• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI PENDIDIKAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA DAN PERMASALAHAN HUKUM KONTEMPORER. Oleh, Hamzah K. *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSISTENSI PENDIDIKAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA DAN PERMASALAHAN HUKUM KONTEMPORER. Oleh, Hamzah K. *"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

20

Oleh, Hamzah K.*

Abstrak: Di negara Republik Indonesia ini berlaku berbagai sistem pendidikan hukum, yakni sistem hukum Adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Barat, baik yang berasal dari Eropa daratan (kontinental) yang disebut civil law maupun yang berasal dari Eropa kepulauan yang dikenal dengan common law atau hukum Anglo Sakson. Pendidikan Hukum Islam adalah merupakan bagian dari agama Islam. Sebagai sistem hukum, hukum Islam tidak boleh, dan tidak dapat disamakan dengan ketiga sistem hukum di atas, yang pada umumnya dibentuk dari kebiasaan masyarakat, hasil permufakatan dan budaya manusia di suatu tempat dan suatu masa. Pendidikan Hukum Islam bersumber dari Allah swt. melalui wahyu-Nya yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul-Nya melalui sunah beliau. Hal inilah yang membedakan secara fundamental antara hukum Islam dengan sistem hukum yang lain tersebut. fleksibilitas hukum Islam baik yang qat'i maupun zanni, secara empiris hukum Islam telah dapat merespon berbagai permasalahan hukum kontemporer di Indonesia. Dalam hal ini peranan hukum Islam sangat jelas, dan dibuktikan dengan berlakunya hukum Fiqih, Fatwa Ulama, Keputusan Pengadilan.

Kata-kata kunci: Pendidikan, Hukum Islam, Hukum Kontemporer

I. Pendahuluan

Pembahasan tentang eksistensi hukum Islam dan permasalahan hukum kontemporer di Indonesia, hal itu merupakan telaah kritis terhadap perkembangan hukum positif di Indonesia. Hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia sepanjang sejarah telah memberikan kontribusi yang positif terhadap permasalahan hukum kontemporer di Indonesia. Dalam berbagai term hukum oleh para pakar, maka dapat dipahami bahwa hukum

*

Hamzah K, Dosen tetap STAIN Palopo, telah mendapatkan gelar Doktor di bidang Syariah/Hukum Islam di UIN Alauddin Makassar tahun 2011.

(2)

itu merupakan aspek budaya. (E. Utrechs, 1966:9). Atas dasar itu maka karakteristik hukum itu sendiri selalu berubah sesuai dengan perubahan masyarakat. Menurut Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah Amir, bahwa “sumber utama” hukum nasional adalah hukum Islam, dimana hukum Islam dapat menjadi bahan baku, penyaring, filter dan rujukan terhadap pembangunan hukum-hukum lainnya. (Makalah 26 Maret 2008). Hukum adat maupun Undang-Undang (Qanun) adalah hukum positif (Ahmad Rafiq, 1997:6) yang berlaku. Maka dengan sifat fleksibilitas hukum Islam baik yang qat'i maupun zanni, secara empiris hukum Islam telah dapat merespon berbagai permasalahan hukum kontemporer di Indonesia. Dalam hal ini peranan hukum Islam sangat jelas, dan dibuktikan dengan berlakunya hukum Fiqih, Fatwah Ulama, Keputusan Pengadilan.

Masyarakat Indonesia sebelum masuknya agama Islam, mereka didominasi oleh hukum adat dan paham animis. Namun pada masa pra Islam yang didakwakan oleh para saudagar Gujarat dan para Wali Sanga (di Jawa), maka secara beransur hukum Islam telah dapat memberi pengaruh positif terhadap hukum-hukum yang sudah ada, dan dengan masuknya Islam, maka hukum Islam dapat diterima sebagai sumber hukum di samping sumber-sumber hukum lainnya. Dalam perjalanan panjang eksistensi hukum Islam sebagai hukum positif tentu banyak mengalami hambatan, di samping rendahnya tingkat pemahaman hukum masyarakat, juga karena akibat politik hukum pemerintah kolonial yang ingin menghapuskan Islam dari bumi Indonesia. Bahkan sampai pada permulaan abad ke-19 masyarakat muslim Indonesia secara umum masih berada pada tingkatan pemahaman Islam tradisional. Ciri khas masyarakat muslim saat itu masih bersifat tekstual, eksklusif, dan kurang memberikan ruang kebebasan terhadap kemampuan akal manusia untuk berpikir lebih rasional. (Nihaya, 2007:1).

Setelah beberapa dasawarsa kemudian perubahan paradigma pemikiran pendidikan hukum Islam di Indonesia mulai tampak dan berkembang secara dinamis dari tahun ke tahun. Perubahan pola pikir seperti itu dapat disaksikan pada pentas sejarah perkembangan paradigma pemikiran pendidikan hukum Islam di Indonesia. Perubahan pola pikir juga dapat mempengaruhi perkembangan pemikiran pendidikan hukum Islam. Di Indonesia terdapat beberapa pakar hukum Islam yang merespon berbagai permalahan hukum kontemporer.

Menurut Guru Besar M. Qasim Mathar, hukum Islam harus bisa merespon masalah-masalah kontemporer yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, oleh karena itu memahami nas-nas secara kontekstual

(3)

adalah sebuah paradigma untuk dapat mengistinbatkan hukum terhadap permasalahan kontemporer. Selanjutnya dinyatakan, ... ayat-ayat al-Quran bagaikan intan, ((M. Qasim Mathar, 2007:12) setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka dia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.

