• Tidak ada hasil yang ditemukan

   

TELETUBIES:

POTRET KEBERSAMAAN DALAM

KEBERAGAMAN

*

alam suatu negara di mana masyarakatnya heterogen atau beragam apakah dalam hal etnis, ras, agama, kebudayaan atau dalam hal-hal lainnya, mau tidak tidak mau, pasti menghadapi sejumlah persoalan akibat dari keberaman itu. Amerika Serikat, suatu negara besar, misalnya, yang berlatar belakang keberagaman ras (ada tiga ras besar di sana: putih, merah, dan hitam), etnis, agama (aliran agama), dan kebudayaan secara historis terlihat tersibukkan oleh persoalan akibat dari keberagam itu.

Sadar akan keberagam yang bisa menimbulkan persoalan itu, Thomas Jefferson mengapungkan gagasan seperti tertuang dalam tulisannya Declaration of Independence (yang kemudian dikukuhkan menjadi naskah deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat), antara lain, bahwa “semua orang diciptakan sama atau sederajat, bahwa mereka

dianugerahi oleh Sang Pencipta dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat dirampas, bahwa di antara hak-hak ini terdapat hak (untuk) hidup, kebebasan, dan hak mendapatkan kebahagiaan.” Kesadaran yang sama muncul pada

diri Jean de Crevecoeur (seorang imigran asal Perancis) seperti tertuang dalam tulisannya Letters from an American Farmer (1782).

Dia melihat keberagaman Amerika dari kacamata melting pot, yakni Amerika sebagai tempat berleburnya berbagai macam ras, etnis, bangsa berikut dengan atribut-atribut yang menyertainya menjadi suatu bangsa yang baru, bangsa Amerika. Katanya bahwa

“Jadi apakah yang disebut orang Amerika, manusia (bangsa) yang baru ini? Ia orang Eropa atau keturunan Eropa, dan inilah asal-usul darah campuran yang lain dari yang lain itu, yang tidak akan pernah dijumpai di

146

negeri lain. …….sebuah keluarga, sang kakek orang Inggris, istrinya seorang perumpuan Belanda, anak lelaki mereka kawin dengan seorang perempuan Perancis, dan keempat anak laki-laki pasangan ini menikah dengan empat anak gadis yang berasal dari empat negara. …….. Di sini setiap orang dari semua negara di dunia berbaur menjadi suku bangsa manusia yang baru”.

Dua ratus tahun kemudian tempat asal dan susunan dari “suku bangsa manusia baru” ini telah meluas melampaui batas-batas Eropa, tetapi proses tercabut dari akar ini, perpindahan ke negeri baru, penyusuaian diri, dan pembaharuan terus berjalan.

Walau demikian, sejarah menunjukkan bahwa dalam meniti kehidupan berbangsa, bangsa Amerika itu tetap saja dalam keberagaman. Amerika tidak dipandang sebagai melting pot (periuk pelebur) melainkan sebagai salad bowl (wadah sayur-mayur). Sebagai

salad bowl, Amerika masih memperlihatkan warna-warni-nya bangsa

Amerika; di sana masih ada keberagaman. Untuk itu, tampaknya, bangsa Amerika memandang perlu memberlakukan semboyannya

E Pluribus Unum (beraneka ragam tetapi tetap satu).

E Pluribus Unum bisa dipandang sebagai harapan bangsa

Amerika untuk menciptalan kebersamaan dalam keberagaman. Namun, lagi-lagi sejarah menunjukkan bahwa kebersamaan itu sulit diwujudkan. Dalam kaitan ini, Alexis de Toqueville dalam bukunya

Democracy in America (1835-1840) menjelaskan bahwa Amerika yang

terbangun atas tiga ras besar (putih, merah, dan hitam) memperlihatkan ketidaksederajatan orang-orang Amerika antara ras yang satu dengan ras-ras yang lain; ras putih memposisikan diri sebagai kelompok superior; ras merah dan hitam di bawah mereka; dan ras yang paling menderita adalah ras hitam. Tampaknya, Amerika memerlukan waktu yang amat panjang untuk menciptakan kebersamaan sesuai dengan semboyannya E Pluribus Unum. Karena, seperti tercermin dalam Black Studies, bahwa orang-orang Amerika kulit hitam hidup di bawah dominasi orang-orang Amerika kulit putih. Penderitaan demi penderitaan dialami oleh orang-orang Amerika kulit hitam. Setidak-tidaknya, hingga tahun 1960-an Amerika banyak dihadapkan dengan masalah atau konflik rasial antara kulit putih dan kulit hitam.

Seperti halnya masyarakat Amerika, masyarakat Indonesia pun juga dikenal sebagai masyarakat yang mejemuk, beragam atau

heterogen. Kita hidup bersama dalam keberagaman. Keberagaman itu bisa terlihat dari keberagaman etnis, kebudayaan, agama, dan lain-lain.

Secara historis, sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaan, misalnya, keberagaman itu telah disadari dan lalu diantisipasi oleh para pemuda kita. Kita semua tahu bahwa pada tahun 1928 (tepatnya tanggal 28 Oktober 1928), dalam keberagaman itu para pemuda kita telah mengangkat sumpah untuk (1) menjadi bangsa yang satu, yakni bangsa Indonesia, (2) bertanah air yang satu, yakni tanah air Indonesia, dan (3) menjunjung tinggi bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, kesadaran akan keberagaman masih tampak kental, sebagaimana tercermin pada semangat para pendiri negara ini, yang kemudian secara eksplisit

mengukir kata persatuan dalam Dasar Negara dan Undang Undang

Dasar 1945 kita. Dan, mereka mewakili segenap bangsa ini menciptakan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang mirip dengan E

Pluribus Unum-nya Amerika.

