• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN

A. Klausula Baku Dalam Perjanjian

Perjanjian pada umumnya telah diatur di dalam Buku III (tiga) KUH Perdata mengenai perikatan. Istilah perikatan merupakan terjemahan dari Bahasa belanda, yaitu verbintenis. Istilah tersebut mempunyai arti lebih luas dari pada istilah perjanjian. Perikatan merupakan suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang kongkrit. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terjadi karena adanya peristiwa hukum ini perlu dibedakan dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan, dan kesusilaan.

Sesuai ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa perikatan-perikatan lahir dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang lahir dari perjanjian timbul karena adanya kesepakatan para pihak untuk saling mengikatkan diri yang dituangkan dalam perjanjian. Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh 2 (dua) orang atau pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh

undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan.55

55

(2)

Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu overeenkomst. Kata overeenkomst berasal dari kata overeenkomen yang artinya setuju atau sepakat. Sehingga istilah perjanjian mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme. Dalam ketentuan umum mengenai perjanjian, terdapat definisi perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata yaitu suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.56

Apabila diperhatikan, adapun unsur-unsur dari perjanjian itu adalah :

1. Terdapat para pihak sedikitnya 2 (dua) orang; 2. Ada persetujuan antara para pihak yang terkait; 3. Memiliki prestasi yang akan dilaksanakan; 4. Memiliki tujuan yang akan dicapai;

5. Dapat berbentuk lisan maupun dilaksanakan;

6. Memiliki syarat-syarat tertentu sebagai isi dari perjanjian.

Selain itu, terdapat beberapa ahli hukum yang mengemukakan pendapat mereka mengenai rumusan pengertian perjanjian, yaitu :

1. Subekti merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :

“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saing berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.57 56 Ibid, hlm, 4. 57 Ibid, hlm. 1.

(3)

2. Achmad Ichsan merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :

“Perjanjian adalah suaatu hubungan atas dasar hukum kekayaan (vermogensrechttelijke betrekking) antara dua pihak atau lebih dalam mana pihak yang satu berkewajiban memberikan sesuatu prestasi atas mana pihak

yang lain mempunyai hak terhadap prestasi itu”.58

3. Sudikno Mertokusumo merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut : “Perjanjian adalah hubungan hukum (rechtshandeling) dalam hal mana satu

pihak atau lebih mengikat diri terhadap satu atau lebih pihak lain”.59

4. Van Dune merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :

“Perjanjian adalah hubungan hukum berdasarkan kata sepakat untuk

menimbulkan akibat hukum”.60

Berdasarkan dari pengertian-pengertian yang telah penulis paparkan dapat disimpulkan bahwa perjanjian timbul atau terjadi karena adanya kata sepakat atau persetujuan kedua belah pihak. Kata sepakat terjadi karena adanya persesuaian kehendak diantara para pihak. Perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perjanjian dinamakan juga persetujuan dan/atau kontrak karena menyangkut kedua belah pihak yang setuju atau sepakat untuk melakukan sesuatu.

Terdapat asas-asas sebagai rangkaian prinsip atau norma atau patokan dasar yang berguna untuk dipedomani dalam mengatasi kesulitan dalam pelaksanaan suatu perjanjian. Asas-asas perjanjian di dalam buku perikatan sebagai berikut :

58

Achmad Ichsan, Hukum Perdata I B, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1967, hlm. 15.

59

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 4.

60

Much. Nurachmad, Buku Pintar Memahami & Membuat Surat Perjanjian, Visimedia, Jakarta, 2010, hlm. 5.

(4)

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Mariam Darus Badrulzaman memberikan penjelasan mengenai asas kebebasan berkontrak mengatakan bahwa sepakat mereka mengikat diri adalah asas esensial dari hukum perjanjian, Asas ini dinamakan juga dengan asas ekonomi “konsensualisme”, yang menentukan „ada‟nya (rasion d’ertre, het bestaanwaarde) perjanjian.61

Didalam hukum inggris, asas ini dikenal juga. Berkata Anson yang dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman yaitu A promise more than a more statement of intention for it imports a willingness on the part of the promiser to be bound to the person to whom it is made. Penjelasan tersebut ternyata asas kebebasan ini tidak hanya milik KUHPerdata akan tetapi bersifat universal.

Kebebasan Berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,

pancaran hak asasi manusia.62

Kebebasan berkontrak ini berlatar belakang dari paham individualisme, yaitu setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Paham individualisme memberikan peluang kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan yang lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan

61

Mariam Darus, KUHPerdata, Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Bandung, Alumni, 1993, hlm. 83

62

Tantri Kurnia Ningtiyas, Tinjauan Hukum Terhadap Perjanjian Jual Beli Gas Bumi Antara

PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk Wilayah III Sumbagut Dengan Konsumen, Skripsi,

(5)

kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkraman pihak

yang kuat.63

Pada akhir abad XIX, akibat desakan paham-paham etis dan sosialis, paham individualism mulai pudar, masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapatkan perlindungan, akhirnya kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relative dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan isi perjanjian tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak, akan tetapi perlu diawasi pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum, menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum perjanjian oleh pemerintah terjadi pergeseran hukum perjanjian ke hukum public. Melalui campur tangan pemerintah ini, terjadi pemasyrakatan (vermaatschappelijking) hukum perjanjian. Perkembangan asas kebebasan berkontrak belakangan ini semakin hari menjadi semakin sempit dilihat

dari beberapa segi yaitu :64

a. Dari segi kepentingan umum; b. Dari segi perjanjian baku (standar); c. Dari segi perjanjian dengan pemerintah. 2. Asas Konsensualisme

Diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Asas konsensualisme berasal dari kata consensusyang berarti

63

Ibid.

64

(6)

sepakat dan pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.

3. Asas Kepercayaan

Mariam Darus memberi penjelasan mengenai asas kepercayaan dengan mengatakan bahwa asas kepercayaan yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti kemauan (will) para pihak untuk saling

berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri.65

Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber dari moral. Manusia terhormat akan memelihara janjinya, kata Eggens.

4. Asas Kekuatan Mengikat

Perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak yang terlibat mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak.

Mariam Darus Mengatakan Grotius mencari dasar consensus itu dalam hukum kodrat. Ia mengatakan bahwa “pacta sunt servanda” (janji itu mengikat). Seterusnya ia mengatakan lagi “promissorum implendorum obligation” (kita harus

memenuhi janji kita).66

5. Asas Persamaan Hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan

65

Mariam Darus, Ibid, Hlm. 87.

66

(7)

dan lain-lain. Para pihak wajib menghormati satu sama lain sebagai mahluk ciptaan Tuhan.

6. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas kesimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga

kedudukan kreditur dan debitur seimbang.67

7. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figure harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

Subekti mengatakan ketentuan yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata berbunyi semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dapat dipandang sebagai suatu

syarat tuntutan kepastian hukum (janji itu mengikat).68

67

Mariam Darus, Op.cit, Hlm. 88

68

(8)

8. Asas Moral

Asas ini terlihat dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini juga terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata.

