• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kalau kita membaca novel (pengarangnya, Y.B. Mangunwijaya menyebutnya roman) Burung-Burung Manyar, kita akan tahu betapa

kompleksnya masalah yang disampaikan oleh pengarangnya. Karya ini melibatkan berbagai tokoh dengan karakter yang berbeda-beda. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam karya itu berasal dari sejumlah kelas sosial yang berbeda.Di dalamnya, ada tokoh yang “konon” keturunan kaum bangsawan, ada tokoh yang berpendidikan, ada tokoh pembantu rumah tangga yang tak berpendidikan, ada tokoh yang “mewakili” masyarakat kelas bawah dan sebagainya. Karena begitu kompleksnya masalah yang ingin disampaikan atau diungkap- kan oleh pengarang lewat karyanya itu, maka digunakanlah lebih dari satu bahasa atau –sebagaimana disebutkan di atas, multilingual-

isme dalam karya sastra itu.Tokoh Setadewa, yang banyak bergaul

dengan orang-orang Belanda, misalnya, harus mampu berbahasa Inggris dan berbahasa Belanda; sedangkan Larasati harus mampu menggunakan istilah khusus (register) biologi, agar masalah-masalah yang hendak disampaikan tampak wajar. Dengan demikian rumitnya masalah dalam novel itu menuntut multingualisme.

Di samping itu, pengarang novel itu menyadari bahwa “manu- sia” yang diamatinya dan dijadikan obyek karangannya tidak berasal dari komunitas tutur yang sama, sehingga untuk membedakan karakter tokoh yang satu dengan yang lainnya digunakanlah ciri pembeda, yaitu: bahasa yang digunakan.

Penggunaan bahasa Belanda oleh tokoh Setadewa pada bagian pertama cerita dalam Burung-Burung Manyar itu tidak digunakan lagi pada bagian ketiga novel itu. Pada bagian ketiga, bahasa asing yang digunakan adalah bahasa Inggris. itu tidak digunakan lagi pada bagian ketiga novel itu. Pada bagian ketiga, bahasa asing yang digunakan adalah bahasa Inggris. Perbedaan penggunaan bahasa asing pada bagian pertama dan bagian ketiga ini justru merupakan penggunaan bahasa yang diperhitungkan oleh pengarangnya.

Pada bagian pertama, peristiwa cerita berkisar tahun 1934 sampai dengan tahun 1944, bagian kedua peristiwa cerita berikisar antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1950, dan bagian ketiga peristiwa cerita berkisar antara tahun 1968 sampai dengan tahun 1978. Secara historis, jelas setting bagian pertama cerita ini adalah masa penjajahan Belanda di mana peristiwa perang mewarnai masa itu, sehingga cerita atau novel itu banyak diilhami oleh peristiwa perang antara Indonesia dan Belanda. Bahasa Belanda pada masa

72

itu dipelajari dan digunakan sebagai bahasa asing di Indonesia. Dengan demikian, penggunaan bahasa Belanda dalam novel itu adalah wajar dan berkesesuaian dengan setting historis. Penggunaan bahasa Belanda oleh tokoh Setadewa yang konon ibunya berasal dari negeri Belanda, misalnya, di samping berkesesuaian dengan

setting historis juga berkesesuaian dengan speech act antara sang anak

dan ibunya. Dengan demikian, penggunaan bahasa Belanda dalam novel itu, khususnya pada bagian pertama, dapat dipertanggung- jawabkan. Sebab, penggunaan bahasa itu dapat ditelusuri maksud penggunaannya.

Setelah perang selesai, Setadewa pergi ke negeri Belanda, kemudian menempuh studi komputer di Amerika hingga memperoleh gelar doktor. Dengan demikian lingkungan dan situasi di mana Setadewa belajar menuntut yang besangkutaan untuk menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Belanda yang dulu dia kuasai sedikit demi sedikit tertutup oleh bahasa Inggris. Dengan demikian, ketika berbicara tentang ilmu dan pekerjaan dia sering melakukan

alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. (Alih kode atau code-switching merupakan salah satu akibat dari penguasaan

seseorang terhadap lebih dari satu bahasa). Jadi, penggunaan bahasa Inggris pada bagian ketiga dari novel itu pun dapat dipertanggung- jawabkan.

