• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di samping masalah seputar bahasa Jawa, Prof. Fudiat menga- jukan sejumlah pertanyaan yang masih saya ingat, antara lain, berkenaan dengan sikap-sikap yang diajarkan oleh sistem budaya Jawa. Misalnya, Ngono yo ngono, nanging mbok aja ngono, tega larane

ora tega patine, rame ing gawe sepi ing pamrih, narimo ing pandum, sumarah. Berkenaan dengan nafsu, beliau menanyakan tentang tiga

nafsu yang harus dihindari, yakni: nefsu menange dhewe, nefsu benere

dhewe, dan nefsu butuhe dhewe. Masih banyak lagi pertanyaan yang

38

Dengan merujuk pada karya-karya oleh Clifford Geertz, Hildred Geertz, Koentjaraningrat, Franz Magnis Suseno dan Kodiran — melalui tulisan ini— saya mencoba mengeksplorasi aspek-aspek budaya Jawa termasuk sikap-sikap yang “dipertanyakan” oleh Prof. Fudiat di atas. Sikap dalam bertingkah laku bagi orang Jawa tercermin pada doktrin kultural Ngono yo ngono, nanging mbok aja ngono (mungkin anda betul, tetapi jangan memakai cara seperti itu). Sikap itu harus diterapkan, misalnya, ketika seseorang atau sekelompok orang berhasil menangkap pencuri ayam dan lalu menghajarnya sampai babak belur atau bahkan sampai mati. Masyarakat Jawa tidak diajarkan menggunakan cara semacam itu; mereka harus berlaku tega larane

ora tega patine. Doktrin ini berimplikasi bahwa mereka boleh-boleh

saja memberi “pelajaran” kepada orang yang bersalah namun hendaknya tidak menyakitinya. Dalam konteks sekarang, doktrin itu banyak ditinggalkan orang. Pencuri sepeda motor atau barang-barang lain seringkali dihajar sampai babak belur atau bahkan dibakar hidup- hidup. Dengan demikian, mereka telah tega lara tega pati (tega menyakiti sekaligus tega membunuh).

Sikap lain yang harus dihindari adalah sikap atau perilaku atas dasar pamrih. Berperilaku atau bertindak atas dasar pamrih berarti hanya mengusahakan kepentingan diri sendiri dengan tidak menghiraukan kepentingan-kepentingan masyarakat. Secara sosial

pamrih selalu mengacau karena merupakan tindakan tanpa

perhatian terhadap keselarasan sosial. Pamrih terutama kelihatan dalam tiga nafsu, yaitu: nefsu menange dhewe, nefsu benere dhewe, dan

nefsu butuhe dhewe yang secara berturut-turut berarti selalu ingin

menjadi orang yang pertama, menanggap dirinya selalu betul, dan hanya memperhatikan kebutuhannya sendiri. Sikap yang menandai watak yang luhur adalah kebebasan dari pamrih atau sepi ing pamrih. Orang dikatakan sepi ing pamrih bila dia semakin tidak perlu gelisah dan prihatin terhadap dirinya sendiri, semakin bebas dari nafsu ingin memiliki. Hal ini sekaligus mengandaikan bahwa ia telah dia telah mengontrol nafsu-nafsunya sepenuhnya dan menjadi tenang. Dalam situasi sekarang, masihkah mereka (khususnya orang-orang Jawa)

sepi ing pamrih dengan menghindari ketiga nafsu di atas?

Doktrin lain adalah narimo ing pandum dan sumarah. Biasanya doktrin narimo ing pandum dilakukan dengan didahului sikap sabar.

Dengan sabar dimaksudkan bahwa seseorang mempunyai nafas panjang dalam kesadaran bahwa pada waktunya nasib baik pun tiba. Narimo berarti menerima segala apa yang mendatanginya tanpa protes dan pemberontakan. Narimo menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Istilah narimo biasanya digabung dengan ing

pandum atau lengkapnya narimo ing pandum. Istilah narimo ing pandum mengimplikasikan bahwa orang dalam keadaan kecewa dan

dalam keadaan sulit pun bereaksi secara rasional, tidak ambruk, dan juga tidak menentang secara percuma. Doktrin sumarah meng- isyaratkan sikap penuh penyerahan diri, dengan mendahulukan kewajiban-kewajiban ketimbang menuntut hak-hak. Sikap sumarah berarti pula bahwa seseorang yang setelah melakukan pekerjaan atau usaha untuk menggapai cita-cita atau harapan-harapannya kemudian berserah diri kepada Yang Mahakuasa dengan suatu harapan bahwa apa yang telah diperbuat itu sesuai dengan yang diinginkan. Paham fatalistik-kah ini?

