• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia (RRI) stasiun Medan, di mana sejumlah penyiarnya seringkali melakukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia (RRI) stasiun Medan, di mana sejumlah penyiarnya seringkali melakukan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Menyikapi penggunaan bahasa Indonesia di radio, khususnya Radio Republik Indonesia (RRI) stasiun Medan, di mana sejumlah penyiarnya seringkali melakukan alih kode (ke dialek bahasa daerah) atau menyelipkan istilah-istilah/kata-kata bahasa Inggris, hendaknya kita tidak serta merta menyatakan bahwa tindak berbahasa itu tidak benar dan penuturnya tidak mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar yang cenderung untuk mengangkat prestise-nya dengan cara menggunakan unsur-unsur bahasa selain bahasa Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi dalam era globalisasi dan tidak dapat dihindari jika seseorang menguasai dan menggunakan tidak hanya satu bahasa dalam kegiatan sehari-hari.

Seseorang yang memakai dua bahasa atau lebih dalam pergaulannya dengan oranglain, maka dapat dikatakan bahwa seseorang itu berdwibahasa atau bermultibahasa, dalam arti dia melakukan kedwibahasaan atau kemultibahasaan atau keanekabahasaan. Ada sejumlah ilmuwan bahasa berpendapat bahwa penggunaan lebih dari satu bahasa semacam itu diacu dengan satu istilah, yakni kedwibahasaan atau bilingualisme. Kata bilingualisme secara leksikal berarti penggunaan dua bahasa, seperti pendapat-pendapat para ahli berikut ini.

Kedwibahasaan dibatasi oleh Bloomfield sebagai penggunaan dua bahasa yang sama baiknya antara bahasa ibu (asli) dan bahasa kedua. Dengan demikian,

(2)

pengertian kedwibahasaan semacam ini merujuk pada kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penggunaan bahasa oleh penutur asli dari setiap bahasa itu (Muin, 2008:45).

Beranjak dari gagasan Bloomfield tentang kedwibahasaan, lebih jauh dapat diikuti penjelasannya dalam buku yang berjudul Language yang di dalamnya, antara lain, dia menyatakan sebagai berikut:

In the extreme case of foreign-language learning the speaker becomes so proficient as to be indistinguishable from the native speaker around him. This happens occassionally in adult shifs of language and frequently in the childhood shift ….. In this cases where this perfect foreign-language learning is not accompanied by loss of the native-language, it results in bilingualism, native-like control of two languages. (Bloomfield dalam Muin, 2008:56)

Dengan demikian, menurut Bloomfield, belajar bahasa asing yang sempurna tanpa diikuti oleh hilangnya bahasa asli akan terjadi ‘native-like control of two languages’. Namun demikian, penggunaan dua bahasa atau lebih akan melibatkan latar kontak sosial budaya. Pada hakikatnya, kontak bahasa adalah salah satu aspek dari kontak kebudayaan, sedangkan pengacauan kaidah, alih kode maupun campur kode itu merupakan segi dari difusi dan akulturasi budaya. Lebih lanjut, dalam kaitan ini, Weinreich (1968:5,89) menjelaskan sebagai berikut.

In a great majority of contact between groups speaking different mother tongues, the groups constitute, at the same time, distinct ethnic or cultural communities. Such contact entails biculturalism (participation in two cultures) as well as bilingualism, diffusion of cultural traits as well as of linguistic elements.

(3)

Atas dasar pendapat dari dua ahli bahasa di atas, dapat dikatakan bahwa bagaimanapun sempurnanya penguasaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang, bila dua bahasa atau lebih berkontak, yakni: bahasa-bahasa itu digunakan oleh orang yang sama secara bergantian, maka unsur-unsur bahasa lain atau asing itu dapat saja muncul dalam tuturan orang tersebut.Penggunaan bahasa yang melibatkan unsur-unsur atau kaidah-kaidah bahasa lain dapat ditanggapi lewat dua perspektif: linguistik dan sosiolinguistik/sosiologi bahasa.

Seorang dwibahasawan yang menyampaikan pesan lewat bahasa kepada orang lain, perjalanan pesan itu terhambat oleh dua faktor. Faktor yang pertama adalah beberapa kaidah bahasa yang dikenalnya, yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya: mampukah dia membedakan dan memilah-milahkan setiap kaidah itu, sehingga ketika dia menggunakan salah satu bahasa yang dikenal, kaidah bahasa yang lain tidak mengganggu? Jika dia tidak mampu, maka sementara dia menggunakan salah satu bahasa yang dikenalnya, kaidah bahasa yang lain dapat saja muncul dalam tuturannya. Terjadilah interferensi (Soetomo, 1985).