9. Asas Kepatutan

Asas ini tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata berbunyi suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

10. Asas Kebiasaan

Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo. 1347 KUHPerdata, dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang didalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti.

11. Asas Hukum Perjanjian Bersifat Hukum Mengatur

Subekti memberi penjelasan dengan mengatakan pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law) yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat

(9)

ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal. Itu berarti mereka mengenai soal tersebut akan tunduk kepada

undang-undang.69

12. Asas kepribadian

Dalam Pasal 1352 KUHPerdata merumuskan bahwa pada umumnya tidak seorangpun dapat mengikat diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri. Pejanjian itu sendiri dan tidak mengikat orang-orang lain.

Maka perikatan hukum yang diciptakan suatu perjanjian, hanya mengikat orang yang mengadakan perjanjian itu sendiri dan tidak mengikat orang-orang lain. Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya.

Hubungan hukum perjanjian memiliki hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. Menurut Logemann, tiap hubungan hukum terdapat pihak yang berhak meminta prestasi dan pihak yang wajib melakukan prestasi. Hubungan hukum mempunyai dua segi yaitu hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ini kedua-duanya timbul dari satu peristiwa hukum

(misalnya jual beli) dari satu pasal hukum objektif (Pasal 1474 KUH Perdata).70

69

Ibid, Hlm. 13

70

(10)

Hubungan hukum mempunyai tiga unsur, yaitu :71

1. Adanya orang-orang yang hak atau kewajibannya saling berhadapan;

2. Objek yang berlaku berdasarkan hak dan kewajiban; dan

3. Hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau hubungan atas objek yang bersangkutan.

Suatu hubungan hukum baru ada jika telah adanya dasar hukum yang mengatur hubungan hukum tersebut dan timbulnya peristiwa hukum.

Pasal 1320 KUHPerdata mengatur tentang syarat-syarat yang diperlukan bagi sahnya suatu perjanjian, antara lain :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Subekti mengatakan dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, “setuju” mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.72

Pengertian sapakat dilukiskan sebagai pernyataan atas suatu kehendak yang disetujui antara para pihak. Pernyatan dari pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyatan dari pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Seseorang yang membuat suatu perjanjian haruslah cakap menurut hukum. Pada prinsipnya, setiap orang yang telah dewasa dan sehat pikirannya adalah

71

Ibid.

72

(11)

cakap menurut hukum. Namun demikian, undang-undang membatasi siapa-siapa yang dapat melakukan perbuatan hukum, sebab sesuatu perbuatan hukum baru dianggap sah apabila yang melakukan adalah cakap menurut hukum. Pasal 1329 KUHPerdata.

3. Suatu hal tertentu.

Suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal yang tertentu. Artinya segala sesuatu yang diperjanjikan harus mempunyai objek (bepaald onderwerp) tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itudapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada.

a. Benda itu adalah barang yang dapat diperdagangkan;

b. Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum, dan sebagainya tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian;

c. Dapat ditentukan jenisnya; d. Barang yang akan datang; e. Objek perjanjian.

4. Suatu sebab yang halal.

Menyangkut tujuan diadakannya suatu perjanjian atau persetujuan. Jika tujuan yang hendak dicapai dari persetujuan itu bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan maka tujuan dari persetujuan itu adlah

tidak halal (Pasal 1337 KUHPerdata), jadi persetujuan itu batal demi hukum.73

Dua syarat yang pertama (sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan) adalah syarat yang menyangkut

73

(12)

subyeknya dinamakan syarat subyektif, sedangkan dua syarat yang terakhir (suatu hal yang tertentu dan suatu sebab yang halal) adalah mengenai obyeknya dan dinamakan syarat obyektif.

Definisi perjanjian baku atau klausula baku menurut Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu, Klausula baku adalah setiap aturan dan ketentuan atau syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh para pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Perjanjian baku (standar), sebenarnya dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato (423-347 SM), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa memperhatikan

perbedaan mutu makanan tersebut.74

Dalam perkembangannya, tentu saja penentuan sepihak oleh

produsen/penyalur produk (penjual), tidak lagi sekedar masalah harga, tetapi mencakuo syarat-syarat yang lebih detail. Selain itu, bidang-bidang yang diatur dengan perjanjian baku pun makin bertambah luas. Menurut sebuah laporan dalam Harvard Law Reviewpada 1071,99% (Sembilan puluh Sembilan persen) perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar atau

perjanjian baku.75

74

Zaky Siraj Hasibuan, Ibid, Hlm. 40.

75

(13)

Sutan Remy Sjahdeni mengemukakan beberapa istilah penting dalam pustaka

hukum yang dapat dipakai untuk perjanjian baku yaitu antara lain :76

1. Standardized agreement, standardized contract, pad contract, standard contract dan contract of adhesion.

2. Murray dalam bukunya Murray on Contract menggunakan istilah standardized mass contract dan contract of adhesion.

3. Ehrenzweig menggunakan istilah adhesion contract dalam tulisannya berjudul Adhesion Contract in the Conflict oh Laws yang diterbitkan tahun 1953.

4. Istilah contract of adhesion diimpor ke Amerika Serikat oleh Patterson melalui karangannya The deliver of a Life-Insurance Policy yang diterbitkan tahun 1919. Istilah tersebut lebih lanjut dipopulerkan di Amerika Serikat oleh para ilmuwan yang belajar di Eropa dan kemudian mengajar di negara tersebut antara lain oleh Kessler.

5. Dalam buku 6 Algemen Gedeelte van her Verbinteissenrecht dari Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 1992, istilah yang digunakan ialah standaardregeling Pasal 214. (6.5.1.2) dan algemene voorwaarden Pasal 231. (6.5.2A.1).

Defini perjanjian baku atau klausula baku menurut para ahli memang sangat bervariasi sebagaimana diuraikan oleh penulis dibawah ini :

76

Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para

Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993, Hlm. 66, 67

(14)

Pengertian perjanjian baku atau klausula baku menurut E.H Hondirus adalah syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tertentu tanpa dibicarakan terlebih dahulu isinya.77

Menurut pendapat Drooglever Fourtujin pengertian perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan (ditentukan standarnya, sehingga memiliki arti yang tetap , yang dapat menjadi pegangan umum) dan dituangkan dalam bentuk

formulir.78

Sudikno Mertokusumo berpendapat yang dimaksud dengan klausula baku adalah perjanjian yang isinya ditentukan secara a-priori oleh penguasa atau perorangan yang pada umumnya kedudukannya lebih kuat atau lebih unggul

secara ekonomis atau secara psikologis dibandingkan dengan pihak lawan.79

Ahmad Miru & Sutarman Yudo berpendapat perjanjian baku merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang bertanggungjawab berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang

dilarang berdasarkan Pasal 8 UUPK.80

77

Kelik Wardiono, Perjanjian Baku Klausul Eksonerasi dan Konsumen, Surakarta, Penerbit Ombak, 2014, hlm. 10. 78 Ibid. 79 Ibid. 80