Sebetulnya, saya tidak “kaget” bila Prof. Fudiat — yang antropolog beretnis Sunda— memiliki interest pada budaya Jawa dan Banjar, apalagi setelah saya tahu beliau menulis tesis M.A-nya dengan judul Banjarese Marriage and Divorce in South Kalimantan ketika kuliah di The University of Kansas (1977) dan membaca Pidato Pengukuan Guru Besar-nya yang berjudul Sistem Perkawinan dan

Istilah Kekerabatan pada Orang Jawa, Sunda, dan Banjar (1989).

Sesuai topik yang digarap dalam buku Pidato Pengukuhan Guru Besar itu, Prof. Fudiat hanya menyoal budaya Jawa dari perspektif perkawinan dan kekerabatan saja. Dalam pandangan saya, soal perkawinan yang dikemukakan Prof. Fudiat –dalam konteks sekarang—sangatlah ideal (menurut adat perkawinan yang telah digariskan dalam sistem budaya). Dari perspektif perubahan kemasyarakatan dan kebudayaan, budaya (termasuk budaya Jawa) dapat saja mengalami pegeseran dari semula yang ideal menjadi tidak ideal atau bahkan hilang sama sekali. Saya tidak tahu persis apakah ketika menyusun tulisan itu Prof. Fudiat berdasar pada hasil penelitian lapangan atau hanya berdasar karya-karya Kodiran, Koentjaraningrat, Clifforf Geertz, Hildred Geertz dan lain-lain. Karena beliau telah tiada, maka saya tak bisa melakukan konfirmasi tentang hal itu.

40

Berikut ini pandangan Prof. Fudiat tentang Perkawinan dan Kekerabatan Masyarakat Jawa yang saya rangkum dari Buku Pidato Pengukuhan Guru Besar-nya Sistem Perkawinan dan Istilah

Kekerabatan pada Orang Jawa, Sunda, dan Banjar (1989).

Saat yang terpenting dalam lingkaran hidup seseorang ialah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berke- luarga, yaitu perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahasa dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Suryadikara, 1989).

Orang Jawa umumnya beragama Islam. Larangan untuk mengawini wanita sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (Surah Annisa ayat 23) mereka patuhi. Selain mematuhi larangan perkawinan di atas, orang Jawa juga memperhatikan larangan perkawinan menurut adat Jawa sesuai dengan tempat dan golongan mereka. Orang Jawa melarang perkawinan antara saudara sepupu sekali yang ayah pihak pria dan ayah pihak wanita bersaudara dan antara pria-wanita yang masih ada hubungan kerabat tetapi pihak pria berasal dari generasi yang lebih muda atau pernah muda (Suryadikara, 1989).

Pada waktu dulu, keluarga Jawa sangat berlaku seksama dan hati-hati dalam memilih calon menantu, baik itu calon menanti pria maupun wanita. Masing-masing pihak keluarga terlebih dahulu menyelidiki bakal calon menantu masing-masing, berkenaan dengan keturunan, pendidikan, dan status sosial (bibit, bebet dan bobot). Menurut adat Jawa, memilih jodoh itu ditentukan oleh orang tua. Sekarang, telah banyak orang tua memberikan sedikit kebebasan bagi kaum muda untuk memilih jodoh. Meskipun demikian, mereka tidak melupakan persetujuan orang tua. Umumnya mereka percaya bahwa perkawinan tanpa restu orang tua akan membawa mala petaka (Suryadikara, 1989).

