• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA PADA DEWASA MADYA DI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA PADA DEWASA MADYA DI JAKARTA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA

PERNIKAHAN BEDA AGAMA PADA DEWASA

MADYA DI JAKARTA

Nikita Kayes Kumaranti

Nikita Kayes Kumaranti

Dosen Pembimbing : Lisa Ratriana Chairiyati, S. Psi., M. Si

Binus University : Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530. Telp. (62-21) 535 0660 Fax. (62-21) 535 0644

ABSTRACT

The purpose of this research is to give an illustration of marital satisfaction on interfaith married

couples, with the age range of middle adulthood which is 40-60 years, domiciled in Jakarta and still

in an ongoing relationship. This research is descriptive and non-experimental, involving 50

individuals on interfaith marriage where the sample uses purposive sampling technique. Marital

satisfaction in this research was measured by Alat Ukur Kepuasan Pernikahan Masyarakat Urban.

The method used is the one-sample t-test is used. Based on this research the result coming out that

individuals on interfaith marriage having low level of marital satisfaction with the percentage 54%

or can be summed up less satisfied.

Key words: marital satisfaction, interfaith marriage, middle adulthood

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan yang

menikah beda agama, dengan rentang usia dewasa madya yaitu usia 40-60 tahun, berdomisili di

Jakarta dan masih memiliki pasangan sampai sekarang. Penelitian ini bersifat deskriptif dan

non-experimental yang melibatkan 50 individu yang menikah beda agama dimana pengambilan sampel

menggunakan teknik purposive sampling. Dalam penelitian ini, kepuasan pernikahan diukur

menggunakan Alat Ukur Kepuasan Pernikahan Masyarakat Urban. Metode yang digunakan adalah

t-test one sample. Berdasarkan dari hasil penelitian ini diperoleh hasil yang menunjukan bahwa

individu yang menikah beda agama memiliki kepuasan pernikahan yang rendah dengan persentase

54% atau dapat disimpulkan kurang puas dalam pernikahan.

Kata Kunci: kepuasan pernikahan, pernikahan beda agama, dewasa madya

PENDAHULUAN

Setiap manusia akan mencari pasangan hidupnya dan menjalin suatu hubungan serta melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan yang sah dan membentuk suatu keluarga. Pernikahan

memberikan kesempatan bagi individu untuk dapat memenuhi berbagai esensial yaitu seperti keintiman, persahabatan, kasih sayang, kebutuhan seksual dan kebersamaan (Papalia, Sterns, Feldman & Camp, 2007). Keluarga merupakan bagian dari masyarakat terkecil dan merupakan bagian dari sebuah negara, maka suatu pernikahan bertujuan untuk membentuk sebuah keluarga yang sah secara hukum.

Pernikahan memiliki tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa seperti yang dinyatakan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan. Dengan begitu pernikahan bertujuan untuk menyatukan dua individu yang berbeda agar dapat mencapai satu tujuan yang akan diusahakan agar dapat dicapai secara bersama-sama.

(2)

Indonesia merupakan salah satu negara yang padat penduduknya dan terdiri dari beragam jenis suku, sosial, budaya serta agama. Dengan keragaman tersebut maka interaksi sosial yang dialami oleh setiap individu tinggi kemungkinannya untuk memiliki beragam variasi rekan dari seluruh suku dan agama yang ada. Sehingga tidak menutup kemungkinan untuk memiliki ketertarikan dengan lawan jenis yang memiliki perbedaan agama, dan menjalin hubungan dan kemudian melakukan pernikahan beda agama sehingga terbentuknya pasangan suami istri yang memiliki perbedaan agama. Dengan adanya segala permasalahan, anjuran bahkan larangan untuk tidak melakukan perkawinan beda agama namun masih banyak pasangan yang tetap memutuskan untuk menjalani pernikahan beda agama sehingga semakin terjadi peningkatan jumlah pernikahan beda agama.

Ada berbagai macam alasan mengapa pernikahan beda agama semakin meningkat jumlahnya di Indonesia. Pernikahan campur adalah hasil dari adanya heterogenitas dalam satu populasi penduduk (Bossard & Boll, 1957). Berdasarkan data sensus yang didapatkan, tingkat pernikahan beda agama dari tahun 1980 cukup banyak yang melakukan pernikahan beda agama yaitu dengan total 24.677 . Dan pernikahan beda agama mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu terjadi sekitar tahun 1990 yakni 28.668 dan mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu dengan total 2.673 pada tahun 2000.

Di Indonesia, perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) No.1/1974. Sejak UUP ini dibuat sudah mengundang kontroversi. Ada satu hal yang jelas terlihat membedakan antara UUP sebelum dikeluarkan dan setelah dikeluarkan yaitu mengenai boleh tidaknya perkawinan beda agama dilakukan. Sebelum UUP dikeluarkan, perkawinan beda agama masih dapat dilakukan, karena perbedaan hukum sama sekali tidak menjadi halangan untuk melangsungkan pernikahan (Asmin,1986). Memang, tak berarti pasangan berbeda agama akan cenderung gagal atau berhasil. Semuanya tergantung kesiapan psikologis masing-masing. Ketika masa pacaran semuanya tampak baik-baik saja, tetapi ketika pernikahan berlangsung beberapa tahun, masalah akibat berbagai perbedaan muncul.