(15)

Dari beberapa definisi di atas, dapat diketahui bahwa suatu perjanjian disebut sebagai klausula baku apabila dalam perjanjian tersebut telah memenuhi kriteria atau syarat-syarat sebagai klausula baku yaitu sebagai berikut :

a) Isinya dibuat/ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak yang mempunyai kedudukan ekonomi lebih kuat;

b) Diperuntungkan bagi setiap orang yang melibatkan diri dalam perjanjian sejenis itu;

c) Bentuk perjanjian tertulis;

d) Mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Perjanjian jenis ini merupakan suatu perjanjian yang memuat syarat-syarat tertentu sehingga lebih “menguntungkan” bagi pihak yang mempersiapkan pembuatannya. Kalau pada keadaan normal pelaksanaan perjanjian diperkirakan akan tetapi suatu masalah, maka dipersiapkan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya, pada umumnya pengusaha atau penjual menyediakan syarat-syarat khusus untuk menghindari dirinya dari kesukaran, atau tuntutan/gugatan pihak lawannya. Syarat-syarat untuk pembebas diri dari beban tanggung jawab berdasarkan hukum pada umumnya, karena terjadinya sesuatu perihal atau peristiwa tertentu sepanjang masa perjanjian, disebut dengan

syarat-syaratbaku.81

Bentuk perjanjian dengan syarat-syarat baku umumnya dapat terdiri atas :82

81

AZ Nasution, Op.cit, hlm. 94-95.

82

(16)

1. Dalam bentuk dokumen;

2. Dalam bentuk persyaratan-persyaratan dalam perjanjian.

Sutan Remy Sjahdeni mendefinisikan perjanjian standar atau perjanjian baku sebagai suatu perjanjian yang hamper seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan

klausul-klausulnya.83

Di satu sisi, bentuk perjanjian klausula baku ini sangat menguntungkan, jika dilihat dari beberapa banyak waktu, tenanga dan biaya yang dapat dihemat. Akan tetapi, di sisi yang lain bentuk perjanjian seperti ini menempatkan pihak yang tidak ikut membuat klausul-klausul di dalam perjanjian itu sebagai pihak yang baik langsung maupun tidak sebagai pihak yang dirugikan , yakni di satu sisi ia sebagai salah satu pihak dalam perjanjian itu memiliki hak untuk memperoleh kedudukan seimbang dalam menjalankan perjanjian tersebut, di sisi yang lain ia

harus menurut terhadap isi perjanjian yang disodorkan kepadanya.84

Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan, perjanjian standar tidaklah melanggar asas kebebasan berkontrak Pasal 1320 jo. 1338 KUHPerdata. Artinya, bagaimanapun pihak konsumen masih diberi hak untuk menyetujui (take

83

Sutan Remi Sjahdeni, Op.cit, hlm. 66.

84

(17)

it) atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya (leave it). Itulah sebabnya,

perjanjian baku ini kemudia dikenal dengan nama take it or leave it.85

Karena lahir dari kebutuhan akan kebutuhan efisiensi secara efektivitas kerja, maka bentuk perjanjian baku ini pun memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh perjanjian yang lain pada umumnya, antara lain perjanjian baku dibuat oleh salah satu pihak saja dan tidak melalui suatu bentuk perundingan, isi perjanjian yang telah distandarisasi, klausul yang ada di dalamnya biasanya merupakan klausul yang telah menjadi kebiasaan secara luas dan berlaku secara

terus-menerus dalam waktu yang lama.86

Mariam Darus Badrulzaman membedakan perjanjian standar menjadi 3 (tiga)

jenis yaitu :87

1. Perjanjian standar sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pilhak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif;

2. Perjanjian standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, ialah perjanjian standar yang mempunyai objek-objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agrarian, misalnya formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri tanggal 7 Agustusn 19977 Nomor

85

Shidarta, Op.cit, hlm. 120.

86

Celina Tri Siwi Krisyanti, Op.cit, hlm. 49.

87

(18)

104/Dja/1997, yang berupa antara lain akta jual beli, model 1156727, akta hipotek model 1045055, dan sebagainya; dan

3. Perjanjian standar yang ditentukan dalam lingkungan notaris dan/atau advokat terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Di dalam kepustakan Belanda, jenis ini disebut contract model.

Ahli hukum Indonesia, Mariam Darus Badrulzaman menyimpulkan bahwa perjanjian standar itu bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab , terlbih lagi ditinjau dari asas-asas hukum nasional, dimana akhirnya kepentingan masyarakatlah yang didahulukan. Dalam perjanjian standar, kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang. Posisi yang di dominasi oleh pihak pelaku usaha, membuka peluang luas baginya untuk menyalahgunakan kedudukannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak-haknya dan tidak kewajibannya. Menurutnya, perjanjian standar ini tidak boleh

dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu diterbitkan.88

B. Akibat Hukum Dari Klausula Baku Dalam Perjanjian

Sistem hukum perdata mengenal asas kebebasan berkontrak, sebagaimana dianut di dalam KUHPerdata. Asas ini disebut dengan freedom of contract atau laissez faire, yang di dalam Pasal 1338 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku halnya sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak yang kita kenal itu disebut

88

(19)

dengan “sistem terbuka”, karena siapa saja dapat melakukan perjanjian dan apa

saja yang dapat dibuat di dalam perjanjian itu.89

Pengaturan mengenai klasula baku merupakan konsekuensi dari upaya kebijakan untuk memberdayakan konsumen supaya dalam kondisi yang seimbang, yakni terdapatnya suatu hubungan kontraktual antara produsen (pelaku usaha) dan konsumen dalam prinsip kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak adalah bila para pihak di kala melakukan perjanjian berada dalam situasi dan kondisi yang bebas menentukan kehendaknya dalam konsep atau rumusan perjanjian yang di sepakati.

Bebas diartikan sebagai tidak dalam keadaan dipaksa dan terpaksa bagi semua pihak dalam melakukan perjanjian. Ini diartikan pula bahwa setiap pihak-pihak menyadari sepenuhnya tentang isi dari perjanjian itu, dan demikian pula setiap pihak tidak berada kondisi atau keadaan sulit menentukan keinginan dan pilihan dalam melakukan perjanjian itu. Atas dasar asas kebebasan berkontrak inilah yang dijadikan dasar eksistensi kontrak baku dalam suatu perjanjian.

Perjanjian baku ini sendiri dalam teori kontrak termasuk dalam doktrin ketidakadilan (unconscionability) yaitu suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak yang mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak, sungguhpun kedua pihak telah

menandatangani kontrak yang bersangkutan.90

89

Zaky Siraj Hasibuan, Op.cit, hlm. 49.

