• Tidak ada hasil yang ditemukan

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Catatan Komunitas Kenduri Cinta I"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

Disusun oleh :

Mukhammad Zainuri (Pecinta Maiyah)

(2)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 2

Assalamu’alaikum wr.wb Salam Maiyah…

Alhamdulillahirobbil’alamin, dari semakin banyaknya anggota KKC maka tercetuslah keinginan utk mengumpulkan catatan di FB KKC ini dalam bentuk yang praktis, akhirnya e-book “CATATAN KOMUNITAS KENDURI CINTA I” ini berhasil disusun & bisa dinikmati oleh Anda. Terimakasih kepada segenap Kawan2 anggota & pengelola Fan Page Facebook Komunitas Kenduri Cinta & seluruh jaringan maiyah nusantara atas materi tulisannya, khususnya atas ilmu2 dari guru kita semua Cak Nun, Cak Pudji, dan semuanya yang telah menulis di catatan komunitas kenduri cinta..

Semoga e-book sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin.. Wassalamu’alaikum wr. Wb

Cilacap, 5 Februari 2011

Mukhammad Zainuri (“Jay”) Email: mukhammad.zainuri@gmail.com

FB: blues_jay2004@yahoo.com

Ini adalah Ebook gratis, silahkan dibagikan utk orang2 sekitar yg anda sayangi ....

(3)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 3

SEKILAS TENTANG KOMUNITAS KENDURI CINTA

Komunitas Kenduri Cinta merupakan wadah silaturahmi yang tidak hanya berisikan kesenian namun juga mengedepankan pencerahan pada segi pendidikan politik, kebudayaan dan kemanusiaan yang multikultur. Gerakan Cinta dalam forum Maiyah Kenduri Cinta menjembatani kebaikan antar manusia, kemesraan dan cinta kasih agar nila-nilai cinta yang hakiki tidak diabaikan apalagi

ditinggalkan.

Kenduri Cinta memberikan suasana iklim yang sehat. Panggung dalam forum KenduriCinta bukan suatu pementasan tetapi suatu gerak bersama sehingga pada akhirnya tdak ada penonton dan yang ditonton, bukan wadah 'show of force' perorangan atau golongan, melainkan sebuah forum yang mengedepankan interaksi dan komunikasi yang jernih, pikiran obyektif dan hati nurani yang diliputi kasih.

Komunitas KenduriCinta terbentuk sejak pertengahan tahun 2000. Komunitas KenduriCinta adalah bagian dari komunitas Maiyah

Nusantara yang telah lama dirintis oleh komunitas maiyah secara rutin bersama pada kota-kota besar di Indonesia, antara lain: Jombang (Padhang Mbulan), Surabaya (BangBang Wetan), Semarang (Gambang Syafaat), Jogjakarta (Mocopat Syafaat), Malang (Obor Ilahi) dan Makassar (Paparandang Ate).

Gambaran:

"lnna ma'ya Robbi", tutur Musa, Nabi alaihissalaam, untuk

meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. Muhammad Rasulullah saw, juga menggunakan kata sama -di gua Tsur- tatkala

(4)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 4

dikejar-kejar oleh pasukan musuh untuk menghibur dan memelihara iman Abu Bakar, sahabat beliau, Sayyid kita

Rodhlialloohu'anhu: "La takhof wa la tahzan, innalloha ma'anaa". Jangan takut jangan sedih, Allah ada menyertai kita.

Bahasa kenegaraan Maiyah itu: Nasionalisme. Bahasa mondialnya: Universalisme. Bahasa peradabannya: Pluralisme. Bahasa

kebudayaannya: Heterogenisme, atau kemajemukan yang direlakan, dipahami dan dikelola. Metode atau manejemen pengelolaan itu namanya: Demokrasi.

Di dalam teori Maiyah Nasionalisme, selalu ditemukan adanya banyak pihak, ada banyak wajah, ada banyak warna, ada banyak kecenderungan dan pilihan. Masing-masing pilihan itu menggunakan wamanya sendiri-sendiri, wajahnya sendiri-sendiri dan

kecenderungan sendiri-sendiri.

Setiap mereka menghidupi dan menampilkan dirinya masing-masing. Sehingga pada semuanya tampak sebagai bhinneka. Berbagai perbedaan itu tidak membuat mereka berperang satu sama lain, karena diikat dan prinsip ke-ika-an, yakni komitmen kolektif untuk saling menyelamatkan dan mensejahterakan. Demikianlah berita gembira berdirinya Republik lndonesia dulu. Sikap Maiyah di antara berbagai pilihan itu adalah kesepakatan untuk saling menyetorkan kebaikan dan kemashlahatan untuk semua.