Sehubungan dengan uraian di atas, maka eksistensi pendidikan hukum Islam di Indonesia sering berhadapan dengan permasalahan hukum kontemporer, sejak awal masuknya Islam di Indonesia sampai sekarang. II. Pengertian Eksistensi

Eksistensi, adalah sebuah teori yang dikemukakan oleh Ichtijanto. Teori eksistensi dalam kaitannya dengan pendidikan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia. Teori ini mengungkapkan pula bentuk eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional, dengan penafsiran sebagai berikut:

1. Hukum Islam sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia.

2. Hukum Islam adalah hukum yang mandiri dan diakui keberadaanya, dan karena kekuatan dan wibawanya, maka hukum nasional memberikan status sebagai hukum nasional. 3. Norma hukum Islam (agama) berfunsi sebagai penyaring

bahan-bahan hukum nasional Indonesia.

4. Hukum Islam sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.(Ichtijanto, 1990:86-87).

Atas dasar itu, hukum Islam ada dalam hukum nasional dan mempunyai wibawa hukum sebagai hukum nasional. keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan adanya peraturan perandang-undangan, baik yang berbentuk hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis, serta praktik ketatanegaraan dan sosial keagamaan bangsa Indonesia.

Selanjutya, permasalahan hukum kontemporer kalau dikaitkan dengan Indnesia tidak lain adalah permasalahan hukum nasional Indonesia dewasa ini, dalam hal ini bagaimana hukum nasional Indonesia modern (Soejono Sukanto, 2006:217) yang ingin diwujudkan.

(4)

Hukum nasional Indonesia adalah hukum yang dibangun oleh warga negara Republik Indonesia sebagai pengganti hukum kolonial. Hukum nasional Indonesia tersebut sewajamya sesuai dengan kesadaran hukum, cita-cita moral, cita-cita batin, dan norna yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia ialah Pancasila sebagai yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan pasal 29 ayat 1 yang menunjukkan bahwa Ketuhanan Yang maha Esa sebagai hukum dasar yang dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam bernegara.

III. Sejarah masuknya Islam sebagai sumber hukum positif Indonesia

Ulasan tentang sejarah masuknya Islam di Indonesia erat kaitannya

dengan awal berlakunya hukum Islam di Indonesia dan teori-teori berlakunya hukum Islam. Pembahasan masuknya hukum Islam di Indonesia meliputi pembicaraan tentang sumber-sumber pembawa Islam pertama kali, serta waktu dan tempat kedatangannya. Berkaitan dengan hal ini, hasil seminar pada tahun 1963, tentang masuknya Islam di Indonesia, menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia untuk pertama kali pada abad pertama Hijriah atau pada abad ke tujuh Masehi dan dibawa langsung saudagar-saudagar dari Mekkah dan Madinah yang sekaligus sebagai muballig. (Wahiduddin Adams dkk., 2000:2). Dengan masuknya Islam ke

Indonesia, maka dalam praktek sehari-hari, masyarakat mulai

melaksanakan ajaran dan aturan-aturan agama Islam. Pendapat senada dikemukakan oleh Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa salah satu teori tentang masuknya Islam ke Indonesia menyatakan, Islam masuk pertama kali di pesisir Aceh pada abad ke-1 H/7 M. Pendukung teori ini, menurut Azyumardi Azra, di antaranya Syed Muhammad Naquib al-Attas dan beberapa sejarawan Nusantara seperti Hamka, A. Hasjmi, dan M.Yunus Jamil. Selain mereka, teori ini juga didukung oleh penulis-penulis asing seperti Niemann, De Holander, Keyzer Craw-furd, dan Veth (Niemann dan De Holander, 1994:31).

Selanjutnya mengenai teori-teori berlakunya hukum Islam di Indonesia, selain teori eksistensi, setidaknya ada enam teori, yaitu; (1) Teori Syahadat; (2) Teori Receptio in Complexu, (3) Teori Receptie, (4) Tsori Receptie Exit, (5) Teori Receptio a Contrario; dan (6) Teori

(5)

1. Teori Syahadat

Allah. Dalam hal ini taat kepada perintah Allah dalam Alquran dan sekaligus pula taat kepada Rasul dan sunahnya. (Juhana S. Praja, 2000:225-226).

Teori syahadat ini berlaku di Indonesia, Teori Syahadat disebut juga teori kredo adalah teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadataian) sebagai konsekuensi logis dan pengucapan kredonya. Teori ini dirumuskan dari Alquran, Teori kredo ini sesungguhnya merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid yang menghendaki setiap orang yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah, maka ia harus tunduk kepada perintah. Ketika negeri ini berada di bawah kekuasaan para sultan (raja), dan biasanya pemberlakuan hukum Islam sangat bergantung pada mazhab yang dianut oleh para sultan tersebut. Misalnya, mazhab Syiah pemah menjadi mazhab resmi Kerajaan Peureulak yang didirikan pada 1 Muharram 225 H/806 M, dengan rajanya ketika itu Sayyid 'Abd

al-'Azia Syah. (Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, 2002:237). Dengan

demikian, hukum Islam masa itu berlaku bagi umat Islam sesuai dengan mazhab yang dianut oleh sultan.