90

(20)

Salah satu wujud ketidakadilan dalam kontrak adalah apa yang disebut dengan “Keterkejutan yang Tidak Adil” (Unfair Surprise). Suatu klausula dalam kontrak dianggap merupakan unfair surprise manakal klausula tersebut bukan klausula yang diharapkan oleh seorang yang normal dalam kontrak semacam itu, sementara pihak yang menulis kontrak mempunyai alasan untuk mengetahui bahwa klausula tersebut tidak akan sesuai dengan keinginan yang wajar dari pihak lain, tetapi pihak yang menulis kontrak tersebut tidak berusaha menarik perhatian

pihak lainnya terhadap klausula tersebut.91

Contoh klausula yang bersifat unfair surprise adalah kontrak baku atau kontrak standar. Pandangan yang modern dalam hukum kontrak mengajarkan bahwa klausula dalam kontrak baku hanya mengikat sejauh klausula tersebut akan di pandang sebagai klausula yang wajar dan adil. Jika ada klausula tersebut bersifat sebaliknya, maka yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah

ada.92

Dengan melihat pengertian dari para ahli, David M.L. Tobing dalam kesimpulan untuk mengartikan konsep perjanjian baku dari berpendapat, bahwa

klasula baku :93

1. Perjanjian baku bukanlah perjanjian murni karena pada saat dibuat hanya ada satu pihak yang mengetahuinya yaitu si pembuat itu sendiri/tidak ada negosiasi (perjanjian sepihak).

91

David M.L Tobing, Op.cit, hlm. 39.

92

Ibid.

93

(21)

2. Perjanjian baku memuat syarat-syarat eksonerasi yang membuat perbatasan dan/atau pengalihan tanggung jawab dari si pembuat perjanjian baku (pelaku usaha).

3. Isi perjanjian sudah dibuat dan ditetapkan terlebih dahulu oleh satu pihak dan untuk diberlakukan secara berulang-ulang. Biasanya oleh pengusaha atau produsen dalam melakukan perjanjian dengan konssumen.

4. Perjanjian baku tersebut sudah dicetak dalam suatu kertas perjanjian dan tidak dapat dilakukan perubahan lagi kecuali oleh yang mebuat dan menetapkan (klausula baku).

Pengertian klausula baku dalam UUPK diatur dalam Pasal 1 angka 10 yang memberikann rumusan tentang klausula baku sebagai setiap aturan atau ketentuan dengan syarat yang telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian

yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.94

Dengan berlakunya perjanjian baku tersebut muncul suatu permasalahan bagi pihak lain, yakni bahwa perjanjian itu bersifat “berat sebelah”. Perjanjian berat sebelah adalah bahwa perjanjian itu hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja yaitu pihak yang mempersiapkan perjanjian baku tersebut. Tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajiban pihak lainnya sedangkan apa yang menjadi hak-hak piahk lainnya itu tidak disebutkan.

94

(22)

C. Perlindungan Bagi Konsumen dan Pelaku Usaha Terhadap Perjanjian Klausula Baku

Menurut Remy Sjahdeni, agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas kebebasan berkontrak ini oleh pihak yang kedudukan lebih kuat, maka diperlukan campur tangan melalui undang-undang dan pengadilan. Dalam hukum perburuhan, misalnya ada pembatasan-pembatasan dalam kontrak kerja. Campur tangan pengadilan dapat dijumpai dalam alasan penyebab putusanya perjanjian,

yang dikenal dengan istilah penyalahgunaan keadaan (mibruik van

omstandigheden). Dalam KUHPerdata baru Negeri Belanda, penyalahgunaan

keadaan ini dikukuhkan sebagai alasan keempat dan cacat kehendak.95

Dalam kenyataannya, campur tangan yang disarankan itu dapat dilakukan oleh pemerintah. Misalnya saja dalam lapangan perburuhan dan agraria sangat banyak dilakukan standardisasi perjanjian. Akan tetapi, untuk perjanjian-perjanjian keperdataan yang dibuat oleh notaris, tentu tidak harus distandardisasi. Perjanjian-perjanjian berskala luas, walaupun tidak mnya bersifat publik seperti di bidang perburuhan dan agraria. Perjanjian berskala luas yang dimaksud pembuatannya secara sepihak kepada pelaku usaha, dikhawatirkan akan membuat

banyak klausula eksonerasi yang merugikan masyarakat.96

Dikaitkan dengan klausula dalam karcis parkir sebagai salah satu bentuk perjanjian baku yang tunduk pada syarat-syarat sahnya perjanjian dalam KUHPerdata, maka perjanjian baku tersebut harus memiliki adanya kata sepakat dari pihak yang cakap untuk membuat tindakan hukum mengenai suatu hal yang

95

Shidarta, Op. Cit, hlm. 122.

96

(23)

halal. Dengan demikian klausula yang menyatakan bahwa pengelola parkir tidak bertanggung jawab atas kerusakan ataupun kehilangan di tempat parkir bertentangan dengan hukum dengan kata lain tidak memenuhi salah satu unsur perjanjian dan perjanjian baku tersebut batal demi hukum karena tidak memenuhi

syarat objektif.97

Dalam UUPK, istilah klausula baku ada di Pasal 1 angka 10 mendefinisikan sebagai, setiap aturan ataupun ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Jadi yang ditekankan adalah prosedur pembuatannya yang bersifat sepihak, bukan mengenai isinya.

Sehubung dengan UUPK, ketentuan mengenai klausula baku ini diatur dalam Bab V Tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku yang hanya terdiri dari satu pasal, yaitu Pasal 18 tersebut, secara prinsip mengatur dua macam larangan dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Pasal 18 ayat (1) mengatur larangan pencantuman klausula baku, Pasal 18 ayat (2) mengatur bentuk atau format, serta penulisan perjanjian baku yang dilarang.

Pasal 18 ayat (1) huruf (a) menyatakan pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan huruf (b) dan seterusnya sebenarnya memberikan contoh bentuk-bentuk pengalihan tanggung

97

(24)

jawab itu, seperti pelaku usaha dapat menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen, atau menolak penyerahan kembali uang yang dibayar, dan

sebagainya.98

Tidak disitu saja pengaturan tentang klausula baku ini berhenti karena terhadap pelanggaran yang dilakukan berkaitkan dengan tidak dipenuhinya ketentuan pada Pasal 18 ini juga diberikan ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur pada Pasal 62 UUPK ayat (1) yaitu, pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf, c, huruf e, dan ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Dengan adanya pengaturan terhadap Perlindungan Konsumen terutama pada peraturan yang berikatan dengan klausula baku sedikit banyak menyadarkan masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang

(semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian baku.99

Serta paling tidak memberikan gambaran bahwa perlu adanya suatu sarana bagi peningkatan perlindungan terhadap penggunaan klausula baku, yang tentu saja merugikan salah satu pihak pada perjanjian. Dimana pengaturan ini merupakan tonggak awal bagi adanya keseimbangan dalam penempatan pihak pada suatu perjanjian.