Yang Budha, berpakaianlah Buddha. Yang Katholik, Katholiklah. Yang lslam, lslamlah. Omswastiatu tak usah diganti Padamu Negeri. Haleluya tak usah diganti Tanah Tumpah Darahku. Shalaatullaah

(5)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 5

salaamullaah tak usah diganti lbu Kita Kartini. Heterogenitas itu cukup dijaga oleh satu prinsip: saling memperuntukkan dirinya bagi kebersamaan. ltulah Maiyah.

Website:

http://www.kenduricinta.com

Facebook:

http://www.facebook.com/#!/pages/Komunitas-Kenduri-Cinta/34798057138?v=info

(6)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 6

Panggillah “Mbah Nun...!”

oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 22 Februari 2010 jam 9:54 Catatan: Münzir Màdjid

TIBA-TIBA, plak-plak, pukulan mendarat ke mulut seorang anak muda. “Tidak sopan, jangan panggil Cak Nun, panggillah dengan hormat, Mbah Nun...!” SATU:

Pernah dengar nama KH Muslim Rifa’i Imam Puro? Nama lengkap ini tidaklah begitu populer. Namun jika disebut “Mbah Lim” banyak kalangan yang

mengenalnya, paling tidak sering mendengar.

Apalagi bagi kalangan nahdliyyin, mereka sangat mengenal sosok Mbah Lim. Bahkan kiai-kiai NU sangat takzim terhadap beliau, termasuk Gus Dur (Allah yarham). Karena Mbah Lim sangat rajin menghadiri helatan-helatan yang yang diselenggarakan NU, terutama Muktamar. Kecenderungan pilihan Mbah Lim terhadap sosok yang kelak memimpin NU biasanya itulah suara Nahdliyyin. Jika pertama kali berjumpa pasti tak akan mempercayai bahwa orang ini sangat disegani dari berbagai kalangan. Sangat nyentrik. Berpakaian dengan padu padan sangat tidak pas. Bertutup kepala topi (bukan peci) dipadu dengan sorban. Yang tak pernah ketinggalan, mencangklong tas kain lusuh. Nama pesantrennya aneh, tidak biasa: Pondok Pesantren Al Muttaqin Pancasila Sakti, Desa Karang Anom, Klaten. Dengan penampilan yang “mboys” ini, tidak aneh, jika banyak yang beranggapan bahwa Mbah Lim adalah seorang wali.

Cara berbicaranya tidak jelas, cedal (cadel). Sukar dipamahami. Maka sering didampingi oleh santri atau keluarganya sebagai juru bicara.

(7)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 7

Suatu hari, pesantrennya mengadakan acara dengan mengundang Emha Ainun Nadjib untuk memberikan ceramah. Tibalah saatnya, Emha harus naik ke atas podium. Seorang santri yang bertindak sebagai MC memanggil Emha.

"Kami persilakan Cak Nun dari..."

Belum juga MC selesai berbicara, Mbah Lim berlari-lari sambil teriak-teriak ke arah MC. Tiba-tiba, plak-plak, tangan Mbah Lim mendarat di mulut MC, sambil tetap berteriak-teriak, "Bukan Cak Nun, Mbah Nun. Ingat itu Mbah Nun!" “Iya Mbah.”

Jawab santri agak gemetar. Bukan sakitnya ditampar kiainya. Tapi kaget dan sama sekali tak terduga. Tamparannya tidak keras, karena sesungguhnya Mbah Lim sangat menyayangi semua santrinya.

Jamaah geger. Tapi tidak lama. Berganti dengan gelak tawa karena Emha sangat pandai merubah suasana.

Mbah Lim sendiri tetap mendampingi MC sampai usai acara, berjaga-jaga agar kesalahan ucap tak terulang lagi.

DUA:

Pernah menyaksikan bapak dan anak saling ejek, sindir menyindir? Itulah jika Emha Ainun Nadjib satu panggung dengan Sabrang Mowo Damar Panuluh, anaknya.

(8)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 8

Jangan anggap mereka ada konflik. Emha sangat mencintai Sabrang, sebaliknya Sabrang juga sangat menghormatinya. Mereka saling share tentang berbagai hal. Banyak pengetahuan-pengetahuan baru, atau penemuan-penemuan ilmiah (baru) yang disampaikan Sabrang kepada Emha. Sebaliknya Emha-pun sering memberi arahan-arahan --jelas bapaknya lebih berpengalaman, ditularkan kepada Sabrang.

Jaman SMA, setahu saya, Sabrang tidak mengenal rokok. Emha sendiri, siapapun tahu, adalah penikmat rokok.

