• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fatchul Mu in. Maungkai Budaya. Esai-esai Kontemplatif tentang Bahasa, Sastra, Seni, Pendidikan dan Politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fatchul Mu in. Maungkai Budaya. Esai-esai Kontemplatif tentang Bahasa, Sastra, Seni, Pendidikan dan Politik"

Copied!
289
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Fatchul Mu’in

Maungkai Budaya

Esai-esai Kontemplatif tentang

(3)

Muangkai Budaya

ii

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)

Maungkai Budaya Fatchul Mu’in, Scripta Cendekia, Banjarbaru 2009 xiv + 274 halaman, 15,5 x 23 cm ISBN: 979-17096-9-6 Editor/Penyunting:

Rusma Noortyani dan Sainul Hermawan Perwajahan: Hambali

Pracetak: Agvenda Cetakan Pertama: Maret 2009

Diterbitkan oleh:

Scripta Cendekia

Jl. Nusantara V.1 Balitra Jaya Permai

Banjarbaru Telp. 0511-4788347

(4)

S

PRAKATA

etelah artikel-artikel atau esai-esai mencapai jumlah cukup banyak —sebagian besar terpublikasikan melalui surat kabar, dan sebagian kecil, melalui jurnal, dan beberapa yang lain masih menjadi dokumen pribadi— sebenarnya saya berkeinginan untuk menerbitkannya dalam bentuk buku. Keinginan itu telah lama menjadi keinginan semata. Untungnya, ada seorang kawan yang sangat baik dan penuh perhatian. Atas anjuran dan dorongannya, saya “nekad” untuk mewujudkan keinginan itu. Namun proses penerbitan buku ini cukup panjang. Dalam proses cukup panjang itu, pada awalnya saya sangat bersemangat. Ketika proses penyuntingan telah berjalan tujuh puluh lima persen, tiba-tiba upaya untuk membukukan sejumlah tulisan itu, sempat terhenti. Dua hal utama menjadi penyebabnya. Rasa ragu-ragu adalah salah satunya. Ya, saya ragu apakah tulisan- tulisan saya itu layak diterbitkan dalam sebuah buku. Dan, pemberian judul atas kumpulan tulisan adalah penyebab keduanya. Rasa ragu dan lamanya menemukan judul itu benar-benar hampir menghentikan

niat untuk menerbitkan buku itu.

Judul-judul yang sempat muncul melibatkan kata/istilah:

bianglala, pelangi, menulis, meretas, dan beberapa kata/istilah lain yang

tidak populer. Semuanya tertolak, sebab bianglala milik Ahmad Tohari,

pelangi milik Andrea Herata, menulis milik EWA, dan meretas milik

Daud Pamungkas. Melalui diskusi cukup panjang dengan Sainul Hermawan, judul didapat, yakni “Maungkai Budaya (Esai-esai Kontemplatif tentang Bahasa, Sastra, Seni, Pendidikan dan Politik).

Kata maungkai berasal dari bahasa Banjar, yang berarti menyingkap, mengungkap. Maungkai Budaya dalam judul buku ini

(5)

iv

dimaksudkan untuk merujuk pada upaya merespons feneomena- fenomena kehidupan manusia (kebudayaan) yang tentu saja menarik minat, dalam wujud esai. Ya, esai yang menyangkut bahasa, sastra, seni, pendidikan dan politik sebagai bagian tak terpisahkan dari kebudayaan. Diharapkan, kumpulan esai itu dapat menjadi bahan renungan bagi khalayak pembaca.

Dalam menanggapi fenomena-fenomena kehidupan manusia , saya tidak berpretensi sebagai “pemilik kemampuan memadai” tentang kebudayaan. Pengetahuan yang serba sedikit tentang kebudayaan dimanfaatkan sebagai alat atau sarana untuk menanggapi fenomena-fenomena kehidupan dalam bentuk artikel atau esai.

Bagian pertama menyorot bahasa dan fenomena bahasa. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa merupakan salah satu hal penting bagi manusia. Bahasa Indonesia merupakan sarana persatuan bagi bangsa Indonesia; ia mengemban fungsi sebagai bahasa resmi, bahasa pengantar pendidikan, dan lain-lain. Sebagai bahasa yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, selayaknyalah ia dikuasai dengan baik oleh seluruh anak bangsa. Kita, terutama keluarga, memiliki tanggung jawab membina anak-anak kita untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Bahasa daerah tak kalah pentingnya bagi kita. Sebelum anak- anak kita menguasai bahasa Indonesia, umumnya, mereka telah mengenal dan menggunakan bahasa daerah. Agar penggunaan bahasa daerah tidak ’terkontaminasi’ oleh unsur-unsur bahasa lain (terutama bahasa asing), maka kita perlu mengupayakan keaslian dan kelestariannya. Kita hendaknya tidak ’menuduh’ begitu saja bahwa anak-anak kita, generasi muda kita, mulai meninggalkan atau kurang memperhatikan bahasa daerah, atau dengan kata lain, mereka cenderung menggunakan bahasa daerah tanpa memperhatikan kaidah. Kita semestinya bertanya kepada diri kita apa yang telah kita lakukan dalam upaya membina anak-anak kita agar dapat berbahasa daerah secara benar.

Pembelajaran bahasa asing, khususnya, bahasa Inggris di In- donesia, seringkali dijadikan bahan pembicaraan. Anak-anak Indo- nesia banyak yang gagal dalam belajar bahasa Inggris. Mereka tidak mampu berbicara dan menulis walau telah belajar bahasa asing itu

(6)

selama bertahun-tahun. Dua artikel menyorot tentang bagaimana belajar bahasa Inggris guna mencapai penguasaan bahasa Inggris yang ideal. Penguasaan bahasa Inggris yang ideal mengacu pada penguasaan bahasa Inggris dalam empat keterampilan berbahasa.

Masyarakat Indonesia bisa dikatakan sebagai masyarakat bi- lingual atau multilingual. Dalam masyarakat yang demikian, penggunaan bahasa sering menimbulkan fenomena kebahasaan yang secara normatif tidak dibenarkan. Fenomena itu seringkali mengacu pada interferensi, alih kode atau campur kode. Idealnya, penggunaan bahasa itu mengacu pada apa yang disebut oleh Dr. Istiati Soetomo sebagai ’tunggal bahasa’. Namun, dalam situasi bilingualistik atau multilinguistik, seringkali kita temukan peristiwa

interferensi, alih kode atau campur kode. Hal ini disebabkan oleh

kenyataan bahwa dalam upaya berinteraksi dan berkomunikasi manusia tak bebas; ia sangat dipengaruhi atau dikendalikan oleh budayanya. Budaya (di dalamnya terdapat norma-norma, aturan- aturan) seringkali “memaksa” pemakai bahasa untuk melakukan interferensi, alih kode atau campur kode.

Bagian kedua mengungkap karya sastra, penulisan karya sastra, moralitas dalam sastra, dan memahami karya sastra, serta pemanfaatan karya sastra untuk memahami masyarakat. Asbabun

nuzul tulisan-tulisan tentang sastra ini berkait dengan semangat

menggebu penulis usai menyelesaikan studi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pengetahuan tentang kesastraan yang serba sedikit dicobakembangkan dalam kegiatan menulis tentang karya sastra usai membaca ulasan tentang sastra dan atau mengikuti kegiatan diskusi, seminar atau lokakarya penulisan karya sastra.

Bagian ketiga berbicara tentang seni. Seni dan kegiatan seni yang penulis amati adalah seni yang ditayangkan di televisi. Tulisan- tulisan tentang seni muncul setelah banyak orang menghebohkan tayangan televisi yang mengobral pornografi dan atau pornoaksi. Ini terjadi hampir bersamaan dengan upaya penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP), yang kini telah diundangkan sebagai UU Anti Pornografi. Tayangan televisi yang mempertonkan pornografi, mungkin saja, akan menimbulkan dampak negatif pada para pemirsanya, khususnya anak-anak dan generasi muda kita.

(7)

vi

Bagian keempat berkaitan dengan pendidikan. Artikel pertama dari bagian ini menyangkut plagiarisme. Munculnya tulisan ini diilhami oleh pembacaan penulis tentang plagiarisme sewaktu mengambil mata kuliah Metode Penelitian Sastra di Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan dilatarbelakangi oleh sinyalemen tentang adanya “jual jasa” penulisan skripsi atau karya ilmiah lain. Artikel-artikel selebihnya muncul sebagai respons terhadap gagasan, masalah dan sejenisnya tentang penyelenggaraan pendidikan, seperti Ujian Nasional dan sisi-sisi lain dari penyelenggaraan pendidikan. Sejumlah tulisan yang muncul belakangan dimasukkan dalam buku ini.

Bagian kelima menyoroti masalah-masalah yang bersinggungan dengan “politik”. Artikel-artikel tentang “politik” ini dimaksudkan untuk urun rembug, terutama, dalam pelaksanaan Pemilihan Umum 2004, Pemerintahan (Daerah), Pemilihan Rektor Unlam (2005), dan Pemilihan Pembantu Dekan Bagian Akademik Pengganti Antarwaktu (2006). Menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum 2004, penjaringan bakal/ calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangat ramai dibicarakan, baik di kalangan masyarakat maupun pers. Bermunculan tanggapan, berita dan opini di surat kabar. Berkenaan dengan itu, penulis juga menyampaikan tanggapan atau pandangan via surat kabar tersebut.