Diskusi tentang multilingualisme dalam novel Burung-Burung

Manyar, pertama menyangkut macam atau jenis bahasa yang

digunakan dalam novel tersebut. Bahasa-bahasa yang digunakan dalam novel tersebut adalah (1) (yang dominan) bahasa Indonesia, (2) bahasa Jawa, (3) bahasa Belanda, dan (4) bahasa Inggris. Penggunaan bahasa Jawa, Belanda dan Inggris hanya terbatas pada tingkat (1) kata (misalnya: Gusti, Verdomme dan sorry), (2) bentuk sapaan (misalnya: Den Rara, loitenent, dan sir), (3) frasa (misalnya:

mampir ngombe, loitenent eeste, dan off the record), dan (4) klausa atau

kalimat (misalnya: Nyuwun pangapunten, Daar bij de ouwe molen dan

Okay, never mind), mengingat novel itu merupakan karya sastra In-

donesia, yang tentu saja memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai mediumnya.

Penggunaan bahasa-bahasa selain bahasa Indonesia dalam novel Burung-Burung Manyar dilakukan oleh pengarang dengan

macam cara. Cara yang pertama adalah bahwa bahasa-bahasa itu digunakan secara langsung dalam diskripsi peristiwa, tokoh, setting dan sebagainya atau dalam percakapan antar tokoh dalam novel itu. Cara menggunakan bahasa semacam ini dinamakan cara eksplisit, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“…..walaupun konon salah seorang nenek canggah atau gantung siwur berkedudukan selir Keraton Mangkunegaran” (BBM, 3).

“ Beginilah dear Seta” (BBM, 172).

“Bagaimana old fellow, elegan ya istriku berjalan” (BBM, 172).

Cara yang kedua adalah bahwa bahasa-bahasa itu digunakan secara tidak langsung. Cara menggunakan bahasa semacam ini disebut cara implisit. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut:

“Hanya secarik surat dari Mami yang kutemukan. Dalam bahasa Belanda

(BBM, 33).

“Dalam bahasa Belanda ia tenang berkata padaku” (BBM, 61).

“Anak-anak itu melongo mendengarkan percakapan dalam bahasa asing itu”(BBM, 152).

“Ia bertanya dalam bahasa Inggris berlogat Perancis” (BBM, 205).

Multilingualisme, dalam pandangan sosiolinguistik, melibatkan

persoalan siapa yang bertutur (who speaks), bahasa apa yang digunakan (what language), kepada siapa seseorang itu bertutur (to

whom), kapan dan di mana tutur itu disampaikan (when and where)

(Fishman, 1972:244).

Menurut Pride dan Holmes (1972:35) pemilihan dan peralihan bahasa dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor non-kebahasaan, seperti partisipan dalam suatu speech act, topik pembicaraan, setting atau tempat pembicaraan itu terjadi, jalur, suasana, dan maksud.

Faktor-faktor non-kebahasaan yang mempengaruhi masuknya unsur-unsur bahasa daerah atau bahasa asing dalam suatu speech

act sebagaimana disarankan oleh Istiati Soetomo (1985) adalah: (1)

faktor-faktor dalam sistem budaya (di mana bahasa dipandang sebagai (a) tata lambang konstitusi, (b) tata lambang kognisi, (c) tata lambang evaluasi, dan (d) tata lambang ekspresi, (2) faktor-faktor dalam sistem sosial (di mana penggunaan bahasa harus berkesesuaian dengan status dan peranan sosial manusia pemakai bahasa itu, dan (3) faktor-faktor dalam psikologi penutur (di mana

74

penggunaan bahasa asing mungkin dilatarbelakangi oleh persepsi, motivasi, identitas, pengalaman dan hal-hal yang pribadi sifatnya. (Soetomo, 1985:2-3).

Multilingualisme dalam novel Burung-Burung Manyar dapat

dijelaskan melalui faktor-faktor non-kebahasaan sebagaimana yang disarankan oleh Fishman, Pride & Holmes, dan Istiati Soetomo di atas. Dalam kaitan ini, penulis hanya menjelaskan gejala

multilingualisme dari (a) faktor-faktor peserta tutur (penutur dan

lawan tuturnya), topik pembicaraan, dan waktu/tempat tutur itu disampaikan, dan (b) faktor-faktor dalam sistem budaya, sosial, dan kepribadian penutur.