“Jika sakit jangan merokok!” kata Emha.

“Rokok hanya untuk orang sehat,” lanjutnya. Lho?

Logika ini mungkin saja ditentang oleh aktivis anti rokok. Jika ingin sehat jauhilah rokok, slogannya.

Tamat SMA, saya juga tidak melihat Sabrang menyentuh rokok. Kalau pegang rokok sangat wagu, hanya diamin-mainkan, diisap tanpa api. Baguslah itu, batinku.

Usai kuliah dari Kanada, berkumpul lagi dengan kawan-kawan SMA-nya, belakangan membentuk Grup Band Letto. Saat itulah, mungkin saja, sering belajaran merokok.

“Liiiil....!”

“Iya Mas,” jawab Kholil.

Kholil, pemuda tanggung yang bertahun-tahun ikut di rumah Emha-Novia. Racikan kopinya enak. Kental tak terlalu manis.

Bersijingkat Kholil masuk ke dalam rumah mengambil sesuatu dan diserahkan kepada Sabrang. Entah “persengkokolan” apa antara Sabrang dan Kholil. Jika dipanggil oleh Sabrang mafhumlah apa tugas Kholil.

(9)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 9

Sampai suatu hari, entah bagaimana ceritanya, Emha mengetahui sesuatu yang tidak beres.

“Lil,” panggil Emha. “Nggih Pak...” “Apa itu?”

“Rokok, Mas Sabrang....”

Bungkusan rokok berwarna kuning ada di gegamannya.

“Oh, mulai kapan?”

“Lami Pak, wonten setahunan.” (Sudah lama Pak, sekitar setahun).

Emha, biasanya punya simpanan rokok agak banyak. Beli sendiri atau pemberian dari beberapa kalangan yang berbaik hati. Sesungguhnya, telah lama, tanpa sepengetahuannya Sabrang meminta tolong Kholil mengambilkan rokok milik bapaknya secara diam-diam. Kali ini ‘tertangkap basah.’

Maka dalam suatu acara di Kenduri Cinta, beberapa tahun lalu, Emha menagih Sabrang.

(10)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 10

Jamaah-pun tertawa.

“Dicicil saja, tiap pentas Letto, potong 10%....”

Sabrang yang sudah dikenal sebagai vokalis Letto, hanya menanggapi dengan senyum-senyum.

TIGA:

Surabaya. Emha dan Kiai Kanjeng siap-siap acara. Hari yang sama, Sabrang dan Letto juga pentas di kota yang sama, Kota Bonek.

Meskipun bapak dan anak masih satu rumah, jarang sekali ketemu. Emha dan Kiai Kanjeng keliling memenuhi banyak undangan, Sabrang dan Letto-pun padat acara. Bapak dan anak saling kangen dan janjian bertemu di warung sate, makanan favorit mereka. Emha yang sudah dulu tiba langsung memesan beberapa porsi sate. Tak lama kemudian Sabrang datang.

“Ayo Brang, dimakan...!”

“Ntar Pa,” jawab Sabrang sembari buka-buka HP.

Berceritalah mereka dengan asyiknya. Lalu Emha tersadar, hidangannya belum juga dijamah.

“Lho, kok tidak dimakan, tadi sudah makan ya.”

Sabrang menjawab dengan enteng, “Belum Pa, aku puasa.” “Asu kowe Brang, lha ngapain saya janjian di sini kalau puasa!”

(11)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 11

EMPAT:

Saya ingin mengatakan bahwa Sabrang sudah terlatih rialat. Sebuah ‘lelaku’ yang pada umumnya anak semuda dia belum merasa perlu menjalani. Pasti banyak yang mengira bahwa bapaknyalah yang mengajari. Atau minimal memberi contoh dalam keseharian. Saya berani bilang, bahwa secara langsung kayaknya tidak. Emha tidak pernah mengajarkan sebagaimana orang tua lain mendidik anaknya.

“Le, kowe puasa ya, rajin shalat!”

Tampaknya tidak pernah seperti itu.

Sampai kemudian saya mendengar bahwa Sabrang punya “guru spiritual.” Keren ya istilahnya. Maksud saya, guru ngaji. Seorang ustadz atau kiai. Sosoknya jarang yang kenal, seorang kiai sederhana dan kini bertempat tinggal di Lampung.

Dulu, saat Sabrang masih SMP, memang saya pernah diutus bapaknya mengantar seorang guru ngaji dari Jogja ke Lampung. Seorang guru ngaji privat selama tiga bulan untuk mengajari “alif ba ta” dan pelajaran dasar-dasar agama.