Beberapa kali terlibat dalam kegiatan Safari Jum’at yang dilakukan oleh Bupati Batola dan memperhatikan kondisi Pasar Selidah di Handil Bakti, penulis mencobaapungkan gagasan dalam beberapa artikel. Dua artikel di antaranya tersaji dalam buku ini.

Pemilihan Rektor Unlam (2005) disambut secara antusias oleh segenap warga Unlam Banjarmasin. Antusiasme ini diakibatkan oleh kenyataan bahwa Pemilihan Rektor waktu itu berbeda dengan pemilihan-pemilihan rektor sebelumnya. Dosen, Mahasiswa dan Karyawan dilibatkan dalam proses pemilihan awal, walau pada akhirnya Senat Unlam yang menentukan pilihan mereka. Kondisi ini memberikan insprirasi pada penulis untuk menghasilkan artikel tentang pemilihan rektor di Unlam. Sementara itu, pemilihan Pembantu Dekan I Pengganti Antarwaktu meninggalkan kesan kurang nyaman, khususnya, pada diri penulis. Kala itu, penulis merupakan salah satu anggota panitia pemilihan. Kesan itu tertuang

(8)

dalam sebuah artikel sebagai kilas balik pemilihan salah satu pejabat di lingkungan FKIP Unlam itu. Sejumlah tulisan berkait dengan topik ini ditambahkan sebagai bagian dari tema politik.

Sekali lagi, penulis tidak berpretensi sebagai “pemilik kemampuan memadai” untuk memberikan tanggapan atau bahkan “protes” terhadap masalah-masalah sebagaimana terurai dalam semua tulisan yang disajikan. Dalam hal ini, tentu saja, kekurangan atau kelemahan banyak ditemukan dalam tulisan-tulisan itu. Kritik dan saran dari pembaca yang budiman, sangatlah diharapkan. 

Handil Bakti, Barito Kuala Pebruari 2009

(9)

Muangkai Budaya

(10)

D

UCAPAN TERIMA KASIH

ari sejumlah esai yang ada, Saudara Sainul Hermawan, mengelompokkannya dalam lima kelompok: bahasa, sastra, seni, pendidikan dan politik. Atas anjuran, dorongan dan kesediaannya, saya sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Tanpa dia, sejumlah artikel atau esai tetap saja dalam keadaan “bahamburan” di mana-mana, dan tak tertutup kemungkinan, akan habis dimakan rayap.

Buku ini terwujud karena dukungan banyak pihak. Pihak pertama adalah penyunting. Dia, di samping bersedia melakukan proses penyuntingan, adalah orang pertama menganjurkan dan mendorong saya untuk membukukan artikel dan esai saya. Kedua adalah Ersis Warmansyah Abbas, seorang motivator, yang selalu memberikan semangat dan dorongan untuk bisa menerbitkan buku. Ketiga adalah para donatur: Dekan FKIP Unlam, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Unlam, Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unlam, Pengurus Ikatan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, dan Saudara Agus Zunaidi Karim.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada istri, Dina Indayati dan kedua: Fahrina Galuh Larasati dan Galih Rizki Khairul Ulum, yang telah merelakan waktu kebersamaan mereka, tersita. Kepada ayah, Sihyar Imodimedjo (kini, almarhum) dan ibu saya, Hj. Sunariyah, saudara-saudara saya: Saifuddin, Masrur, Binti Maspupah, Nur Hasyim, Mansur Arifin, Laili NS, disampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, atas dorongan, kesabaran dan kerelaan mereka selama ini.

(11)

xiv

Juga kepada kedua mertua, H. Abdul Karim dan Hj. Kiptiyah, dan saudara-saudara ipar, Munir Sultoni, Agus Zunaidi, dan Ratna Widyawati berikut istri dan suami mereka, penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih, atas pemberian semangat, dorongan dan nasihat serta kesedian mereka untuk menjadi “teman-teman” diskusi dan ngobrol ngalor-ngidul saat saya menghadapi persoalan. 

Handil Bakti, Barito Kuala Pebruari 2009

Penulis Fatchul Mu’in

(12)

A

Catatan Penyunting

PEMIKIR SEJATI, PENDENGAR YANG BAIK

dalah kehormatan berharga bagi kami mendapat kesempatan menyunting tulisan kolega yang memiliki perhatian terhadap dimensi hidup yang begitu beragam. Mengapa? Karena memposisikan kolega muda seperti kami baginya tentu merupakan apresiasi yang mahal harganya. Apalagi dalam atmosfer yang masih marak memperbincangkan pemapanan eksistensi posisi senior dan yunior. Dengan cara inilah sidin menawarkan bentuk interaksi yang baru dalam atmosfer semacam itu, yaitu semacam sikap yang mencoba meruntuhkan dinding pembatas senioritas. Kedua, melalui kesempatan penyuntingan ini kami berpeluang untuk mempelajari apa yang belum kami tahu dan apa yang telah kami ketahui tetapi mulai pudar dari ingatan.

Dalam proses penyuntingan, kami berusaha menjadi “dewa” yang baik bagi tulisannya. Setiap keanehan tidak langsung kami buang. Kami lebih suka mendiskusikannya terlebih dahulu sebelum melakukannya. Ada sejumlah esai yang terpakasa harus keluar dari daftar isi karena telah dipublikasikan di buku lain. Selain membenahi kealpaan tulis dan logika bahasa yang mungkin menghalangi pemahaman pembaca, saya juga mengusulkan kepada penulis untuk menata isi sedemikian rupa sehingga penyajiannya menjadi relatif enak dipandang mata dan nyaman dibaca oleh mata. Alhasil, penulis benar-benar pendengar yang baik dan sangat apresiatif dan akomodatif terhadap tawaran-tawaran tersebut. Jadi, kendala penyuntingan buku ini menjadi lebih ringan karena sikap penulisnya yang demikian ramah.

Kumpulan esai dalam buku ini menunjukkan bahwa sang penulis bukan sekadar pendengar yang baik, melainkan pengamat

(13)

xii

yang sabar mengamati dan mencerna beragam peristiwa di sekitarnya dan mengikat maknanya dalam tulisan-tulisannya. Beragam tema yang diulasnya pun memperlihatkan dia sebagai seoarang intelektual organik, yang menjelajahi wacana sampai jauh ke luar batas-batas keilmuannya sendiri. Kami merasa merasa bahagia mendapatkan kesempatan pertama membaca seluruh tulisannya melalui kegiatan penyuntingan. Kami menyadari kerja kami masih kurang sempurna. Segala kekuarang jelian atas kesalahan penulisan tanda baja dan ejaan, sepenuhnya tanggung jawab kami. Semoga, pada cetakan berikutnya kesalahan tersebut

dapat diminimalkan.

(14)

DAFTAR ISI

PRAKATA... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... ix

CATATAN PENYUNTING ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

I. BAHASA ... 1

1. Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga ... 3

2. Bahasa Inggris Sejak Dini itu Perlu? ... 8

3. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan ... 12

4. Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya ... 24

5. Bahasa dan Budaya Jawa ... 31

6. Kedwibahasaan ... 43

7. Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure? ... 58

8. Dialog Borneo-Kalimantan VII: Suatu Kilas Balik ... 62

9. Multilingualisme Dalam Karya Sastra Indonesia ... 67

II. SASTRA ... 79

1. Memahami Kondisi Sosial Budaya Masyarakat melalui Karya Sastra ... 81

2. Menulis ... 85

3. Mencipta Dan Membaca Karya Sastra ... 89

4. Pelatihan Penulisan Kreatif, Tak Ada Artinya? ... 94

5. Tentang Wanita, Prosa dan Ratna: Suatu Kilas Balik ... 98

6. Karya Sastra Menurut Teori Abrams ... 102

7. Sastra dalam Pandangan Interdisipliner ... 107

8. Manfaat Karya Sastra dalam Pengajaran Bahasa ... 114

9. Sejumlah Pendekatan dalam Studi Sastra ... 119

10. Aspek Moralitas Karya Sastra ... 124

III. SENI... 129

1. Bukan Hanya Buruan Cium Gue ... 131

(15)

xiv

3. Sisi Lain Sinetron Kita ... 139

4. Teletubies: Potret Kebersamaan dalam Keberagaman ... 145

5. Televisi dalam Perspektif Social Responssibility Theory ... 150

IV. PENDIDIKAN ... 155

1. Skripsi dan Plagiarisme... 157

2. Guru Kusayang, Guru Kau Nistakan? ... 162

3. E-Learning Via Information Technology ... 166

4. Siswa Gagal Ujian Nasional (Unas): Salah Siapa? ... 171

5. Program Besar FKIP Unlam? ... 175

6. Kekayaan Yang Terlupakan, Adakah? ... 179

7. Sekolah dalam Kondisi Dilematis?... 183

8. Dukungan Dana, APBS, dan Studi Banding ... 189

9. Mengapa Ada Pelarangan? ... 193

10. Universitas Palangka Raya, Selangkah Lebih Maju? ... 198

V. POLITIK ... 203

1. Dominasi ... 205

2. Pemilu Sebentar Lagi!... 213

3. KPU Kalsel musti Solid ... 217

4. Tim Seleksi Anggota KPU: Obyektif Atau Akomodatif? ... 221

5. Tim Seleksi Anggota KPU Juga Harus Jujur ... 225

6. Pemilihan Umum 2004 Dan Sejumlah Aspeknya ... 229

7. Pengawasan Pemilihan Umum ... 233

8. Plus-Minus Penggalian Aspirasi Masyarakat Dengan Safari Jum’at ... 237

9. Pasar Induk Selidah Handil Bakti: Besar Tapi Sepi, Mengapa? ... 243

10. Memahami Karakter Amerika ... 248

11. Jalan Meraih Kursi Rektor Unlam 2005-2010 ... 252

12. Verifikasi Bukan Character Assassination ... 257

13. Pemilihan Presiden Amerika Serikat ... 261

DAFTAR PUSTAKA ... 265

RIWAYAT TULISAN ... 270

(16)
(17)

Maungkai Budaya

(18)

B

PEMBINAAN BAHASA INDONESIA

DALAM KELUARGA

ulan Oktober telah kita kenal sebagai bulan bahasa. Bulan Oktober bagi bangsa Indonesia memiliki arti historis tersendiri karena pada tanggal 28 Oktober 1928 pemuda Indonesia mengangkat sumpah, antara lain: menjunjung tinggi bahasa persatuan,

bahasa Indonesia.