2. Teori Receptio in Complexu

Teori ini diperkenalkan oleh van den Berg. Teori ini meyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat pribumi adalah hukum agamanya. Apa yang telah berlaku sejak adanya kerajaan Islam di nusantara hingga zaman VOC tetap diakui oleh Belanda dalam bentuk peraturan dengan dasar hukumnya pasal 75 R.R atau Regeering Reglement (Peraturan yang menjadi dasar pemerintah Belanda menjalankan kekuasaanya di Indonesia, yang menginstruksikan kepada pengadilan untuk mempergunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga, dan kebiasaan mereka, kalau golongan bumiputera yang bersengketa, sejauh undang-undang agama, lembaga-lembaga, dan kebiasaan itu tidak bertentangan dengn asas-asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. (Amrullah Ahmad, 1996:131). Karena itu, menurut Keyzer (1823-1868), sepanjang abad ke-19, sebelum Christian Snouch Hugronje mengemukakan pendapatnya pada akhir abad itu (1893), di kalangan ahli hukum dan ahli kebudayaan Hindia Belanda dianut suatu pendapat yang mengatakan bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam. (Muhammad Daud Ali, 1993:218).

(6)

Pendapat Keyzer di atas dikuatkan oleh van den Berg (1845-1927). Menurut ahli hukum Belanda ini, hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya.

Karena pendapatnya itu, maka untuk memudahkan para pejabat pemerintah Hindia Belanda mengenal hukum Islam yang berlaku di kalangan rakyat pemeluk agama Islam di Jawa terutama, pada tahun 1884 ia menulis asas-asas hukum Islam rnenurut mazhab Syafi’i dan Hanafi. Delapan tahun kemudian (1892), terbit pula tulisannya tentang hukum keluarga dan hukum kewarisan Islam di Jawa dan Madura dengan beberapa penyimpangan. Diusahakannya juga agar hukum Islam dijalankan oleh hakim-hakim Belanda dengan bantuan penghulu atau kadi Islam. (Sayuti Thalib, 1982:6).

Karena pendapat dan karyanya itu, maka van den Berg disebut sebagai orang yang menemukan dan memperlihatkan berlakunya hukum Islam di Indonesia. Menurut van den Berg, yang diterima oleh orang Islam Indonesia bukan hanya bagian-bagian hukum Islam melainkan keseluruhannya sebagai kesatuan (Muhammad Daud Ali, 1993:219). Ini berarti bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai suatu kesatuan. Karena itu pula pendapat van den Berg ini disebut dengan teori receptio in complexu. 3. Teori Receptie

Teori ini muncul sebagai akibat ketakutan Pemerintah Belanda terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh politisi Islam yang terbukti sangat merepotkan mereka. Bila hukum Islam terus dibiarkan berkambang maka itu akan sangat berbahaya. Karena itu, pemerintah Belanda memperkenalkan istilah het indisdhe Adairecht atau hukum Adat Indonesia. Gagasan ini dipelopori oleh van Vollenhoven (1874-1933) (Kemudian dikembangkan oleh seorang Penasehat Hindia Belanda

tentang soal-soal Islam, Christian Snouck Hugronje (1857-1936).Inti dari

gagasan mereka ialah bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum Adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi atau diterima oleh hukum Adat.

Wujud nyata berlakunya teori reseptie adalah mulai diterapkannya Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling (IS) 1925 yang sama bunyinya

(7)

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum Adat mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh ordenansi" (Imam Syaukani, 2006:76).

Sejak diberlakukannya kebijakan di atas, eksistensi hukum Islam secara formal mengalami kondisi yang memprihatinkan.

4. Teori Receptie Exit

Teori reseptie exit maksudnya adalah bahwa teori receptie harus keluar dari teori hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 serta bertentangan dengan Alquran dan sunah Rasul. Teori ini diperkenalkan oleh Hazairin, Hazairin berpendapat bahwa hukum Islam itu bagi rakyat yang beragama Islam dilaksanakannya sebagai bagian dari perkara imannya. (Hazairin, 1974:101). Lebih lanjut Hazairin menyatakan bahwa teori receptie diciptakan oleh kekuasaan Koloneal Belanda untuk merintangi kemajuan Islam di Indonesia. (Hasairin, 1982:7).

Menurut teori receptie itu hukum Islam ansich bukanlah hukum. Hukum Islam itu baru boleh diakui sebagai hukum jika hukum Islam itu telah menjadi hukum Adat. Maka tergantunglah kepada kesediaan masyarakat adat penduduk setempat untuk menjadikan hukum Islam yang "bukan hukum itu" menjadi hukum Adat. Akan tetapi, teori receptie yang telah menjadi darah daging bagi ahli hukum Indonesia yang dididik di zaman Koloneal, adalah sebenarnya menurut Hazairin, teori Iblis. yang menentang iman orang Islam, menentang Allah, menentang Alquran, dan menentang Rasul. (Hazairin, 1982:8).

Pada akhirnya, Hazairin berkesimpulan bahwa teori receptie, baik sebagai teori mapupun sebagai ketetapan dalam pasal 134 ayat 2 Indische

Staaisregeling sebagai konstitusi Belanda telah lama mati, yaitu terhapus

dengan berlakunya UUD 1945, sebagai kontitusi negara Republik Indonesia. (Hasairin, 1982:8).

Menurut Hazairin, teori receptie sebagaimana dikemukakan oleh Snouck Hugronje telah hapus dengan berlakunya UUD 1945. Pemahaman inilah yang dimaksud dengan teori resepsi exit. (Juhama S. Praja, 1991:xiii).