98

Shidarta, Loc.cit.

99

(25)

BAB IV

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP

PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 (Sudi Kasus PT. Sky Parking)

A. Pengaturan Hubungan Hukum Antara Konsumen dengan Pihak Pengelola Perparkiran

Hubungan hukum antara satu pihak terhadap pihak lain, dapat muncul karena dari adanya hubungan hukum dua belah pihak yang disebut perikatan. Berdasarkan pada Pasal 1233 KUHPerdata menegaskan bahwa Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Selanjutnya pada Pasal 1313 KUHPerdata menegaskan bahwa suatu persetujuan ialah suatu perbuatan

yang satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.100

Sedangkan perikatan yang timbul karena hukum (undang-undang), timbul karena perbuatan baik itu perbutan yang sesuai dengan hukum maupun perbuatan yang melanggar hukum. Pada Pasal 1352 KUHPerdata menegaskan bahwa perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. Pasal 1353 KUHPerdata, perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, muncul dari suatu perbuatan yang sah atau dari perbuatan yang melanggar hukum. Dengan demikian dapat dikatan bahwa perikatan, lahir karena

100

Basri, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Parkir, Tarakan, Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan, 2015, Vol. XX, No. 1, hlm. 42.

(26)

suatu perjanjian, atau karena undang-undang. Lahir karena perjanjian, apabila adanya perikatan itu akibat kehendak para pihak itu sendiri, serta lahir karena undang-undang, apabila adanya perikatan itu akibat berlakunya aturan tertentu,

atau perbuatan seseorang (baik yang sah, maupun yang melawan hukum).101

Terkait masalah jasa parkir dapat dilihat bahwa jasa parkir merupakan suatu perikatan yang bisa timbul karena perjanjian atau perikatan yang timbul karena undang-undang, jika dilihat sebagai suatu perikatan yang timbul karena perjanjian maka termasuk perjanjian penitipan barang.

Perjanjian penitipan barang dalam KUHPerdata diatur mulai dari Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1729. Pasal 1694 menegaskan bahwa, Penitipan adalah terjadi apabila seorang menerima sesuatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam ujud asalnya. Pasal 1696 ayat (1) menegaskan bahwa, Penitipan barang sejatinya dianggap telah dibuat dengan cuma-cuma jika tidak diperjanjikan dengan sebaliknya. Pasal 1706 KUHPerdata menegaskan bahwa, Penerima titipan wajib memelihara barang titipan itu dengan sebaik-baiknya seperti memelihara barang-barang kepunyaan sendiri. Pasal 1707 Ketentuan dalam pasal di atas ini wajib diterapkan secara lebih teliti, antara lain:102

a. Jika penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan barang itu;

b. Jika ia meminta dijanjikan suatu upah untuk penitipan itu;

c. Jika penitipan itu terjadi terutama untuk kepentingan penerima titipan;

101

Ibid.

102

(27)

d. Jika diperjanjikan dengan tegas, bahwa penerima titipan bertanggungjawab atau semua kelalaian dalam menyimpan barang titipan itu.

Pengkualifikasian perjanjian parkir relevan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian parkir dan perlu diperhatikan bahwa dalam prakteknya di Indonesia pihak konsumen sudah langsung merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang sangat umum. Jika kualifikasi perjanjian parkir ternyata perjanjian sewa menyewa, posisi pengelola parkir tentu lebih bebas, namun kenyataannya perjanjian parkir dikualifikasikan sebagai perjanjian penitipan barang.

Dalam KUHPerdata sendiri, telah diatur kewajiban penerima titipan (dalam hal ini pengelola parkir) yang cukup ketat, di mana perjanjian penitipan bukan hanya perikatan yang prestasinya bersifat usaha (untuk menjaga barang tersebut), namun juga bersifat hasil (untuk mengembalikan barang tersebut dalam kondisi

yang sama dengan saat diterima).103

Pelaku usaha sangat membutuhkan dan sangat bergantung atas dukungan konsumen sebagai pelanggan atau pengguna jasa. Tanpa dukungan konsumen, tidak mungkin pelaku usaha dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya, konsumen kebutuhannya sangat bergantung dari hasil barang dan/atau jasa pelaku usaha.

PT. Sky Parking merupakan perusahaan pengelola perparkiran yang memberikan atau menyediakan tempat parkir yang dibutuhkan oleh konsumen yang digunakannya untuk meletakkan kendaraannya tidak jauh dengan tempat

103

(28)

tujuannya dan pemberian karcis parkir atau tiket parkir sebagai alat bukti konsumen terhadap kendaraannya, karcis tersebut juga berguna untuk menentukan tarif parkir atau upah parkir pada kendaraan konsumen pada saat keluar dari areal parkir.

Selain itu pelayanan PT. Sky Parking berikan kepada konsumen pengguna jasa perparkiran adalah untuk mendapatkan rasa nyaman dan aman seperti :

1. Lot Parking;

2. Pelayanan di pos keluar sdm; 3. Pelayanan di pos masuk otomatis; 4. CCTV setiap lantai.

Dalam perjanjian penitipan barang tanggung jawab pengelola parkir terhadap konsumen parkir adalah memelihara barang titipan itu dengan

sebaik-baiknya seperti memelihara barang-barang kepunyaan sendiri serta

mengembalikan kendaraan dalam keadaan semula, ketentuan tersebut bahkan harus lebih teliti lagi jika penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan barang itu dan jika ia meminta dijanjikan suatu upah untuk penitipan itu. Dengan kata lain apabila terjadi kerusakan dan bahkan kehilangan kendaraan di areal parkir merupakan tanggung jawab pengelola parkir.

Sistem peraturan hukum antara konsumen dengan pengelola perparkiran PT. Sky Parking dengan memberikan lahan atau areal parkir kepada konsumen dan disertai pemberian karcis parkir pada saat masuk ke dalam areal parkir yang berguna sebagai alat bukti konsumen atas kendaraan nya yang berada di lot parkir.

(29)

Pada saat dilapangan didapati bukti PT. Sky Parking mengalihkan tanggung jawab ketika kendaraan konsumen rusak atau hilang, Dengan dicantumkannya klausula baku yang berbunyi resiko atas segala kerusakan dan kehilangan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang didalamnya merupakan kewajiban pemilik kendaraan itu sendiri. Klausula tersebut sangat jelas mengalihkan tanggung jawab PT. Sky Parking sebagai pengelola perparkiran yang tanggung jawab nya dibebankan kepada konsumen.

