• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI BEHAVIORISME DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM. Oleh: Leni Fitrianti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEORI BEHAVIORISME DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM. Oleh: Leni Fitrianti"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI BEHAVIORISME DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Oleh: Leni Fitrianti

Lenifitrianti91@gmail.com

Abstrak

Behaviorisme merupakan aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, Behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Dalam konsep Behaviorisme, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat di ubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Demikian, terlihat jelas bahwa kaum Behaviorime tidak mengakui adanya kemampuan dasar yang dibawa oleh manusia sejak lahir yang disebut dengan fitrah (potensi).

Kata Kunci: Behaviorisme, Psikologi, Fitrah

A. Pendahuluan

Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran peserta didik. Berdasarkan suatu teori belajar, suatu pembelajaran diharapkan dapat lebih

meningkatkan perolehan peserta didik sebagai hasil belajar.1 Sehingga dengan teori

belajar, guru dapat memahami bagaimana peserta didik belajar. Di antara sekian banyak teori belajar itu adalah teori belajar Behaviorisme yang dipelopori oleh John Broadus Watson.

Teori Behaviorisme dengan model hubungan stimulus-responnya,

mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dihasilkan oleh pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila diberi hukuman.

1

Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik;

Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya, (Jakarta: Prestasi Pustaka

(2)

Menurut teori Behaviorisme ini, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.

B. Pembahasan

1. Konsep Dasar Teori Behaviorisme

Secara bahasa behaviorisme terdiri dari kata behavior dan ism yang berasal dari bahasa inggris, kata behavior memiliki arti “kelakuan”, dan ism yang berarti “aliran”. Behaviorisme berarti “Aliran Perilaku”. Kemudian secara istilah behaviorisme diartikan sebagai teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan.

Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, Behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Dalam konsep Behaviorisme, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat di

ubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar.2

Teori Behaviorisme menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Teori ini menggunakan model hubungan stimulus-respons dan menempatkan peserta didik sebagai individu yang pasif. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulus) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Pembelajaran dilakukan dengan memberi stimulus kepada peserta didik agar menimbulkan respons

2

Mohamad Surya, Teori-teori Konseling, (Bandung: CV Pustaka Bani Quraisy, 2003), h. 22

(3)

yang tepat seperti yang diinginkan. Hubungan stimulus respons ini jika diulang akan menjadi sebuah kebiasaan. Respons atau perilaku tertentu diperoleh dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan. Jika peserta didik menemukan kesulitan atau masalah, guru dapat menyuruhnya untuk mencoba dan mencoba lagi (trial and error) sampai memperoleh hasil. Disamping itu, penguatan (reinforcement) dapat dilakukan untuk memperkuat timbulnya respons. Munculnya perilaku akan semakin kuat jika diberikan penguatan dan akan menghilang jika dikenakan

hukuman.3

Ada beberapa ciri dari rumpun teori ini, yaitu : a. Mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian terkecil. b. Bersifat mekanistik.

c. Menekankan peranan lingkungan.

d. Mementingkan pembentukan reaksi atau respon.

e. Menekankan pentingnya latihan.4

2. Latar Belakang Munculnya Teori Behaviorisme

Teori belajar behaviorisme lahir sebagai upaya penyempurnaan dua perspektif yang telah berlaku diawal abad 20, yaitu perspektif strukturalis dari Wundt dan psikologis fungsionalis dari Dewey. Perspektif strukturalis percaya akan penelitian dasar yang mempelajari tentang otak manusia. Para strukturalis tidak percaya pada penelitian aplikatif yang menggunakan binatang untuk dirampatkan kepada manusia. Para strukturalis kemudian menggunakan alat “instrospeksi” laporan diri (self report) tentang proses berpikir sebagai cara untuk mempelajari kerja otak manusia. Kemudian, Para ahli psikologi fungsionalis menyatakan perlu adanya kajian tentang prilaku selain kajian tentang fungsi proses mental.