(8)

Dengan demikian, pemberlakuan hukum Islam tidak harus didasarkan atau ada ketergantungan kepada hukum Adat, pemahaman demikian lebih dipertegas lagi dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam (pasal 2 ayat 1), UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. 5. Teori Recspiio a Contrario

Dalam perkembangan selanjutnya. menurut Sayuti Thalib, ternyata dalam masyarakat telah berkembang hal yang lebih jauh daripada pendapat Hazairin. Di beberapa daerah yang dianggap sangat kuat adatnya, terlihat ada kecenderungan membalik teori receptie dari Snouck Hugronje itu. Di Aceh umpamanya, masyarakat menghendaki agar soal-soai perkawinan dan warisan diatur menurut hukum Islam. Apabila ada ketentuan adat di dalamnya, boleh saja dilakukan atau dipakai, tetapi dengan suatu ukuran, yaitu tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Dengan demikian, yang ada sekarang adalah kebalikan dari teori receptie, yaitu hukum Adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Inilah yang disebut Receptio A Conirana (Sayuti Thalib, 1982:67). Jadi, menurut teori Receptio A Conirario, hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia adalah hukum agamanya. Hukum Adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Agama.

6. Teori Sinkretisme

Teori Ini dikemukakan oleh Hooker setelah sebelumnya melakukan penelitian di beberapa daerah di Indonesia. Menurut Hooker, kenyataan membuktikan babwa tidak ada satu pun sistem hukum, baik hukum Adat maupun hukum Islam yang saling menyisihkan, keduanya berlaku dan mempunyai daya ikat yang sederajat, yang pada akhirnya membentuk suatu pola khas dalam kesadaran hukum masyarakat. Akan tetapi, kesamaan derajat berlakunya dua sistem hukum ini tidak selamanya searah. Pada saat tertentu dimungkinkan terjadinya konflik seperti digambarkan dalam konflik hukum adat dengan hukum Islam di Minangkabau.

Dengan demikian, menurut Hooker, daya berlakunya suatu sistem hukum, baik hukum Adat maupun hukum Islam, tidak disebabkan oleh meresepsinya sistem hukum tersebut pada sistem hukum yang lain, tetapi disebabkan oleh adanya kesadaran hukum masyarakat yang

(9)

sungguh-sunguh menghendaki bahwa sistem hukum itulah yang berlaku. Dengan anggapan ini, akan tampak bahwa di dalam sistem hukum Adat dan sistem hukum Islam terdapat daya berlaku yang sejajar dalam suatu masyarakat tertentu. Daya berlaku sejajar tersebut tentu tidak muncul begitu saja, tetapi melalui sebuah proses yang begitu panjang. (HB. Hokker, 1978:35). Kondisi ini bisa terjadi karena hukum Islam memang mempunyai daya akomodasi yang kuat terhadap adat kebiasaan masyarakat.

IV. Eksistensi Pendidikan Hukum Islam Indonesia dalam Sistem Hukum Nasional

Pembahasan tentang eksistensi hukum Islam dalam sistem hukum nasional akan mengacu kepada teori eksistensi yang telah disebutkan di atas, karena itu pembahasan ini akan dibagi penjadi empat bagian sebagai berikut:

1. Hukum Islam sebagai bagian integral hukum nasional.

Di negara Republik Indonesia ini berlaku berbagai sistem hukum, yakni sistem hukum Adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Barat, baik yang berasal dari Eropa daratan (kontinental) yang disebut

civil law maupun yang berasal dari Eropa kepulauan yang dikenal dengan common law atau hukum Anglo Sakson. Kedua sistem hukum Eopa ini

dulu dibawa oleh Belanda dan Inggris ke negeri-negeri jajahan mereka, termasuk Indonesia.

Kalau dibandigkan di antara keempat sistem hukum tersebut di atas, akan jelas bahwa hukum Adat dan hukum Islam mempunyai hubungan dengan agama, bahkan hukum Islam menjadi bagian dari agama Islam. Sedangkan kedua sistem hukum yang berasal dari Eropa, baik dari Eropa daratan maupun dari Eropa kepulauan, adalah hukum-hukum yang tidak mempunyai hubungan dengan agama bahkan menolak agama dalam sistem hukumnya yang didasarkan pada individualisme dan sekularisme.

Hukum Islam adalah hukum yang merupakan bagian dari agama Islam. Sebagai sistem hukum, hukum Islam tidak boleh, dan tidak dapat disamakan dengan ketiga sistem hukum di atas, yang pada umumnya dibentuk dari kebiasaan masyarakat, hasil permufakatan dan budaya manusia di suatu tempat dan suatu masa.

Hukum Islam bersumber Allah swt. melalui wahyu-Nya yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul-Nya melalui sunah

(10)

beliau. Hal inilah yang membedakan secara fundamental antara hukum Islam dengan sistem hukum yang lain tersebut.

Kedudukan hukum Islam sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia, secara khusus tercantum dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Dalam pasal itu dijelaskan bahwa Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Hazairin, kaedah fundamental dalam pasal 29 ayat (1) itu dapat ditafsirkan dalam enam kemungkinan. Dua di antaranya dipandang relevan dengan eksistensi hukum hukum di Indonesia yaitu : 1). Negara RI wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu Bali bagi orang Hindu Bali, sekadar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara.

2). Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menja- lankannya dan karena itu dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing. Hazairin, 1973:18).

Setelah Indonesia merdeka, keberadaan hukum Islam sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia berpijak kepada landasan filosofis, yaitu Pancasila sebagai dasar negara dan landasan yuridis, yaitu UUD 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia.