Sebagai penerus kita hendaknya tetap menggalang persatuan, sebagaimana yang dicita-citakan oleh pemuda puluhan tahun silam. Secara khusus kita hendaknya terus membina bahasa yang telah diikrarkan sebagai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.

Membina bahasa Indonesia bukan hanya menjadi tanggung jawab para pakar bahasa yang berkecimpung dalam bahasa dan sastra Indonesia, tetapi juga tanggung jawab semua putra dan putri Indonesia yang cinta tanah air, bangsa, dan bahasa. Dengan perkataan lain, membina bahasa Indonesia itu kewajiban kita semua, bangsa Indonesia.

Membina bahasa Indonesia bisa dimulai dari keluarga. Keluarga, terutama para kaum ibu, sangat mungkin untuk memberikan bimbingan berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar sudah sering kita dengar, tetapi belum tentu pemahaman dan penafsiran kita sama terhadap makna ungkapan itu. Seperti yang pernah disampaikan oleh Dr. Durdje Durasid (1990), bahwa berbahasa yang baik adalah berbahasa yang mengandung nilai rasa, yang tepat dan sesuai dengan situasi pemakaiannya; sedangkan berbahasa yang benar adalah berbahasa yang secara cermat mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang berlaku.

(19)

4

Peran Keluarga

Sejak lahir, manusia telah memiliki potensi bawaan untuk mampu berbahasa. Potensi bawaan itu sering dikenal dengan Lan-

guage Acquisition Device (LAD) atau Alat Pemerolehan Bahasa. LAD

dapat berfungsi bila sejak dilahirkan manusia itu berada di lingkungan manusia, lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang terkecil adalah keluarganya. Oleh karena itu, keluarga memiliki peran yang sangat besar dalam proses belajar seseorang (anak). Di antara anggota-anggota keluarga itu, orang yang paling berperan adalah kaum ibu (wanita).

Wanita secara tradisional dan umum diakui memegang peranan penting dalam menentukan kedudukan sosial anak-anaknya. Wanita memantau dan membimbing anak-anak menjadi peka terhadap norma-norma yang berlaku. Wanita selalu mengajarkan perilaku, termasuk perilaku berbahasa, kepada anak-anaknya. Wanita selalu mencegah anak-anak yang berbahasa tidak baik (mengucapkan kata- kata jorok atau tabu). Hal-hal semacam itu dilakukan wanita karena ia sangat dekat dengan anak-anaknya. Jadi, yang tahu segala gerak gerik anak-anak itu adalah wanita (ibu). Maka, wajarlah bila wanita diakui berperan sangat penting dalam membina anak-anaknya, termasuk membina bahasanya.

Bila anak-anak sudah memiliki kemampuan berbahasa yang cukup baik, dalam arti mereka sudah menguasai kaidah-kaidah bahasa dan menggunakannya untuk berinteraksi sosial, maka keluarga, terutama ibu, secara sedikit demi sedikit mengarahkan cara- cara berbahasa yang baik. Bagaimana mereka harus berbahasa dengan orang yang lebih tua, bagaimana mereka harus berbahasa dalam situasi tertentu, dan sebagainya dapat diarahkan oleh keluarga.

Tutur Lengkap dan Tutur Ringkas

Tutur lengkap (elaborated code) dan tutur ringkas (restricted code) adalah dua istilah yang dimunculkan oleh Basil Berstein dari Lon- don University. Menurut Berstein, tutur lengkap cenderung digunakan dalam situasi-situasi seperti debat formal atau diskusi akademik. Sedangkan, tutur ringkas cenderung digunakan dalam suasana tidak resmi seperti dalam suasana santai.

(20)

Dalam kaitan dengan pemerolehan bahasa oleh seorang anak, maka tutur lengkap dan tutur ringkas perlu diangkat ke permukaan. Tutur lengkap tentu saja mengandung kalimat-kalimat yang lengkap dan sesuai dengan tuntutan kaidah-kaidah sintaktis yang ada. Ungkapan-ungkapan dinyatakan secara jelas. Perpindahan dari kalimat yang satu ke kalimat yang lainnya terasa runtut dan logis, tidak dikejutkan oleh faktor-faktor non-kebahasaan yang aneh-aneh.

Tutur ringkas sering mengandung kalimat-kalimat pendek, dan biasanya hanya dimengerti oleh peserta tutur. Orang luar kadang- kadang tidak dapat menangkap makna tutur yang ada, sebab tutur itu sangat dipengaruhi antara lain faktor-faktor non-kebahasaan yang ada pada waktu dan sekitar pembicaraan itu berlangsung. Bahasa yang dipakai dalam suasana santai antara sahabat karib, sesama anggota keluarga, antar teman, biasanya berwujud singkat- singkat seperti itu.

Keluarga sangat berpengaruh dalam proses belajar bahasa si anak. Dia akan dapat berbahasa secara baik, dalam arti, dapat menggunakan tutur lengkap bila keluarganya (sebagaimana disarankan oleh Berstein) bukan positional family, yakni keluarga yang penentuan segala keputusan tergantung pada status formal dari setiap anggota keluarga itu. Keluarga yang demikian itu cenderung mengakibatkan perkembangan kemampuan berbahasa si anak akan terhambat, karena ia tidak bisa bebas mengutarakan pendapat atau gagasannya. Lebih-lebih, bila orang tuanya sangat berlaku keras atau kejam terhadap anak-anaknya, maka hal ini akan berdampak kurang baik bagi si anak; dia akan cenderung merasa minder bila akan berbicara baik dengan orang tuanya, gurunya, maupun dengan sesama temannya. Sebagai akibatnya, dia hanya mampu menghasilkan tutur ringkas saja. Pada waktu menginjak usia sekolah, dia terasa sulit mengutarakan gagasannya bahasa yang jelas dan dengan tutur lengkap, kurang atau tidak memiliki keberanian yang memadai untuk berbicara sehingga dia akan mau membuka mulutnya bilamana keadaan memaksa untuk itu. Dan, sangat mungkin bahwa tuturannya hanya ala kadarnya atau seperlunya.

Keluarga yang ideal dalam kaitan dengan pembinaan kemampuan berbahasa adalah keluarga yang person-oriented, yakni keluarga yang segala permasalahan dibicarakan dan didiskusikan

(21)

6

bersama anggota-anggota keluarga. Gagasan atau pemikiran masing- masing anggota keluarga sangat dihargai. Keluarga yang demikian itu memungkinkan adanya komunikasi yang terbuka dan diskusi kecil tentang berbagai masalah yang ada di sekelilingnya. Si anak pun tidak merasa takut menceritakan berbagai pengalaman yang dialaminya. Dan, sementara si anak bercerita, orang tua membimbing anaknya dalam menggunakan bahasa sehingga tanpa disadari si anak memiliki kemampuan berbahasa yang baik, dengan tutut lengkap.

Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga

Umumnya, anak-anak Indonesia mempelajari bahasa daerah pada usia prasekolah. Mereka mempelajari bahasa Indonesia di sekolah. Pada saat si anak memperoleh pengajaran bahasa Indone- sia di sekolah, keluarga dapat memantau anak-anak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di samping tetap membina bahasa daerah, keluarga harus mulai membina bahasa Indonesia anak-anaknya, dengan memberikan perhatian yang wajar terhadap bahasa Indonesia.

Karena kebanyakan anak-anak Indonesia itu sebelum mempelajari bahasa Indonesia, telah menguasai bahasa daerah mereka masing-masing, maka metode komparatif dapat dipakai untuk mengajarkan bahasa Indonesia, yakni dengan membandingk- an antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesi. Melalui bahasa daerah dapat diajarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Bahasa Indonesia sejak sumpah pemuda itu terus mengalami perkembangan dan kini semakin mantap. Kemakinmantapan bahasa Indonesia itu tidak lain karena para pakar bahasa kita berupaya terus menerus untuk menyempurnakan bahasa kita, bahasa Indonesia. Maka dari itu, agar bahasa kita, bahasa Indone- sia, tetap terbina maka selain para guru, khususnya guru bahasa, dan para pakar bahasa, keluargapun harus juga memikul tanggung jawab untuk membina bahasa Indonesia.

