• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang kedua adalah faktor yang berasal dari pertimbangan

komunikasi. Bahasa digunakan manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyata- annya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota- anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka. Pertimbangan komunikasi ini menentukan apakah dia akan

bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi, atau alih- kode/campur kode (Soetomo, 1985).

Interferensi dan alih kode bahkan campur kode dapat dilihat dari dua contoh kalimat berikut:

(1) Nuwun sewu, saya bisa mengganggu sebentar?

(2) Ulun mencari piyan di kampus kemarin, piyan sudah bulikan.

Andaikan saja, baik kalimat (1) maupun (2) diungkapkan dalam

speech act berbahasa Indonesia, maka dengan demikian bahasa In-

donesia sang penuturnya mendapat ‘gangguan’ dari bahasa Jawa untuk kalimat (1) dan bahasa Banjar untuk kalimat (2). Ini berarti bahasa Indonesia kedua penutur itu mendapat interferensi dari bahasa Jawa atau Banjar. Jadi, gejala interferensi kita lihat dari bahasa penerima (dalam hal ini: bahasa Indonesia). Bila, baik penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia atau bahasa Banjar dan bahasa Indonesia kita lihat sebagai penggunaan dua bahasa secara berselang-seling, maka berarti kita menemukan gejala alih kode atau campur kode.

Andaikan saja lagi, bahwa kedua penutur tersebut telah menjadi dwibahasawan-dwibahasawan seperti yang disarankan oleh Bloomfield, yakni yang kedwibahasaannya memenuhi kriteria “na-

tive-like control of two languages”. Penutur pertama, misalnya,

memiliki kemampuan dan penguasaan terhadap baik bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia dengan sama baiknya, sama kelancarannya, dan sama akurasinya, dan demikian juga penutur yang kedua. Pendek kata, kedua penutur ini tidak memiliki persoalan kebahasaan. Dengan demikian, ‘penyimpangan’ dalam berbahasa Indonesia itu bukan akibat ketidakmampuan mereka menggunakan bahasa Indonesia, tetapi ia merupakan akibat dari faktor sosial budaya yang melingkungi penutur-penutur tersebut.

Jika dikatakan bahwa bahasa merupakan sistem simbol atau tata lambang, maka ia dapat mengacu tata lambing konstitusi, kognisi, evaluasi dan ekspresi. Tata lambang konstitusi adalah tata lambang yang bertalian dengan kepercayaan manusia terhadap Tuhan yang menentukan hidup dan kehidupan manusia atau terhadap kekuatan supernatural di luar kekuatan manusia. Tata lambang kognisi adalah tata lambing yang dihasilkan manusia dalam upayanya untuk

18

memperoleh pengetahuan terhadap segala sesuatu di lingkungannya. Tata lambang evaluasi adalah tata lambang yang bertalian dengan nilai baik-buruk, betul-salah, pantas-tak pantas dan sebagainya. Tata lambang eskpresi adalah tata lambang untuk mengungkapkan perasaan atau emosi manusia (Soetomo, 1985).

Sebagaimana diketahui bahwa bahasa dan budaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Hal ini karena bahasa merupakan salah satu unsur budaya, sedangkan budaya itu sendiri adalah sesuatu yang sebagiannya diformulasikan dalam bentuk bahasa.

Budaya memberikan pedoman bagi masyarakat yang memilikinya. Ia mengajarkan bagaimana manusia harus bertingkah laku, termasuk bertingkah laku dalam berbahasa. Sebagian tata cara bertingkah laku itu dapat diungkapkan dengan bahasa. Jadi, di sini terdapat kesulitan untuk membedakan atau memisahkan bahasa dari budaya atau budaya dari bahasa.

Menurut teori Parsons (dalam Soetomo, 1985) tingkah laku (berbahasa) manusia telah diatur oleh human action system. Sistem tindak manusia ini memiliki empat sub-sistem: budaya, sosial, kepribadian, dan tingkah laku manusia. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam sistem itu telah tertanam kuat pada diri seorang penutur bahasa (Jawa, misalnya), maka dapat saja dia terhambat oleh kultur Jawa-nya ketika dia berbahasa Indonesia.

