• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMAHAMI KONDISI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT MELALUI KARYA SASTRA

aya menelaah karya sastra dalam upaya memahami kondisi sosial budaya masyarakat Amerika kulit hitam melalui novel Native

Son karya Richard Right; sementara Sainul melakukan ha yang

sama dalam upaya memahami kondisi sosial budaya masyarakat Tionghoa melalui novel Cabaukan karya Remy Sylado. Terus terang, saya belum membaca novel Cabaukan karya Remy Sylado. Pemahaman yang sangat sedikit tentang novel itu, saya dapatkan dari keterangan Sainul dan dari membaca hasil telaah terhadapnya. Tidak jelas, kapan novel itu pertama kali diterbitkan. Sebab, novel yang dikaji Sainul itu terbitan ke dua, tahun 1999; sementara dia tidak menjelaskan kapan novel itu diterbitkan untuk pertama kalinya. Yang jelas, novel itu mengisahkan sebagian dari sisi-sisi kehidupan orang-orang Tionghoa di Pulau Jawa, terutama Semarang, Tangerang dan Batavia, dalam kurun waktu 1918-1951. Novel itu kemudian dikategorikan dalam Sastra Indonesia-Tionghoa.

Dalam tradisi sastra Amerika, karya sastra yang ditulis oleh orang Amerika keturunan, misalnya, Afrika, dikategorikan dalam

African-American Literature. Karya sastra semacam ini, selain ditulis

oleh orang Amerika keturunan Afrika atau Amerika kulit hitam, umumnya, mengungkap sisi-sisi gelap kehidupan (penderitaan)dari orang-orang Amerika kulit hitam. Sebuah novel Native Son karya Richard Wright adalah contohnya. Penulisnya berasal dari ras hitam, dan tokoh-tokoh yang ditampilkan orang-orang kulit hitam dalam interaksi mereka dengan orang-orang kulit putih. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris Amerika dengan selipan dialek khas orang kulit hitam.

82

Tampaknya, karena kekurangan informasi/referensi, Sainul tidak bisa melacak apakah penulis novel Cabaukan ber-etnis Tionghoa atau bukan. Itu bukan persoalan. Sebab, telaahnya tidak mengharuskan penulusuran terhadap siapa penulis novel itu. Dalam kaitan ini, siapapun orangnya, asal tahu seluk beluk kehidupan etnis tertentu dan terlibat di dalamnya baik secara kebahasaan maupun sosiokultural, punya peluang untuk mengekspresikan hasil ‘pengamatannya’ dalam bentuk karya sastra. Saya kira, tidak harus, sastra Indonesia-Tionghoa (sebut saja begitu) ditulis oleh orang In- donesia keturunan Tionghoa.

Setelah saya membaca buku Sainul, saya menangkap bahwa di satu sisi, secara makro, orang-orang keturunan Tionghoa menjadi kelompok marjinal dengan steriotip (label) negatif; mereka menempati kategori non-pribumi dalam dikotomi: pribumi vs non- pribumi. Secara politis (baca: de jure), mereka berada di bawah dominasi kelompok (elit/penguasa) pribumi; ada sejumlah aturan hukum yang secara khusus mengatur kehidupan orang keturunan Tionghio; dan secara de facto mereka menghadapi doiminasi dalam bentuk lain, misalnya: prejudice, discrimination, dan arnachic action dari kelompok pribumi kebanyakan. Namun di sisi lain mereka memegang dominasi yang memungkinkan mereka menjadi the op-

pressing people terhadap kebanyakan masyarakat Indonesia,

khususnya, dalam kehidupan ekonomi. Itu sebuah realitas obyektif yang mungkin tak akan terbantah.