Dewasa ini pernikahan bukan hal yang dapat dilaksanakan dengan mudah bagi pasangan yang kerap kali memiliki perbedaan agama dan masing-masing individu tetap memilih untuk memeluk agama nya sehingga pernikahan beda agama yang menjadi pilihan bagi pasangan tersebut. Jalan ini diambil ketika masing-masing pihak tidak ada yang pindah mengikuti agama dari pasangannya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa tidak gampang untuk menjalani pernikahan beda agama karena memang sudah ada perbedaan prinsip yang paling dasar yaitu agama.

Pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin, antara seorang pria dan seorang wanita, yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaan itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa menurut Mandra dan Artadi (1988, dalam Eoh, 1996). Individu yang memiliki perbedaan agama sangat mungkin untuk memiliki ketertarikan satu sama lain ditambah lagi dengan fakta bahwa pada zaman sekarang ini setiap manusia sudah memiliki kebebasan dalam memilih pasangan nya, sehingga kontrol dari pihak keluarga yang memiliki kecenderungan untuk memilih pasangan yang memiliki latar belakang yang sama semakin

berkurang (Duvall, Miller, 1985; Laswell,1987).

Dalam suatu pernikahan aspek kepuasan pernikahan memegang peranan penting untuk mencapai keluarga yang bahagia. Menurut Gullota, Adams dan Alexander (1986) mengatakan bahwa kepuasan

pernikahan merupakan perasaan seseorang terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya. Hal ini berkaitan dengan perasaan bahagia yang pasangan rasakan dari hubungan yang dijalani. Arti kepuasan pernikahan menurut Clayton dalam Ardhianita dan Andayani (2004) merupakan evaluasi secara keseluruhan tentang segala hal yang berhubungan dengan kondisi pernikahan. Evaluasi tersebut bersifat dari dalam diri seseorang (subyektif) dan memiliki tingkatan lebih khusus dibanding perasaan kebahagiaan pernikahan. Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari perkawinan yang memiliki kepuasan yang tinggi, yaitu adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan dalam keluarga sehingga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi dan menerima antar sesama anggota dalam keluarga, adanya rasa kebersamaan dalam keluarga serta setiap anggota keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dari keluarga, pola orang tua memberikan yang akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka, konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normative serta tidak dihindari melainkan berusaha untuk diselesaikan dengan baik dan menguntungkan bagi semua anggota keluarga. kecocokan dan saling memahami sikap antar pasangan dengan hal ini karena pasangan saling melengkapi kelebihan pasangan yang satu dapat menutupi kekurangan pasangan yang lain, dan kemampuan pasangan untuk memecahkan

(3)

masalah serta strategi yang digunakan oleh pasangan untuk menyelesaikan konflik yang ada dapat mendukung kepuasan perkawinan pasangan tersebut.

Burgess dan Cotrell (dalam Landis dan Landis, 1963) menyatakan bahwa kebahagiaan dalam pernikahan lebih banyak terjadi pada pasangan yang mempunyai masa perkenalan 5 tahun atau lebih,

sebaliknya hanya sedikit pasangan yang mencapai kebahagiaan dengan masa perkenalan yang singkat (kurang dari 6 bulan). Hal ini dapat dijelaskan, seperti yang dikatakan oleh Bosscard & Boll (1957), bahwa berbeda agama bukan berarti hanya berbeda dalam tata cara beribadah, kepercayaan teologis ataupun bentuk

organisasinya, namun juga cara berfikir yang dihasilkannya. Dengan adanya perbedaan kepercayaan, terdapat pula perbedaan dalam bertingkah laku, dalam memberikan perhatian dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, dalam bersikap, nilai-nilai yang dianut dan penilaian moral. Seperti juga yang dikatakan oleh Landis (1970) bahwa tiap kepercayaan tidak hanya melibatkan filosofi religi, tapi juga cara hidup dan nilai-nilai. Pasangan yang tingkat komitmennya tinggi cenderung lebih baik hati dan suka menolong satu sama lain (Wieselquist dkk, dalam Wulandari, 2005), berkomunikasi dan memecahkan masalah secara lebih efektif, dan lebih puas dengan kehidupan daripada pasangan yang komitmennya rendah (Adams & Jones dalam

Wulandari, 2005).