Penggunaan bahasa seperti digambarkan di atas dapat ditanggapi dari sudut pandang bahasa apa yang dominan digunakan dalam suatu tindak berbahasa, apakah bahasa Indonesia atau bahasa Inggris? Bila bahasa yang dominan itu adalah bahasa Indonesia, maka bahasa Indonesia terkena interferensi (interference) dari (kaidah) bahasa Inggris. Dan, bila bahasa yang dominan itu adalah bahasa Inggris, maka bahasa Inggris terkena interferensi dari (kaidah) bahasa Indonesia. Interferensi menyaran pada penggunaan unsur atau kaidah dari bahasa tertentu dalam tuturan

(4)

bahasa lain. Fenomena interferensi sebenarnya telah banyak dibicarakan orang. Yus Rusyana, misalnya, telah menyusun disertasi dengan mengangkat masalah interferensi morfologi pada tahun 1975. Beberapa dosen dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang juga pernah mengadakan penelitian atau menyusun karya tulis dengan mengangkat masalah interferensi, baik interferensi fonemis, morfologis maupun sintaktis.

Yus Rusyana (1975) menyusun disertasi dengan judul Interferensi Morfologi pada Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Anak-anak yang Berbahasa Pertama Bahasa Sunda Murid Sekolah Dasar Di Daerah Propinsi Jawa Barat. Kajian interferensi oleh Yus Rusyana ini jelas dilakukan dalam perspektif linguistik, sebab morfologi merupakan salah satu cabang linguistik atas dasar sistem bahasa. Mengapa penggunaan bahasa Indonesia oleh anak-anak sekolah dasar itu mendapat “gangguan” dari unsur-unsur atau kaidah-kaidah bahasa Sunda? Jawabannya adalah bahwa pada taraf belajar bahasa Indonesia, anak-anak itu telah menguasai bahasa pertama (bahasa ibu) bahasa Sunda. Kebiasaan berbahasa Sunda itu telah tertanam kuat dalam diri mereka, sehingga ketika mereka berbahasa dengan bahasa Indonesia dapat saja unsur-unsur (baik fonetis/fonemis, morfologis, sintaktis maupun semantis) dari bahasa Sunda masuk ke dalam tuturan bahasa Indonesia mereka.

Dengan demikian, interferensi itu dapat ditanggapi dari sudut pandang kompetensi berbahasa. Kompetensi berbahasa ini menyaran pada kemampuan seseorang penutur untuk memilah dan memilih kaidah-kaidah bahasa tertentu dari kaidah-kaidah bahasa yang lain. Interferensi dapat dikatakan sebagai fenomena

(5)

bahasa yang timbul akibat pengaruh bahasa tertentu. Karena seseorang, misalnya, tidak mampu memilih dan memilah kaidah bahasa yang satu dari bahasa yang lainnya, maka tuturannya dengan suatu bahasa akan terkena interferensi dari salah satu kaidah bahasa-(bahasa) yang dikuasainya. Artinya, sejumlah unsur bahasa yang berbeda masuk ke dalam tuturannya dalam bahasa tertentu. Misalnya, ketika anak-anak yang bahasa pertamanya bahasa Sunda berbahasa Indonesia, unsur-unsur bahasa Sunda masuk dalam tuturan bahasa Indonesia-nya. Atau, ketika seseorang berbahasa Inggris, unsur-unsur atau kaidah-kaidah bahasa Indonesia masuk ke dalam tuturan bahasa Inggris-nya.

Jika masuknya unsur-unsur dari bahasa lain ke tuturan dalam bahasa tertentu dapat ditanggapi dari perspektif linguistik, maka hal itu dikategorikan dalam bentuk kesalahan berbahasa. Titik berat atau fokus perhatian pada kesalahan berbahasa dalam perspektif ilmu bahasa adalah pada bahasa penerima yang mendapat ‘gangguan’ dari bahasa lain. Telaah dengan perspektif ini mengacu pada komponen-komponen bahasa (bunyi, mofem, kata, frasa, kalimat, dan makna).

Faktor yang kedua adalah faktor yang berasal dari pertimbangan komunikasi. Bahasa digunakan manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa

(6)

yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka. Pertimbangan komunikasi ini menentukan apakah dia akan bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi, atau alih-kode/campur kode (Soetomo, 1985).

Interferensi dan alih kode bahkan campur kode dapat dilihat dari dua contoh kalimat berikut:

(1) Nuwun sewu, saya bisa mengganggu sebentar?

(2) Ulun mencari piyan di kampus kemarin, piyan sudah bulikan.