2. Hukum Islam sebagai hukum yang mandiri.

Hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat dibagi dua.

Pertama, hukum Islam berlaku secara yuridis formal; dan kedua, hukum

yang berlaku secara normatif.

Hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal adalah sebagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat yang dirangkum dalam istilah muamalah. Bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Misalnya tentang hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum wakaf, Hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal "memerlukan" bantuan penyelenggara negara untuk menjalankannya secara sempuma, dengan

(11)

misalnya, mendirikan Peradilan Agama yang menjadi salah satu peradilan di negara kita.

Hukum Islam yang berlaku secara normatif adalah (bagian) hukum Islam yang pelaksanaannya pada umumnya tidak memerlukan bantuan dari penyelenggra negara. Hukum Islam semacam ini boleh dikatakan hukum Islam yang mandiri. Misalnya kaedah-kaedah hukum Islam mengenai pelaksanaan ibadah saalat, puasa, zakat, dan haji, yakni yang termasuk dalam kategori ibadah murni. Hampir semua bagian hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan berlaku secara mandiri dan normatif di negara Indonesia. Namun, karena sifatnya yang unik, ada juga hukum Islam bidang ibadah murni yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya secara sempuma, misalnya ibadah haji dan zakat.

Di samping itu, kepatuhan akan halal atau haramnya suatu perbuatan merupakan landasan kesadaran hukum untuk tidak melakukan suatu perbuatan hukum seperti berjudi, berzina, mencuri, dan mengkomsumsi sesuatu yang dilarang dan yang diragukan kehalalannya. Pelaksanaan hukum Islam yang bersifat mandiri ini sangat tergantung pada tingkat iman dan takwa serta akhlak setiap individu umat Islam. Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam kategori ini adalah melalui jalur iman dan takwa. Melalui jalur ini penganut agama Islam dalam negara Republik Indonesia dapat melaksanakan hukum Islam yang merupakan bagian atau berasal dari agama Islam. Intensitas pelaksanaannya tergantung kepada kualitas keimanan dan ketakwaan yang ada pada diri muslim yang bersangkutan. Kalau imannya baik dan takwanya benar, hukum Islam kategori ini akan berjalan dengan baik dan benar pula, Sebaliknya, kalau imannya kurang baik atau takwanya tidak benar, maka hukum Islam tidak akan berjalan.

Pelaksanaan hukum Islam melalui jalur iman dan takwa ini sebenamya dijamin oleh negara. Jaminan itu terdapat dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu". Perkataan "kepercayaan" dalam pasal 29 ayat 2 ini adalah kepercayaan agama, bukan kepercayaan lain di luar agama yang diakui Negara Repubiik Indonesia.

(12)

3. Hukum Islam sebagai penyaring hukum nasional Indonesia.

Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, upaya untuk melakukan pembaruan hukum warisan koloneal mulai dicanangkan, walaupun dalam rangka menghindari kekosongan hukum, hukum warisan koloneal itu untuk sementara masih tetap diberlakukan (sesuai dengan Aturan Peralihan Pasal 2 dari UUD 1945). Akan tetapi karena peraturan yang diberlakukan itu dibangun berdasarkan teori receptie, maka menurut Hazairin sangat tidak menguntungkan bagi umat Islam. Berkenaan dengan itu, Hazairin menegaskan bahwa mestinya setelah Indonesia merdeka atau tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan UUD 1945 dijadikan Konstitusi Negara Republik Indonesia, semua praturan perundang-undangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi. Argumen yang dikemukakan Hazairin bahwa teori receptie bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, teori receptie itu harus "exit" (keluar) dari tata hukum Indonesia merdeka.

Berdasar pasal 29 UUD 1945. menurut Hazairin, di dalam negara Rl tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaedah-kaedah Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaedah-kaedah agama Nasrari bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaedah-kaedah agama Hindu Bali bagi orang-orang Hindu Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan Budha bagi orang-orang Budha. (Hazairin, 1982:102).

Kondisi ideal yang digambarkan oleh Hazairin tersebut di atas hanya dapat terjadi bila norma hukum agama, terutama norna hukum Islam dijadikan penyaring bagi bahan-bahan hukum nasional.

4. Hukum Islam sebagai bahan baku utama hukum nasional.

Dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional, kedudukan hukum Islam itu jelas. Ini dapat dipahami dan pernyataan Menteri Kehakiman, sebagai pemegang kebijakan politik hukum di negara Republik Indoneia ini, pada pembukaan Simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981, Menteri Kehakiman ketika itu, Ali Said, menegaskan bahwa di samping hukum Adat dan hukum eks-Barat, hukum Islam yang merupakan salah satu komponen tata hukum Indonesia, menjadi salah satu bahan baku pembentukan hukum nasional Indonesia. (Muhammad Daud Ali, 1998:48). Penegasan

(13)

Ali Said, itu tetap dilegitimasi oleh penggantinya Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, pada tahun 1989, dengan uraian yang lebih jelas dan rinci.

Menurut Menteri Kehakiman Republik Indonesia itu, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Agama Islam, kata beliau lebih lanjut, mempunyai hukum Islam dan secara substansial terdiri atas dua bidang, yaitu: (1) bidang ibadah, dan (2) bidang muamalah. Pengaturan hukum yang bertalian dengan bidang ibadah bersifat rinci, sedangkan pengaturan mengenai muamalah atau mengenai sebagian aspek kehidupan masyarakat, tidak bersifat rinci. Yang ditentukan dalam bidang terakhir hanya prinsip-prinsipnya saja. Pengembangan dan aplikasi prinsip-prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para penyelenggara negara dan pemerintahan, yakni para ulil amri.