Banyaknya masalah yang muncul dalam perkawinan beda agama serta sulitnya melakukan penyesuaian dalam perkawinan, meningkatkan kemungkinan gagalnya perkawinan tersebut. Sebuah

perkawinan yang gagal dapat berakhir dengan sebuah perceraian. Sebuah studi menunjukan kegagalan sebesar 75% pada perkawinan beda agama (Rosenbaum, 1999). Menurut Rozakis (2001), permasalahan dalam perkawinan beda agama yang disebabkan oleh perbedaan agama suami dan istri antara lain : Pertama, berkaitan dengan pihak keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Kedua, berkaitan dengan ibadah dan pelaksanaan nya sehari-hari serta perayaan hari raya. Ketiga, menyangkut masalah seksualitas. Agama yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan pandangan yang berbeda dalam suatu tujuan, serta apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan dalam sebuah hubungan seksual. Keempat, masalah yang memiliki keterkaitan dengan keberadaan anak. Perbedaan agama dalam suatu pernikahan dapat menimbulkan permasalahan seperti : pemilihan rumah sakit dimana anak akan lahir, pemilihan upacara kelahiran, pemilihan nama bagi anak, pemilihan sekolah bagi anak, serta pendidikan dan pendalaman ajaran agama pada anak di kemudian hari. Dapat dikatakan bahwa masalah anak menimbulkan masalah yang cukup berat pada pasangan beda agama, terutama apabila anak sudah dapat berbicara dan sudah cukup dewasa untuk menanyakan identitas agamanya (Cowan & Cowan, 1987).

Seperti yang dikemukakan oleh Olson & Fowers (1989), salah satu aspek dalam perkawinan yang digunakan untuk mengukur kepuasan perkawinan adalah religious orientation. Aspek ini menilai keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan keagamaan yang dilakukan pasangan suami istri secara bersama-sama memberikan kepuasaan psikologis tersendiri bagi pasangan, sehingga keyakinan yang dianut pasangan suami istri turut mempengaruhi kepuasaan perkawinan itu sendiri. Ketika ada perbedaan keyakinan antara pasangan suami dan istri, hal tersebut dapat memicu kurangnya kebersamaan pasangan yang pada akhirnya berdampak pada kepuasaan perkawinan. Menurut Clark (1998) agama memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap terhadap perkawinan dan selanjutnya akan mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan perkawinan, Clark juga menambahkan bahwa ketaatan beragama berhubungan dengan kestabilan perkawinan. Hal ini juga didukung oleh Abdullah (2003) yang menyatakan bahwa seseorang yang mengawali segalanya dengan motivasi iman dan ibadah pada Tuhan semata maka akan merasakan kepuasan dalam hidupnya.

Di Indonesia sendiri angka perceraian menunjukan peningkatan. Data terakhir mencatat sejak tahun 2005-2013 angka perceraian di Indonesia naik drastis, jika pada tahun 2005 angka perceraian hanya 55.509 kasus, maka pada tahun 2013 menjadi 324.527 kasus. Perceraian dapat mengindikasikan bahwasannya rasa puas dalam menjalani biduk rumah tangga sudah luntur bahkan telah pudar, sehingga menjadikan kehidupan dalam rumah tangga terasa hambar dan tidak lagi harmonis. Hal terbut juga sejalan dengan pendapat Hurlock (2002) bahwa perceraian merupakan puncak dari ketidakpuasan pernikahan yang tertinggi dan terjadi apabila suami dan istri sudah tidak mampu lagi saling memuaskan, saling melayani dan mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Sehingga berdasarkan fenomena tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan yang seagama memiliki tingkat perceraian yang tinggi apalagi dengan pernikahan beda agama. Terlepas dari persoalan teologis dan keyakinan agama, telah diketahui bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk rumah tangga. Rumah tangga kelak membahagiakan ataupun tidak tergantung kepada kedua belah pihak untuk mengusahakan terciptanya kebahagiaan tersebut.

(4)

Karakter suami – istri sudah sewajarnyalah berbeda, karena mereka tumbuh dan berkembang dari keluarga yang berbeda. Kecocokan dan saling pengertian sangat penting perlu diusahakan dan dipelihara. Dari uraian tersebut di atas tampak bahwa hidup perkawinan dibangun berdasar berbagai perbedaan, dan dengan adanya perbedaan agama membuahkan bertambahnya berbagai perbedaan tersebut. Konsekuensi dari bertambahnya perbedaan antara suami-istri maka dibutuhkan usaha yang lebih keras untuk melakukan penyesuaian antara keduanya agar membuahkan kebahagiaan. Perjalanan relasi yang sangat intensif antara dua orang yang berbeda dalam segala hal tentu membuahkan dinamika kehidupan yang sangat berbeda daripada relasi yang dijalin oleh sebagian besar pasangan suami-istri.