(12)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 12

Namanya KH Mustofa, saya pernah sekali bertemu di kantor, Jakarta. Sabrang memanggilnya Pakde Mus. Kepada Pakde Mus inilah Sabrang banyak meminta nasehat.

Saya sendiri kurang tahu sejak kapan Sabrang mengenal dan menjadikan Pakde Mus sebagai tempat bertanya.

Belakangan juga saya mengetahui bahwa Pakde Mus adalah santrinya Mbah Lim. Bisa jadi Pakde Mus, kala pertama, tidak menyadari bahwa Sabrang adalah

anaknya Emha, yang oleh Mbah Lim sendiri ditahbiskan sebagai “Mbah Nun.”

Ini agak muter-muter. Pakde Mus sangat takzim terhadap Emha, sebagaimana santrinya Mbah Lim lain, memanggilnya juga: Mbah Nun.

Hujanpun semakin kerap. Tamu-tamu berlarian. Semua orang menduga bahwa acara akan berantakan. Emha yang punya gawe berlari naik ke atas panggung.

“Allahu Akbar, Alaahu Akbar.”

“Allahu Akbar, Allahu Akbar,” azan digemakan sampai usai.

Resepsi pernikahan Sabrang dengan Uchi (26 Maret 2009) tetap berjalan dengan lancar di Monjali, Jogja. Hujan mulai reda. Langitpun kembali dipenuhi bintang gemintang. Di pojokan, entah di mana, Pakde Mus ngumpet sampai acara usai. Berdoa dengan khusuk untuk “anak” kesayangannya, Sabrang.

(13)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 13

LIMA:

Selamat kepada Sabrang dan Uchi untuk kelahiran putri pertamanya, 8 Februari 2010: Rih Anawai Lu'lu' Bodronoyo. []

Jkt-Pwt, Des 2009, Jan, Feb 2010

Tulisan ini untuk bapakku. Semoga cepat sembuh. Anakmu, sungguh menyayangimu.

(14)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 14

ABDURAHMAN WAHID-WAHID

oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 18 Juni 2010 jam 11:01 Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Lambat atau cepat hegemoni kekuatan persepakbolaan dunia akan bergeser ke Afrika, meskipun kemudian akan bergilir ke wilayah lainnya. Sejak piala dunia beberapa kali yang lalu Aljazair, Camerun, Nigeria, Marokko, sudah ngamping-amping - tetapi memang masih ada semacam nuansa rasisme dalam mekanisme politik persepakbolaan, yang tercermin pada psikologi wasit atau pengurus organisasi persepakbolaan.

Sayang Mesir tak masuk, gara-gara Gus Dur di-impeach oleh MPR. Orang Mesir cinta Indonesia, Sukarno dan merasa memiliki Gus Dur karena sejarah kakek beliau serta karena pernah kuliah di Cairo. Gus Dur jatuh mengecewakan orang Mesir, sehingga sampai hari ini belum tentu Megawati diterima di sana. Sampai-sampai kesebelasan Mesir kacau hatinya dan tidak bisa menang lawan Aljazair. Skor 1-1, padahal kalau 1-0, Mesir masuk Piala Dunia. Kalau Gus Dur waktu itu tetap jadi presiden, skor pasti 1-0. 1 itu Wahid. Kalau 1-0 berarti Wahidnya satu. Kalau skor 1-1 maka nama Gus Dur menjadi Abdurahman Wahid Wahid...Maka Mesir gagal ke Piala Dunia.

Tapi toh sekarang Senegal memberi lampu kuning, meskipun tidak akan semulus yang kita impikan. Bagi kita yang berpikiran standar, tentu kaget kok Perancis bisa kalah oleh Senegal. Meskipun tak ada Zidane tapi ya jan gan lantas begitu loyo, tidak kreatif, tidak punya daya menaklukkan, permainan individu kalah, tidak punya aransemen dengan akselerasi gerak dan irama bermain.

(15)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 15

Tapi bagi yang sudah punya instink dan tahu bahwa Senegal akan unggul, hasil pertandingan awal Piala Dunia tadi malam tidak mengejutkan. Namun demikian saya sarankan sebaiknya kita memilih kaget saja menyaksikan setiap kejadian selama Piala Dunia, sebab tujuan kita memang untuk terkaget-kaget, sehingga asyik dan selalu ada dinamika, ada tegangan.

Kalau pada pertandingan perdana Perancis kalah tapi nantinya malah jadi juara, sebaiknya kita kaget. Kalau ternyata Perancis tak bisa sampai ke final, marilah tetap kaget. Kalau Senegal menang terus setelah yang awal ini, juga marilah

kaget. Kalau kalah dan tidak bisa masuk ke babak berikutnya, marilah terus kaget. Kalau tidak kaget, apa gunanya nonton sepakbola.

Hari ini saya bertugas di tiga acara, dan pertandingan perdana Perancis-Senegal berlangsung pada acara terakhir saya tadi malam. Saya nonton tidak intensif dan tidak seluruhnya. Sambil kedinginan dalam acara - karena tempatnya dekat Kutub Selatan - saya bertanya-tanya siapa yang menang, dan tiba-tiba ada SMS masuk berbunyi :"Itali juara Cak!". Gendeng. Tapi memang nonton sepakbola adalah peluang sangat indah untuk berkhayal, menciptakan lakon-lakon apa saja di dalam benak kita, membayang-bayangkan, melampiaskan obsesi, bahkan bisa nonton sepakbola untuk menerapkan ideology, sentimen-sentimen sejarah atau selera pribadi. Teman saya yang memandang sepakbola secara professional-estetik, tidak senang Perancis kalah, karena tidak cocok dengan teori baku tentang mutu kesebelasan. Tapi bagi teman lain yang pikirannya dipenuhi oleh romantisme perjuangan kaum tertindas, bersorak-sorak karena Senegal menang, karena mengidentifikasi Perancis sebagai salah satu negara penjajah pada abad-abad yang lalu.

(16)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 16

Semula dia mencita-citakan finalnya nanti Perancis vs. Kamerun dan akan dimenangkan kesebelasan negara kaum hitam yang nenek moyangnya dulu dijajah. Cuma ideologi teman saya ini menjadi agak tidak mantap kalau dia ingat bahwa Zidan beragama Islam...

Ah, apa Anda pernah mendengar musik Senegal? Tidak ada musik yang asyiknya melebihi asyiknya musik Senegal serta negara-negara Afrika agak Utara lainnya. Kreativitas musik di wilayah ini menggabungkan 3 dimansi keindahan: dinamika Afrika, romantisme Timur Tengah dan kecanggihan Eropa. Beruntung saya pernah pentas bareng mereka di lapangan pinggir pantai Rotterdam...***

(17)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 17

Akal dan Otak

oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 23 April 2010 jam 11:01 Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Akal tidak sama dengan Otak. Ayam dan kambing juga punya otak, tapi jangan bilang kambing berakal. Otak itu hanya hardware-machine dari suatu fungsi berfikir. Adapun akal itu suatu potensialitas rohaniah, kita harus menggalinya sepanjang zaman, karena yang kita dapatkan darinya hanya gejala-gejalanya saja, Anda kenal inspirasi, kretivitas, ilham, ide, gagasan. Serpihan-serpihan meloncat dalam kandungan rahasia akal ke memori dan kesadaran kita. Akal itu bagaikan ujung jari Tuhan yang menyentuh cintanya kepada kita untuk mentransfer cinta, silaturahmi, janji kasih, dan berbagai anugrah. Kalau dikatakan ada orang

kehilangan akal, artinya ia mengalami keterputusan kontak dengan hidayah Tuhan. Pikirannya buntu dan otaknya terbengkalai. Jadi, otak bisa tidak sehat, cara berpikir bisa khilaf dan terpeleset, tapi akal selalu sehat dan benar. Yang tak sehat biasanya adalah metode dan mekanisme berpikir.

(18)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 18

“Apa tho Nak, Emansipasi itu?”

oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 21 April 2010 jam 9:06 Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Ibu menjaga hasrat baik agar terus memenuhi desa, berperang melawan kelapukan akibat tumpahan hujan dari kekuatan-kekuatan yang mengatasi desa kita.

Mungkin sekedar ‘kelas’ rukuh, tapi soalnya ialah kerajinan Ibu untuk

menerobos dan menelusup, di samping rukuh memang menyediakan rasa tidak aman bagi kemunafikan. Ibu juga maju ke Pak Polisi, angkat tangan memotong pidato Pak Pejabat di mimbar, melayani segala kesulitan pekerjaan birokratis yang bisanya ditangani oleh kaum

(19)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 19

lelaki, menampung pertengkaran suami istri-suami istri, membendungi gejala saling benci di antara siapapun, mempertanyakan sesuatu kepada Pak- Pak Pamong, tanpa rasa sungkan atau pakewuh seperti yang lazim diketahui sebagai lenderteal pembungkus sikap sosial orang Jawa. Meskipun toh frekuensi ketidakberesan yang pada umumnya tumpah dari atas selalu akan bisa mengubur usaha-usaha hasrat baik Ibu.