Multilingualisme

ditinjau dari pesera tutur, topik, dan waktu/tempat

Dari sudut pandang peserta dalam sejumlah speech act, Setadewa digambarkan sebagai tokoh yang menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris. Penggunaan bahasa Jawa untuk tokoh ini mengimplikasikan bahwa setidak-tidaknya dia ‘memahami’ bahasa Jawa. Dengan alat bantu unsur cerita lain, tokoh ini teridentifikasi sebagai tokoh keturunan Jawa-Belanda; ayahnya keturunan Jawa sedangkan ibunya berdarah Belanda. Dengan demikian, penggunaan bahasa Jawa oleh tokoh ini adalah wajar dan diperhitungkan oleh pengarang novel itu. Atas dasar sudut pandang peserta tutur (penutur) dengan topik pembicaraan tertentu dan dialamatkan kepada lawar tutur tertentu, dia bisa saja menyelipkan unsur-unsur bahasa Jawa, bahasa Belanda, atau bahkan bahasa Inggris.

Tokoh Setadewa ini menggunakan atau menyelipkan unsur- unsur bahasa Jawa atau bahasa Belanda, bila topik yang dibicarakan menghendaki penggunaan bahasa-bahasa itu. Misalnya, ketika dia membicarakan seputar masa kecilnya, dia menyelipkan kata-kata

loitenant, Vadeland, Inlandar (bahasa Belanda), dan kata-kata gantung siwur, canggah, selir, sinyo londo (bahasa Jawa). Faktor lawan tutur

juga turut menentukan tokoh ini dalam memilih bahasa-bahasa yang akan digunakan. Misalnya, dia menggunakan bahasa Belanda bila dia berkomunikasi dengan ibunya (BBM, 29); dia menyelipkan kata- kata safe, detail, up and down, Excellency, multinational (bahasa Inggris), bila berkomunikasi dengan Larasati, Janakatamsi, dan John Briendley.

Penggunaan bahasa-bahasa selain bahasa Indonesia itu dapat dijelaskan bahwa Setadewa menggunakan bahasa Jawa karena dia memiliki kemampuan berbahasa Jawa dan keturunan suku Jawa (dari pihak ayah). Kemampuan bahasa Jawanya diperoleh dari lingkungan keluarga dari garis ayahnya. Dia menggunakan bahasa Belanda karena dia memiliki kemampuan berbahasa Belanda dan keturunan Belanda (dari pihak ibu). Bagi dia, bahasa Belanda diduga sebagai bahasa pertamanya. Hal ini didasarkan pada teori pemerolehan bahasa pertama, bahwa bahasa itu diperoleh oleh seseorang (anak) melalui lingkungan sosial (terutama lingkungan keluarga, khususnya sang ibu). Ibu lah orang yang paling berperan dalam proses belajar bahasa pertama bagi anak(-anak)-nya. Bahasa (Belanda) yang diajarkan oleh orang tuanya itu tertanam kuat (well-

established) dalam ingatannya sebab bahasa itu lah yang dipakai

untuk komunikasi di lingkungan keluarganya. Oleh karena bahasa pertama ini tertanam kuat, maka ketika berkomunikasi dengan siapapun Setadewa kecil berusaha untuk menggunakan bahasa pertamanya itu, yakni bahasa Belanda.

Setelah Setadewa menginjak usia yang memungkinkan untuk bergaul dengan orang-orang di luar keluarganya yang tidak berbahasa sebagaimana yang dia kuasai, maka kondisi ini menuntut dia untuk belajar bahasa lain, yakni bahasa Jawa. Berdasarkan cerita dalam novel itu, Setadewa dibawa oleh ayahnya ke Magelang dan Keraton. Di lingkungan sosial itu bahasa Jawa digunakan, sehingga dia harus belajar dan lalu menggunakan bahasa itu dalam upayanya untuk berkomunikasi dengan orang-orang di Keraton dan Magelang.