Pernikahan beda agama sendiri selain memiliki banyak kelemahan, namun bukan berarti tidak memiliki kelebihan. Seperti yang dikatakan oleh Petersen (1986) bahwa penikahan beda agama menghasilkan komitmen yang lebih kuat dibandingkan dengan pernikahan seagama. Eaton (1994) mengatakan apabila pasangan yang menikah beda agama mampu mendiskusikan mengenani perbedaan agama dan menghormati sudut pandang serta tradisi dari pasangannya, mereka bisa membuat kegunaan konstruktif dari perbedaan mereka dan memberikan dukungan pada perkembangan pasangan dalam pelatihan dan identitas keagamaan secara individual, sementara mereka menciptakan perpaduan kultur yang baru yang menyatakan tujuan dan nilai mereka. Pasangan yang menikah beda agama dapat berfungsi dengan baik ketika mereka meminimalkan perbedaan agama dan fokus kepada kesamaan perilaku yang mereka miliki seperti yang dikatakan oleh Joanides, Mayhew dan Mamalakis (2002). Laserwitz menyatakan bahwa pernikahan beda agama

menghasilkan peningkatan dalam kebahagian dalam pernikahan dan mengurangi tingkat perceraian seperti yang dikutip oleh dalam Chinitz & Brown (2001)

Pernikahan beda agama banyak mengalami peningkatan sekitar tahun 1980-1990 dan mengalami penurunan di tahun 2000, setelah Undang-Undang Pernikahan diperbaharui. Pengertian dewasa madya menurut Hurlock (1980) yang disebut juga dengan usia setengah baya dalam terminologi kronologis yaitu pada umumnya berkisar antara usia 40 – 60 tahun, dimana pada usia ini ditandai dengan berbagai perubahan fisik maupun mental.

Schoen, Astone, Rothert, Standish, dan Kim (2002) mendefiniskan kepuasan pernikahan sebagai penilaian keseluruhan pada keadaan pernikahan dan refleksi untuk kebahagiaan dan fungsi perkawinan. Sedangkan dari prespektif revolusioner, Shackelford dan Buse (dalam Zainah, Nasir, Hashim, & Yusof, 2012) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan dapat dilihat dari sisi keadaan pengaturan mekanisme psikologis yang membantu melihat manfaat atau kerugian pernikahan pada orang tertentu. Landis & Landis (dalam Wahyuningsih, 2002) mengatakan bahwa tingkat religiusitas dalam perkawinan dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari termasuk di dalam nya menjalani kehidupan perkawinan. Pria dan wanita menemukan agama sebagai sumber kesenangan dan kebahagiaan yang lebih besar daripada yang pernah diperoleh sebelumnya seperti yang dikatakan oleh Hurlock (2002), sehingga untuk dapat mencapai kepuasan pernikahan, seseorang harus mendapat kepuasan beragama seperti yang dikatakan Jane (dalam Anastasia,2008).

METODE PENELITIAN

Subjek Penelitian dan Teknik Sampling

Karakteristik dari penelitian ini adalah : Individu yang melakukan pernikahan beda agama,memiliki rentang usia dewasa madya yaitu 40-60 tahun, berdomisili di wilayah Jakarta, dan masih memiliki pasangan sampai sekarang. Penelitian ini menggunakan teknik non-probability sampling yang memiliki pendekatan

purposive sampling.

Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian yang memberikan informasi atau hasil akhir berupa angka yang dapat dianalisa dengan statistik. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian non-eksperimental karena tidak ada manipulasi yang dilakukan oleh peneliti. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini masuk ke dalam penelitian studi yang bersifat deskriptif. Penelitian ini juga dilakukan peneliti guna memperoleh gambaran secara sistematis akan suatu situasi, masalah, dan fenomena.

(5)

Alat Ukur Penelitian

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Alat Ukur Kepuasan Pernikahan Masyarakat Urban yang disusun oleh Rumondor, Paramita, Geni, dan Francis pada tahun 2012 yang digunakan untuk mengukur kepuasan pernikahan. Di dalam alat ukur ini terdiri dari 38 item pernyataan, setiap butir memiliki pilihan jawaban dengan model skala Likert, yaitu Sangat Puas (SP), Puas (P), Kurang Puas, (KP), Sangat Tidak Puas (STP). Alat ukur ini telah terbukti memiliki validitas yang tinggi serta memiliki reliabilitas yang memuaskan. Pada penelitian ini, uji validitas dilakukan dengan menggunakan standar validitas 0,25 yang dibantu dengan menggunakan program SPSS 22 for windows, dengan 50 responden dan dibuktikan dengan total responden 100% menghasilkan nilai corrected item-total correlation yang berkisar antara 0,610 – 0,852 dengan cronbach’s alpha 0,758

Prosedur dan Pelaksanaan Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu membuat persiapan–persiapan penelitian. Diawali dengan menentukan topik dan variabel penelitian serta masalah penelitian yang akan diangkat dalam penelitian ini, dengan membaca sumber – sumber ilmiah yang terkait dengan topik dan mengumpulkan studi penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sesuai dengan topik pembahasan dalam penelitian ini. Setelah itu peneliti mulai mencari fenomena – fenomena yang terkait dengan topik penelitian tersebut, dan mencari teori – teori yang mendukung. Selain itu menyusun dasar-dasar teori untuk masing-masing variabel dan subjek penelitian, serta dinamika teori antara variabel. Selanjutnya, rumusan masalah dapat memberikan gambaran mengenai desain penelitian yang akan digunakan. Sedangkan melalui dasar teori, fenomena, dan rumusan masalah dapat ditentukan dugaan sementara untuk menjawab rumusan masalah atau hipotesa yang masih perlu diuji kebenarannya lewat penelitian. Dalam menjawab rumusan masalah dan menguji hipotesa maka dibutuhkan untuk mengukur variabel penelitian. Pengukuran tersebut diberikan kepada sampel yang memang sesuai dengan penelitian dan dalam pemilihan sampel dibutuhkan teknik sampling. Selain itu yang utama adalah dibutuhkan alat ukur yang nantinya akan digunakan dalam penelitian Jika hasil validitas dan reliabilitas sudah dikatakan valid dan reliabel maka selanjutnya dilakukan pengambilan dan pengolahan data.