Di samping itu, banyak pula kata-kata bijak, kata-kata mutiara, slogan, semboyan dimunculkan ke permukaan untuk menyadarkan kita akan keberagaman. Atas dasar kesadaran akan keberagaman itu kita membuat komitmen untuk menjalani kehidupan dan menjalin hubungan yang harmonis, mesra, seiring sejalan, senasib seperjuangan dalam kerangka untuk mencapai satu tujuan bersama., yakni tercapainya masyarakat adil dan makmur.

Tentu, tidak asing lagi bagi telinga kita sewaktu kita mendengar kata-kata bijak seperti ‘Bediri sama tinggi, duduk sama rendah’’ ‘Ringan

sama dijinjing, berat sama dipikul’, dan ‘Bersatu kita teguh, bercerai berai kita runtuh’. Ungkapan-ungkapan itu, di samping mengisyaratkan kesamaan derajat antar kita yang beragam ini, juga mengimplikasikan

akan pentingnya kebersamaan dan/atau kesatuan dan persatuan. Mungkin timbul pertanyaan, “Sudahkan kita mengimplemen- tasikan ungkapan-ungkapan di atas dalam kehidupan bermasya- rakat, berbangsa, dan bernegara dalam arti yang sebenar-benarnya? Atau, ungkapan-ungkapan itu hanyalah sekedar ungkapan yang perlu diajarkan di sekolah sebagai bagian dari pelajaran Bahasa In- donesia tanpa dicobajabarkan dan diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga, misalnya, (a) kita benar-benar saling

148

memandang bahwa kita- warga bangsa ini, tanpa melihat latar belakang etnis, agama, dan kultur masing-masing- merupakan or- ang-orang yang benar-benar seperti yang diisyaratkan oleh ungkapan ‘Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah’?, (b) beban berat yang ada pada bangsa ini dipikul atau ditanggulangi secara bersama seperti yang diisyaratkan oleh ungkapan ‘Ringan sama dijinjing, berat

sama dipikul’?, dan (c) kita bersatu padu, tanpa saling curiga, tanpa

saling usik, tanpa saling cakar atau sejenisnya seperti yang diisyaratkan oleh ungkapan ‘Bersatu kita teguh, bercerai berai kita

runtuh’.

Tampaknya, ungkapan bijak, semboyan, slogan yang mengajak kita untuk hidup dalam kebersamaan, dalam pandangan saya pribadi, tidak banyak implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sekedar contoh, pada tataran Rukun Tetangga (RT), tataran yang mungkin paling kecil dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bahkan bernegara, sering dijumpai semacam aksi boikot oleh orang atau kelompok orang tertentu terhadap kegiatan kerukuntetanggaan akibat dari, misalnya, ketua RT-nya bukan orang mereka; atau akibat dari gagasan orang atau kelompok orang tertentu ditolak oleh orang atau kelompok orang yang lain; atau akibat dari ketidak/kekurangpedulian kita terhadap pentingnya kebersamaan; atau akibat dari anggapan akan adanya dikotomi superioritas-inferioritas, mayoritas-minoritas, pribumi-non pribumi, penduduk asli-pendatang, dan sejenisnya. Hal itu masih dilihat dari skala yang sangat kecil, belum dari skala yang lebih besar.

Ungkapan-ungkapan di atas, tampaknya, tetap menjadi rangkaian kata-kata yang kandungan maknanya seperti halnya rangkaian kata-kata lain. Slogan Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu

Bahasa yang diikrarkan oleh para pemuda kita puluhan tahun silam

tidak sepenuhnya kita pegang teguh. Sebagai bukti? Sejumlah daerah di negeri ini ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atau, masih sering terdengar adanya purbasanga (preju-

dice) dan diskriminasi (discrimination) dan sejenisnya di antara kita.

Lalu, apakah semboyan kita Bhineka Tunggal Ika hanya akan menjadi semboyan belaka, yang harus dihafal oleh anak-anak mu- rid kita, yang menjadi hiasan rumah, gedung, kantor kita tanpa upaya konkret untuk menggalang kebersamaan sebagaimana

dicita-citakan oleh para pendiri negara, pendahulu kita dan tentu oleh kita semua?

Kiranya kita, elit politik kita, pejabat negara kita semua perlu menonton Film Teletubbies. Karya seni yang cukup digemari anak- anak itu mengetengahkan keberagaman para ‘pelaku’-nya. Namun, keberagaman itu tidak menghalangi mereka untuk menjalin kebersamaan, keharmonisan, kerukunan, kebersatuan dan sejenisnya. Kalau kebersamaan demi kebersamaan tercipta mulai dari skala kecil, maka –semoga- tidak terjadi saling cakar, saling hujat, saling menjatuhkan, saling menghina dan sejenisnya. Implikasinya bahwa jika kita sebagai rakyat, kita sadar akan posisi kita sebagai rakyat; jika kita sebagai wakil rakyat, kita betul-betul merakyat, memperjuangkan atau menyuarakan aspirasi rakyat, dan berperilaku sebagai wakil rakyat; jika kita sebagai pejabat, kita betul- betul menjadi pengayom rakyat secara keseluruhan tanpa memandang latar belakang suku, ras, agama atau warna-warni baju mereka. Wallahua’lam. 

150 Maungkai Budaya

K

    

TELEVISI DALAM PERSPEKTIF SOCIAL