John B. Watson memulai upayanya untuk mengkaji perilaku terlepas dari proses mental dan lain-lain. Menurutnya, semua makhluk hidup menyesuaikan diri

3

Ridwan Abdullah Sani, Inovasi Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 4-5

4

Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi dalam Proses Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 168

(4)

terhadap lingkungannya melalui respon. Asumsi inilah yang menjadi landasan dasar

dari teori belajar behaviorisme.

Aliran Behaviorisme muncul karena adanya penolakan terhadap pandangan dari aliran pendahulunya, yaitu aliran psikoanalisa yang memandang bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh insting tak sadar. Aliran Behaviorisme ini lebih memandang aspek stimulasi lingkungan yang dapat membentuk perilaku manusia dengan lingkungan eksternal. Aliran Behaviorisme ini mengganti konsep kesadaran dan ketidaksadaran aliran psikoanalisa dengan istilah stimulus, respons, dan habit. Stimulus dimaknai dengan sesuatu yang dapat dimanipulasi atau direkayasa lingkungan sebagai upaya membentuk perilaku manusia melalui respons yang muncul sebagaimana yang diharapkan lingkungan, sedangkan habit adalah hasil

pembentukan perilaku tersebut.5

3. Teori-Teori Belajar Behaviorisme

Ada banyak teori belajar yang termasuk dalam paradigma Behaviorisme,

berikut penulis sajikan tokoh-tokoh Behaviorisme beserta teori yang

dikemukakannya:

a. Edwar L. Thorndike (koneksionisme)

Teori koneksionisme ditemukan dan dikembangkan oleh Edwar L. Thorndike

(1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890an.6 Menurut

Thorndike, seluruh kegiatan belajar didasarkan pada jaringan asosiasi atau hubungan (bonds) yang dibentuk antara stimulus dan respon. Karena itu, teori ini disebut juga S-R bonds theory atau S-R psychology of learning. Selain itu, teori ini juga disebut

trial and error learning. Hal ini karena hubungan yang terbentuk antara stimulus dan

respon timbul terutama melalui trial and error, yaitu suatu upaya mencoba berbagai stimulus untuk mencapai respon meski berkali-kali mengalami kegagalan.

5

Rendra K., Metodologi Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 56

6

(5)

Dalam eksperimennya, Thorndike menggunakan berbagai jenis hewan percobaan, di antaranya kucing. Pertama-tama, kucing diletakkan dalam sangkar berjeruji (puzzel box) yang dilengkapi dengan peralatan seperti tuas pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan tuas dan gerendel. Peralatan tersebut dipasang sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut dapat membuka sangkar dan menjangkau makanan yang terletak di depan sangkar, dengan suatu usaha. Mula-mula kucing mengeong, mencakar, melompat dan berlari-larian, namun berkali-kali usaha itu gagal. Kucing itu terus berusaha dan berusaha sehingga

akhirnya berhasil, pintu sangkar terbuka dan kucing dapat mencapai makanan.7

Apabila diperhatikan dengan saksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan didapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tidak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk ke luar. Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar. Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzel box. Makanan ini merupakan efek positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respon tersebut. Hukum belajar inilah yang mengilhami munculnya konsep reinforcer dalam teori operant conditioning

hasil penemuan B.F Skinner.8

Thorndike juga membuat rumusan hukum belajar. Tiga hukum belajar mayor yang dikemukakan oleh Thorndike adalah law of readiness, law of exercise, dan law

of effect.

7

Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 66 8

(6)

1) Law of Readiness (hukum kesiapan)

Belajar akan terjadi bila ada kesiapan dari individu. Manakala organisme, baik manusia maupun hewan, memiliki kesiapan untuk belajar, maka ia akan mengalami kepuasan, tetapi jika ia tidak siap maka akan terjadi kekecewaan. Thorndike percaya bahwa kesiapan adalah kondisi belajar yang penting, karena kepuasan atau frustasi bergantung pada kondisi kesiapan individu. Kalau individu tidak siap, ia akan mengalami kegagalan dalam belajar, dan kegagalan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan ia menjadi frustasi.