Pengambilan data dilakukan pada tanggal 29 Juni 2015 hingga 06 Juli 2015, karena mencakup kuesioner serta pengambilan data lain yang diperlukan. Pembagian kuesioner dilakukan dengan peneliti menyebarkan kuesioner dalam bentuk booklet dan juga menyebarkan link yang bisa dibuka via internet di email maupun media sosial lain untuk memudahkan responden dan peneliti mengambil data di tempat yang sulit untuk dijangkau, mengingat banyak kesibukan yang dilakukan responden maupun peneliti sendiri. Kemudian setiap jawaban yang terdapat di kuesioner akan diinput kedalam SPSS versi 22 for windows dan Microsoft Excel 2007 untuk pengolahan data lebih lanjut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisa Data Kepuasan Pernikahan

Tabel 1 Frekuensi Persentase Valid rendah 27 54 % tinggi 23 46 % Total 50 100 %

Sumber: Pengolahan Data SPSS 22

Dilihat dari tabel 1 menunjukkan bahwa dari 50 responden individu yang melakukan pernikahan beda agama, memiliki rentang usia dewasa madya yaitu 40-60 tahun, berdomisili di Jakarta dan masih memiliki pasangan sampai sekarang didapatkan hasil yaitu 27 responden dengan persentase 54% memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang rendah, dan 23 responden dengan presentase 46% memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang tinggi.

(6)

Tabel 2

Variabel Skor Total

Skewness Min Max Simpangan Baku Rata-Rata Komunikasi 12,56 - 0,545 5 16 2,822 3,14 Keseimbangan Pembagian Peran 19,20 - 0,882 6 24 3,499 3,2 Kesepakatan 12,12 - 0,425 4 16 2,715 3,03 Keterbukaan 9,26 - 0,515 3 12 2,088 3,08 Keintiman 12,24 - 0,430 5 16 2,715 3,06 Keintiman Sosial Dalam Relasi 12,04 - 0,328 5 16 2,515 3,01 Seksualitas 12,66 - 0,371 6 16 2,479 3,16 Finansial 12,24 -0,555 4 16 2,479 3,06 Spiritualitas 11,18 - 0,003 4 16 3,218 2,23 Sumber: Pengolahan Data SPSS 22

Dilihat dari tabel 2 menunjukan bahwa aspek keseimbangan pembagian peran mendapat hasil rata- rata yang paling tinggi yaitu 3,2 dan diikuti dengan aspek seksualitas dengan hasil rata- rata yang cukup tinggi yaitu 3,16 dan aspek komunikasi dengan hasil rata-rata 3,14. Untuk aspek keterbukaan dengan hasil rata-rata 3,08 lalu diikuti dengan aspek keintiman dan financial dengan hasil rata-rata yang sama yaitu 3,06 mendapat hasil rata-rata yang cukup. Untuk aspek kesepakatan dengan hasil rata-rata 3,03 dan aspek keintiman social dalam relasi dengan hasil rata-rata 3,01 mendapat hasil rata-rata yang rendah. Aspek spiritualitas mendapat hasil rata-rata yang paling rendah yaitu 2,23. Keseimbangan pembagian peran menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan perkawinan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar juga memiliki jabatan yang lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi (Nasution,2010). Waktu luang bersama keluarga dapat memberikan kesempatan bagi keluarga untuk terikat satu sama lain, menyelesaikan masalah dan memperkuat hubungan (Agate, Zabriskie, Agate, dan Poff, 2009). Selanjutnya, Hawkes, Holman & Epperson (dalam Agate, Zabriskie, Agate, dan Poff, 2009) menyatakan bahwa lebih dari 70 tahun para peneliti mengidentifikaskan dan menemukan adanya hubungan yang positif antara waktu luang bersama keluarga dengan dampak positifnya bagi keluarga. Zabriskie dan McCormick (2003) juga menjelaskan bahwa waktu luang bersama keluarga terkait erat dengan kepuasan dalam rumah tangga. Holman, Holman dan Jacquart, Miller, Orthner, Smith, Snyder & Monsma (dalam Johnson, Zabriskie, dan Hill, 2006) menyatakan bahwa secara konsisten penelitian menghasilkan bahwa suami-istri yang berbagi waktu luang bersama akan lebih puas dengan pernikahannya dibanding yang tidak. Ini dibuktikan dengan hasil keseimbangan peran yang mendapatkan hasil rata-rata yang paling tinggi. Seksualitas dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. waktu luang bersama keluarga dapat memberikan kesempatan bagi keluarga untuk terikat satu sama lain, menyelesaikan masalah dan memperkuat hubungan (Agate, Zabriskie, Agate, dan Poff, 2009). Selanjutnya, Hawkes, Holman & Epperson (dalam Agate, Zabriskie, Agate, dan Poff, 2009) menyatakan bahwa lebih dari 70 tahun para peneliti mengidentifikaskan dan menemukan adanya hubungan yang positif antara waktu luang bersama keluarga dengan dampak positifnya bagi keluarga. Zabriskie dan McCormick (2003) juga menjelaskan bahwa waktu luang bersama keluarga terkait erat dengan kepuasan dalam rumah tangga. Holman, Holman dan Jacquart, Miller, Orthner, Smith, Snyder & Monsma (dalam Johnson, Zabriskie, dan Hill, 2006) menyatakan bahwa