Dominasi dalam kehidupan ekonomi ini, tampaknya, juga tercermin dalam novel Cabaukan karya Remy Sylado. Atas dasar telaah Sainul, Sylado mengukuhkan steriotip (label) negatif dan sekaligus membantahnya. Artinya, memang ada sisi-sisi baik dan buruk bagi diri orang-orang Tionghoa di Indonesia. Kehadiran novel

Cabaukan ini, mungkin saja, dimaksudkan untuk membuka mata

kaum pribumi bahwa mereka memiliki ‘kekuatan’. Dengan kata lain, kalaupun ada dominasi yang berwujud: prejudice, discrimination,

oppression, anarchic action dan sejenisnya terhadap warga non-

pribumi itu di satu sisi; ada juga kekuatan pada mereka untuk menguasai sektor kehidupan tertentu di pihak lain.

Kalau novel Cabaukan dibandingkan dengan novel Native Son, ditemukan suatu perbedaan yang cukup tajam. Dalam Native Son

Memahami Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Melalui Karya Sastra

justru orang-orang Amerika keturunan Afrika menjadi orang-or- ang yang tertindas tanpa kekuatan untuk menindas balik; mereka harus berhadapan dengan prejudice, discrimination, dan segregation, serta anarchic action. Sehingga, mereka menghadapi sejumlah masalah atau kesulitan dalam aspek-aspek kehidupan mereka; mereka dianggap sebagai makhluk yang rendah martabatnya, dan mereka tidak mempunyai persamaan hak dalam pendidikan, pekerjaan, perlindungan/pelaksanaan hukum, partisipasi politik, dan dalam aspek-aspek kehidupan sosial budaya yang lain. Kehadiran novel itu adalah sebagai salah satu bentuk protes terhadap perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih.

Bila karya sastra dipandang sebagai “dunia kecil” –atau minia- ture- yang dikonstruksi dari “dunia besar” (Abrams menyebutnya

Universe), maka peristiwa-peristiwa yang terungkap di dalamnya

merupakan refleksi dari peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dalam “dunia besar” itu. Dalam kaitan ini, (karya) sastra) pada hakikatnya adalah tanggapan seseorang (pengarang) terhadap situasi di sekelilingnya. Berbagai situasi di sekeliling pengarang dapat dijadikan bahan untuk menghasilkan karya sastra. Benda mati, tanaman, tatanan sosial, tatanan politik dan manusia dapat dijadikan obyek atau bahan penulisan oleh pengarang. Dari sekian juta jumlah benda yang ada didunia dan sekian banyak yang diamati oleh pengarang dapat dikelompokkan menjadi satu istilah, yakni: kehidupan.

Dengan demikian karya sastra itu merupakan refleksi atau cerminan kehidupan yang diamati oleh pengarang, dibumbui respons atau tanggapan dan imaginasi pengarang terhadap kehidupan itu. Abdul Hadi menjelaskan bahwa dalam upaya mengungkapkan kembali pengamatannya terhadap kehidupan dalam bentuk karya sastra, pengarang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (dalam S.Hoerip, 1982).

Dalam telaah wacana dalam sastra (sebagai “dunia kecil’) sebagai upaya melihat “dunia besar”, diperlukan deskripsi tentang kondisi sosial, ekonomi, politik (secara umum, budaya) dan peristiwa sejarah yang melatari hadirnya sebuah karya sastra. Dalam telaah novel Cabaukan, Sainul mendeskripsikan kondisi tersebut secara berlebihan (hal. 47-65). Sebab, pada dalam kurun waktu 1918-1951

84

hal-hal seperti: era Soeharto, surat edaran 14 Maret 1976, peristiwa Mei 1998, dan lain-lain, belum ada.

Dalam baingkai teoritis, Sainul menegaskan bahwa karya sastra merupakan bangunan dunia yang tidak otonom, tetapi produk diskursif yang terikat pada berbagai konteks diskursif yang lebih luas; karya sastra bukan sekedar cermin pasif mengenai dunia, melainkan semacam tindakan terhadap dunia (hal. 32). Menurut saya, telaah wacana dalam novel Cabaukan tidak hanya dikaitkan dengan wacana-wacana ke-Tionghoa-an, tetapi juga dengan