Keluarga juga harus mengajarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar kepada anak-anaknya. Membina bahasa Indonesia baku di lingkungan kelauarga sebagai langkah awal, dapat mempercepat laju perkembangan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

(22)

Dikatakan demikian, karena proses pemerolehan bahasa pada anak banyak tergantung pada atau dipengaruhi oleh keluarga. Sehingga, pendidikan dan pembinaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat dimulai di lingkungan keluarga, sehingga diharapkan beberapa tahun mendatang generasi penerus mampu bernalar dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Sekarang kita mengenal istilah prokem. Prokem adalah semacam bahasa identitas remaja sekarang. Bahasa ini mampu mengungkapkan rahasia di antara mereka. Orang luar sering tidak bisa memahami istilah-istilah yang diungkapkan mereka. Kata-kata

bapak diganti dengan bokap, ibu diganti dengan nyokap, orang tua

diganti dengan ortu. Masih banyak lagi istilah-istilah jorok yang disingkat agar tidak terdengar tabu oleh mereka. Hal semacam ini menunjukkan pula, bahwa pembinaan bahasa Indonesia yang baik dan benar perlu dilakukan di lingkungan keluarga, agar nantinya remaja kita bisa menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan

(23)

8 Maungkai Budaya

S

    

BAHASA INGGRIS SEJAK DINI ITU PERLU?

(Tanggapan atas tulisan M. Taufiq Rahman)

audara M. Taufiq Rahman, dalam tulisannya yang berjudul

“Bahasa Inggris Sejak Dini, Mengapa Tidak!”, memandang perlu

pembelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak. Dia beralasan bahwa, antara lain, program pengajaran bahasa Inggris dipandang sebagai investasi jangka panjang sehingga program ini perlu dilakukan untuk anak didik sejak dini.

Kalau kita cermati, bahwa pengajaran bahasa Inggris di Indo- nesia telah berjalan sangat lama. Sejak proklamasi kemerdekaan In- donesia, bahasa Inggris diajarkan sebagai bahasa asing pertama, sebagai pelajaran wajib, yang diajarkan mulai kelas satu SLTP sampai kelas tiga SLTA (SMU), dan bahkan pada universitas untuk beberapa semester. Semua kita, mungkin, telah tahu bahwa berbagai upaya untuk memperbaiki cara, pendekatan, metode dan sejenisnya telah dilakukan. Kurikulum telah berkali-kali mengalami perubahan. Berbagai buku penunjang banyak ditulis dan diterbitkan oleh berbagai penerbit. Namun, sebagian besar dari kita merasa gagal untuk memiliki kemampuan berbahasa Inggris baik aktif maupun reseptif yang memadai. Sementara itu, pada pihak para pembelajar bahasa Inggris, bahwa bahasa itu dianggap sebagai pelajaran yang sulit.

Anggapan semacam itu menyebabkan mereka kurang termotivasi untuk mempelajari bahasa Inggris sampai mereka memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang memadai. Akibatnya, mereka cenderung bersikap apatis dan kurang bergairah dalam mengikuti pelajaran bahasa asing itu. Konsekuensi logis dari keadaan

(24)

ini, prestasi belajar bahasa Inggris mereka kurang menggembirakan. Lalu siapa yang dipersalahkan? Guru atau murid? Sistem atau yang lainnya? Tentu saja, kita tidak perlu mencari “kambing hitam” atas kekurangmenggembirakannya –untuk tidak mengatakan “kegagalan”- belajar mengajar bahasa Inggris baik di tingkat SLTP, SMU maupun di tingkat perguruan tinggi.

Mungkin berangkat dari keadaan belajar mengajar bahasa Inggris semacam itulah, pembelajaran bahasa Inggris perlu dilakukan pada anak-anak di tingkat sekolah dasar. Dalam kaitan ini, saudara M. Taufiq Rahman memandang pembelajaran bahasa Inggris di tingkat sekolah dasar sebagai upaya untuk menanamkan pondasi yang kokoh mulai usia dini.

Tentu saja, penanaman pondasi yang kokoh berkait dengan pembelajaran Inggris tidaklah gampang. Ia tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Mungkin jadi, upaya menanamkan pondisi yang kokoh, seperti disarankan oleh saudara M. Taufiq itu justru berakibat tidak terbangunnya pondasi yang kokoh namun pondasi yang rapuh. Karena, menurut pengamatan sementara saya, sejumlah anak sekolah dasar tidak merasa ‘happy and fun’. Sekedar contoh, anak saya yang tahun lalu berada di kelas IV, oleh guru bahasa Inggris diberi tugas membuat daftar kosa dengan huruf inisial a sampai z, masing-masing 5 kata lengkap dengan arti dan cara membacanya. Bagi anak kelas IV sekolah dasar, membuat tugas semacam itu sangatlah berat. Dilihat dari segi manapun, sekedar membuat daftar kosa kata seperti itu tidak ada artinya sama sekali. Justru, kita menjebak mereka dalam situasi yang “mencekam”; mereka tidak lagi merasa dalam suasana “happy

and fun”. Sebab, salah satu pengajaran kosa kata harus didasarkan

pada konteks (Vocabolary in Context).

Dalam perbincangan saya dengan Dra. M.F. Sri Ekonomi, M.Pd, penggagas dimunculkannya mata kuliah English for Young Learners pada kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unlam Banjarmasin, berkenaan dengan pengajaran bahasa Inggris untuk young learners (anak-anak), saya dapat sampaikan beberapa hal: (1) bahwa pengajaran bahasa Inggris untuk anak-anak memang perlu, (2) pengajaran bahasa Inggris itu harus didukung oleh kurikulum, dan (3) guru yang berkesuaian dengan pengajaran bahasa

(25)

10

Maungkai Budaya

Inggris untuk anak-anak. Anehnya, menurut Dra. M.F. Sri Ekonomi, M.Pd., belum didukung oleh sebuah kurikulum, telah muncul buku- buku pelajaran bahasa Inggris yang dirancang untuk anak-anak Sekolah Dasar mulai kelas I sampai dengan kelas VI, bahkan di In- donesia telah beredar buku-buku pelajaran bahasa Inggris untuk

Elementary School di Singapura.

Untuk melengkapi tulisan Saudara M. Taufiq Rahman, perlu saya sampaikan bahwa bahasa Inggris bukanlah satu-satu bahasa asing dalam kurikulum sekolah kita. Sebab, pada masa penjajahan Belanda, bahasa Belanda merupakan pelajaran wajib yang harus diajarkan di sekolah-sekolah negeri (pemerintah). Bahasa Belanda, yang merupakan bahasa asing bagi siswa-siswa Indonesia, bukan hanya diajarkan sebagai mata pelajaran tetapi juga digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan (medium of instruction) pada sebagaian besar sekolah negeri. Keberhasilan dalam karir dan sta- tus sosial pada saat itu tergantung pada penguasaan bahasa asing (bahasa Belanda) itu. Sebagai konsekuensi logisnya, motivasi instru- mental (instrumental motivation) untuk belajar bahasa Belanda begitu tinggi dan kuat. Bahkan banyak orang kita memiliki motivasi integratif (integrative motivation) untuk belajar bahasa Belanda. Di samping dipakai sebagai bahasa pengantar pendidikan, bahasa Belanda juga dipakai sebagai bahasa resmi pada kantor-kantor pemerintah, dalam bisnis dan bahkan di tempat-tempat kediaman Belanda yang terpelajar (Ramelan, 1984). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila hasil pengajaran bahasa Belanda lebih baik daripada pengajaran bahasa Inggris dewasa ini.

Kendati tidak mengabaikan pengajaran keterampilan berbahasa: menyimak, berbicara dan menulis, pengajaran bahasa Inggris di Indonesia diarahkan kepada pengajaran keterampilan membaca (reading skill). Dengan demikian, rendahnya kemampuan menyimak, berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris pada para lulusan SMU harus kita maklumi. Hal ini dikarenakan bahwa tujuan utama pengajaran bahasa Inggris di sekolah kita secara khusus untuk mengembangkan kemampuan membaca. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan membaca pun tidak memuaskan.

Saya kira, siapapun tidak akan memungkiri bahwa kebanyakan lulusan SMU dewasa ini sangat buruk penguasaan bahasa Inggris

(26)

mereka. Namun, tidaklah bijaksana bila ‘kegagalan’ pengajaran bahasa Inggris ini ditimpakan pada salah satu pihak atau bahkan semua pihak yang berkait dengan pengajaran bahasa Inggris. Banyak faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan pengajaran bahasa asing itu, di antaranya faktor siswa (yang meliputi motivasi, ketekunan, persepsi dan lain-lain) dan faktor sosiokultural (yang mengacu pada bagaimana bahasa Inggris itu digunakan dalam lingkungan masyarakat: apakah bahasa itu sering digunakan dalam masyarakat atau apakah diajarkan hanya sebagai suatu mata pelajaran, atau di samping serting digunakan dalam masyarakat dan diajarkan sebagai suatu mata pelajaran, apakah juga bahasa itu digunakan sebagai bahasa pengantar?). Tentu saja, di samping kedua faktor di atas, faktor guru juga sangat berpengaruh dalam berhasil atau tidaknya pengajaran bahasa Inggris di Indonesia.

(27)

12 Maungkai Budaya

T

    

PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA

DALAM SITUASI KEANEKABAHASAAN

ulisan ini dimunculkan setelah saya berdiskusi dengan seorang kawan. Diskusi ini berkisar masalah: (1) pengucapan dan penulisan simbol-simbol budaya Indonesia dalam bahasa Inggris, (2) masuknya unsur bahasa asing (Inggris) dalam tuturan bahasa Indonesia, dan (3) masuknya unsur-unsur bahasa (dialek) daerah ke dalam tuturan bahasa

Indonesia. Kawan diskusi, antara lain, mempermasalahkan:

1. Penyebutan atau pengucapan singkatan RRI dengan cara pengucapan bahasa Inggris, yakni:/a: a: ai/, seperti yang terdengar dalam siaran berbahasa Inggris RRI. Pengucapan dipandang tidak benar. Walaupun dalam tindak bahasa dalam bahasa Inggris, singkatan itu tetap dipertahankan pengucapannya dengan cara/sistem pengucapan bahasa Indonesia, yakni:/er er

i/. Dasar pemikirannya, bahwa singkatan RRI merupakan simbol

budaya yang melambangkan nama yang bersifat ke-Indonesia- an; maka ia harus diucapkan atau dilafalkan dengan mengikuti kaidah bahasa Indonesia. Disarankan, bahwa simbol “RRI” yang hendak diucapkan atau dilafalkan dalam bahasa Inggris, maka terlebih dahulu dipindah polanya dalam bahasa Inggris dan menjadi “Radio of Republic of Indonesia”, baru kemudian frasa ini dilafalkan dalam bahasa Inggris.