(7)

secara konsisten penelitian menghasilkan bahwa suami-istri yang berbagi waktu luang bersama akan lebih puas dengan pernikahannya dibanding yang tidak.Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. Aspek-aspek kepuasan pernikahan yang dibangun oleh Rumondor, Paramita, Geni, dan Francis (2012) yaitu keterbukaan, komunikasi, finansial, keseimbangan pembagian peran, keintiman, keintiman sosial dalam relasi, spiritual, dan kesepakatan. Berdasarkan hasil skor variable yang didapat yaitu untuk aspek komunikasi, keseimbangan pembagian peran, dan seksualitas yang mendapatkan hasil yang tinggi dan diikuti dengan skor variable aspek keintiman dan financial yang mendapatkan hasil yang cukup tinggi.

Untuk skor variable aspek keintiman dan financial adalah nilai cukup tinggi. Keintiman menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Aspek ini juga melihat apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai pilihan individu atau pilihan bersama serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan menurut Olson & Fowers (1993). Finansial merupakan cara mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam perkawinan (Hurlock, 2002). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan otoritas terhadap pasangannya juga tidak percaya terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.

Skor variable untuk aspek kesepakatan dan keintiman social dalam relasi dengan nilai yang cukup. Aspek kesepakatan berfokus untuk menilai persepsi suami istri teradap suatu masalah serta bagaimana pemecahannya. Diperlukan adanya keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Untuk aspek kesepakatan yang mendapatkan hasil skor variable yang cukup mempengaruhi kepuasan pernikahan, seperti yang dikatakan oleh Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995) bahwa penerimaan terhadap konflik dan mampu memecahkan konflik karena termasuk di dalam aspek kepuasan pernikahan.

Keintiman social dalam relasi juga menilai bagaimana anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama serta membangun kepercayaan satu sama lain. Seperti yang dikatakan oleh Hurlock (2002) bahwa keintiman dapat melihat bagaimana perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan teman- teman. Perkawinan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian waktunya bersama keluarganya sendiri, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu lama (Hurlock, 2002).

Sedangkan untuk skor variable aspek spiritualitas mendapatkan nilai yang rendah dan skor variable aspek keterbukaan mendapatkan hasil yang sangat rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Olson & Fowers (1993), salah satu aspek dalam perkawinan yang digunakan untuk mengukur kepuasan perkawinan adalah religious orientation. Aspek ini menilai keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan keagamaan yang dilakukan pasangan suami istri secara bersama-sama memberikan kepuasaan psikologis tersendiri bagi pasangan, sehingga keyakinan yang dianut pasangan suami istri turut mempengaruhi kepuasaan perkawinan itu sendiri. Ketika ada perbedaan keyakinan antara pasangan suami dan istri, hal tersebut dapat memicu kurangnya kebersamaan pasangan yang pada akhirnya berdampak pada kepuasaan perkawinan. Ini dibuktikan dengan hasil skor variable aspek spiritualitas yang mendapatkan nilai yang rendah.

Hasil Analisa Data Tambahan

Tabel 3

Harapan Frekuensi

Pernikahan diakui oleh keluarga 5 Tidak dikucilkan dalam keluarga 1

(8)

Pasangan ikut agama saya 13 Pernikahan beda agama dilegalkan di Indonesia 1

Anak ikut agama saya 7

Restu dari keluarga besar kedua belah pihak 7

Sakinah, Mawadah, Warahmah 3

Keluarga yang sehat 5

Pernikahan langgeng dan harmonis 20 Mengajari dan membesarkan anak dalam agama yang sama 5

Memiliki rumah sendiri 5

Rejeki lancar 1

Pasangan lebih menghargai keluarga 1 Tinggal satu kota dan satu rumah 1 Saling support atas perbedaan yang ada 1 Keluarga pasangan tidak ikut campur dalam masalah rumah tangga 1 Pasangan bisa menerima dan memberikan waktu untuk beribadah 1 _________________________________________________________________________