Karena itu, hukum Islam memegang peranan penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi kehidupannya, maka jalan terbaik yang dapat ditempuh ialah mengusahakan secara ilmiah adanya transformasi norma-noma hukum Islam ke dalam hukum nasional, sepanjang ia, menurut Menteri Kehakiman itu, sesuai dengan Pancasila dan Undag-Undang Dasar 1945 dan relevan dengan kebutuhan hukum khusus umat Islam. Menurut Menteri Kehakiman, cukup banyak asas yang bersifat universal terkandung dalam rukum Islam yang dapat dipergunakan dalam menyusun hukum nasionaL.

Dengan penjelasan yang agak rinci di atas, kiranya jelas apa yang dapat dilakukan dalam mewujudkan hukum nasional sebagai jawaban atas permasalahan hukum kontemporer di Indonesia, dan jelas pula kedudukan hukum Islam sebagai andalan sumber hukum di Indonesia. Dengan kata lain, dalam pembangunan hukum nasional Indonesia, hukum Islam, di samping hukum-hukum lain akan menjadi sumber bahan baku. Ini berarti bahwa sesuai dengan kedudukannya sebagai salah satu sumber bahan baku dalam pembentukan hukum nasional, maka hukum Islam sesuai dengan kemauan dan kemampuan yang ada padanya, dapat berperan aktif dalam proses pembangunan hukum nasional. Kemauan dan kemampuan hukum Islam itu harus ditunjukkan oleh setiap orang Islam, baik pribadi maupun kelompok, yang mempunyai komitmen terhadap Islam dan menginginkan hukum Islam berlaku bagi umat Islam dalam negara RI.

(14)

V. Prospek dan Problematika Eksisiensi Pendidikan Hukum Islam di Indonesia

Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang diperpegangi dan ditaati oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah hukum yang lebih hidup dalam masyarakat dan merupakan bagian dari ajaran Islam yang eksis dalam kehidupan hukum nasional, serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya. (Andi Rasydiyanah, 2008).

Jadi secara eksistensial, kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional merupakan subsistem dari sistem hukum nasional. Karena itu, hukum Islam mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka pembangunan hukum nasional. Peluang itu semakin cerah, karena didukung oleh berbagai kondisi antara lain:

1. Adanya berbagai kebijakan dan kebijaksanaan para penyelenggara negara yang memberi peluang bagi berperannya hukum Islam.

2. Telah adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang

mendo-rong pengembangan Islam dan peningkatan

kesejahteraan umat Islam.

3. Meningkatnya kualitas iman dan kesadaran hukum umat Islam sebagai akibat meningkatnnya pendidikan dan dakwah Islam di kalangan umat Islam.

Berbagai peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan yang dapat mendorong pengembangan Islam dan peningkatan kesejah-teraan umat Islam, di antaranya adalah:

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok agraria.

2. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Kepolisian. 3. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 Tentang Kejaksaan.

4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1977 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.

5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 6. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional

7. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 8. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

(15)

9. Kompilasi Hukum Islam yang diundangkan melalui Inpres Nomor 1 Tahun1991 dan lnstruksi Menteri Agama No, 154 Tahun 1991 10. Undang-undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat 11. Undang-undang RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

12. Undang-undang No. 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji

13. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Dengan menyebut prospek yang cerah seperti dikemukakan di atas, tidaklah berarti hukum Islam tidak memiliki masalah dalam eksistensinya. Dalam tahap perkembangan pembangunan hukum nasional dewasa ini, yang diperlukan oleh badan yang bertindak sebagai koordinator pemba-ngunan materi hukum nasional adalah asas-asas dan kaedah-kaedah hukum Islam dalam segala bidang, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Yang bersifat umum, misalnya ketentuan-ketentuan umum mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku di tanah air kita. Sedang yang bersifat khusus, misalnya asas-asas hukum perdata Islam, terutama mengenai hukum kewarisan, asas-asas hukum ekonomi mengenai pemilikan dan hak milik, perjanjian dan utang piutang, asas-asas hukum pidana, meskipun UU-nya sudah ada, asas-asas hukum tata negara dan administrasi pemerintahan, asas-asas hukum internasional dan hubungan antar bangsa dalam Islam, dan sebagainya.

Asas-asas yang diperlukan oleh hukum nasional itu ada dalam hukum Islam. Akan tetapi, persoalannya harus perumusan dalam teks yang jelas yang dapat diterima oleh golongan non-muslim dan golongan Islam sendiri.

Sehubungan dengan itu, dapat pula dikemukakan bahwa berhubung bangsa Indonesia mayoritas beragama Islam, ada pendapat yang mengatakan seyogyanya kaedah-kaedah hukum Islamlah yang menjadi norma-norma hukum nasional dilihat dari segi normatif, memang demikian idealnya. Akan tetepi, dipandang dari segi kenyataan, sejarah perkembangan hukum dan politik hukum di tanah air kita, tidak demikian. Dalam poiltik hukum yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia tidaklah karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, lantas norma-norma hukum Islam secara otomatis menjadi norma-nomra hukum nasional. Norma-norma hukum Islam itu baru menjadi norma hukum nasional, menurut politik hukum kita, apabila norma-norma hukum dimaksud dapat menampung kebutuhan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, ketentuan

(16)

tersebut berlaku juga untuk norma hukum Adat dan hukum eks-Barat yang juga menjadi bahan baku pembangunan hukum nasional.