Namun, banyak pula orang tua tetap “bersikukuh” pada adat Jawa mereka. Bila pihak yang bersikukuh itu adalah pihak orang tua si wanita sementara antara pria dan wanita sudah merasa saling cocok, sejumlah kemungkinan yang akan terjadi: (1) bahwa si pria membawa lari si wanita dan menikahinya di tempat lain dengan wali hakim, (2) bahwa —karena takut kuwalat sama orang tua—si

wanita terpaksa mengikuti keinginan orang tua untuk dijodohkan dengan pria lain walau yang bersangkutan tidak suka, (3) bahwa si wanita terpaksa mengikuti keinginan orang tua namun tidak mau dijodohkan dengan pria lain; dia memilih tidak kawin kecuali dengan pria idamannya. Tidak jarang wanita jatuh pada kemungkinan ketiga. Sebagai akibatnya, tidak sedikit wanita menjadi perawan tua gara-gara bakal calon suami mereka ditolak oleh para orang tua mereka sebab tidak sesuai dengan “perhitungan ala adat Jawa”. Namun, bila penolakan perkawinan datang dari pihak or- ang tua pria tidak banyak mengakibatkan timbulnya masalah sebab dengan atau tanpa restu orang tua perkawinan tetap bisa dilangsungkan dengan mudah. Tidak jarang pula pria “nekat” menikahi wanita yang bukan menjadi pilihan orang tua mereka.

Secara adat Jawa, menurut keterangan Prof. Fudiat, tata cara perkawinan menyangkut hal-hal: (1) nakokake, yakni suatu aktivitas yang dilakukan oleh pihak orang tua pemuda dengan mengirimkan

dandan (utusan atau perantara yang biasanya telah dikenal oleh

kedua belah pihak) untuk menanyakan apakah si gadis itu sudah ada yang mengikat atau belum. Jika belum, apakah orang tua si gadis itu setuju jika anak gadisnya dijodohkan dengan pemuda yang diceritakan oleh utusan tadi. Jika hal itu disetujui, maka akan diadakan kunjungan atau perkenalan resmi dengan maksud untuk melihat dan mengamati gadis yang bersangkutan, (2) nontoni, yakni melihat wajah dan mengamati tingkah laku gadis yang akan diambil istri. Kegiatan nontoni biasanya tidak diketahui oleh si gadis. Setelah ada kecocokan pihak pemuda terhadap si gadis, atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, pada waktu yang ditentukan acara berikutnya, (3) yaitu, peningsetan, yakni pemberian sejumlah harta dari pihak pria kepada si gadis sebagai pengikat, biasanya berupa pakaian sepengadeg (pakaian mulai dari bagian bawah sampai bagian atas). Diteruskan dengan penentuan hari perkawinannya, (4) perkawinan, yakni kegiatan yang melibatkan banyak hal. Beberapa hari sebelum perkawinan dilangsungkan, calon pengantin pria mengirimkan hadiah perkawinan. Sehari sebelum pernikahan/ perkawinan kerabat calon pengantin wanita mengadakan ziarah kubur untuk minta restu. Malam pernikahan/perkawinan si wanita tidak tidur sampai tengah malam untuk minta restu kepada bidadari

42

(midadarini). Pada pagi harinya diadakan akad nikah. Akad nikah

ini dapat dilakukan di Kantor penghulu, di masjid atau di rumah calon pengantin wanita. Usai acara akad nikah, dilakukan temu

manten (mempertemukan kedua pengantin) dan dilanjutkan dengan

acara walimah, dan (5) ngunduh mantu, suatu upacara perkawinan kedua yang dilakukan di tempat pihak pengantin pria, yang biasanya, beberapa hari setelah pesta perkawinan di tempat pengantin wanita (Suryadikara, 1989).

Dalam situasi sekarang, bila kedua bakal calon pengantin belum saling kenal, maka semua tata cara perkawinan di atas tetap saja dilalui, kendati di sana sini terdapat penyederhanaan. Namun, karena umumnya muda-muda melangkah ke jenjang perkawinan sudah saling mengenal (tepatnya, berpacaran) maka sebagian tata cara tersebut tidak dilakukan. Tampaknya, tata cara yang ada adalah (1) lamaran, (2) peningsetan, (3) perkawinan (yang tidak diikuti macam-macam aktivitas sebagaimana disebutkan di atas, kecuali walimah), dan (4) ngunduh mantu (yang tidak selalu dilakukan).