2. Penyebutan (penulisan) alamat bersituasi Indonesia dalam tindak bahasa dengan menggunakan bahasa Inggris. Penyebutan (penulisan) alamat harus mengikuti kaidah bahasa Indonesia bukan kaidah bahasa Inggris, seperti terlihat pada kalimat: “He lives in Jalan A. Yani”, bukan “He lives in A.Yani Street, seperti

(28)

dijumpai dalam tulisan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris semester awal. Alasannya, bahwa frasa Jalan A.

Yani mengacu pada sebuah nama sehingga kata jalan pada frasa

itu tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

3. Penggunaan unsur asing, seperti terlihat dalam kalimat “Product kita tidak kalah dengan product luar negeri,” seperti terdengar pada acara dialog di televisi. (Kata product dilafalkan dalam bahasa Inggris). Fenomena berbahasa ini juga tidak dibenarkan. Alasannya, bahwa kata asing itu sudah memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia yakni: hasil atau barang hasil produksi. Disarankan, bahwa kata product hendaknya dicarikan bentuk padanannya dalam bahasa Indonesia.

4. Masuknya bahasa atau dialek daerah ke dalam tuturan bahasa Indonesia, misalnya, penggunaan bentuk sapaan elo, gue, gua, kata kerja pasif disamperin, dibuntutin, dibantuin, dan sebagainya, seperti banyak didengar lewat radio-radio stasiun Banjarmasin. Disarankan, seperti halnya kata product di atas, bahwa sepanjang kata-kata itu masih ada padanannya, hendaknya penutur menggunakan kata-kata dalam bahasa Indonesia.

Kedwibahasaan

Kalau kita melihat atau mendengar seseorang memakai dua bahasa atau lebih dalam pergaulannya dengan orang lain, kita dapat mengatakan bahwa dia berdwibahasa atau bermultibahasa, dalam arti dia melakukan kedwibahasaan atau kemultibahasaan atau keanekabahasaan. Ada sejumlah ilmuwan bahasa berpendapat bahwa penggunaan lebih dari satu bahasa semacam itu diacu dengan satu istilah, yakni kedwibahasaan atau bilingualisme. Kata

bilingualisme secara leksikal berarti penggunaan dua bahasa. Kita

ikuti pendapat-pendapat para ahli.

Kedwibahasaan dibatasi oleh Bloomfield sebagai penggunaan

dua bahasa yang sama baiknya antara bahasa ibu (asli) dan bahasa kedua.

Dengan demikian, pengertian kedwibahasaan semacam ini menyaran pada kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penggunaan bahasa oleh penutur asli dari setiap bahasa itu.

Bila kita beranjak dari gagasan Bloomfield tentang kewiba- hasaan, lebih jauh kita dapat ikuti penjelasannya dalam buku yang

(29)

14

berjudul Language yang di dalamnya, antara lain, dia menyatakan sebagai berikut:

In the extreme case of foreign-language learning the speaker becomes so proficient as to be indistinguishable from the native speaker around him. This happens occasionally in adult shifts of language and frequently in the child- hood shift ….. In this cases where this perfect foreign-language learning is not accompanied by loss of the native-language, it results in bilingualism, native- like control of two languages (Bloomfield, 1935:56).

Dengan demikian, menurut Bloomfield, belajar bahasa asing yang sempurna tanpa diikuti oleh hilangnya bahasa asli akan terjadi

‘native-like control of two languages’. Namun demikian, penggunaan

dua bahasa atau lebih akan melibatkan latar kontal sosial budaya. Pada hakikatnya, kontak bahasa adalah salah satu aspek dari kontak kebudayaan, sedangkan pengacauan kaidah, alih kode maupun campur kode itu merupan segi dari difusi dan akulturasi budaya. Lebih lanjut, dalam kaitan ini, Weinreich menjelaskan sebagai berikut.

In a great majority of contact between groups speaking different mother tongues, the groups constitute, at the same time, distinct ethnic or cultural communities. Such contact entails biculturalism (participation in two cultures) as well as bilingualism, diffusion of cultural traits as well as of linguistic elements (1968:5 dan 89).

Atas dasar pendapat dari dua ahli bahasa di atas, dapat dika- takan bahwa bagaimanapun sempurnanya penguasaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang, bila dua bahasa atau lebih berkontak, yakni: bahasa-bahasa itu digunakan oleh orang yang sama secara bergantian, maka unsur-unsur bahasa lain atau asing itu dapat saja muncul dalam tuturan orang tersebut.

Penggunaan bahasa yang melibatkan unsur-unsur atau kaidah- kaidah bahasa lain dapat ditanggapi lewat dua perspektif: linguistik dan sosiolinguistik/sosiologi bahasa.

Interferensi dari Perspektif Linguistik

Seorang dwibahasawan yang menyampaikan pesan lewat bahasa kepada orang lain, perjalanan pesan itu terhambat oleh dua faktor. Faktor yang pertama adalah beberapa kaidah bahasa yang dikenalnya, yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya: mampukah dia membedakan dan memilah-milahkan setiap kaidah

(30)

itu, sehingga ketika dia menggunakan salah satu bahasa yang dikenal, kaidah bahasa yang lain tidak mengganggu? Jika dia tidak mampu, maka sementara dia menggunakan salah satu bahasa yang dikenalnya, kaidah bahasa yang lain dapat saja muncul dalam tuturannya. Terjadilah interferensi (Soetomo, 1985).

Penggunaan bahasa seperti digambarkan di atas dapat ditang- gapi dari sudut pandang bahasa apa yang dominan digunakan dalam suatu tindak berbahasa, apakah bahasa Indonesia atau bahasa Inggris? Bila bahasa yang dominan itu adalah bahasa Indonesia, maka bahasa Indonesia terkena interferensi (interference) dari (kaidah) bahasa Inggris. Dan, bila bahasa yang dominan itu adalah bahasa Inggris, maka bahasa Inggris terkena interferensi dari (kaidah) bahasa Indonesia. Interferensi menyaran pada penggunaan unsur atau kaidah dari bahasa tertentu dalam tuturan bahasa lain.

Fenomena interferensi sebenarnya telah banyak dibicarakan orang. Yus Rusyana, misalnya, telah menyusun disertasi dengan mengangkat masalah interferensi morfologi pada tahun 1975. Beberapa dosen dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang juga pernah mengadakan penelitian atau menyusun karya tulis dengan mengangkat masalah interferensi, baik interferensi fonemis, morfologis maupun sintaktis.

Yus Rusyana (1975) menyusun disertasi dengan judul Interferensi Morfologi pada Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Anak-

anak yang Berbahasa Pertama Bahasa Sunda Murid Sekolah Dasar Di Daerah Propinsi Jawa Barat. Kajian interferensi oleh Yus Rusyana ini

jelas dilakukan dalam perspektif linguistik, sebab morfologi merupakan salah satu cabang linguistik atas dasar sistem bahasa.

Mengapa penggunaan bahasa Indonesia oleh anak-anak sekolah dasar itu mendapat “gangguan” dari unsur-unsur atau kaidah-kaidah bahasa Sunda? Jawabannya adalah bahwa pada taraf belajar bahasa Indonesia, anak-anak itu telah menguasai bahasa pertama (bahasa ibu) bahasa Sunda. Kebiasaan berbahasa Sunda itu telah tertanam kuat dalam diri mereka, sehingga ketika mereka berbahasa dengan bahasa Indonesia dapat saja unsur-unsur (baik fonetis/fonemis, morfologis, sintaktis maupun semantis) dari bahasa Sunda masuk ke dalam tuturan bahasa Indonesia mereka.

(31)

16

Dengan demikian, interferensi itu dapat ditanggapi dari sudut pandang kompetensi berbahasa. Kompetensi berbahasa ini menyaran pada kemampuan seseorang penutur untuk memilah dan memilih kaidah-kaidah bahasa tertentu dari kaidah-kaidah bahasa yang lain. Interferensi dapat dikatakan sebagai fenomena bahasa yang timbul akibat pengaruh bahasa tertentu. Karena seseorang, misalnya, tidak mampu memilih dan memilah kaidah bahasa yang satu dari bahasa yang lainnya, maka tuturannya dengan suatu bahasa akan terkena interferensi dari salah satu kaidah bahasa-(bahasa) yang dikuasai- nya. Artinya, sejumlah unsur bahasa yang berbeda masuk ke dalam tuturannya dalam bahasa tertentu. Misalnya, ketika anak-anak yang bahasa pertamanya bahasa Sunda berbahasa Indonesia, unsur-unsur bahasa Sunda masuk dalam tuturan bahasa Indonesia-nya. Atau, ketika seseorang berbahasa Inggris, unsur-unsur atau kaidah-kaidah bahasa Indonesia masuk ke dalam tuturan bahasa Inggris-nya.

Jika masuknya unsur-unsur dari bahasa lain ke tuturan dalam bahasa tertentu dapat ditanggapi dari perspektif linguistik, maka hal itu dikategorikan dalam bentuk kesalahan berbahasa. Titik berat atau fokus perhatian pada kesalahan berbahasa dalam perspektif ilmu bahasa adalah pada bahasa penerima yang mendapat ‘gangguan’ dari bahasa lain. Telaah dengan perspektif ini mengacu pada komponen-komponen bahasa (bunyi, mofem, kata, frasa, kalimat, dan makna).

Hambatan Kultural dalam Berbahasa

Faktor yang kedua adalah faktor yang berasal dari pertimbangan

komunikasi. Bahasa digunakan manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyata- annya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota- anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka. Pertimbangan komunikasi ini menentukan apakah dia akan

(32)

bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi, atau alih- kode/campur kode (Soetomo, 1985).

Interferensi dan alih kode bahkan campur kode dapat dilihat dari dua contoh kalimat berikut:

(1) Nuwun sewu, saya bisa mengganggu sebentar?

(2) Ulun mencari piyan di kampus kemarin, piyan sudah bulikan.

Andaikan saja, baik kalimat (1) maupun (2) diungkapkan dalam

speech act berbahasa Indonesia, maka dengan demikian bahasa In-

donesia sang penuturnya mendapat ‘gangguan’ dari bahasa Jawa untuk kalimat (1) dan bahasa Banjar untuk kalimat (2). Ini berarti bahasa Indonesia kedua penutur itu mendapat interferensi dari bahasa Jawa atau Banjar. Jadi, gejala interferensi kita lihat dari bahasa penerima (dalam hal ini: bahasa Indonesia). Bila, baik penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia atau bahasa Banjar dan bahasa Indonesia kita lihat sebagai penggunaan dua bahasa secara berselang-seling, maka berarti kita menemukan gejala alih kode atau campur kode.

Andaikan saja lagi, bahwa kedua penutur tersebut telah menjadi dwibahasawan-dwibahasawan seperti yang disarankan oleh Bloomfield, yakni yang kedwibahasaannya memenuhi kriteria “na-

tive-like control of two languages”. Penutur pertama, misalnya,

memiliki kemampuan dan penguasaan terhadap baik bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia dengan sama baiknya, sama kelancarannya, dan sama akurasinya, dan demikian juga penutur yang kedua. Pendek kata, kedua penutur ini tidak memiliki persoalan kebahasaan. Dengan demikian, ‘penyimpangan’ dalam berbahasa Indonesia itu bukan akibat ketidakmampuan mereka menggunakan bahasa Indonesia, tetapi ia merupakan akibat dari faktor sosial budaya yang melingkungi penutur-penutur tersebut.

Jika dikatakan bahwa bahasa merupakan sistem simbol atau tata lambang, maka ia dapat mengacu tata lambing konstitusi, kognisi, evaluasi dan ekspresi. Tata lambang konstitusi adalah tata lambang yang bertalian dengan kepercayaan manusia terhadap Tuhan yang menentukan hidup dan kehidupan manusia atau terhadap kekuatan supernatural di luar kekuatan manusia. Tata lambang kognisi adalah tata lambing yang dihasilkan manusia dalam upayanya untuk

(33)

18

memperoleh pengetahuan terhadap segala sesuatu di lingkungannya. Tata lambang evaluasi adalah tata lambang yang bertalian dengan nilai baik-buruk, betul-salah, pantas-tak pantas dan sebagainya. Tata lambang eskpresi adalah tata lambang untuk mengungkapkan perasaan atau emosi manusia (Soetomo, 1985).

Sebagaimana diketahui bahwa bahasa dan budaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Hal ini karena bahasa merupakan salah satu unsur budaya, sedangkan budaya itu sendiri adalah sesuatu yang sebagiannya diformulasikan dalam bentuk bahasa.

Budaya memberikan pedoman bagi masyarakat yang memilikinya. Ia mengajarkan bagaimana manusia harus bertingkah laku, termasuk bertingkah laku dalam berbahasa. Sebagian tata cara bertingkah laku itu dapat diungkapkan dengan bahasa. Jadi, di sini terdapat kesulitan untuk membedakan atau memisahkan bahasa dari budaya atau budaya dari bahasa.

Menurut teori Parsons (dalam Soetomo, 1985) tingkah laku (berbahasa) manusia telah diatur oleh human action system. Sistem tindak manusia ini memiliki empat sub-sistem: budaya, sosial, kepribadian, dan tingkah laku manusia. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam sistem itu telah tertanam kuat pada diri seorang penutur bahasa (Jawa, misalnya), maka dapat saja dia terhambat oleh kultur Jawa-nya ketika dia berbahasa Indonesia.

Sebagai contoh, dalam suatu interaksi verbal antara dua orang yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, tiba-tiba penutur A menyelipkan beberapa buah kata asing (non bahasa Indonesia) dalam tuturannya. Tingkah laku berbahasa ini dapat dinilai berdasarkan sumber-sumber penyebabnya. Masuknya unsur asing ke dalam tuturan A tadi dapat disebabkan oleh kebiasaan atau kemudahan pengucapan semata. Di sini, (sub) sistem tingkah laku adalah penyebab masuknya unsur asing itu dalam tuturan A tersebut.

Tetapi, masuknya unsur asing itu dapat saja disengaja oleh A sebagai upaya untuk memperlihatkan perasaan (sikap, motivasi, pengalaman dan sebagainya) kepada penutur B. Dalam hal ini (sub) sistem kepribadian penutur adalah penyebab penggunaan unsur asing dalam tuturan bahasa Indonesia yang disampaikan oleh A tersebut.

(34)

(Sub) sistem sosial dapat pula menjadi sumber hambatan, bila penutur A tadi menonjolkan status dan peranannya dalam interaksi verbal itu. Umpamanya, seorang pengacara ingin menyelipkan reg- ister hukum dalam tuturan bahasa Indonesia-nya akan memperingatkan lawan tuturnya, B, untuk selalu sadar akan posisi A maupun posisinya sendiri dalam hubungan peran itu.

(Sub) sistem budaya (dalam kaitan dengan bahasa sebagai tata lambang: konstitusi, kognisi, evaluasi, dan ekspresi, sebagaimana terurai di atas) dapat menjadi hambatan dalam berbahasa. Oleh karena suatu komunitas tutur kebetulan mengangkat bahasa daerah atau asing tertentu lebih tinggi nilainya daripada bahasa Indonesia karena mampu mengungkapkan konsep atau ide secara lebih tepat dan teliti, maka penyelipan unsur-unsur bahasa daerah atau asing dalam tuturan bahasa Indonesia-nya akan dianggap orang lebih baik.

Hambatan kultural yang lain dapat dilihat, misalnya, dari kasus tindak berbahasa (speech act) yang terjadi antara penutur dari suku Sunda dan Banjar. Penutur bahasa Sunda yang tentu saja berlatar belakang bahasa Sunda, artinya dia merupakan dwibahasawan Sunda-Indonesia. Sementara, penutur bahasa Banjar yang tentu saja berlatar belakang bahasa Banjar, artinya dia merupakan dwibahasawan Banjar-Indonesia. Kedua bahasa daerah ini sama- sama memiliki kata bujur. Kata bujur dalam bahasa Sunda berarti pantat dan harus ditabukan, dalam arti tidak dapat diucapkan di sembarang tempat (misalnya, di hadapan orang banyak). Sementara kata bujur dalam konteks bahasa Banjar berkonotasi baik. Hambatan kultural terjadi bila penutur yang berlatar belakang budaya/ bahasa Sunda mendengar atau menggunakan kata bujur, walaupun sekarang dia telah memahami arti kata bujur dalam konsep bahasa Banjar, namun tetap saja dia merasa berdosa bila dia mengucapkan kata tersebut karena ini berarti melanggar aturan atau nilai dari kulturnya sendiri.

Kata sare, dahar dalam konsep bahasa Jawa tidak dapat dipakai secara sembarangan. Kata-kata itu harus digunakan sesuai dengan peserta tutur, siapa penuturnya dan siapa pula lawan tuturnya. Untuk menyapa atau membicarakan orang yang lebih tua, kata- kata itu dapat saja dipakai, namun tidak dapat dipakai untuk membicarakan diri sendiri atau anak-anak kecil. Kalimat ‘Kulo dahar

(35)

20

Jawa karena kata ‘kulo’ tidak boleh ditinggikan (dengan menggu- nakan kata ‘dahar’). Penggunaan yang benar, contohnya, adalah

‘Bapak dahar’ atau ‘Monggo dahar rumiyen’. Kedua kalimat ini

digunakan untuk membicarakan atau menyapa orang lain yang lebih tua atau lebih tinggi derajat sosialnya.

Speech Act dalam Situasi Keanekabahasaan

Penggunaan bahasa dalam situasi keanekabahasaan atau

multilingualisme telah banyak mendapat perhatian dari ahli bahasa.

Fishman, misalnya, mengkaitkan penggunaan bahasa semacam itu dengan Who speaks What language to Whom and When (1972:244). Sementara Pride dan Holmes mengatakan bahwa speech act yang terjadi pada masyarakat multilingual akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor non-kebahasaan seperti: partisipan, topik pembicaraan, setting, jalur, suasana dan maksud (1972:35)

Gagasan dari kedua ahli itu sebenarnya mengandung maksud yang mirip. Kemiripan itu dapat diilustrasikan sebagai berikut. Ungkapan who speaks (penutur) dan to whom (lawan tutur) menyaran pada orang yang melakukan speech act; keduanya disebut partisipan.

What language menyaran pada pemilihan bahasa yang dilakukan

oleh partisipan. Pemilihan bahasa berkaitan dengan topik pembi- caraan. Artinya, seorang partisipan memilih bahasa tertentu (dari sejumlah bahasa yang dikuasainya) karena topik pembicaraannya lebih tepat diungkapkan lewat bahasa itu. Pemilihan bahasa juga dipengaruhi oleh waktu dan suasana (Fishman menyebut when) dan

setting. (Menurut Pride dan Holmes, setting menyaran pada waktu dan tempat).

Penggunaan bahasa-bahasa (setidak-tidaknya dua bahasa) secara berselang-seling dapat ditanggapi dari perspektif sosiolinguistik/sosiologi bahasa. Penggunaan dua bahasa atau lebih (gandabahasa atau multibahasa) secara berselang seling semacam ini menimbulkan fenomena alih-kode. Menurut Istiati Soetomo (1985), tindak berbahasa yang ideal adalah bahwa bila seseorang berbahasa, maka bahasa yang digunakan adalah satu bahasa (dari sekian bahasa yang dia kenal dan kuasai) yang baik dan benar. Durdje Durasid (1990) menyatakan bahwa berbahasa yang baik adalah berbahasa yang mengandung nilai rasa yang tepat dan sesuai

(36)

dengan situasi penggunaannya, sedangkan berbahasa yang benar adalah berbahasa yang secara cermat mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku. Ini berarti bahwa bila seseorang berbahasa dalam situasi tertentu, dengan menggunakan bahasa tertentu (bahasa Indonesia, misalnya) maka hendaknya unsur-unsur atau kaidah-kaidah dan sejenisnya dari bahasa-bahasa lain yang dikuasainya tidak dimasukkan dalam tuturan bahasa Indonesia-nya. Bila dalam situasi lain, dia memanfaatkan bahasa lain (bahasa daerah), maka hendaknya bahasa daerah itu tidak terselepi oleh simbol-simbol atau kaidah-kaidah dari bahasa-bahasa lain.

Dalam perspektif sosiolinguistik/sosiologi bahasa ini, fenomena alih kode dilihat dari pemakai bahasa sebagai makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat yang berbudaya. Dalam kaitan ini, seseorang yang melakukan alih kode (mungkin berwujud alih bahasa,

alih dialek, alih register, alih gaya, alih nada dan sebagainya) bukan

berarti dia tidak mampu berbahasa dengan salah satu bahasa dari bahasa-bahasa yang dikuasainya. Bahasa digunakan oleh manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Sebab, ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota masyarakat lain sesuai dengan tata nilai budaya yang menjadi pedoman hidup mereka. Dia “harus” melakukan alih kode lantaran nilai budaya masyarakatnya, misalnya, “menghendaki” hal itu.

Alih Kode oleh Penyiar Radio

Menyikapi penggunaan bahasa Indonesia di radio, khususnya radio swasta, di mana sejumlah penyiarnya seringkali melakukan alih kode (ke dialek Betawi) atau menyilipkan istilah-istilah/kata- kata bahasa Inggris, hendaknya kita tidak serta merta menyatakan bahwa tindak berbahasa itu tidak benar dan penuturnya tidak mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar yang cenderung untuk mengangkat prestise-nya dengan cara menggunakan unsur- unsur bahasa selain bahasa Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan yang bersangkutan berbahasa seperti itu.

Seorang penyiar radio menyelipkan dialek Betawi, misalnya, karena, mungkin, khalayak pendengarnya menghendaki dialek itu.

(37)

22

Sebab, mungkin, dialek Betawi dianggap berkesesuaian dengan selera pendengarnya. Dalam hal ini faktor pendengar menjadi penyebabnya, yakni penggunaan atau pemilihan dialek tertentu dilakukan untuk memenuhi ‘tuntutan’ pendengarnya..

Bila dilihat dari sudut penyiarnya, mungkin, yang bersangkutan ingin mengidentifikasikan diri sebagai penutur berprestise tinggi seperti layaknya para selebritis di Jakarta. Dengan menggunakan dialek Betawi, lalu dia berkeyakinan bahwa prestise-nya akan naik maka faktor penyebabnya adalah motivasi, yakni motivasi dalam rangka untuk mencapai prestise melalui penggunaan bahasa (dialek) tertentu.

Mungkin saja, alih bahasa atau dialek itu disebabkan oleh faktor-faktor lain, misalnya, yang berkaitan dengan sosial budaya (hubungan status-peranan sosial, sistem nilai dan sebagainya) dari masyarakat tertentu. Seorang penyiar yang menyelipkan unsur- unsur dari bahasa daerah, seperti ulun, piyan (bahasa Banjar), dan

nuwun sewu, semonggo, sugeng midangetakan (bahasa Jawa) yang

memancarkan konotasi hormat, hendaknya kita pahami sebagai tindak berbahasa yang dilandasi oleh “keharusan sosial-budaya” di mana penutur itu harus berlaku hormat terhadap para pendengar pemilik bahasa itu (faktor sosial budaya).

Penyiar Radio dalam Pembinaan Bahasa Indonesia

Di samping masuknya unsur-unsur bahasa asing dan daerah dalam tuturan bahasa Indonesia, telah cukup lama dikenal dan digunakan istilah prokem. Prokem adalah semacam ‘bahasa’ yang biasanya dipakai di lingkungan remaja dan orang-orang luar terkadang sulit memahaminya, sebab dalaam kode (yang berupa prokem) itu tersembunyi “rahasia”. Kata bapak diganti bokap; ibu diganti nyokap. Sejumlah kata-kata diucapkan terbalik: Arek Malang diucapkan kere ngalam, pulang menjadi ngalup. Sejumlah singkatan digunakan untuk menghindari ketabuhan atau kesan jorok bila diperdengarkan. Penyiar kita tak jarang menggunakan istilah-istilah semacam itu dalam kepenyiarannya.

Dalam kaitan ini, para penyiar radio sangat penting peranannya dalam pembinaan bahasa Indonesia, di atas peran keluarga, para guru, khususnya guru bahasa Indonesia. Hal ini

(38)

disebabkan oleh kenyataan bahwa tindak bahasa (speech act)-nya dapat didengar oleh khalayak yang sangat luas. Dalam kepenyiarannya yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, seorang penyiar radio hendaknya tidak ikut-ikutan untuk menggunakan istilah-istilah atau dialek daerah tertentu yang justru “merusak” bahasa Indonesia, kecuali jika siarannya dilakukan dalam bahasa daerah atau dialek daerah tertentu, atau bahkan dalam bahasa asing.

Masalah bahasa Indonesia bukan hanya masalah guru atau dosen dan pakar bahasa, akan tetapi ia menjadi masalah seluruh bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia akan lebih mantap, bila dalam perkembangan dan pertumbuhannya terus menerus dibina, tidak dibiarkan tumbuh liar. Bahasa Indonesia yang jauh sebelum negara kita merdeka, sudah diikrarkaan oleh para pemuda waktu itu sebagai bahasa persatuan, suatu bahasa yang mampu mempersatukan berbagai macam suku baik sebelum Indonesia merdeka maupun setelah ia merdeka. Bahasa Indonesia sejak adanya sumpah pemuda itu terus mengalami perkembangan dan kini sudah semakin mantap. Kesemakinmantapan bahasa Indonesia itu tidak lain karena para pakar bahasa kita berupaya terus menerus untuk menyempurnakan bahasa Indonesia.

Maka dari itu, agar bahasa kita, bahasa Indonesia tetap terbina maka para penyiar radio kita yang banyak berkecimpung dalam penggunaan bahasa Indonesia (di samping para guru, khususnya guru-guru bahasa dan pakar bahasa Indonesia) juga mempunyai tanggung jawab yang tidak enteng untuk membina bahasa Indone- sia yang baik dan benar. Dalam kegiatan kepenyiaran mereka, para penyiar juga harus ikut memasyarakatkan bahasa Indonesia yang baik dan benar kepada para pendengarnya.

Dengan demikian, pembinaan bahasa Indonesia yang baik dan benar bukan hanya menjadi tanggung jawab keluarga, guru-guru khususnya guru-guru bahasa Indonesia di sekolah, tokoh-tokoh masyarakat di daerah dan pusat akan tetapi juga menjadi tanggung jawab para penyiar radio pemerintah maupun swasta. Atau dengan perkataan lain, peranan penyiar dalam pembinaan bahasa Indone- sia adalah sangat besar. Untuk itu, peranan itu hendaknya betul- betul dimainkan oleh kawan-kawan penyiar radio. Wallahua’lam. 

(39)

24 Maungkai Budaya

M

    

BAHASA DALAM PERSPEKTIF SOSIAL

BUDAYA

anusia adalah makhluk sosial yang senantiasa memerlukan bantuan manusia lain dalam kehidupannya. Hampir tidak dapat dibayangkan betapa berat dan sulitnya seandainya dia hidup seorang diri tanpa ada yang menemaninya. Dalam kenyataannya, manusia selalu hidup secara berkelompok dan mereka saling memerlukan bantuan atau pertolongan dan saling bekerja sama antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, kita dapat membenarkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial sebab dia harus hidup bermasyarakat.

Dalam upaya memenuhi segala kebutuhan hidup, manusia harus melakukan kerja sama antara satu dengan yang lainnya, yang hanya dapat dilakukan dalam suatu komunitas atau masyarakat. Sewaktu seseorang memerlukan beras, misalnya, dia tidak perlu menanam padi sendiri di ladang atau sawah. Yang menanamnya cukup para petani; dia dapat memperoleh beras dengan cara membeli dari mereka.

Seseorang mungkin memiliki kecakapan khusus dalam hal membuat alat-alat pertanian, misalnya, cangkul atau alat membajak, yang kemudian dapat dia jual kepada para petani untuk keperluan menggarap sawah mereka. Dari contoh ini, kita dapat memperoleh gambaran secara jelas bahwa para anggota masyarakat saling memerlukan pertolongan antara yang satu dengan yang lainnya. Karena ada saling ketergantungan itu, maka mereka perlu menjalin kerja sama dalam rangka untuk memenuhi kepentingan atau keperluan mereka sendiri.

Kerja sama antar mereka dapat berjalan dengan baik bila ada suatu alat komunikasi yang disebut bahasa. Dengan bahasa, manusia

(40)

dapat mengungkapkan gagasan-gagasan dan keinginan-keingin- annya kepada manusia lain dan menjalin kerja sama dengan sesama anggota masyarakat lainnya. Namun demikian, bahasa bukanlah satu- satunya alat yang dipergunakan manusia sebagai alat komunikasi sebab dia dapat juga melakukan komunikasi dengan isyarat, ekspresi wajah dan sentuhan. Bahasa merupakan alat komunikasi yang memanfaatkan simbol-simbol yang dapat didengar (auditory symbols) atau bunyi-bunyi ujaran (speech sounds), yang dihasilkan dengan alat ucap manusia (speech organs). Sedangkan isyarat (sejumlah orang menyebut ‘bahasa’ isyarat) berupa simbol-simbol visual, yang memiliki bentuk gerakan-gerakan anggota tubuh (badan) dan ekpresi wajah; isyarat ini kadang-kadang dipergunakan orang secara bersamaan dengan penggunaan bahasa dan kadang-kadang dipergunakan secara tersendiri atau tanpa bahasa. Isyarat dapat dikatakan sebagai pelengkap atau penunjang penggunaan bahasa.

Sistem komunikasi visual itu tidak memiliki struktur selengkap bahasa, dan oleh karena itu, ia tidak dapat disebut sebagai bahasa. Penggunaan isyarat sangat terbatas karena sifatnya yang visual itu. Sedangkan penggunaan bahasa sangat luas sebab disamping sifatnya yang dapat didengar, ia dapat divisualisasikan (dalam bentuk tertulis). Dengan demikian, bahasa dapat dipergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan secara lisan dan secara tertulis. Jadi, jangkauan bahasa lebih luas ketimbang isyarat; bahasa lebih sering dipergunakan untuk berkomunikasi ketimbang isyarat; dan bahasa lebih lengkap ketimbang isyarat.

Dari diskusi di atas, kita dapat memetik tiga hal, yaitu: manusia, masyarakat dan bahasa. Tiga hal ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ini berarti bahwa di mana terdapat manusia, di situ selalu ada suatu masyarakat, dan dalam masyarakat itu selalu ada bahasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi oleh para anggota masyarakat tersebut. Keberadaan bahasa dalam masyarakat adalah sangat penting. Hal ini karena, dalam kenyataan, manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bermasyarakat dan memerlukan bahasa sebagai alat untuk berinteraksi dengan sesamanya.

(41)

26

Bahasa itu Abitrer

Bahasa dikatakan memiliki sifat arbitrer. Ini berarti bahwa bahasa (mula-mula diciptakan) atas dasar kesepakatan sosial (social agree-

ment). Dalam kaitan ini, tidak ada penjelasan yang logis atau masuk

akal, misalnya, mengapa seekor binatang tertentu yang biasanya dipiara orang, yang berkaki empat dan dapat menggonggong disebut

dog dalam bahasa Inggris, asu dalam bahasa Jawa, atau anjing dalam

bahasa Indonesia. Mungkin saja, suku atau bangsa yang lain menyebut binatang semacam itu dengan istilah yang berbeda. Dalam ini, pemberian nama terhadap binatang itu hanya didasarkan pada kesepakatan sosial antar penutur-penutur bahasa Inggris untuk menyebut dog, antar penutur bahasa Jawa untuk menyebut asu dan antar penutur bahasa Indonesia untuk menyebut anjing.

Lebih dari itu, sifat arbitrer itu juga dapat dilihat dari segi sistem gramatikal. Kata-kata dalam bahasa Indonesia, misalnya, harus disusun dengan order tertentu untuk membentuk konstruksi yang secara gramatikal dapat diterima. Misalnya, sejumlah kata: motor, Ali, naik, hari, setiap, tidak disusun secara sembarangan bila seseorang menginginkan konstruksi yang gramatikal. Kata-kata itu bisa disusun menjadi ‘Ali naik motor setiap hari atau ‘Setiap hari Ali

naik motor’. (Dalam bahasa Indonesia, dimungkinkan keterangan

waktu diletakkan pada posisi awal atau pun akhir). Bila kata-kata itu disusun dengan susunan ‘Ali motor naik hari setiap’ maka susunan itu tidak gramatikal. Tidak ada alasan yang logis mengapa penutur bahasa Indonesia menerima dan menggunakan susunan yang pertama dan bukan susunan yang kedua. Hal ini disebabkan bahwa sistem gramatikal pun didasarkan pada kesepakatan sosial dan oleh karena itu ia arbitrer.

Pemerolehan Bahasa

Sejak manusia lahir ke dunia, sebenarnya, telah memiliki semacam kemampuan bawaan (innate ability). Baik para ahli sosiolinguistik maupun psikolinguistik mengakui bahwa kemampuan bawaam itu diacu dengan istilah Language Acquisition Device (LAD), alat pemerolehan bahasa. Kendati memiliki kemampuan bawaan, seorang anak tidak secara otomatis mampu berbahasa (berbicara) hanya karena dia itu manusia.

(42)

Kemampuan bawaan tidak ubahnya seperti potential seed yang harus ditumbuhkembangkan pada tempat yang cocok, yakni masyarakat sosial (social community). Jika kemampuan bawaan itu tidak dikembangkan secara benar, misalnya, jika seorang anak dipisahkan dari masyarakat dan terputus dari hubungan manusia

(human relation), maka ia tidak akan mampu berbahasa dengan

bahasa tertentu. Untuk memperoleh kemampuan berbahasa itu dia harus belajar bahasa melalui komunitas bahasa tertentu pula. Juga, pemerolehan kemampuan berbahasa ditentukan oleh komunitas bahasa di mana si anak tadi dibesarkan. Artinya, si anak dari suku Banjar tidak serta merta mampu berbahasa dengan bahasa suku itu. Bila dia dibesarkan di lingkungan komunitas bahasa Jawa, misalnya, dia akan berkemampuan untuk berbahasa Jawa. Atau, si anak dari keluarga atau suku Jawa yang dididik dan dibesarkan di lingkungan komunitas bahasa Perancis, dia akan berkemampuan untuk berbahasa Perancis sebagai bahasa yang digunakan di lingkungan sosial tempat dia dibesarkan.

Dengan demikian, persangkaan bahwa anak dari etnis Jawa akan pandai berbahasa Jawa, atau anak dari bangsa Perancis akan pandai berbahasa Perancis merupakan persangkaan yang keliru. Bila berpedoman dari persangkaan itu, orang akan menganggap bahwa kemampuan berbahasa merupakan soal keturunan. Hal yang sebenarnya adalah bahwa biarpun seorang anak berasal dari keturunan etnis Jawa, bila dididik dan dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang bukan berbahasa Jawa, dia tidak akan memiliki kemampuan berbahasa Jawa, melainkan dia akan memiliki kemampuan berbahasa yang dipakai dalam keluarga dan lingkungan itu.

Fungsi Sosial Bahasa

Bahasa dalam konteks sosial bukan halnya sebagai alat komunikasi tetapi ia juga merupakan alat yang pemting untu menciptakan dan mempertahankan hubungan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Sebagai ilustrasi, ada dua orang yang belum saling mengenal yang sama-sama berada di ruang tunggu di stasiun kereta api. Mereka, kemudian, mengadakan suatu pembicaraan yang dimaksudkan untuk mengurangi kegelisahan.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat kontribusi yang signifikan gaya kepemimpinan transformasional, iklim kerja sekolah, dan kecerdasan emosional

Pihak KUA menjelaskan bahwa mereka harus mendatangi Pengadilan Agama untuk melakukan permohonan istbat nikah, dan tetapi pada saat yang sama mengatakan bahwa KUA dapat membantu

bahwa untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan Pekerjaan Pembangunan serta memperhatikan kemampuan keuangan daerah yang timbul akibat dari Pelaksanaan kegiatan tersebut, maka

4.3 Menyajikan hasil analisis tentang posisi dan peran Indonesia dalam kerja sama di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi, dan pendidikan dalam lingkup ASEAN.. 4.3.1

Dalam artikel ini, penulis yang melakukan penelitian di Pilkada Kota dan Kabupaten Madiun 2018, menunjukkan bahwa celah regulasi memang dimanfaatkan untuk

• Memberikan keperawatan dasar pada klien dalam lingkup keperawatan: medikal bedah / maternitas / pediatrik / jiwa / komunitas / gawat darurat dengan komplikasi/ kompleks. •

Prinsip penurunan biaya dalam konsep rekayasa nilai yaitu menggunakan pendekatan yang terpusat pada desain dan membutuhkan waktu untuk mencapai hasil nyata lewat

Untuk memperolehi keputusan akhir bagi mendapatkan perhubungan diantara ujian Proba JKR dan Ujian Penusukan Piawai, data-data yang telah dianalisis daripada ketiga-tiga tapak