Selain yang telah dikemukakan di atas, perlu pula dikemukakan bahwa dalam mengelola asas-asas dan kaedah-kaedah hukum Islam menjadi asas-asas dan kaedah-kaedah hukum nasional, ada masalah lain yakni yang melekat pada "hukum Islam" itu sendiri dan sikap umat Islam terhadapnya. Masalahnya adalah adanya pendapat bahwa kaedah-kaedah"hukum Islam" itu harus diikuti semua dari A sampai Z. Ada pula yang beranggapan bahwa dalam mengkaji dan mengolah asas dan kaedah-kaedah hukum Islam itu harus dibedakan antara asas-asas dan kaedah-kaedah yang terdapat dalam syariat dengan yang terdapai dalam fikih. Yang disebut pertama harus diikuti dari A sampai Z, karena ia adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, sedang yang

kedua tidak wajib diikuti dari A sampai Zt karena bisa bersifat lokal dan

temporal.

Selain itu, ada juga sementara orang yang mempertanyakan kontradiksi antara syariat sebagai kehendak Tuhan yang transenden dengan kenyataannya sebagai aturan hukum yang sering bukan saja berubah, melainkan juga berbeda dan bertentengan. Pada yang pertama, syariat diedealkan sebagai sesuatu yang pasti, satu, dan mutlak, tidak boleh berubah dan berbeda apalagi berlawanan. Ajaran yang termaktub dalam Alquran dan hadis Nabi merupakan konsep final yang harus diberlakukan apa adanya dalam semua keadaan. Pada yang kedua, praktek hukum yang terjadi di tengah rnasyarakat muslim tidak ada keseragaman aturan hukum. Bahkan, di antara ulama dan mazhab yang ada terjadi silang pendapat yang bukan hanya berbeda melainkan berlawanan.

Sebenamya kontradiksi tidak perlu terjadi karena semuanya benar. Syariat yang termaktub dalam Alquran dan hadis sebagian besarnya merupakan aturan dasar dan amat sedikit mengungkapkan peristiwa khusus. Sebagai aturan dasar, ia memiliki daya tampung terhadap peristiwa baru yang tak diungkapkannya sepanjang terdapat kesamaan atau kemiripan makna (illat) nas dengan makna yang terdapat pada peristiwa baru tersebut. Pengungkapan makna tersebut diperoleh melalui ijtihad yang menjadi tugas dan kewenangan para mujtahid.

Untuk mengatasi problematika yang dikemukakan di atas, agaknya diperlukan peningkatan sikap bijaksanaan dan kesadaran hukum umat Islam sehingga dapat mempertimbangkan dengan bijak kondisi obyektif yang ada dalam mernperjuangkan eksisiensi hukum Islam di

(17)

Indonesia. Kondisi obyekfif yang perlu dipertimbangkan antara lain keadaan bangsa yang majemuk dalam hal ini perlu upaya yang bijak untuk meyakinkan umat non-Muslim bahwa eksistensi hukum Islam di Indonesia tidak akan merugikan bahkan akan melindungi kepentingan mereka.

Perlunya peningkatan kesadaran hukum masyarakat, terutama umat Islam sangat diperlukan, karena hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas ketaatan umat terhadap hukum Islam. Peningkatan kesadaran hukum ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan dan dakwah agar pengetahuan keagamaan umat Islam memadai, dengan demikian pengamalan ajaran Islam sekaligus kesadaran ketaatan hukum dimungkinkan dapat signifikan.

VI. Penutup

Dari uraian yang lalu dapat diambil kesimpulan bahwa sejarah awal masuknya Islam di Indonesia menurut Azyumardi Azra (dkk), yakni pada abad Ke-1 H./7 M. oleh para saudagar dari Mekkah dan Medinah, Islam masuk pertama kali di daerah pesisir Aceh. Teori ini didukung oleh penulis-penulis asing seperti, Niemann, De Holander, Keyzer, Craw-furd, dan Veth. Dalam kurun waktu awal masuknya Islam tersebut, maka hukum Islam telah mulai berlaku sebagai hukum positif oleh masyarakat. Aturan-aturan hukum Islam berkembang sejajar dengan hukum adat. Sementara hukum adat merupakan hukum positif yang sudah ajeg dan mengakar di masyarakat. Di samping itu, produk hukum koloneal yang telah melembaga sebagai hukum nasional Indonesia, telah menjadi doktrin hukum yang membelunggu dan berkepanjangan, sehingga sampai sekarang ini dampaknya masih dirasakan.

Eksistensi pendidikan hukum Islam di Indonesia mengalami kemajuan dari waktu ke waktu. Berdasarkan teori eksistensi, hukum Islam sebagai salah satu hukum positif di Indonesia, apabila dikaji secara filofis dan sosiologis, maka hukum Islam telah menjadi “sumber utama” dalam pembangunan hukum nasional, yang berfungsi sebagai penyaring, ataupun filter terhadap perkembangan hukum yang hidup di masyarakat, apakah itu hukum adat ataupun hukum-hukum warisan koloneal yang sarat dengan politik hukum kaum penjajah. Permasalahan hukum kontemporer secara bertahap dapat ditekan berdasarkan eksistensi dan efektifitas pendidikan hukum Islam sebagai hukum positif, yang selama ini telah menjadi bagian integral dari hukum nasional, sebagai hukum yang mandiri, maupun

(18)

sebagai penyaring dan sebagai bahan baku utama bagi pembangunan hukum nasional Indonesia.