***

Artikel ini ditulis untuk mengenang Almarhum Prof. Fudiat. Mengapa harus bahasa dan budaya Jawa? Pemilihan topik itu didasarkan pada kenyataan bahwa kala masih hidup Prof. Fudiat tidak hanya memiliki interest pada budaya beliau sendiri, budaya Sunda, tetapi juga budaya-budaya etnis lain seperti Jawa dan Banjar. Ketika beliau menyusun tesis M.A-nya, beliau bukan mengambil budaya Sunda tetapi budaya Banjar.

Budaya bisa saja tetap ajeg, bergeser, berubah atau bahkan musnah. Budaya Jawa yang, konon, dikatakan adiluhung di masa lalu, setidak-tidaknya menurut pandangan saya sebagai “pelaku” dan sekaligus pengamat budaya Jawa itu, telah mengalami pergeseran dari budaya yang ideal, sebagaimana telah diamati dan dideskripsi oleh sejumlah antropolog baik domestik (seperti Koentjaraningrat, Kodiran dan Fudiat Suryadikara) maupun antropolog luar negeri (seperti suami-istri Clifford Geertz dan Hildred Geertz, dan Franz Magnis Soeseno), ke budaya yang kurang/tidak ideal, akibat dari berbagai faktor. Bagaimana menurut sampeyan? 

I

    

KEDWIBAHASAAN

Kedwibahasaan

stilah kedwibahasaan, yang dalam bahasa Inggrisnya bilingual

ism, telah diperbincangkan oleh sejumlah ilmuwan bahasa.

Mereka mengajukan pengertian atau batasan tentang kedwi- bahasaan itu menurut pandangan mereka masing-masing. William F. Mackey merangkum sejumlah pengertian kedwibahasaan, sebagai berikut:

Pada waktu dulu, konsep kedwibahasaan dipandang sebagai

the equal mastery of two languages (penguasaan yang sama terhadap

dua bahasa); definisi ini masih diketemukan dalam kamus-kamus linguistik tertentu. Bloomfield memberikan konsep kedwibahasaan sebagai “the native-like control of two languages (penguasaan dua bahasa yang sama antara bahasa asli dan bahasa yang lain)”. Konsep ini diperluas oleh Haugen menjadi kemampuan menghasilkan “complete

meaningful utterances in the other language” (ungkapan-ungkapan yang

bermakna dan sempurna dalam bahasa lain). Akan tetapi, sekarang disarankan bahwa konsep kedwibahasaan itu diperluas lagi dengan memasukkan “passive knowledge” (pengetahuan pasif) bahasa tulis atau setiap “ contact with possible models in a second language and the

ability to use these in the environment of the native language” (kontak

dengan model model-model dalam bahasa kedua dan kemampuan menggunakan model-model itu dalam lingkungan bahasa asli). Perluasan konsep kedwibahasaan ini, menurut Mackey, karena kenyataan bahwa titik tolak seseorang penutur bahasa kedua menjadi dwibahasawan bersifat arbriter dan tidak mungkin ditentukan. Lebih

44

dari itu, kita harus memasukkan tidak hanya dua bahasa, akan tetapi sejumlah bahasa. Oleh karena itu, kita akan memandang kedwiba- hasaan sebagai “the alternate use of two or more languages by the same

individual” (penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh

individu yang sama) (Fishman, ed., 1972:555).

Kalau kita perhatikan pengertian kedwibahasaan di atas, kita akan melihat adanya perbedaan antara yang diberikan oleh Bloomfield dan oleh yang lainnya. Kedwibahasaan dibatasi oleh Bloomfield sebagai penggunaan dua bahasa yang sama baiknya antara

bahasa ibu (asli) dan bahasa kedua. Dengan demikian, pengertian

kedwibahasaan semacam ini menyaran pada kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penggunaan bahasa oleh penutur asli dari setiap bahasa itu.

Bila kita beranjak dari gagasan Bloomfield tentang kedwiba- hasaan, lebih jauh kita dapat ikuti penjelasannya dalam bukunya yang berjudul Language yang di dalamnya, antara lain, menyatakan sebagai berikut:

In the extreme case of foreign-language learning the speaker becomes so proficient as to be indistinguishable from the native speaker around him. This happens occassionally in adult shifs of language and frequently in the child- hood shift ….. In this cases where this perfect foreign-language learning is not accompanied by loss of the native-language, it results in bilingualism, native- like control of two languages (Bloomfield, 1935:56).