Dikaitkan dengan perjanjian jasa parkir maka jika perjanjiannya dianggap sebagai perjanjian sewa menyewa maka terdapat beberapa unsur-unsur tertentu terkait perjanjian sewa menyewa yang diatur di dalam KUHPerdata yang tidak dapat terpenuhi secara dalam perjanjian parkir sebab si pemilik kendaraan yang menyewa lahan parkir tidak serta merta menguasai lahan yang disewa selama jangka waktu sewa, dalam arti setelah memarkirkan kendaraan si penyewa langsung meninggalkan lahan parkir sehingga tidak dapat menguasai atau memelihara lahan parkir dan konstruksi sewa menyewa ini adalah sewa menyewa tidak murni sehingga apabila terjadi kehilangan atau kerugian atas kendaraan di lahan yang disewa, maka penyewa masih mempunyai hak untuk menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyewakan lahan karena walaupun lahan parkir telah disewakan kepada konsumen, namun penguasaan lahan parkir tetap pada pihak

yang menyewakan (pengelola parkir).104

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2078 K/ Pdt/2009 Perkara PT Securindo Packatama Indonesia vs Sumito Y. Viansyah (kasus kehilangan sepeda motor di tempat parkir). Mahkamah Agung menyatakan bahwa hubungan

104

(30)

hukum antara pengguna jasa parkir parkir dengan pengelola tempat parkir

merupakan perjanjian penitipan.105

Diperkuatnya hubungan hukum antara pengguna jasa parkir dengan pengelola parkir oleh Putusan Mahkamah Agung tersebut dapat dinyatakan merupakan perjanjian penitipan barang bukan perjanjian sewa menyewa.

Sangat disayangkan, apabila bisnis yang sangat menjanjikan keuntungan yang besar ini tanpa diimbangi tanggung jawab dari PT. Sky Parking terhadap kendaraan milik konsumen. Pada umumnya pengelola parkir masih berlindung di bawah Peraturan Daerah, yaitu Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2002 yang menindas hak-hak konsumen pengguna jasa parkir.

Pengelola perparkiran berlindung dengan adanya ketentuan pada Pasal 13 ayat (2), petugas parkir dibebaskan dari tuntutan hukum atas kerusakan, kehilangan kendaraan serta barang-barang di dalamnya, dan ketentuan Pasal 13 ayat (3) yang berbunyi petugas parkir bertanggung jawab moral atas kerusakan,

kehilangan kendaraan serta barang-barang di dalamnya.106

Ketentuan pada Peraturan Daerah ini terutama mengenai tanggung jawab moral yang dimiliki petugas parkir berakibat pada tidak seriusnya pengamanan terhadap kendaraan yang parkir di lahar parkir yang ia kelola. Hal ini jelas membuat lemahnya kedudukan konsumen parkir untuk dapat menuntut kerugian apabila terjadi kerusakan atau kehilangan pada kendaraanya yang diparkirkan di areal parkir. Selain itu pihak pengelola parkir dibebaskan dari tuntutan terhadap

105

www.nasima.wordpress.com, Masalah Perjanjian Parkir, https://nasima.wordpress.com /2012/08/13/masalah-perjanjian-parkir, diakses tanggal 15 Juli 2017.

106

(31)

hilangnya kendaraan yang diparkirkan sebagaimana yang dicantumkan dalam

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2002.107

B. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Jasa Perparkiran yang Kendaraanya Rusak atau Hilang

Perlindungan hukum PT. Sky Parking dengan konsumen pengguna jasa tidak terlihat dikarenakan pencantuman klausula baku yang dibuat oleh pihak PT. Sky Parking berindikasi terhadap pelanggaran kewajiban pelaku usaha untuk beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, karena dengan pencantuman klausula baku yang bersifat eksonerasi berarti pihak PT. Sky Parking berusaha mengalihkan tanggung jawab terhadap kerusakan atau kehilangan kendaraan di areal parkir yang dikelolanya.

Pengertian klausula baku tidak sekedar mempersoalkan prosedur pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat mengalihkan kewajiban atau

tanggung jawab pelaku usaha.108

Pencantuman klausula baku ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUPK yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Rusak atau hilangnya kendaraan yang dialami oleh konsumen merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh pengelola parkir terhadap hak konsumen atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dala mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Pengelola parkir telah melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kehilangan kendaraan konsumen pengguna jasa.

107

Ibid, hlm. 66.

108

(32)

Selain itu, dengan hadirnya Putusan Mahkamah Agung mengenai kasus kehilangan kendaraan No.1264/K/Pdt/2005, klausula baku tersebut tidak berlaku

karena sudah batal demi hukum, karena dilanggarnya ketentuan dalam UUPK.109

Putusan ini juga dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim-hakim lain yang mengadili perkara yang serupa sehingga terdapat adanya kesamaan hak dan

kewajiban antara pemilik kendaraan dan pengelola parkir.110

Konsumen dalam hal ini pengguna jasa tidak perlu ragu lagi untuk melakukan tuntutan ganti rugi karena klausula baku tentang pengalihan tanggung

jawab yang dijadikan “benteng” oleh pengelola parkir telah batal demi hukum.111

PT. Sky Parking memberikan bentuk perlindungan hukum kepada konsumen kerusakan atau kehilangan dengan melakukan prosedur olah TKP. Contoh permasalahan, kehilangan spion mobil pasti ada bekas serpihan yang disebabkan karena patahan spion, dan juga pengecekan CCTV dari pintu masuk terdapat 2 CCTV depan dan belakang.

Olah TKP berguna agar tidak adanya tindak kecurangan oleh konsumen kepada PT. Sky Parking, karena pernah di alami oleh PT. Sky Parking ketika konsumen melaporkan kendaraannya rusak dan pada saat dilakukakan pemeriksaan dan olah TKP di dapati kerusakan pada kendaraan tersebut sudah ada pada saat sebelum memasuki areal parkir.

Kerusakan kendaraan konsumen yang berada di areal parkir PT. Sky Parking biasanya disebabkan oleh kelalaian oleh konsumen tersebut. Salah satu kerusakan

109

Zaky Siraj Hasibuan, Ibid, hlm. 78.

110

Ibid.

111

(33)

nya adalah kehilangan spion mobil dan terbaret pada badan mobil karena posisi kendaraan tidak sesuai dengan lot parkir sedangkan motor kehilangan barang yang berada di kendaraan nya seperti helm atau pun barang pribadi si pemilik motor tidak di titipkan di tempat penitipan helm dan barang pribadi ditinggalkan (digantungkan) begitu saja pada kendaraan tersebut.

PT. Sky Parking untuk saat ini belum pernah mengalami kehilangan kendaraan di areal parkir mereka baik kendaraan roda 4 (empat) kecuali kendaraan roda 2 (dua) yang disebabkan oleh konsumen di tipu dengan orang yang baru dikenal. Terlebih areal parkir yang berada dalam gedung dan keluar dari areal parkir memerlukan bukti untuk keluar yaitu karcis parkir atau tiket parkir.