2) Law of Exercise (hukum latihan)

Perilaku sebagai hasil belajar terbentuk karena adanya hubungan antara stimulus dan respons. Hubungan tersebut diperkuat atau diperlemah oleh tingkat intensitas dan durasi pengulangan hubungan atau latihan. Jika tidak terjadi latihan selama beberapa waktu, hubungan akan melemah. Sebaliknya, hubungan akan bertambah kuat kalau ada latihan. Implikasinya dalam proses pembelajaran, guru perlu memberikan kesempatan latihan sebanyak mungkin pada siswa, sehingga mencapai hasil yang diharapkan. Setelah tahun 1930, Thorndike merevisi hukum ini. Latihan saja tidaklah cukup, latihan hanya akan membawa hasil bila diikuti atau

disertai oleh hadiah (reward) atau hukuman (punishment).9

3) Law of Effect (hukum efek)

Jika sebuah respons menghasilkan efek yang menyenangkan, hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dihasilkan respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respon tersebut, kemudian pada akhirnya respon tersebut tidak dimunculkan lagi. Implikasinya dalam proses pembelajaran, guru perlu memberikan hadiah bagi perilaku positif yang ditunjukkan oleh siswa, sebaliknya terhadap perilaku negatif perlu diberikan

hukuman.10

9

Nyayu Khodijah, op.cit., h. 67 10

(7)

Meski Thorndike telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyusun teorinya, namun kelemahan-kelemahan teori ini tetap ada. Di antaranya, teori ini memandang manusia sebagai mekanistis dan dan otomatisme belaka yang disamakan dengan hewan, padahal tidak selalu tingkah laku manusia dapat dipengaruhi secara

trial and error, selanjutnya teori ini memandang belajar hanya merupakan asosiasi

belaka antara stimulus dan respon, sehingga yang dipentingkan dalam belajar adalah memperkuat asosiasi tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan yang terus

menerus.11 Meski demikian, saat ini masih banyak guru dalam mengajar masih

bersandar pada prinsip-prinsip Thorndike. b. Ivan Pavlov (Classical Conditioning)

Kata classical yang mengawali teori ini dimaksudkan untuk menghargai karya Ivan Pavlov yang pertama kali dalam bidang conditioning (upaya pembiasaan), serta

untuk membedakan dengan teori lainnya.12 Teori ini dilatarbelakangi oleh percobaan

Pavlov dengan keluarnya air liur. Air liur akan keluar apabila anjing melihat atau mencium bau makanan. Dalam percobaannya Pavlov membunyikan bel sebelum memperlihatkan makanan pada anjing. Setelah diulang berkali-kali ternyata air liur tetap keluar bila bel berbunyi meskipun makanannya tidak ada. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku individu dapat dikondisikan. Belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap

sesuatu.13

Teori classical conditioning berkembang berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936). Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui bagaimana refleks bersyarat terbentuk dengan adanya hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS),

conditioned respon (CR), dan unconditioned response (UCR). CS adalah rangsangan

yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang

11

Djaali, Psikologi pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 92-93 12

Ibid, h. 85

13

(8)

dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan

respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari itu disebut UCR.14

Pertama-tama, anjing dioperasi pada salah satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung yang dihubungkan dengan pipa kecil sehingga jika air liurnya keluar dapat dilihat oleh peneliti. Sebelum dilakukan eksperimen, anjing selalu mengeluarkan air liurnya setiap kali melihat makanan, namun ketika hanya mendengar bunyi bel air liurnya tidak keluar. Kemudian dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bunyi bel (CS) bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang berulang-ulang selesai, suara bel tadi (CS) diperdengarkan lagi tanpa disertai makanan (UCS). Apakah yang terjadi? Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga (CR) meskipun hanya mendengar suara bel saja. Jadi, CS akan menghasilkan CR apabila

CS dan UCS dihadirkan berulang-ulang secara bersamaan.15

Berdasarkan eksperimen tersebut, semakin jelas bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil eksperimen Pavlov adalah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita

kehendaki yang dalam hal ini CR.16

Sebagai guru, kita harus membentuk sebuah lingkungan kelas dimana stimulus-stimulus (termasuk perilaku kita sendiri) dapat menimbulkan respon-respon seperti kesenangan atau relaksasi pada siswa, bukan ketakutan atau kecemasan. Ketika anak mengaitkan (associate) sekolah dengan kondisi-kondisi yang menyenangkan (umpan balik positif), aktivitas-aktivitas yang menyenangkan, dan sebagainya, maka mereka akan belajar menganggap bahwa sekolah adalah tempat yang mereka inginkan. Akan tetapi, ketika mereka berjumpa dengan