Dengan demikian, menurut Bloomfield, belajar bahasa asing yang sempurna tanpa diikuti oleh hilangnya bahasa asli akan terjadi

‘native-like control of two languages’. Namun demikian, penggunaan

dua bahasa atau lebih akan melibatkan latar kontal sosial budaya. Pada hakikatnya, kontak bahasa adalah salah satu aspek dari kontak kebudayaan, sedangkan pengacauan kaidah, alih kode maupun campur kode (yang akan dibahas kemudian) merupakan segi dari difusi dan akulturasi budaya. Lebih lanjut, dalam kaitan ini, Weinreich menjelaskan sebagai berikut.

In a great majority of contact between groups speaking different mother tongues, the groups constitute, at the same time, distinct ethnic or cultural communities. Such contact entails biculturalism (participation in two cultures) as well as bilingualism, diffusion of cultural traits as well as of linguistic elements (Weinreich, 1968:5 dan 89).

Beranjak dari gagasan Weinriech di atas, dapat dikatakan bahwa bagaimanapun sempurnanya penguasaan bahasa asing (lain) oleh seseorang, bila dua bahasa atau lebih berkontak, yaki: bahasa- bahasa itu digunakan oleh orang yang sama secara bergantian, maka unsur-unsur bahasa asing (lain) dapat saja muncul dalam tuturannya.

Kemunculan unsur-unsur dari bahasa asing (lain) dalam tuturan pemakai bahasa yang memiliki pengetahuan atau penguasaan lebih dari satu bahasa itu, lebih lanjut dijelaskan oleh Istiati Soetomo (1985:2) sebagai berikut.

Jika seorang dwibahasawan akan menyampaikan suatu pesan lewat bahasa kepada pendengarnya, ada dua faktor yang menghambat perjalanan pesan itu sebelum ia dapat diujarkan oleh penuturnya. Pertama adalah faktor dari kaidah beberapa bahasa yang dikenalnya, tentunya berbeda satu dari yang lainnya. Mampukah dia membedakan dan memilah-milahkan setiap kaidah itu, sehingga ketika dia menggunakan salah satu bahasa, kaidah bahasa lain tidak mengganggu? Jika dia tidak mampu, maka sementara dia menggunakan salah satu bahasa yang dikenalnya, bahasa lain dapat saja muncul dalam tuturannya. Terjadilah apa yang disebut interferensi, alih kode/campur kode. Sebaliknya, bila dia dapat memisah-misahkan kaidah bahasa-bahasa yang dikenalnya, maka terjadilah tunggal-bahasa dalam tuturan si penutur tersebut. Kedua adalah faktor yang berasal dari pertimbangan komunikasi. Bahasa digunakan manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka. Pertimbangan komunikasi ini menentukan apakah dia akan bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi, atau alih-kode/campur kode.

46

Tindak berbahasa bagi orang yang memiliki kemampuan atau penguasaan terhadap dua bahasa (atau lebih) dapat memenuhi tuntutan berkenaan dengan the native-like control of two languages, akan terjadi bila kita memandang tindak berbahasa itu dari segi penggunaan bahasa tanpa mempertimbangkan faktor-faktor non- kebahasaan, seperti: peserta tutur (partisipan), topik pembicaraan,

setting, suasana, maksud dan faktor-faktor sosial-budaya. Namun,

dalam tindak berbahasa seseorang dalam upayanya berinteraksi sosial dengan sesamanya, faktor-faktor non-kebahasaan seringkali mempengaruhi penggunaan bahasa-bahasa yang dikuasainya. Faktor-faktor non-kebahasaan dapat mengakibatkan apakah seseorang itu akan bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi, atau alih-kode/campur kode, sebagaimana disarankan oleh Istiati Soetomo di atas.