Tanggung jawab PT. Sky Parking kepada konsumen dengan permasalahan kerusakan kendaraan konsumen dengan menyelesaikan secara damai atau kekeluargaan dan mengganti rugi tidak dengan harga baru atau barang baru dan memberikan parkir VIP secara gratis salam 1 (satu) bulan sebagai permohonan maaf itu juga konsumen sepakat dengan pertanggung jawaban oleh PT. Sky Parking.

Dalam pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Maka dari ketentuan pasal tersebut pelaku usaha bertanggung jawab apabila produk yang dihasilkan

(34)

atau diperdagangkan tersebut mengalami kerusakan, pencemaran, ataupun

kerugian pada konsumen.112

Pada Pasal 18 ayat (3) menegaskan bahwa setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. Perjanjian klausula baku yang memuat klausula eksonerasi didalamnya dan berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUPK dinyatakan batal demi hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UUPK menjadi lex specialist dari pengaturan umum yang ada pada KUHPerdata khususnya pada Pasal 1493 dan Pasal 1494.

Klausula baku dalam perjanjian boleh saja dibuat akan tetapi tidak boleh mengalihkan, membatasi atau menghindari tanggung jawab. Tidak boleh mengalihkan beban kepada konsumen, ada batasan-batasan klausula yang boleh dimuat dalam perjanjian.

Dari hasil wawancara penulis kepada PT. Sky Parking, konsumen pernah menanyakan perihal klausula baku yang dicantumkan oleh PT. Sky Parking. Tanggapan PT. Sky Parking dengan pertanyaan konsumen tersebut hanya dengan menjelaskan bahwa PT. Sky Parking memberikan kepastian keamanan kendaraan yang berada areal parkir tetap aman meskipun tidak di awasi oleh petugas lapangan tetapi CCTV tetap dipantau oleh petugas.

Jika hanya dengan pernyataan keamanan dan kenyamanan yang diberikan oleh PT. Sky Parking kepada konsumen. Bagaimana konsumen bisa merasa nyaman dan aman terlebih dengan kejadian yang pernah dialami oleh

112

(35)

konsumen lain yang sudah dirugikan akibat tidak adanya pertanggung jawaban yang sesuai dengan UUPK terlebih PT. Sky Parking membedakan keamanan terhadap kendaraan motor, kendaraan mobil dan kendaraan mobil VIP.

C. Penyelesaian Sengketa Akibat Dari Pencantuman Klausula Baku PT. Sky Parking dengan Pengguna Jasa Perparkiran

Sengketa konsumen umum timbul karena tidak terpenuhinya hak konsumen atas barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha dan tidak terpenuhinya kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha bagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Menurut Janus Sidabolak suatu

sengketa konsumen bersumber dari :113

1. Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur di dalam undang-undang. Artinya, pelaku usaha mengabaikan ketentuan-ketentuan undang-undang mengenai kewajiban sebagai pelaku usaha dan larangan-larangan yang dikenakan padanya dalam menjalankan usahanya. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa bersumber dari hukum; dan

2. Pelaku usha atau konsumen yang tidak mentaati isi perjanjian, yang berarti baik pelaku usaha maupun konsumen tidak mentaati kewajibannya sesuai dengan kontrak atau perjanjian yang dibuat diantara mereka. Sengketa ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari kontrak.

Pada umumnya sengketa yang timbul dalam lingkup usaha perparkiran adalah sengketa yang bersumber dari hukum dimana pengelola parkir tidak memenuhi kewajibannya dan/atau bahkan mengalihkan sebagian atau seluruh tanggung

113

Janus Sidabolak, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 143-144.

(36)

jawabnya kepada konsumen parkir sperti dalam hal tidak mau bertanggung jawab dalam hal hilangnya kendaraan konsumen parkir yang diparkir di dalam area parkir yang dikelola oleh pengelola parkir.

Untuk mengatasi kerumitan proses pengadilan, Undang-Undang

Perlindungan Konsumen memberi jalan alternative dengan menyediakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan, jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Dalam menyelesaikan permasalahan kebanyakan pelaku usaha juga tidak ingin mencederai hubungan antara konsumen yang dapat mengakibatkan rusaknya nama baik pelaku usaha tersebut. PT. Sky Parking dalam menyikapi penyelesaian sengketa dengan konsumen biasanya merujuk kepada penyelesaian sengketa damai.

Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersengketa dimaksud adalah penyelesaian sengketa antara para pihak, dengan atau tanpa kuasa/pendamping bagi masing-masing pihak melalui cara-cara damai. Perundingan secara musyawarah dan/atau mufakat antara para pihak yang bersangkutan. Penyelesaian sengketa dengan cara ini disebut orang pula

“penyelesaian secara kekeluargaan”.114

114

(37)

Dasar hukum penyelesaian sengketa secara damai ini terdapat pada Pasal 1851-1854 KUHPerdata Tentang Perdamaian/ Dading dan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 42 ayat (2) jo. Pasal 47.

Dengan cara penyelesaian sengketa secara damai ini, sesungguhnya ingin diusahakan bentuk penyelesaian yang “mudah, murah dan (relatif) lebih cepat”. Namun penyelesaian sengketa secara damai membutuhkan kemauan dan

kemampuan berunding untuk mencapai penyelesaian sengketa secara damai.115

Penolakan tanggung jawab yang dilakukan oleh pengelola perparkiran terhadap kerusakan kendaraan yang dialami oleh konsumen perpakiran didasarkan atas adanya klausula baku yang dicantumkan pada karcis parkir atau tiket parkir yang diberikan kepada konsumen dengan anggapan bahwa konsumen parkir tersebut dengan isi perjanjian di dalamnya.

Rijken mengatakan bahwa klausula baku adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang

terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.116

Dalam praktik PT. Sky Parking ditemui klausula baku pada karcis parkir atau tiket karcis, ketentuan tersebut menyatakan bahwa PT. Sky Parking mengalihkan tanggung jawab yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya berpindah menjadi tanggung jawab konsumen. Dengan adanya pengaturan pembebasan tanggung

115

Ibid, hlm. 224.

116

(38)

jawab yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Medan sebagai alasan maka diizinkannya pencantuman klausula baku dalam perjanjian standar karcis parkir.

Perjanjian klausula baku yang dicantumkan PT. Sky Parking sebagaimana disebutkan merupakan perbuatan melanggar hukum karena secara tegas hal tersebut dilarang oleh Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUPK yang menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku

usaha.117

Pada Pasal 18 ayat (1) secara keseluruhan mencantumkan larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku

usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.118

Penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa memang benar pencantuman klausula baku pengalihan tanggung jawab telah melanggar prinsip kebebasan

berkontrak dalam KUHPerdata seperti yang telah diuraikan sebelumnya.119

Tentu saja hal ini sangat merugikan pihak konsumen parkir, dan terhadap sikap pengelola parkir yang tidak bertanggung jawab tersebut. UUPK mengatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 sebagai berikut :

117

David M.L. Tobing, Ibid.

118

Ibid.