14

Muhibin Syah, op.cit., h. 95 15

Nyayu Khodijah, op.cit., h. 68 16

(9)

stimulus yang tidak menyenangkan (komentar negatif), penghinaan di hadapan orang banyak, atau kegagalan dan frustasi yang terus menerus, mereka pada akhirnya mereka akan belajar untuk takut atau tidak menyukai kegiatan tertentu, mata

pelajaran tertentu, guru tertentu, atau (mungkin) sekolah secara umum.17

c. John B. Watson S-R (stimulus-response)

Ia merupakan orang pertama di Amerika Serikat yang mengembangkan teori belajar berdasarkan hasil penelitian Ivan Pavlov. Dalam percobaannya, Watson ingin menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional, karena manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi emosional berupa takut, cinta dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan stimulus respons baru melalui conditioning. Ia mengadakan eksperimen tentang perasaan takut kepada anak dengan menggunakan tikus atau kelinci.

Pada awal eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita memegang tikus, Watson mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita menjadi takut dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun, balita menjadi takut terhadap tikus. Dari hasil percobaannya dapat ditarik kesimpulan bahwa perasaan takut pada anak dapat

diubah atau dilatih.18

d. BF. Skinner (Operant Conditioning/Pembiasaan Perilaku Respons)

Teori ini dikemukakan oleh BF. Skinner pada tahun 1930an. Operant adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Reber,1988). Tidak seperti dalam respondent conditioning (yang responnya didatangkan oleh stimulus tertentu), respon dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh

reinforcer. Reinforcer itu sendiri sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan

kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan

17

Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan:Membantu Siswa Tumbuh dan

Berkembang, (Jakarta: Erlangga: 2008), h. 429

18

(10)

sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical respondent conditioning.19 Fokus teori ini adalah bagaimana menimbulkan, mengembangkan, dan memodifikasi perilaku operant tersebut dengan penguatan (reinforcement). Menurut Skinner, perilaku terbentuk oleh konsekuensi yang ditimbulkannya. Konsekuensi yang menyenangkan (positive reinforcement atau reward) akan membuat perilaku yang sama akan diulangi lagi, sebaliknya konsekuensi yang tidak menyenangkan (negative

reinforcement atau punishment) akan membuat perilaku dihindari. 20

Dalam salah satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian dikenal dengan nama “Skinner Box”. Peti sangkar ini terdiri atas dua macam komponen pokok, yakni: manipulandum dan alat pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan

reinforcement. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit

(Reber, 1998).

Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding, dan sebagainya. Aksi-aksi seperti ini disebut “emitted behavior” (tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang terpancar dari organisme tanpa memperdulikan stimulus tertentu. Kemudian pada gilirannya, secara kebetulan salah satu emitted behavior tersebut (seperti cakaran kaki depan atau sentuhan moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan

munculnya butir-butir makanan ke dalam wadahnya.21

Butir-butir makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah yang disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.

19

Muhibin Syah, op.cit., h. 98 20

Nyayu Khodijah, op.cit., h. 69 21

(11)

Dengan demikian, Skinner menganggap reward atau reinforcement sebagai

faktor terpenting dalam proses belajar.22

4. Kelemahan dan Kritik Teori Behaviorisme

Teori-teori belajar Behaviorisme hasil eksperimen di atas secara prinsipal bersifat lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur. Teori-teori itu juga bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Sesungguhnya teori behaviorime ini memiliki kelemahan-kelemahan sebagai berikut: a. Proses belajar itu dipandang dapat diamati secara lansung, padahal belajar adalah

proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya.

b. Proses belajar itu dipandang bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-regulation (kemampuan mengatur diri sendiri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak, merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati.

c. Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat amat mencoloknya perbedaan antara karakteristik fisik dan

psikis manusia dengan karakteristik fisik dan psikis hewan.23

Oleh karena teori Behaviorisme memiliki beberapa kelemahan, maka menimbulkan kritikan sebagai berikut:

a. Teori Behaviorisme sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respons.

b. Pandangan behaviorisme juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi dan berpikir pembelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan

22

Djaali, op.cit., h. 90 23

(12)

yang sama. Tidak dapat dijelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan Behaviorisme hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh emosi dan pikiran yang turut membentuk perilaku seseorang.

c. Teori Behaviorisme juga cenderung mengarahkan pembelajar untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif, dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pembelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses

belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.24

5. Implikasi Teori Behaviorisme

Beberapa implikasi teori-teori Behaviorisme dalam pendidikan dan pembelajaran di antaranya adalah:

a. Tujuan pembelajaran ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut pembelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis atau tes. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

b. Peran pembelajar sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Proses pembelajaran kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pembelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi, dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Akibatnya pembelajar kurang mampu

24

(13)

untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Pembiasaan

dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar.25

c. Proses pembelajaran memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pembelajar. Apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Dalam hal ini faktor penguatan (reinforcement) dianggap penting.

d. Proses belajar terjadi akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pembelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pembelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses terjadi antara stimulus dan respons tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku

tersebut.26

e. Evaluasi hasil belajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses

evaluasi.27

6. Teori Behaviorisme dalam Persfektif PAI

Berdasarkan teori-teori yang berkembang dalam Behaviorisme di atas, dapat dipahami bahwa bagi mereka jiwa manusia bermula dari ada tapi kosong. Manusia tidak memiliki pembawaan, dan lingkunganlah yang mengisi, membentuk dan

25 Ibid, h. 73 26 Ibid, h. 74-75 27 Ibid, h. 75

(14)

memformulasi jiwa manusia.28 Teori Behaviorisme ini juga memiliki pandangan bahwa manusia datang ke dunia ini tidak dengan membawa ciri-ciri yang pada

dasarnya “baik atau buruk”, tetapi netral.29

Sehingga jiwa manusia laksana benda mati yang tidak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah laku, melainkan sangat bergantung pada lingkungan.

Dari keterangan di atas, terlihat jelas bahwa kaum Behaviorime tidak mengakui adanya kemampuan dasar yang dibawa oleh manusia sejak lahir yang disebut dengan fitrah (potensi). Dalam Al-Qur’an Qs. A-Rum ayat 30 telah dijelaskan mengenai fitrah tersebut:

ۡ مِك

َ

أَف

ۡ

ۡ َتَر طِفۡۚاٗفيِنَحۡ ِنيِدلِلۡ َمَه جَو

ِۡ َللّٱ

ۡ

ۡ ِت

َلٱ

ۡ

َۡر َطَف

ۡ َساَلنٱ

ۡ

ۡ ِق

لَ ِلِۡ َليِد بَتۡ َلَۡۚاَه يَلَع

ِۡۚ َللّٱ

ۡ

ۡ َمِلََٰذ

ۡ نيِدلٱ

ۡ

ۡ مِديَل

لٱ

ۡ

َۡ َثَ ك

َ

أۡ َنِكََٰلَو

ۡ ِساَلنٱ

ۡ

َۡنو مَل عَيۡ

لَ

َ

٣٠

ۡ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa fitrah adalah suatu perangkat yang diberikan oleh Allah berupa kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkarya dan disebut dengan potensialitas. Setiap manusia yang dilahirkan sudah pasti dibekali potensi-potensi dalam dirinya oleh Allah SWT. bukan kosong seperti yang dikemukan oleh kaum behaviorisme. Diantara potensi manusia yang mendasar sekali adalah potensi Tauhid terhadap Allah SWT. Maka, dalam proses pembelajaran PAI, fitrah inilah yang hendak dikembangkan agar anak didik senantiasa mengenal dan mengabdi kepada sang penciptanya. Memang benar lingkungan mempengaruhi

28

Baharudin, Paradigma Psikologi Islam: Studi tentang Elemen Psikologi dari

Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 293

29

Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 109

(15)

perkembangan anak didik, tapi tetap saja tidak dapat dipungkiri adanya fitrah yang telah Allah berikan dalam setiap diri manusia sejak dilahirkan, lingkungan hanyalah faktor di luar diri manusia yang mempengaruhi perkembangan perilaku manusia tersebut. Selain itu, manusia masih memiliki potensi lainnya yang harus diarahkan dan dikembangkan melalui pendidikan.