Sebagai contoh, dalam suatu interaksi verbal antara dua orang yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, tiba-tiba penutur A menyelipkan beberapa buah kata asing (non bahasa Indonesia) dalam tuturannya. Tingkah laku berbahasa ini dapat dinilai berdasarkan sumber-sumber penyebabnya. Masuknya unsur asing ke dalam tuturan A tadi dapat disebabkan oleh kebiasaan atau kemudahan pengucapan semata. Di sini, (sub) sistem tingkah laku adalah penyebab masuknya unsur asing itu dalam tuturan A tersebut.

Tetapi, masuknya unsur asing itu dapat saja disengaja oleh A sebagai upaya untuk memperlihatkan perasaan (sikap, motivasi, pengalaman dan sebagainya) kepada penutur B. Dalam hal ini (sub) sistem kepribadian penutur adalah penyebab penggunaan unsur asing dalam tuturan bahasa Indonesia yang disampaikan oleh A tersebut.

(Sub) sistem sosial dapat pula menjadi sumber hambatan, bila penutur A tadi menonjolkan status dan peranannya dalam interaksi verbal itu. Umpamanya, seorang pengacara ingin menyelipkan reg- ister hukum dalam tuturan bahasa Indonesia-nya akan memperingatkan lawan tuturnya, B, untuk selalu sadar akan posisi A maupun posisinya sendiri dalam hubungan peran itu.

(Sub) sistem budaya (dalam kaitan dengan bahasa sebagai tata lambang: konstitusi, kognisi, evaluasi, dan ekspresi, sebagaimana terurai di atas) dapat menjadi hambatan dalam berbahasa. Oleh karena suatu komunitas tutur kebetulan mengangkat bahasa daerah atau asing tertentu lebih tinggi nilainya daripada bahasa Indonesia karena mampu mengungkapkan konsep atau ide secara lebih tepat dan teliti, maka penyelipan unsur-unsur bahasa daerah atau asing dalam tuturan bahasa Indonesia-nya akan dianggap orang lebih baik.

Hambatan kultural yang lain dapat dilihat, misalnya, dari kasus tindak berbahasa (speech act) yang terjadi antara penutur dari suku Sunda dan Banjar. Penutur bahasa Sunda yang tentu saja berlatar belakang bahasa Sunda, artinya dia merupakan dwibahasawan Sunda-Indonesia. Sementara, penutur bahasa Banjar yang tentu saja berlatar belakang bahasa Banjar, artinya dia merupakan dwibahasawan Banjar-Indonesia. Kedua bahasa daerah ini sama- sama memiliki kata bujur. Kata bujur dalam bahasa Sunda berarti pantat dan harus ditabukan, dalam arti tidak dapat diucapkan di sembarang tempat (misalnya, di hadapan orang banyak). Sementara kata bujur dalam konteks bahasa Banjar berkonotasi baik. Hambatan kultural terjadi bila penutur yang berlatar belakang budaya/ bahasa Sunda mendengar atau menggunakan kata bujur, walaupun sekarang dia telah memahami arti kata bujur dalam konsep bahasa Banjar, namun tetap saja dia merasa berdosa bila dia mengucapkan kata tersebut karena ini berarti melanggar aturan atau nilai dari kulturnya sendiri.

Kata sare, dahar dalam konsep bahasa Jawa tidak dapat dipakai secara sembarangan. Kata-kata itu harus digunakan sesuai dengan peserta tutur, siapa penuturnya dan siapa pula lawan tuturnya. Untuk menyapa atau membicarakan orang yang lebih tua, kata- kata itu dapat saja dipakai, namun tidak dapat dipakai untuk membicarakan diri sendiri atau anak-anak kecil. Kalimat ‘Kulo dahar

20

Jawa karena kata ‘kulo’ tidak boleh ditinggikan (dengan menggu- nakan kata ‘dahar’). Penggunaan yang benar, contohnya, adalah

‘Bapak dahar’ atau ‘Monggo dahar rumiyen’. Kedua kalimat ini

digunakan untuk membicarakan atau menyapa orang lain yang lebih tua atau lebih tinggi derajat sosialnya.