada warga
perempuan yang dimandikan oleh staf laki-laki dalam keadaan
telanjang dan dirantai di Syamsul Panti, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Kami menemui penghuni wanita
yang mandi di ruang terbuka sementara staf pria lalu lalang.
Perampasan hak untuk membesarkan anak.
Pengurus salah satu panti di Bekasi yang diwawancarai IMHA menjelaskan bahwa
panti tersebut terkadang menampung perempuan yang sedang hamil.
Ketika ditanya apakah anak-anak tersebut kemudian dirawat di panti, pengelola mengatakan bahwa karena ibunya adalah seorang penderita gangguan jiwa, ia jelas tidak mampu merawat anak tersebut.
Jadi, pihak panti menyerahkan anak-anak ini kepada orang lain tanpa izin resmi dari ibu.
Pemantauan Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan Indonesia juga menemukan bahwa anak yang lahir di panti tersebut kemudian dibawa ke
penampungan anak di Salatiga. Hampir dapat dipastikan penyandang disabilitas psikososial yang sedang hamil dan kemudian melahirkan di panti akan
kehilangan anaknya. Wawancara IMHA dengan pengelola panti sosial di Bekasi pada 2 Oktober 2018. Kecuali penyandang disabilitas psikososial memiliki keluarga atau tetangga yang bersiap untuk mengadopsi dan merawat anak
PEMISAHAN LAKI2, PEREMPUAN DAN
ANAK-ANAK.
Di beberapa panti tidak ada pemisahan antara
penghuni pria dan wanita dan anak di bawah umur.
Warga laki-laki dan perempuan tidak dipisahkan
setidaknya pada institusi berikut: Bina Lestari Mandiri,
Jawa Tengah; Pusat Penyembuhan Kyai Syamsul Maarif,
Brebes, Jawa Tengah; dan Padepokan Mbah Marsiyo.
Pantauan PJS menemukan beberapa penghuni di
bawah umur ditempatkan di fasilitas yang sama atau
bahkan di kamar yang sama dengan orang dewasa di
sebuah panti di Bekasi.
Privasi dan kepemilikan pribadi
Di banyak lembaga, penghuni harus tinggal bersama di lingkungan atau
ruangan yang dipenuhi banyak orang. S
eringkali ruangan ini terbuka
atau berdinding dengan jeruji besi
seperti kandang. Hal ini membuat
penghuni tidak memiliki privasi sama sekali.
Bahkan toilet pun tidak
berpintu, termasuk toilet untuk penghuni perempuan.
Selain itu,
penghuni juga tidak diperbolehkan memiliki atau menyimpan
barang pribadi.
Hampir semua warga yang dikunjungi PJS dilarang
memiliki barang pribadi. Penghuni terpaksa hanya menggunakan
barang-barang yang dipinjamkanoleh panti, seperti pakaian, sandal,
dan perlengkapan mandi. Hal ini bertentangan dengan salah satu
prinsip hak asasi manusia yang menyatakan bahwa setiap orang berhak
memiliki harta benda sebagaimana tertuang dalam Pasal 17 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia.
Kekerasan terhadap perempuan di panti sosial
Perempuan penyandang disabilitas psikososial yang ditahan di
panti sosial rentan mengalami pelecehan seksual. IMHA,
Human Rights Watch serta Komnas Perempuan
menemukan
kasus kekerasan berbasis gender saat berkunjung ke panti2
sosial.
Semua perempuan yang kami wawancarai mengaku terlalu
takut untuk melaporkan hal ini, terutama karena
pelakunya
adalah petugas panti.
Mekanisme perlindungan yang tersedia bagi perempuan
korban kekerasan seksual di luar institusi seperti
pendampingan hukum, shelter, safe house, konselor tidak
tersedia bagi mereka.
Tidak ada mekanisme pengaduan dan
perlindungan terkait kekerasan di panti2.
Di semua lembaga yang dikunjungi tidak ada mekanisme pengaduan yang bisa digunakan penghuni untuk melaporkan kekerasan yang dialami.