Selanjutnya, menurut teori Behaviorisme dalam hal kemampuan jiwa untuk memberikan respons terhadap rangsangan dari lingkungan, manusia tidak berbeda dengan hewan. Oleh karena itu, mereka (Behaviorisme) dalam penelitiannya melakukan percobaan terhadap hewan sebagai alat untuk menganalisis perilaku manusia. Dengan kata lain bahwa jiwa manusia tidak berbeda dengan jiwa hewan dalam hal memberikan respon terhadap stimulus dari lingkungan untuk melahirkan

tingkah laku.30

Padahal dalam Al-Qur’an Qs. At.Tin ayat 4 salah satu diantaranya ayat yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan Allah SWT dalam struktur yang paling baik di antara makhluk Allah yang lain:

ۡ

ۡاَن لَلَخۡ دَلَل

َۡنَٰ َسنِ

لۡٱ

ۡ

ٖۡميِو لَتِۡن َس ح

َ

أۡٓ ِفِ

٤

ۡ

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”

Demikian terlihat jelas bahwa manusia dalam pandangan Al-Qur’an dangat berbeda sekali dengan pandangan kaum Behaviorisme yang mengatakan bahwasanya semua perilaku manusia sama halnya dengan jewan. Struktur manusia terdiri atas unsur jasmaniah dan rohaniah, ditambah dengan akal yang membedakan manusia dengan mahkluk lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sesungguhnya antara manusia dan hewan sangat jauh sekali perbedaannya. Manusia merupakan satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang sempurna.

30

(16)

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwasanya teori behaviorisme ini masih mempengaruhi praktek pembelajaran di kelas dan diterapkan ketika mengajar oleh guru, termasuk guru PAI. Misalnya teori koneksionisme yang mengatakan bahwa belajar merupakan pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Dimana dalam proses pembelajaran PAI juga membutuhkan adanya stimulus yang bisa membangkitkan motivasi siswa agar mau belajar PAI. Dengan demikian guru harus dapat memberikan stimulus yang sesuai agar terciptanya respon positif yang diharapkan.

Kemudian teori operant conditioning yang menganggap reward atau

reinforcement sebagai faktor terpenting dalam proses belajar, karena perilaku

sesorang juga dipengaruhi oleh faktor luar dirinya. Dengan memberikan ganjaran positif, suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika diberikan ganjaran negatif suatu perilaku akan dihambat.

Dalam pembelajaran PAI, reward dan puneshment sangat diperlukan. Dimana, jika siswa menunjukkan perilaku yang baik, guru harus memberikannya

reward agar perilaku tersebut tetap bertahan, disamping itu hukuman juga perlu agar

dapat mengatasi tingkah laku yang tidak diinginkan. Hukuman menunjukkan apa yang tidak boleh dilakukan oleh siswa. Sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh siswa. Reinforcement yang ditawarkan oleh teori ini sebenarnya juga telah ada dalam metode PAI, yakni adanya metode targhib dan tarhib, dimana guru ketika mengajar memberikan ganjaran terhadap kebaikan dan hukuman terhadap hal buruk yang dilakukan oleh siswa.

Menurut imam Al-Ghazali, dalam memberikan hukuman kepada anak didik, seorang guru harus menyelidiki latar umur anak yang berbuat kesalahan, dan dalam hal seperti apa anak kecil dengan anak yang sudah besar diberi hukuman. Guru

(17)

haruslah bertindak sebagai dokter yang mahir dan sanggup menganalisa penyakit

serta mengetahui obat yang dibutuh pasiennya.31

Selanjutnya kita lihat pula dalam teori Classical Conditioning yang mengatakan bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu. Dalam pembelajaran PAI banyak sekali hal yang perlu dilakukan secara berulang-ulang, contohnya dalam pelajaran yang berkaitan dengan aspek psikomotor seperti membaca Al-Qur’an. Dimana guru bisa melakukannya dengan menggunakan metode mengajar drill agar keterampilan yang diharapkan tercapai. Disamping itu, dalam pembelajaran PAI ini juga memiliki pendekatan yang disebut dengan pembiasaan sama halnya dengan yang dikemukakan teori Behaviorisme. Dalam pembelajaran PAI guru diharapkan untuk membiasakan anak berperilaku baik, karena dengan pembiasaan itulah nantinya akan terbentuk suatu kebiasaan yang tidak memerlukan perintah lagi.