Andaikan saja, baik kalimat (1) maupun (2) diungkapkan dalam speech act berbahasa Indonesia, maka dengan demikian bahasa Indonesia sang penuturnya mendapat ‘gangguan’ dari bahasa Jawa untuk kalimat (1) dan bahasa Banjar untuk kalimat (2). Ini berarti bahasa Indonesia kedua penutur itu mendapat interferensi dari bahasa Jawa atau Banjar. Jadi, gejala interferensi dapat dilihat dari bahasa penerima (dalam hal ini: bahasa Indonesia). Bila, baik penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia atau bahasa Banjar dan bahasa Indonesia dilihat sebagai penggunaan dua bahasa secara berselang-seling, maka berarti ditemukan gejala alih kode atau campur kode.

Andaikan saja lagi, bahwa kedua penutur tersebut telah menjadi dwibahasawan-dwibahasawan seperti yang disarankan oleh Bloomfield, yakni yang kedwibahasaannya memenuhi kriteria “native-like control of two languages”. Penutur pertama, misalnya, memiliki kemampuan dan penguasaan terhadap baik bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia dengan sama baiknya, sama kelancarannya, dan sama

(7)

akurasinya, dan demikian juga penutur yang kedua. Pendek kata, kedua penutur ini tidak memiliki persoalan kebahasaan. Dengan demikian, ‘penyimpangan’ dalam berbahasa Indonesia itu bukan akibat ketidakmampuan mereka menggunakan bahasa Indonesia, tetapi ia merupakan akibat dari faktor sosial budaya yang melingkungi penutur-penutur tersebut. Jika dikatakan bahwa bahasa merupakan sistem simbol atau tata lambang, maka ia dapat mengacu tata lambing konstitusi, kognisi, evaluasi dan ekspresi. Tata lambang konstitusi adalah tata lambang yang bertalian dengan kepercayaan manusia terhadap Tuhan yang menentukan hidup dan kehidupan manusia atau terhadap kekuatan supernatural di luar kekuatan manusia. Tata lambang kognisi adalah tata lambing yang dihasilkan manusia dalam upayanya untuk memperoleh pengetahuan terhadap segala sesuatu di lingkungannya. Tata lambang evaluasi adalah tata lambang yang bertalian dengan nilai baik-buruk, betul-salah, pantas-tak pantas dan sebagainya. Tata lambang eskpresi adalah tata lambang untuk mengungkapkan perasaan atau emosi manusia (Soetomo, 1985).

Dengan demikian ketika seorang penyiar radio ketika bersiaran khususnya dialog interaktif dengan pendengarnya maka akan terjadi komunikasi langsung dan tidak dapat dihindari peristwa interferensi, alih kode maupun campur kode. Seorang penyiar radio yang bersiaran dengan menggunakan bahasa Indonesia misalnya, menyelipkan dialek Batak atau Jawa atau bahkan Betawi, mungkin dikarenakan khalayak pendengarnya menghendaki dialek itu. Sebab, mungkin saja misalnya dialek Betawi dianggap berkesesuaian dengan selera pendengarnya. Dalam hal ini faktor

(8)

pendengar menjadi penyebabnya, yakni penggunaan atau pemilihan dialek tertentu dilakukan untuk memenuhi ‘tuntutan’ pendengarnya..

Bila dilihat dari sudut penyiarnya, mungkin, yang bersangkutan ingin mengkan diri sebagai penutur berprestise tinggi seperti layaknya para selebritis di Jakarta. Dengan menggunakan dialek Betawi, lalu dia berkeyakinan bahwa prestisenya akan naik maka faktor penyebabnya adalah motivasi, yakni motivasi dalam rangka untuk mencapai prestise melalui penggunaan bahasa (dialek) tertentu. Mungkin saja, alih bahasa atau dialek itu disebabkan oleh faktor-faktor lain, misalnya, yang berkaitan dengan sosial budaya (hubungan status-peranan sosial, sistem nilai dan sebagainya ) dari masyarakat tertentu. Seorang penyiar yang menyelipkan unsur-unsur dari bahasa daerah, misalnya: santap (bahasa Melayu), dan mauliate godang, (bahasa Batak) yang memancarkan konotasi hormat, hendaknya kita pahami sebagai tindak berbahasa yang dilandasi oleh “keharusan sosial-budaya” di mana penutur itu harus berlaku hormat terhadap para pendengar pemilik bahasa itu (faktor sosial budaya).