Warga bahkan tidak memiliki akses untuk menggunakan telepon.
Segala sesuatu yang terjadi di dalam institusi berlangsung secara tertutup dengan hampir tidak ada orang luar yang mengetahui apa yang terjadi di dalam panti.
Dalam wawancara dengan warga panti, kami sering mendengar pengaduan tentang kekerasan, pelecehan seksual, dan lain
sebagainya. Namun, warga terlalu takut untuk melaporkan kejadian tersebut, terutama karena pelakunya banyak yang merupakan staff panti. Hal ini menempatkan warga pada posisi yang sangat rentan dan tidak berdaya.
Kontrasepsi/strilisasi paksa
Perempuan penyandang disabilitas psikososial yang
ditempatkan di panti sosial dan rumah sakit jiwa juga
rentan terhadap kontrasepsi paksa dan sterilisasi paksa.
Berdasarkan pantauan Komnas Perempuan di Panti
Sosial Margo Widodo, Semarang, Jawa Tengah,
lembaga tersebut
memasangkan IUD
pada perempuan
penghuni usia subur.
Sedangkan RS Jiwa Dr Amino Regional
melakukan
tubektomi
pada pasien wanita.
Semua
tanpa persetujuan
langsung dari wanita yang
terlibat.
Resiko kekerasan seksual
Risiko kekerasan seksual di panti sosial juga
disebabkan oleh
terbatasnya jumlah pegawai
perempuan
. Hampir di semua lembaga yang diamati,
jumlah pegawai laki-laki jauh lebih banyak
dibandingkan pegawai perempuan.
Banyak
penghuni perempuan dirawat oleh staf
laki-laki.
Staf pria juga dengan mudah memasuki kamar
Grafik Jumlah Panti
(dikumpulkan oleh PJS dari dinas sosial berbagai propinsi)
Perbandingan jumlah petugas dan penghuni.
Mengapa penyandang disabilitas terjebak hidup
di panti-panti sosial?
Tidak ada tempat tinggal lainnya (“mau tinggal dimana?”)
Keluarga tidak mau menerima (baik karena stigma maupun
karena tidak ada dukungan, termasuk dari negara, untuk
merawat PD)
Tidak memiliki kapasitas hukum untuk keluar dari panti atas
keinginan sendiri.
Tidak ada perlindungan sosial saat meninggalkan panti (“mau
Masalah dalam keluarga
StigmaStigma yang berat di masyarakat membuat keluarga merasa malu memiliki anggota keluarga dengan disabilitas mental sehingga keluarga menyembunyikannya di panti-panti sosial.
Keluarga tidak mengetahui cara merawat orang dengan masalah kejiwaan.
Tidak ada informasi kepada keluarga bagaimana cara merawat, bagaimana harus memperlakukan, bagaimana pengobatan, bagaimana mengatasi kondisi gaduh gelisah dll.
Pandangan bahwa gangguan jiwa tidak dapat dipulihkan dan PDM akan berada dalam kondisi terganggu sepanjang hidupnya.
Tidak ada informasi bahwa gangguan jiwa (bahkan yang berat sekalipun seperti skizofrenia), dengan dukungan yang tepat baik medis maupun sosial), bisa dipulihkan dan orang yang mengalaminya bisa hidup seperti orang-orang lainnya dan berpartisipasi di masyarakat.
Hal ini membuat keluarga merasa putus asa serta tidak ada harapan dan masa depan bagi anggota keluarganya.
Perbedaan diantara keduanya hanyalah yang satu
mendapat dukungan, yang satu tidak.
.
Eddiansyah R Saputra
Pegawai Pemda DKI, Steering Committee @dkimuda, IT, Penikmat Buku, Pecandu Kopi, Skizofrenia Survivor, INFP, BBM Scholarship Awardee
Pemuda tanpa nama
Orang dengan Skizofrenia; Dipasung disebuah panti di Jawa Tengah
Masalah Kapasitas Hukum.
Penyandang disabilitas mental seringkali dianggap tidak memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan sendiri. Implikasinya adalah keputusan diambil oleh orang lain yang dianggap
sebagai walinya. Hal ini berimplikasi pada hilangnya kapasitas hukum penyandang Disabilitas mental, baik secara formal melalui putusan pengadilan, maupun secara informal, tanpa
penetapan pengadilan.
Kapasistas hukum adalah fundamental bagi hak seseorang untuk menentukan nasib sendiri. Tanpa kapasitas hukum kita tidak bisa melakukan hal-hal seperti menolak atau menerima tindakan medis, menolak penempatan di panti-panti, menerima dan mengelola warisan, memilih dalam pemilu, melakukan transaksi jual beli, menikah dan berkeluarga, mendapat hak mengasuh anak dll.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
Pasal 433 :“ Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap
menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan ”.
Dampak tidak adanya kapasitas hukum
Tidak mendapatkan harta warisan atau tidak boleh mengelola harta
warisan.
Kesulitan membuka rekening dan meminjam uang di bank. Dilarang menikah atau dipaksa menikah.
Kesulitan mengadukan tindak kekerasan yang dialaminya, termasuk
kekerasan atau pelecehan seksual, karena diragukan kapasitasnya sebagai pelapor.
Kesulitan menjadi saksi dalam perkara hukum karena diragukan
kapasitasnya sebagai saksi.
Pemaksaan alat kontrasepsi
Pemaksaan tindakan medis, termasuk obat-obatan yang berefek
.
Pemaksaan perawatan di RS Jiwa
Pemaksaan untuk tinggal di panti-panti.
Pemasungan
Tidak boleh merawat anak sendiri.
Tidak boleh mengadopsi anak.
Dilarang hidup secara mandiri
Kesulitan menyewa rumah
Kesulitan melakukan transaksi jual beli
Tidak boleh memilih dalam Pilkada
Dampak tidak adanya
kapasitas hukum
Tidak ada dukungan, termasuk skema
perlindungan sosial saat keluar dari panti
Penyandang disabilitas psikososial yang kami temui
rata-rata mengatakan bahwa mereka tidak bisa keluar dari
panti, walaupun sudah tinggal disana selama
bertahun-tahun, karena keluarganya tidak menjemput.
Adapula penyandang disabilitas psikososial yang tidak lagi
memiliki keluarga.
Bagi penyandang disabilitas yang ditolak oleh keluarganya
maupun yang tidak memiliki keluarga, maka untuk bisa
keluar dari pengurungan di panti-panti dibutuhkan
Apa yang bisa dilakukan?
Tahap 1: Mengubah panti-panti sosial dari
bentuk tertutup seperti penjara mejadi
bentuk terbuka seperti asrama.
Tahap 2: Memberi dukungan agar
perempuan disabilitas bisa keluar dari panti
dan hidup secara inklusif di masyarakat.
Mengubah panti-panti sosial dari bentuk
tertutup seperti penjara mejadi bentuk
terbuka seperti asrama.
Membutuhkan pelatihan pada petugas
Mekanisme perlindungan terhadap
tindak2 kekerasan termasuk sisten
pelaporan
Monitoring dan evaluasi secara rutin dari
Dukungan apa yang dibutuhkan agar
penyandang disabilitas bisa hidup diluar panti ?
Mata pencaharian/pekerjaan
Ketrampilan
Tempat tinggal (perumahan sosial)
Skema perlindungan sosial seperti:
Unemployment benefit (tunjangan bagi orang yang tidak bekerja)
Disability benefit (tunjangan disabilitas, mempertimbangkan extra cost of disability)
Asuransi kesehatan
Bantuan makanan
Konsesi (potongan harga) misalnya transportasi, listrik, air.
Perumahan Sosial
Perumahan sosial adalah
perumahan sewa yang dapat
dimiliki dan dikelola oleh
negara, oleh organisasi
nirlaba, atau kombinasi
keduanya, biasanya dengan
tujuan menyediakan
perumahan yang terjangkau.
Perumahan sosial juga dapat dilihat
sebagai obat potensial untuk ketidaksetaraan perumahan.