Kemudian pengertian ‘the native-like cotrol of two languages’ dipandang sebagai satu jenis kedwibahasaan. Pengertian lain tentang kedwibahasaan diberikan oleh Weinreich sebagai ‘the prac-

tice of alternately using two languages’. Dalam kaitan ini, dia

memandang kedwibahasaan dalam arti yang luas, tanpa kualifikasi mengenai tingkat perbedaan antara dua bahasa, yaitu tanpa memandang apakah kedua sistem itu bahasa dengan bahasa, dialek- dialek dari bahasa yang sama, atau varitas-varitas dari dialek yang sama. Berkenaan dengan pengertian kedwibahasaan ini, Haugen menyarankan bahwa tidak perlu adanya syarat yang sama dalam pengetahuan atau penguasaan terhadap kedua bahasa itu. Untuk itu, dia menawarkan dua jenis kedwibahasaan, yakni: compound

bilingualism dan coordinate bilingualism. Jenis kedwibahasaan yang

pertama menyaran pada penguasaan dua bahasa dalam konteks yang sama, sedangkan jenis kedwibahasaan yang kedua menyaran pada penguasaan dua bahasa dalam konteks yang berbeda.

Konsep kedwibahasaan telah menjadi semakin luas. Ia tidak hanya menyaran pada penguasaan atau penggunaan dua bahasa tetapi juga pada dua bahasa atau lebih. Dengan demikian, konsep kedwibahasaan berimplikasi pada keanekabahasaan. Dalam hal ini, Mackey, seperti dinyatakan di atas, membatasi kedwibahasaan sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih oleh individu yang sama secara

Lebih lanjut, Mackey memandang konsep kedwibahasaan sebagai konsep yang nisbi atau relatif. Kedwibahasaan itu melibatkan atau mengandung masalah tingkat, fungsi, pertukaran, dan interferensi.

Tingkatan kedwibahasaan menyaran pada masalah: seberapa baik

seseorang mengetahui atau menguasai bahasa-bahasa yang digunakan, atau dengan perkataan: Seberapa jauh dia menjadi dwibahasawan? Fungsi kedwibahasaan menyaran pada masalah: untuk apa dia menggunakan bahasa-bahasa itu, peran apa yang dimainkan oleh bahasa-bahasa itu dalam pola perilakunya secara keseluruhan? Pertukaran menyaran pada masalah: seberapa luas dia mempertukarkan bahasa-bahasa yang dikuasainya, bagaimana dia melakukan pergantian dari dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dan dalam keadaan bagaimana dia berganti bahasa itu? Interferensi menyaran pada masalah: bagaimana dia menjaga bahasa-bahasa itu terpisah ketika dia melakukan speech act, seberapa luas dia mencampurbaurkan semua bahasa itu, dan bagaimana salah satu bahasa dari bahasa-bahasa yang dikuasainya mempengaruhi penggunaan bahasa yang lainnya? (Fishman, ed., 1972:555-556).

Kedwibahasaan bukan fenomena atau gejala bahasa; melainkan

sifat atau karakteristik penggunaannya. Ia bukan ciri kode; melainkan ciri pesan. Ia bukan bagian dari langue (totalitas dari suatu bahasa yang merupakan kombinasi dari grammar, kosa kata, dan system pengucapan);

melainkan bagian dari parole (penggunaan bahasa secara nyata oleh

penuturnya). Kalau bahasa merupakan milik kelompok, maka

kedwibahasaan merupakan milik perseorangan. Penggunaan dua oleh seseorang mengharuskan keberadaan dua masyarakat bahasa

(speech communities) yang berbeda; akan tetapi tidak mengharuskan

masyarakat dwibahasawan (Fishman, ed., 1972:554).

Setelah kita mendapatkan gambaran tentang kedwibahasaan, kita kemukakan istilah lain yang sangat berkaitan dengan masalah kedwibahasaan. Istilah itu adalah kontak bahasa (language contact). Sebagaimana dikatakan oleh Weinriech, bahwa dua bahasa atau lebih dikatakan dalam kontak apabila digunakan secara bergantian oleh orang yang sama. Individu pemakai bahasa-bahasa itu menjadi tempat atau sumber terjadinya kontak tersebut (Weinriech, l953:1).

Sehubungan dengan kontak bahasa ini, Mackey menegaskan perbedaan antara kedwibahasaan. Kedwibahasaan, seperti

48

dinyatakan di atas, menyaran pada penggunaan dua bahasa atau lebih oleh individu yang sama; sedangkan kontak bahasa menyaran