Sumber: Pengolahan Data SPSS 22

Dilihat dari tabel 3 menunjukan bahwa responden paling banyak mengisi harapan dengan pernikahan yang langgeng dan harmonis yaitu dengan frekuensi sebanyak 20 orang. Diikuti dengan harapan pasangan bisa pindah ke agama dari responden yaitu dengan frekuensi sebanyak 13 orang. Responden juga mengisi harapan dengan mendapatkan restu dari keluarga besar kedua belah pihak dengan frekuensi sebanyak 7 orang dan dengan jumlah frekuensi yang sama, responden juga mengisi harapan dengan mendapatkan restu dari kedua belah pihak keluarga. Reponden mengharapkan pernikahan diakui oleh keluarga, keluarga yang sehat, mengajari dan membesarkan anak dalam agama yang sama serta memiliki tempat tinggal sendiri dengan frekuensi 5 kali. Sakinah, Mawadah, Warahmah dipilih oleh responden dengan frekuensi sebanyak 3 kali. Dengan frekuensi sebanyak 1 kali responden memilih tidak dikucilkan oleh keluarga, rejeki lancar, pasangan lebih menghargai keluarga, tinggal satu kota dan satu rumah, saling support atas perbedaan yang ada, keluarga pasangan tidak ikut campur dalam masalah rumah tangga, dan pasangan bisa menerima dan memberikan waktu untuk ibadah.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil yang dapat disimpulkan bahwa dari 50 responden pasangan suami istri yang melakukan pernikahan beda agama, memiliki rentang usia dewasa madya yaitu 40-60 tahun, berdomisili di wilayah Jakarta dan masih memiliki pasangan sampai sekarang didapatkan hasil yaitu 27 responden dengan persentase 54 % memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang rendah, dan 23 responden dengan presentase 46 % memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang tinggi.

Saran

1. Sebaiknya membagi jenis kelamin dalam jumlah yang seimbang, lebih baik jika penilaian terhadap kepuasan pernikahan bisa diambil dari kedua pihak (suami-istri) dalam satu keluarga, dapat memasukkan unsur proses interaksi dalam tiap variabel penelitian, dan melakukan penilaian pada kepribadian masing-masing pasangan.

(9)

2. Dalam upaya memaksimalkan sampel maka, alat ukur sebisa mungkin diisi oleh orang-orang yang dikenal atau setidaknya teman dari orang yang kita kenal, sehingga bisa cukup terbuka dalam memberikan jawaban, menyediakan waktu yang cukup lama, sehingga dapat memberikan responden waktu yang panjang untuk mengisi kuesioner dengan item yang cukup banyak.

3. Mengingat bahwa penggunaan hasil penelitian ini hanya bisa digambarkan pada orang dengan kriteria sampel yang telah disebutkan, sehingga penelitian selanjutnya bisa melakukan penelitian pada kriteria sampel yang lain atau spesifikasi kriteria pada sampel yang sama untuk makin meluaskan dan menyempurnakan penelitian tentang keluarga dan kepuasan pernikahan. Kemudian, hal lain yang perlu diingat bahwa agar penelitian ini nantinya tidak disalahartikan sebagai penelitian pengaruh dalam konteks sebab-akibat, tetapi hanya sebatas pada gambaran.

4. Penelitian ini masih membutuhkan perbaikan karena masih memiliki kekurangan yaitu jumlah subjek yang masih terhitung sedikit sehingga lebih baik untuk menambah jumlah subjek agar mendapatkan hasil yang lebih baik lagi untuk penlitian selanjutnya.

5. Pencarian subjek harus dilakukan secara merata pada setiap bagian wilayah Jakarta agar mendapat hasil yang lebih valid untuk penelitian selanjutnya.

REFERENSI

Abdullah, A. M. (2003). Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum. Yogyakarta : Suka Press.

Agate, J.R., Zabriskie, R.B., Agate, S.T., & Poff, R.(2009). Family leisure satisfaction and satisfaction with

family life. Journal of Leisure Research,41(2),205-223.

Anastasia, S. (2008). Kepuasan Perkawinan Pada Suami/Istri Yang Pasangannya ODHA. Skripsi. Medan : Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Ardhianita, I & Andayani, B. (2004). Kepuasan Penikahan di Tinjau Dari Berpacaran dan

Tidak Berpacaran. Jurnal Universitas Gadjah Mada/ Volume 32, No.2, 101-111.

Asmin. (1986). Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Jakarta : PT. Dian Rakyat.

Bossard,J.H .& Boll, E.S (1957). One Marriage Two Faith;Guindance on interfaith

marriage. New York: The Ronald Press Company.

Chinitz, J. G., & Brown, R.A. (2001). Religious homogamy, marital conflict, and stability

in same-faith and interfaith Jewish marriages. Journal for the Scientific Study of Religion,

40(4),723-733.

Clark, W. (1998). Religious Observance : Marriage and Family. Canada : Canada Social Trends.