Prospek hukum Islam sebagai sumber utama pembangunan hukum nasional Indonesia sangat berpeluang ke depan untuk menjadi mercusuar, dinamis dan efektif sebagai hukum positif apabila produk politik hukum yang dikembangkan sesuai dengan fleksibilatas hukum Islam yang adaftif dengan konsep rahmatan lil al-‘alamin sepanjang zaman.

Daftar Rujukan

Abd. Manan. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Ed. Cet. I Kencana, Jakarta.

Adams, H. Wahiduddin. 2000. Peradilan Agama di Indonesia: Sejarah

Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-undangnya. Jakarta: Departemen Agama RI.

Ahmad, Amrullah. 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum

Nasional. Cet I, Jakarta; Gema Insani Press.

Ahmad, Noor. 2000. Epistemoiogi Syara’: Mencari Format Baru Fiqh

Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ahmad, Kamaruzzarnan Bustaman. 2002. Islam Histons: Dinamika

Studi Islam di Indonesia. Cet. I, Yogyakarta: Galang Press.

Ali, Mohammad Daud. 1993. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan

Tata Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja GraHndo Persada.

Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Tinmur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.

Bisri. Cik Hasan. 1998. Hukum Mam dalam Tatanan Masyarakat

Indonesia. Cet I. Jakarta: Logos.

Hazairin. 1973. Demokrasi Pancasila. Cet. Ke-2, Jakarta: Tintamas Indonesia.

---.1974. Tujuh Serangkai Tentang Hukum. Jakarta: "Tintamas Indonesia.

---. 1975. Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1

tahun 1974. Cet. Ke 1. Jakarta: Tintamas.

---.1982. Hukum Kekeluargaan Nasional. Cet. Ke-3. Jakarta: Tintamas

Indonesia.

Hooker, .B. 1978. Adat Law in Modern Indonesia. Oxford: University Press. Ichtijanto. 1990. Hukum Islam dan Hukum Nasional. Jakarta; Ind-Hill Co.

(19)

Khuluq, Lathiful. 2002. Strategi Belanda Melumpuhkan Islam: Biografi

C. Snock Hougronje. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Al-Qardawi, Yusuf. 1994. al-Ijtihad al-Mu’a¡ir baina al-Indibat

wal-Infirat. al-Qahirah: Dar al-Tauzi’l wal Nasr al-Islamiyah.

Pradja, Juhaya S. 1991. Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan

Praktek. Cet. Ke-1, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Rofiq, Ahmad. 1995. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: RaJa Grafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. 2006. Pokok-Pokok Sosiologj Hukum. Jakarta: PT. RaJa Grafindo Persada.

Al-Syatibi, Abu Ishaq. T.th. al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah. Jilid I. Mesir: al-Maktabah a-Tijariyah al-Kubra.

Syaukani, Imam. 2006. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam

Indonesia dan Relevansimva bagi Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta: PT. RaJa Grafindo Persada.

Thalib, Sayuti. 1982. Receptio A Contrario. Cet. Ke-3, Jakarta: Bina Aksara. Usman, Suparman. 2001. Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi

Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Cet. I; Jakarta

Selatan: Gaya Media Pratama.

Yafie, Ali. 1997. Teologi Sosial : Telaah Kritis Persoalan Agama dan

Kemanusiaan. Cet. I; Yogyakarta: LKPSM.

---.1994. “Posisi Ijtihad dalam Keutuhan Ajaran Islam” dalam Ahmad Azhar Basyir et al. Ijtihad dalam Sorotan. Cet. III; Bandung : Mizan.

---.1993. “Sistem Pengambilan Hukum oleh Aimmatu al-Madzahib, dalam Abdurrahman Wahid, et. al., Kontroversi Pemikiran Islam

di Indonesia. Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.

---. 1997. Teologi Sosial: Telaah Kritis Persoalan Agama dan

Referensi

Dokumen terkait

morfologi yang diamati dari 12 jenis tanaman yang diteliti adalah cara percabangan batang, arah tum- buh batang, pangkal batang, permukaan batang, susunan daun, tata letak

Perkembangan teknologi informasi, terutama pada era informasi berdampak signifikan terhadap sistem informasi akuntansi (SIA) dalam dunia perbankan. Dampak yang dirasakan

Dalam pengukuran produktivitas suara dalam perusahaan dapat diukur dengan dua jenis ukuran jam kerja manusia yakni, jam-jam kerja yang harus dibayar (overjob) dan

Proposal ini secara eksklusif diajukan kepada pihak Hotel, Kami berharap dari proposal yang dikirimkan dapat memberikan masukan positif dalam pengembangan Sistem Informasi

Hasil analisis dengan menggunakan koefisien determinasi menunjukkan sekitar 74,3% dari keputusan pembelian dapat dijelaskan oleh variabel persepsi harga, kualitas

Dari hasil analisis Servqual terbobot diketahui indikator yang harus ditingkatkan kualitas layanannya adalah Lay Out / tata letak ruangan Dinas Kependudukan

Pada krisan yang diradiasi dalam bentuk stek pucuk, Banerji dan Datta (1992) menemukan dosis optimum sinar gamma untuk menghasilkan mutan yang diinginkan terbanyak (30% dari

Hasil penelitian wawancara tersebut dapat di simpulkan bahwa dalam pemberian izin SPA di Makassar cukup optimal dalam meminimalisir tempat-tempat yang di