Kesimpulan terakhir yang bisa penulis ambil dari teori Behaviorisme dalam persfektif PAI adalah proses belajar yang dilakukan memang mengharapkan adanya perubahan perilaku siswa menjadi lebih baik, meskipun demikian tujuan pembelajaran PAI yang diharapkan bersifat holistik antara kognitif, psikomotorik dan afektif, bukan terbatas pada perilaku saja seperti konsep yang dikemukan Behaviorisme.

C. Penutup Kesimpulan

Kaum Behaviorisme berpandangan perilaku manusia itu terbentuk melalui perkaitan antara rangsangan (stimulus) dengan tindak balas (respons). Menurutnya perilaku adalah sesuatu yang dapat di amati dengan alat indera. Dengan demikian, maka perubahan perilaku itu lebih banyak karena pengaruh lingkungan. Menurut teori

31

Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 1984), h. 155

(18)

ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.

Selanjutnya dalam proses pembelajaran PAI, hingga kini teori Behaviorisme ini masih banyak dianut dan dilakukan oleh pendidik, misalnya memberikan reward dan hukuman, memberikan motivasi sebagai stimulus untuk mendapatkan respons tertentu serta memberikan pengulangan-pengulangan pada aspek psikomotor. Namun, sangat tidak beretika menyamakan perilaku manusia dengan hewan, karena manusia merupakan ciptaan yang sebaik-baiknya. Teori ini tidak mengakui adanya kemampuan dasar (fitrah) yang dibawa anak sejak lahir, padahal gunanya pendidikan adalah untuk mengembangkan fitrah tersebut.

(19)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan bintang, 1984

Baharudin, Paradigma Psikologi Islam: Studi tentang Elemen Psikologi dari

Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007

Djaali, Psikologi pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2012

Jeanne Ellis Ormrod, Psikologi Pendidikan:Membantu Siswa Tumbuh dan

Berkembang, Jakarta: Erlangga: 2008

Mohamad Surya, Teori-teori Konseling, Bandung: CV Pustaka Bani Quraisy, 2003

Muhibin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta: Rajawali Press, 2012

Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi dalam Proses Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005

Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 2014 Rendra K, Metodologi Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 Ridwan Abdullah Sani, Inovasi Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2013 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Press,

2010

Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik;

Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya, Jakarta:

Referensi

Dokumen terkait

Frame tag VLAN ditempatkan pada frame ketika mencapai switch dari suatu access port, yang mana adalah keanggotaan VLAN... INSTRUMEN

Tenaga Kerja Asing ke Tenaga Kerja Indonesia  Melakukan uji bahasa  Memantau penggunaan dua bahasa pada seluruh tanda- tanda pekerjaan dan Pedoman atau prosedur kerja

Kemampuan mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan latihan (pembiasan). Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua dalam mengendalikan emosinya sangatlah

Program pengabdian masyarakat yang dikonsentrasikan pada bidang pendidikan ini akan dilaksanakan di desa Karangnongko, Wonosari, Ngaliyan, kota Semarang. Sasaran dari program ini

kalangan pelajar dari segi aspek komunikasi, penyelesaian masalah dan bekerja dalam kumpulan adalah tinggi. Kemahiran bekerja dalam kumpulan adalah paling tinggi dikuasai

Walau bagaimanapun, persoalan yang timbul pada masa kini adalah setakat manakah tahap penguasaan kemahiran berfikir pelajar dan sejauh manakah penerapan kemahiran

LMNO LPPI QRS TUV WLP... ikh

Penataan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah.. Semarang: Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan