• Tidak ada hasil yang ditemukan

   

ASPEK MORALITAS KARYA SASTRA

ada hakikatnya, nilai-nilai moral atau nilai baik-buruk, positif- negatif, pantas-tak pantas dan sejenisnya adalah bersumber dari ajaran agama. Prinsip ajaran agama adalah untuk mengatur kehidupan manusia. Jenis ajaran moral dapat mencakup masalah, yang boleh dikatakan tak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Secara garis besar persoalan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam persoalan: (a) persoalan manusia dengan dirinya sendiri, (b) hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk dalam hubungannya dengan lingkungan alam, dan (c) hubungan manusia dengan Tuhannya (Nurgiyantoro, l998:323). (Pembedaan persoalan kehidupan manusia itu hanya untuk memudahkan pemahaman. Sebab, persoalan hidup/kehidupan manusia tak bisa lepas dari persoalan hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan).

Secara umum moral mengacu pada ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (Kamus Umum Bahasa In- donesia, l982). Istilah “bermoral” bagi seseorang yang kita rujuk berarti bahwa yang bersangkutan memiliki pertimbangan baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, positif dan negatif. Namun demikian, pengertian baik dan buruk, dan sejenisnya kadang-kadang bersifat relatif. Artinya, suatu perbuatan, sikap, atau hal yang dipandang baik oleh orang atau sekelompok orang atau bangsa yang satu, belum

tentu baik bagi pihak yang lain. Biasanya, pandangan baik dan buruk itu dipengaruhi oleh pandangan hidup kelompok etnis, suku atau bangsanya.

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai- nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Sebuah karya sastra ditulis oleh pengarang, antara lain, untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Karya sastra mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangan tentang moral. Melalui cerita, sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan morean yang disampaikan atau diamanatkan.

Jika ‘kehidupan’ seperti tercermin dalam karya sastra dipandang sebagai ‘model’ kehidupan manusia, maka ‘model’ kehidupan itu dapat diadopsi dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari dan yang buruk atau tidak terpuji tentu harus ditinggalkan oleh pembaca atau penikmat karya sastra. Jika nilai-nilai moral seperti tercermin dalam karya sastra dipahami, dihayati, dan lalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tidak tertutup kemungkinan kita bisa mengembangkan sikap mental yang positif, kuat, tangguh dan sejenisnya sehingga kita mampu bersikap, berpikir, dan berperilaku positif yang tidak hanya menguntungkan diri kita sendiri tetapi juga menguntungkan pihak-pihak lainnya.

Kalau novel, bisa juga sinetron, misalnya, dianggap sebagai “model” atau “pola” kehidupan manusia, betapapun khayalnya, kita bisa melihat model-model atau pola-pola kehidupan yang baik- buruk, santun-kasar, bermoral-amoral, menyegarkan-menyebalkan atau sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan, hubungan antar anak-anak, hubungan anak dengan orang tua atau sebaliknya, hubungan guru dengan murid atau sebaliknya, hubungan dosen terhadap mahasiswa atau sebaliknya, hubungan pemimpin dengan anak buahnya atau sebaliknya, dan sebagainya). Model-model atau pola-pola kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan dalam kita hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; sebaliknya, hal-hal yang tidak baik tentu harus kita

126

model/pola kehidupan yang baik dikonfrontasikan dengan yang jelek, jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak menghadapi tantangan, masalah, dan sejenisnya dari tokoh yang jahat; pada akhirnya ‘yang baik’ menang, berjaya, dan berbahagia, sedangkan ‘yang jahat’ kalah, tersingkir dan lalu menderita. Aspek pragmatis yang dapat dipetik dari karya seni tersebut adalah antara lain: (a) perbuatan yang baik lambat laun akan membuahkan hasil yang baik pula, (b) perbuatan yang tidak baik (sewenang-wenang, korupsi, manipulasi, hanya mementingkan kepentingan pribadi padahal yang bersangkutan seharusnya memikirkan kepentingan rakyat banyak, serakah, memakan yang bukan haknya, dan sejenisnya) akan berbuah ketidakbaikan, ketidaknyamanan, kegelisahan, stress, penyakit (menderita lumpuh), dan hal-hal yang tidak nyaman lainnya; (c) perbuatan yang baik akan mengalahkan perbuatan yang jahat. Naudzubillahi min dzalik.

Sehabis baca novel, terlepas apakah ceritanya yang sangat fiktif, karakterisasinya terlalu dibuat-buat dan sangat jauh dunia nyata, saya senantiasa membutiri pesan-pesan moral yang dicobaapungkan oleh novel itu. Ambil contoh, novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari. Penulis novel ini “menggarap” seorang pemimpin (kepala desa) yang sewenang-wenang, otoriter, koruptor dan asal bapak camat senang, serta atribut-atribut buruk lainnya. Melihat novel Di Kaki Bukit Cibalak itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1994, maka bisa kita katakan bahwa situasi politik pada waktu itu atau bahkan sebelumnya masih kental dengan nuansa politik orde baru di mana seorang pemimpin, katakan kepala desa/ lurah, memiliki dominasi yang sangat kuat terhadap rakyatnya.

Kehadiran novel itu, menurut teori novel sosial/ novel protes, dimaksudkan untuk mengkritisi pemegang dominasi kekuasaan pada waktu itu. Jika dilihat dengan pendekatan mikro-makro terhadap karya sastra, maka seorang kepala desa seperti tercermin dalam novel itu sebenarnya merupakan representasi dari banyak kepala desa atau pemimpin politis lainnya dan seorang Pambudi seperti tercermin juga dalam novel itu merupakan representasi dari sekian orang yang berani mengkritisi pemimpin politis. Sang lurah yang jahat itu akhirnya jatuh juga. Kejatuhan lurah ini digambarkan dengan indahnya oleh pengarang mulai dari kejayaannya hingga

menjadi “manusia” yang hina dina bagai sampah yang tiada guna, sebagai akibat yang bersangkutan suka menghalangi atau merampas hak-hak orang lain.

Novel Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe mengisahkan perbudakan di Amerika Serikat. Ketika novel ini ditulis, di negara itu telah terjadi silang pendapat tentang adanya perbudakan. Kelompok yang pro dengan perbudakan adalah terdiri dari orang-orang kulit putih yang umumnya berada di Amerika belahan selatan, yang memiliki banyak budak atau yang diuntungkan dengan adanya perbudakan itu; sedangkan kelompok yang kontra adalah mereka yang berada di Amerika belahan utara (didukung oleh kelompok kulit hitam). Kelompok yang pertama tetap ingin mempertahankan perbudakan sedangkan kelompok yang kedua ingin menghapuskan dengan dasar pemikiran masing- masing. Lalu, muncullah novel Uncle Tom’s Cabin yang mengisahkan betapa kejamnya para penjaga budak, para tuan budak atau pemilik budak dan betapa menderitanya menderitanya para budak. Novel ini dikatakan sebagai novel yang memiliki daya provokatif yang luar biasa, karena tak lama kemudian terjadi perang saudara (civil war) di Amerika.

Aspek moral yang dapat dipetik adalah agar setiap manusia yang juga sebagaimana umat Tuhan di’manusia’kan sebagaimana manusia-manusia lain. Kelompok manusia yang satu hendaknya tidak ‘memperbudak’ manusia atau kelompok manusia yang lain. Ini juga mengisyaratkan akan perlunya cinta sesama umat.

Dalam kaitan itu, pembaca dihadapkan pada sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang baik dan kurang terpuji. Terhadap sikap dan perilaku tak terpuji itu bukan berarti bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan berperilaku demikian. Sikap dan perilaku tak terpuji itu hanyalah sebuah model, yakni model yang harus dihindari atau ditolak oleh pembaca.