Dorongan lain yang menyebabkan Setadewa mempelajari bahasa lain adalah karena keinginannya untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang hanya dapat dipelajari lewat bahasa lain itu sendiri. Atas dasar cerita dalam novel itu, bahwa setelah Belanda kalah perang, Setadewa pergi ke Belanda. Kemudian dia melanjutkan studi ke Amerika. Dia belajar komputer di Amerika. Karena lingkungan Amerika menuntut dia untuk memiliki kemampuan berbahasa Inggris, maka dia harus belajar dan lalu menggunakan bahasa itu untuk keperluan studi dan komunikasi di sana. Karena bahasa Inggris telah menjadi bagian dari hidupnya, maka ketika dia berbicara tentang pekerjaan atau ilmu pengetahuan dengan

76

lawan tutur tertentu dia menggunakan bahas Inggris. Ketika dia kembali ke Indonesia, dia menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasinya, namun unsur-unsur bahasa Inggris masih mewarnai tuturannya.

Multilingualisme

ditinjau dari faktor budaya, sosial, dan kepribadian

Dalam tinjauan dari sudut pandang faktor-faktor non- kebahasaan ini, multilingualisme dipandang sebagai bagian dari tingkah laku manusia, yakni: tingkah laku berbahasa dengan menggunakan lebih dari satu bahasa. Tingkah laku berbahasa ini dapat ditelusur (1) melalui sistem budaya, yang antara lain, menggariskan bahwa bahasa itu –setidak-tidaknya- mencakup empat tata lambang: konstitusi, kognisi, evaluasi, dan ekspresi yang secara berturutan melambangkan kepercayaan (manusia terhadap Tuhan dan/atau kekuatan supernatural di luar dirinya), ilmu

pengetahuan, penilaian (baik-buruk, pantas-tak pantas, dan

sebagainya), dan pengungkapan perasaan manusia, (2) melalui sistem sosial (khususnya yang berkaitan dengan status dan peranan sosial), dan (3) melalui sistem kepribadian (khususnya yang berkaitan dengan sikap, identitas, persepsi, dan motivasi)..

Dalam sistem budaya Jawa dikenal, antara lain, (1) adanya

usaha mistik atau kebatinan sebagai usaha pendalaman batin untuk

memperoleh ilmu mistik demi dua tujuan: (1) untuk mencapai pengertian dan kesadaran tentang sangkan paran atau asal-usul manusia, dan (2) untuk memiliki kemampuan menjalankan praktek- praktek jahat yang didorong oleh nafsu-nafsu rendah demi benda- benda dunia dan kekuatan iblis (setan). Usaha pendalaman batin yang pertama bersifat positif, karena kemampuan batin yang diperoleh tidak dimanfaatkan untuk tujuan jahat. Sedangkan usaha batin yang kedua disebut klenik, bersifat negatif, karena kemampuan batin yang diperoleh diarahkan kepada tindakan-tindakan yang jahat dan merugikan orang lain (Suseno, 184:182), (2) macam-macam selamatan (slametan), yang antara lain, nyadran (selamatan yang dilakukan di pekuburan), dan ramalan nasib dalam primbon-primbon (Koentjaraningrat, 1980).

Dalam novel Burung-Burung Manyar, Y.B. Mangunwijaya menyelipkan sejumlah istilah bahasa Jawa yang melambangkan

kepercaryaan “manusia” terhadap kekuatan supernatural, roh halus, gaib di luar kekuatan manusia. Penyebutan istilah-istilah kejawen, seperti primbon, ilmu klenik, (BBM, 7), dan nyadran (BBM, 193) dimaksudkan untuk memberikan penekanan pada aspek budaya Jawa, yang berkaitan dengan tata lambang kepercayaan terhadap kekuatan (gaib) di luar kekuatan manusia atau terhadap roh-roh halus.

Penggunaan istilah-istilah dari bahasa Jawa, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris juga dimaksudkan untuk memberikan penekanan pada aspek budaya Jawa yang berkaitan dengan tata lambang pengetahuan manusia tentang alam sekelilingnya, karena jika diungkapkan dalam bahasa Indonesia akan kurang tepat atau memang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan istilah takir, biting, onde-onde ceplus, wijen (BBM, 11) (bahasa Jawa), fanfare, Khemeente (BBM, 5) (bahasa Belanda), dan Cobra-Fire of

the moluccan Inlands (BBM, 173) (bahasa Inggris)

Lambang-lambang kebaikan dan keburukan diungkapkan lewat istilah atau kata bahasa Jawa (istilah pewayangan) seperti pendowo (lambang kebaikan), dan togog (lambang keburukan) (BBM, 12). Lambang ekspresif untuk mengungkapkan perasaan cinta antara pria dan wanita diungkapkan lewat istilah kama dan ratih, trisno

margo kulino, laras ing ati (BBM, 42) (bahasa Jawa); perasaan marah

lewat istilah verrekt, verdomme (BBM, 31 dan 49) (bahasa Belanda),

asu (BBM, 131) (bahasa Jawa).

Penggunaan lebih dari satu bahasa atau multilingualisme dalam novel Burung-Burung Manyar dapat ditelusur melalui sistem sosial, yang dalam hal ini, berkaitan dengan status dan peranan sosial penuturnya. Penggunaan bahasa tertentu dimaksudkan untuk membedakan kelas-kelas sosial tokoh-tokoh yang ditampilkan. Tokoh Mbok Naya dan Mbok Ranu ditempatkan dalam kelas atau golongan

wong cilik, sedangkan tokoh Larasati diposisikan sebagai seorang priyayi.

Tokoh yang pertama memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan status dan peranan sebagai pembantu rumah tangga (abdi). Dalam perilaku berbahasa, sebagai abdi, mereka memperlihatkan sikap hormatnya terhadap tuannya, dengan menggunakan ungkapan-ungkapan dari bahasa Jawa kromo (BBM, 10).

Penggunaan lebih dari satu bahasa atau multilingualisme dalam novel Burung-Burung Manyar dapat ditelusur melalui sistem

78

kepribadian penutur. Penggunaan ungkapan ‘ngono ya ngono ning

mbok ja ngono’(BBM, 110) harus menjadi sikap pemilik ungkapan

dari bahasa itu yang terpancar dalam perilakunya yang rame ing

gawe, sepi ing pamrih. Dalam sistem kepribadian Jawa, bekerja atau

bertindak karena pamrih berarti hanya mengusahakan kepentingan diri sendiri saja dengan tidak menghiraukan kepentingan-kepetingan masyarakat. Secara sosial pamrih itu selalu mengacu karena merupakan tindakan tanpa perhatian terhadap keselarasan sosial. Orang ber-pamrih selalu ingin menange dhewe, benere dhewe, dan

perlune dhewe (ingin menang sendiri, benar sendiri, dan memper-

hatikan kepentingan sendiri).

Penggunaan istilah dari bahasa Jawa dan Belanda oleh tokoh Setadewa dapat ditanggapi sebagai memberikan penekanan pada

identitas-nya sebagai tokoh yang berdarah Jawa dan Belanda (BB,

3). Faktor lain yang menyebabkan digunakannya unsur-unsur dari bahasa asing (selain bahasa Indonesia) dalam novel Burung-Burung

Manyar ini adalah faktor pengalaman seseorang (tokoh). Sebagai

ilustrasi, tokoh Setadewa adalah tokoh yang kaya akan pengalaman. Karena pengalamannya itu, dia banyak menggunakan unsur-unsur asing dalam tuturannya sesuai dengan status dan peranannya, di mana dia bertutur, kepada siapa dia bertutur dan kapan tutur itu dilakukan.

***

Multilingualism dalam karya sastra, khususnya novel Burung- Burung Manyar, dilatarbelakangi oleh beberapa hal: (1) kompleksnya

masalah yang ingin disampaikan, yang muliputi masalah lokal, nasional, dan internasional, (2) pluralistiknya tokoh-tokoh yang ditampilkan, yang meliputi tokoh kampung yang tak berpendidikan hingga tokoh kelas nasional bahkan internasional, dan (3) adanya usaha yang gagal untuk mencari padanan istilah-istilah atau kata- kata dari bahasa selain bahasa Indonesia sehingga pengarang menggunakan istilah atau kata dari bahasa lain; dari segi penceri- taan penggunaan istilah atau kata dari bahasa lain itu adalah untuk memperjelas ide atau konsep sosial-budaya secara utuh dan tepat

79             

Sastra

Maungkai Budaya

S

MEMAHAMI KONDISI SOSIAL BUDAYA