Di samping masuknya unsur-unsur bahasa asing dan daerah dalam tuturan bahasa Indonesia, telah cukup lama dikenal dan digunakan istilah prokem. Prokem adalah semacam ‘bahasa’ yang biasanya dipakai di lingkungan remaja dan orang-orang luar terkadang sulit memahaminya, sebab dalaam kode (yang berupa prokem) itu tersembunyi “rahasia”. Kata bapak diganti bokap; ibu diganti nyokap. Sejumlah kata-kata diucapkan terbalik: Anak Medan diucapkan kana nadem, pulang menjadi ngalup. Sejumlah singkatan digunakan untuk menghindari ketabuhan atau kesan

(9)

jorok bila diperdengarkan. Penyiar kita tak jarang menggunakan istilah-istilah semacam itu dalam kepenyiarannya. Dalam kaitan ini, hal ini dapat dipandang wajar dalam sudut pandang sosiolinguistik karena merupakan fenomena yang tidak bias kita hindari selaku pemakai bahasa yang pastinya juga melakukan kontak dengan pemakai bahasa lain. Sedangkan bila dipandang dari sisi pembakuan bahasa, hal ini mempersulit proses pembakuan bahasa itu sendiri. Para penyiar radio sangat penting peranannya dalam pembinaan bahasa Indonesia, di atas peran keluarga, para guru, khususnya guru bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa tindak bahasa (speech act)-nya dapat didengar oleh khalayak yang sangat luas. Dalam kepenyiarannya yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, seorang penyiar radio hendaknya tidak ikut-ikutan untuk menggunakan istilah-istilah atau dialek daerah tertentu yang justru “merusak” bahasa Indonesia, kecuali jika siarannya dilakukan dalam bahasa daerah atau dialek daerah tertentu, atau bahkan dalam bahasa asing.

1.2. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan fenomena di atas, maka penelitian ini hanya mengkhususkan kajian campur kode keluar pada siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Medan.

(10)

1.3. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut . 1. Bagaimanakah proses campur kode terjadi dalam mata acara yang terdapat pada

Pro 2 FM RRI Medan?

2. Jenis campur kode apakah yang paling dominan dalam siaran Pro 2 FM RRI Medan?

3. Faktor campur kode apakah yang dominan dalam situasi tutur pada siaran Pro 2 FM RRI Medan?

4. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi penyiar dan pendengar menggunakan campur kode dalam tindak tuturnya?

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendekskripsikan dan menganalisis: 1. proses terjadinya campur kode dalam siaran Pro 2 FM RRI Medan,

2. jenis campur kode yang paling dominan dalam siaran Pro 2 FM RRI Medan, 3. faktor campur kode yang paling dominan dalam situasi tutur pada siaran Pro FM

RRI Medan, dan

4. faktor apa sajakah yang mempengaruhi penyiar dan pendengar menggunakan campur kode dalam tindak tutur.

(11)

1.5. Manfaat Penelitian

Pada hakikatnya penelitian dilakukan untuk mendapatkan suatu manfaat. Manfaat dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu: manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis ialah manfaat yang berkaitan dengan pengembangan ilmu, oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tentang campur kode yang terdapat dalam iklan acara distasiun radio khususnya dan pembaca pada umumnya, serta dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu linguistik khususnya

tentang campur kode. 2. Manfaat Praktis

Manfaat Praktis penelitian ialah manfaat bagi penulis yaitu memperdalam pengetahuan serta memberikan informasi bagi pembaca tentang seluk beluk campur kode dalam mata acara di radio.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sesuai pendapat para ahli (Chaer 2010:142) mengemukakan pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau

Topik yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana Implementasi Hasil Pelatihan Berbasis Kompetensi Bagi Pekerja Sosial Masyarakat Tingkat Dasar dalam

Dari pendapat para ahli diatas dapat dikatakan bahwa setiap menusia memiliki keinginan untuk menjadi pribadi yang bebas, menikmati kebahagian dengan menjadi diri

Seorang anak yang memperoleh dua bahasa atau lebih sejak sebelum berumur 6 tahun dikatakan sebagai pemeroleh awal bilingualisme (early bilinguals) dan anak-anak

Penelitian ini hanya dilakukan untuk mengetahui hasil belajar siswa dalam penguasaan pola kalimat bahasa Jepang sebelum dan sesudah diterapkan metode talking

Dari gambaran sekilas penelitian WS di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan sosiologis dalam penelitian itu dipahami sebagai (1) sebuah metode untuk menelusuri

Pergeseran adalah perubahan bentuk dan makna bahasa sumber ke dalam bahasa target, Pergeseran dalam terjemahan ada dua jenis, yaitu level shift adalah yang muncul di permukaan

Dari pengertian-pengertian tentang pengambilan keputusan di atas dapat dikatakan bahwa golongan darah merupakan salah satu unsur dasar dari tubuh manusia