119

(39)

1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 4 huruf (h) UUPK menyebutkan dengan hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian, yaitu kerugian yang menimpa harta benda seseorang, sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan. Kedua bentuk kerugian tersebut dapat dinilai dengan uang (harta kekayaan). Penentuan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, pada dasarnya harus berpegang pada asas

(40)

bahwa ganti kerugian yang harus dibayar sedapat mungkin membuat pihak yang

rugi dikembalikan pada kedudukan semula seperti sebelum terjadinya kerugian.120

PT. Sky Parking membedakan jenis pertanggung jawaban pengguna jasa parkir biasa dan parkir VIP. Perbedaan pertanggung jawaban tersebut kepada konsumen yang menggunakan jasa parkir VIP jika terjadi kerusakan atau kehilangan akan di tanggung sepenuhnya oleh pihak pengelola perparkiran dan jika terjadi kerusakan atau kehilangan pada pengguna parkir biasa bentuk pertanggung jawabannya tidak diselesaikan secara sepenuhnya dan tidak di ganti dengan harga baru atau barang baru.

Pelaku usaha sangat membutuhkan dan sangat bergantung atas dukungan konsumen sebagai pelanggan atau pengguna jasa. Tanpa dukungan konsumen, tidak mungkin pelaku usaha dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya,

konsumen kebutuhannya sangat bergantung dari hasil barang/jasa pelaku usaha.121

PT Sky Parking seharusnya bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan dan hilangnya kendaraan dalam areal parkir tanpa ada perbedaan tanggung jawab baik pada kendaraan motor, kendaraan mobil dan kendaraan mobil VIP. Karena ada ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur pada Pasal 62 UUPK ayat (1) yaitu, pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf, c, huruf e, dan ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

120

www.wordpress.com, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen, http://www. wordpress. com/2013/06/03//, diaskes tanggal 15 Juli 2017.

121

(41)

Kerugian yang dialami konsumen juga harus dibuktikan secara benar dan pasti agar pelaku usaha seperti PT. Sky Parking dapat bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian yang diperbuatnya. Hal ini bukan untuk membuat para pelaku usaha menjadi rugi, melainkan menjadi motivasi untuk membuat pelayanan yang lebih baik lagi kepada konsumen yang menggunakan jasa pengelolaan parkir tersebut.

Dengan adanya pengaturan terhadap Perlindungan Konsumen terutama pada peraturan yang berikatan dengan klausula baku sedikit banyak menyadarkan masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang

(semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian baku.122

122

(42)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengaturan tentang hubungan hukum antara pengelola perparkiran dengan konsumen pengguna jasa adalah perjanjian penitipan barang berdasarkan pada KUHPerdata dari Pasal 1694 sampai dengan Pasal 1729. Dalam perjanjian penitipan barang tanggung jawab pengelola parkir terhadap konsumen parkir adalah memelihara barang titipan itu dengan sebaik-baiknya seperti memelihara barang-barang kepunyaan sendiri serta mengembalikan kendaraan dalam keadaan semula, ketentuan tersebut bahkan harus lebih teliti lagi jika penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan barang itu dan jika ia meminta dijanjikan suatu upah untuk penitipan itu. Dengan kata lain apabila terjadi kerusakan dan bahkan kehilangan kendaraan di areal parkir merupakan tanggung jawab pengelola parkir.

2. Rusak atau hilangnya kendaraan yang dialami oleh konsumen merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh pengelola parkir terhadap hak konsumen atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Perlindungan hukum konsumen pengguna jasa perparkiran PT. Sky Parking yang kendaraannya rusak tidak sepenuhnya dipertanggung jawabkan oleh PT. Sky Parking dengan adanya klausula baku pada karcis parkir yang menyebutkan pengalihan tanggung jawab kepada konsumen. Pencantuman klausula baku PT. Sky Parking yang bersifat eksonerasi menghilangkan tanggung jawab ganti rugi atas terjadinya kehilangan

(43)

bertentangan dan tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3. Penyelesaian sengketa secara damai atau kekeluargaan yang diterapkan oleh PT. Sky Parking, mengupayakan penyelesaian dengan mudah, murah dan relative lebih cepat. Namun penyelesaian sengketa secara damai membutuhkan kemauan dan kemampuan berunding untuk mencapai penyelesaian sengketa secara damai dan tidak merugikan salah satu pihak. Pengelola perparkiran harus tunduk dan patuh pada peraturan-peraturan yang berlaku bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

B. Saran

1. Perlu adanya pengaturan tentang perparkiran secara khusus terutama mengatur tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen parkir dan pengelola perparkiran. Pengaturan tersebut bertujuan sebagai upaya pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran yang kerap dilakukan oleh pengelola perparkiran.

2. Pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap pengelola parkir terkait pencantuman klausula baku sebagaimana yang telah diatur Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengenai ketentuan pencantuman klausula baku dan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 7 Tahun 2002 dinyatakan dicabut karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

(44)

yang merupakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari Peraturan Daerah Kota Medan tersebut. Klausula baku dalam perjanjian boleh saja dibuat akan tetapi tidak boleh mengalihkan, membatasi atau menghindari tanggung jawab.

3. Penyelesaian sengketa yang dilakukan PT. Sky Parking harus sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sehingga PT. Sky Parking tidak terlepas dari tanggung jawab kepada konsumen pengguna perparkiran. Kerugian yang dialami konsumen juga harus dibuktikan secara benar dan pasti agar pelaku usaha PT. Sky Parking dapat bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian yang diperbuatnya.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis data tersebut jelas bahwa dilihat dari indicator yang pertama yaitu komunikasi kepala desa dengan lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang terkait di dalam

Gambar 4.18 Laju Kegagalan Cooler 115-C Terhadap Waktu Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa laju kegagalannya adalah decreasing failure rate, di mana

Tabel 4.4 tersebut di atas, merupakan garis besar dari prosesi ritual tabut di Provinsi Bengkulu yang dalam perkembangannya telah mengalami pergeseran nilai

( - Kata ³Yunani´ itu tak berarti menunjuk etnik Yunani, sama seperti ³Roma´ Katolik tak menunjuk pengikutnya sebagai bangsa Roma, namun untuk menunjuk ekspresi karya

Bidang Pemberdayaan Sosial mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan dan data serta petunjuk teknis dalam rangka penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pengkoordinasian,

Di bawah ini adalah nilai-nilai budaya yang cenderung dapat bertahan dalam masyarakat Indonesia, kecuali .... interaksi pada

Umum Desain Industri Pengadilan Niaga 30 hr 30 hr Penerimaan Permohonan (Ps.18) Pemeriksaan Administratif (Ps.19 s.d. Ps.20) Memenuhi Persyaratan Tidak Memenuhi

Siklus ketiga, hasil dari pemetaan dan digitasi wilayah ketersediaan pangan daerah Kabupaten Malang sesuai uraian pada siklus kedua, maka dilakukan perencanaan