Duvall, E. M & Miller, B. C (1985) Marriages and Family Development (6th edition) New York. Harper & Row Publisher,Inc.

Eaton, S. C. (1994). Marriage between Jews and non-Jews : Counseling implications. Journal of Multicultural Counseling& Development, 22(4), 210-214.

Eoh, O.S. (1996). Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

(10)

Gullotta, Thomas P., Gerald R. Adams, Sharon J. A. ( 1986 ). Today’s Marriages

and Families : A Wellnes Approach. California : Brooks / Cole Publishing Co.

Hurlock, E.B. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga.

Hurlock, E.B. (2002). Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta : Erlangga.

Joanides, C.,Mayhew,M.,&Mamalakis, P. (2002). Investigating inter-Christian and

intercultural couples associated with the Greek Orthodox Archdiocese of America : A qualitative research project. American Journal of Family Therapy, 30, 373-383.

Johnson, H.A., Zabriskie, R.B.,& Hill, B. (2006). The contribution of couple leisure involvement, leisure time,

and leisure satisfaction to marital satisfaction. Marriage and Family Review,40(1),69-91

Landis,J.T & Landis, M. G (1963) Building a Successful Marriage 4th edition, Englewood

Cliffs. New York : Prentice Hall Inc.

Landis, P. (1970). Your Marriage and Family Living. New York, NY: Mc GrawHill. Laswell, E & Laswell, F. (1987). Marriage and The Family. 2nd. Ed. California:

Wadsworth Publishing.

Lemme, B. H. (1995). Developmental in Adulthood. United States of America : A Simon & Schuester Company.

Nasution, D. U. (2010). Kepuasan Pernikahan Pada Istri Yang Memiliki Pasangan Beda

Agama. Skripsi. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Olson, D. H., & Fowers B. J., (1989). Enrich Marital Inventory: Discriminant validity and

cross-validity assessment. [on-line]. Available FTP:

www.prepareenrichcanada.com/studies/study3.html

Papalia, Diane E., Sterns, H.L., Feldman, R.D., Camp, CJ. (2007). Adult Development and

Aging (3rd Ed). New York: McGraw-Hill.

Peterson, L. R. (1986). Interfaith Marriage and Religious Commitment among Catholics.

Journal of Marriage and the Family. USA : National Council on Family Relation.

Rosenbaum,M. & Rosenbaum,S. (1999). Cellebrating our diferences. Living two

faith in one marriage. Philadelphia, PA : Beidel Printing House Inc.

Rozakis, L. (2001). Interfaith relationship. Indiana Polis : Macmilan USA Inc.

Rumondor, P., Paramita, G.V., Geni, P.L., & Francis, N.P.(2012). Marital Satisfaction and Couple’s Income

Among Young Adults of Urban Area. Unpublished Manuscript.Psychology Department, BINUS

University.

Schoen, R., Astone, N. M., Rothert, K., Standish, N. J., & Kim, Y. J. (2002). Women Employment, Marital

Happiness and Divorce. Social Forces, 81(2),643-662

Wahyuningsih, H. (2002). Perkawinan : Arti Penting Pola dan Tipe Penyesuaian Antar

(11)

Wulandari, D.A. (2005). Empati dan Komitmen sebagai Fasilitator Perilaku Memberi

Maaf pada Hubungan Romantis. Tesis. Tidak Diterbitkan. Program Pascasarjana

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Zabriskie, R. B., & McCormick, B. P.(2003). Parent and child perspectives of family leisure involvement and

satisfaction with family. Journal of Leisure Research,35(2),163-189.

Zainah, A.Z., Nasir, R., Hashim, R .S., & Yusof, N.M.(2012). Effect of Demographic Variable or Marital

Satisfaction. Asian Social Science,8(9),47-49.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-perceraian-indonesia-meningkat-setiap-tahun-ini-datanya

Referensi

Dokumen terkait

Dari analisa data yang diperoleh (r) = 0,501 dan p = 0,000 artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara percaya diri dengan efektifitas komunikasi pada pasangan

Berdasarkan surat nomor 03/S.PNT.2/PJL-LU/P2BJ-BPKAD/VIII/2012 tentang Penetapan Pemenang Pelelangan Umum Paket Pekerjaan Pengadaan Jasa Asuransi Pada Penutupan

Berdasarkan analisis data dengan menggunakan SEM (Stuctural Equation Modeling) dan pembahasan hasil penelitian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan hal-hal untuk

Pembangunan itu sendiri merupakan proses pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi

Hasil penelitian mengenai pengaruh mekanisme Komite Audit terhadap manajemen laba yang dilakukan dengan mengelola arus kas operasional dan biaya produksi tidak mendukung

(3) Program strategis lintas Kabupaten/Kota yang dibiayai dari penerimaan dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.. (4) Pembiayaan

Puji syukur atas karunia yang Allah swt berikan, atas limpahan rahmat dan kasih sayang- Nya, atas petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4576) sebagaimana telah