Pasti ada ribuan orang di negeri ini yang melakukan seperti yang Ibu lakukan. Ratusan kawan-kawan anakmu juga mampu mengerjakan berbagai hal yang penuh arti. Tapi lihatlah, apa yang lebih bermutu dari sepak terjang anakmu ini selain

(20)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 20

merengek-rengek?

Banyak hal pada kegiatan kaum wanita di desa kita yang membuat segala pembicaraan tentang masyarakat

patrimonial menjadi terasa aneh. Tetapi toh Ibu juga tak bosan-bosan bertanya kepada anak-anakmu atau kepada kawan-kawan anak-anakmu yang datang ke desa:“apa tho Nak emansipasi wanita itu?”

(Sumber: “IBU, TAMPARLAH MULUT ANAKMU” Sekelumit Catatan Harian. 23.8.1985. foto oleh: Budhi Ipoeng)

(21)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 21

Bakso Khalifatullah

oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 12 Februari 2010 jam 9:36 Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobagnya, sebagian ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.

“Selalu begitu, Pak?”, saya bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso beliau bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.

“Maksud Bapak?”, ia ganti bertanya.

“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?”

Ia tertawa. “Ia Pak. Sudah 17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan bukan semua hak saya”

(22)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 22

“Dari pendapatan yang saya peroleh dari kerja saya terdapat uang yang merupakan milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.

Aduh gawat juga Pak Patul ini. “Maksudnya?”, saya mengejar lagi.

“Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut Tuhan itu kewajiban utama hidup saya. Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq, qurban dan yang sejenisnya. Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik haji. Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH. Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa menjangkaunya”.

Spontan saya menghampiri beliau. Hampir saya peluk, tapi dalam budaya kami orang kecil jenis ekspressinya tak sampai tingkat peluk memeluk, seterharu apapun, kecuali yang ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata masih hidup, atau anak yang digondhol Gendruwo balik lagi.

Bahunya saja yang saya pegang dan agak saya remas, tapi karena emosi saya bilang belum cukup maka saya guncang-guncang tubuhnya. Hati saya

meneriakkan “Jazakumullah, masyaallah, wa yushlihu balakum!”, tetapi bibir saya pemalu untuk mengucapkannya. Tuhan memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu memelihara kebaikan urusan-urusannya.

Saya juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu. Tetapi pasti bahwa di dalam diri saya tidak terdapat sesuatu yang saya kagumi sebagaimana kekaguman

(23)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 23

yang saya temukan pada prinsip, managemen dan disiplin hidup Pak Patul.

Untung dia tidak menyadari keunggulannya atas saya: bahwa saya tidak mungkin siap mental dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi untuk hidup sebagai penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan ikhlas.

Saya lebih berpendidikan dibanding dia, lebih luas pengalaman, pernah mencapai sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya, bahkan mungkin bisa disebut kelas sosial saya lebih tinggi darinya. Tetapi di sisi manapun dari realitas hidup saya, tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuat saya tidak berbohong jika mengucapkan kalimat seperti diucapkannya: “Di antara pendapatan saya ini terdapat milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.

Peradaban saya masih peradaban “milik saya”. Peradaban Pak Patul sudah lebih maju, lebih rasional, lebih dewasa, lebih bertanggungjawab, lebih mulia dan tidak pengecut sebagaimana ‘kapitalisme subyektif posesif’ saya.

30 th silam saya pernah menuliskan kekaguman saya kepada Penjual cendhol yang marah-marah dan menolak cendholnya diborong oleh Pak Kiai Hamam Jakfar Pabelan karena “kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang memerlukannya?”

Ilmunya penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 saya pakai sampai tua. Saya butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater, tapi uang saya kurang, hanya cukup untuk bayar 25, sehingga harga perbatang saya tawar. Dia bertahan dengan harganya, tapi tetap memberi saya 40 jagung.

(24)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 24

“Lho, uang saya tidak cukup, Pak”

“Bawa saja jagungnya, asal harganya tetap”

“Berarti saya hutang?”

“Ndaaak. Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya”.

Doooh adoooh…! Tompes ako tak’iye!

Di pasar Khan Khalili semacam Tenabang-nya Cairo saya masuk sebuah took

kemudian satu jam lebih pemiliknya hilang entah ke mana, jadi saya jaga tokonya. Ketika dating saya protes: “Keeif Inta ya Akh…ke mane aje? Kalau saya ambilin barang-barang Inta terus saya ngacir pigimane dong….”

Lelaki tua mancung itu senyum-senyum saja sambil nyeletuk: “Kalau mau curi barang saya ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan….”

Sungguh manusia adalah ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece. Orang-orang besar bertebaran di seluruh muka bumi. Makhluk-makhluk agung menghampar di jalan-jalan, pasar, gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun dan di mana-manapun. Bakso Khlifatullah, bahasa Jawanya: bakso-nya Pak Patul, terasa lebih sedap karena kandungan keagungan.

(25)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 25

Itu baru tukang bakso, belum anggota DPR. Itu baru penjual cendhol, belum

Menteri dan Dirjen Irjen Sekjen. Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur Bupati Walikota tokoh-tokoh Parpol. Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai dan Ulama. **

(26)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 26

Bid'ah

oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 07 April 2010 jam 9:54 Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Bid’ah itu adalah sesuatu yang tidak dilakukan/dipakai oleh Rasulullah, terus kita pakai. Bid’ah itu berlaku diwilayah mahdhah. Islam itu dibagi 2 berdasarkan firman Allah, yang satu namanya ibadah mahdhah jumlah firmannya 3,5 %, yang kedua namanya ibadah muamalah ayat-ayatnya menyeluruh sekitar 96,5%. Ibadah mahdhah itu apa?, ibadah muamalah itu apa?. Pedomannnya ibadah mahdhah adalah jangan lakukan apapun kecuali yang Aku perintahkan. Kalau ibadah muamalah, lakukan apa saja semaumu asalkan tidak melanggar syariat Ku. Contoh ibadah mahdhah itu: syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji, itu saja yang tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi.

(27)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 27

BU CAMMANA KEKASIH

oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 31 Maret 2010 jam 13:03 Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Maiyahan terakhir Kiai Kanjeng dengan saya adalah di garis kaki dan 'pantat'

belakang Pulau Selawesi. Dari Makassar menuju utara lewat trans Sulawesi - di sisi barat sesudah sisi lain ditakuti karena kasus Poso. 5 jam pertama menuju

Tinambung, salah satu titik sisa kerajaan di antara 7 kerajaan pantai dan 7 kerajaan pegunungan.

Serombongan 22 orang, berangkat awalnya enak karena naik pesawat, tapi dari Makassar kami menyusuri jalanan ratusan kilometer untuk pekerjaan yang kami beri judul "latihan tawakkal". Medan sangat berat, suhu sangat panas, tidak mesti bisa mandi, keringatan terus menerus tanpa sempat mencuci atau menjemur pakaian. Acara formalnya hanya enam kali, tapi yang non-formal - dan di sini letak konteks maiyah kemasyarakatan kami - bertubi-tubi.

Ibunda Cammana, saat menerima penghargaan Satyalancana dari Presiden RI, pada Minggu malam lalu, 28 Maret 2010

Maiyahan dengan ribuan masyarakat yang turun dari gunung-gunung dan sudah tiba di tempat itu satu dua hari sebelumnya karena tidak mudahnya transportasi. Maiyahan mengidentifikasi masalah-masalah mereka, merundingkannya,

(28)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 28

vertical dengan Allah melalui dzikir dan shalawat bersama yang diperindah oleh musik Kiai Kanjeng.

Maiyahan dengan ribuan masyarakat di pertigaan tengah kota kecil Tinambung - pusat asal usul Pasukan Balanipa - yang dua puluh tahun yang lalu hampir

menyerbu Majene dan kami hentikan di tengah jalan, kami cegat dan kami giring pulang untuk berkumpul di Masjid. "Musuh Anda bukan orang lain golongan atau lain suku" - demikian saya sempat omong waktu itu - "Musuh Anda akan masuk lewat jembatan yang dua tahun lagi akan di bangun di Sungai Mandar ini. Truk-truk dan fasilitas kekuasaan orang kota akan masuk kesini. Pertanyaan yang harus Anda jawab adalah apakah jembatan itu akan memasukkan kesejahteraan ke kampung-kampung Anda ataukah justru akan dipakai untuk menguras kekayaan Anda ke Jakarta..."

Maiyahan di lapangan Majene, di depan pasar Polewali-Mamassa, di alun-alun Mamuju. Jika lampu mati - karena PLN belum berpengalaman dengan

penggunaan sound-system yang butuh teknologi los stroom - rembulan

menaburkan cahaya dan keremangan di bawah langit sangat mengkhusyukkan kehadiran Allah dan Rasulullah.

Di sekitar lapangan maiyah selalu tampak pebukitan yang subur, laut dan cakrawala remang. Ketika siang hari kami melintasi daerah-daerah itu, tak bisa menahan hati untuk mengatakan kepada ribuan jamaah maiyah bahwa "Anda semua di wilayah yang subur ini sesungguhnya tidak butuh Indonesia. Negara ini jelas lebih banyak mengganggu Anda dar ipada menyayangi dan membantu kehidupan Anda...." Kemudian diskusi tentu saja menjadi berkepanjangan.

(29)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 29

Entah butuh berapa ratus halaman untuk mengisahkan indahnya pengalaman maiyahan dengan saudara-saudara kita di pelosok itu. Tidak mungkin terucap oleh rangkaian kata sepuitis apapun maiyahan kami di dusunnya Bu Cemmana - Ibu tua yang vocalnya seperti terompet, powernya tidak bisa dilawan oleh Ian Gillan, warna suaranya seperti perawan 14 tahun. Ibu asset bangsa yang bangsanya sendiri tidak punya ilmu sama sekali untuk menghargainya....

Bangsa ini membiayai putauw dengan uang tak terbatas, membiayai kemaksiatan tanpa hitungan, membiayai kekonyolan dengan malah membangga-banggakan, membiayai fitnah dan berita-berita pembodohan dengan trliyunan rupiah. Bu Cemmana.****

(30)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 30

Bulan Purnama Rendra

oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 23 Agustus 2009 jam 16:52 Sumber: GATRA

Tuhan memilihkan saat terbaik untuk memanggil kekasih-Nya, Rendra. Malam Jumat, di bawah cahaya bulan purnama. Orang besar itu telah pergi dengan gagah sebagaimana ajarannya: ''gagah dalam kemiskinan''. Istrinya, Ken Zuraida,

menyatakan ''ia sangat bahagia'', meskipun pasti bagi setiap yang terlibat kematian selalu ada semacam ''derita manusiawi'' yang membungkusnya.

Ini adalah puncak tangis mengguguk-guguk seorang pecinta yang air matanya tumpah di ufuk kesadaran tentang nyawiji. Selama sakit di pembaringan, Rendra selalu spontan menyebut, ''Ya Lathif, wahai Yang Mahalembut." Di saat-saat paling menderita oleh sakitnya, ia meneguhkan hatinya dengan ''Qul huwal-Lahu Ahad, Allahus-Shamad....'' Setengah sadar, sambil saya genggam tangan kirinya, saya minta ia menambahi, ''Mas, ucapkan juga Qul Huwal-Lahu Wahid....''

Ia berbisik, ''Apa bedanya Ahad dengan Wahid, Nun'', saya jawab, ''Mas, Ahad itu Allah yang tunggal, yang satu, yang gagah perkasa dengan maha-eksistensi-Nya. Wahid itu Allah yang manunggal, yang menyatu, yang integral, yang merendahkan diri-Nya, mendekat ke hamba-Nya, nyawiji....'' Meledak tangis Rendra dalam rasa dan kesadaran bahwa ia tak berjarak dengan-Nya dan Ia tak berjarak dengan dirinya. Tatkala mereda gejolak hatinya, Rendra menorehkan puisi yang diakhiri dengan kalimat, ''Tuhan, aku cinta pada-Mu."

(31)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 31

Maka, Rendra tak pergi. Tak pernah pergi. Ia tidak perlu pergi menuju sesuatu yang ia sudah menyatu dengannya. Mungkin Rendra memang telah pergi

meninggalkan kita, jauh sebelum detik kematiannya, karena kita meletakkan diri semakin jauh dari titik nyawiji yang Rendra sudah lama menikmatinya.

***

Tapi sudah pasti kemudian terdengar suara dari seluruh penjuru: ''Kita sangat kehilangan'', ''Bangsa kita ditinggalkan lagi oleh salah seorang putra terbaiknya'', atau ''Tidak. Rendra tak pernah pergi. Orang besar tak pernah mati''.

Bisa jadi, pekikan-pekikan hati itu sebenarnya tidak terutama tentang Rendra, melainkan lebih terkait dengan kandungan batin kita sendiri. Semua pernyataan itu sangat memancarkan kedalaman cinta, semangat mempertahankan

optimisme ke depan. Mungkin juga diam-diam terdapat kandungan kecemasan dan kebingungan dari dalam ego kita sendiri.

Terutama bagi orang yang semakin berangkat tua seperti saya: mengibarkan kehidupan Rendra pada momentum kematiannya sesungguhnya diam-diam sangat tajam mencerminkan kengerian terhadap kehidupan dan kematian saya sendiri. Kita berduyun-duyun menghadiri pemakamannya, mungkin untuk menyatakan kepada Tuhan betapa cintanya kita kepada kehidupan kita dan betapa khawatirnya kita akan datangnya maut sewaktu-waktu atas kita.

(32)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 32

Mungkin terdapat semacam raungan di kandungan jiwa setiap pen-takziyah pemakaman Rendra. Raungan panjang seperti puisi "Rick dari Corona'' atau ''Khotbah''. Tetapi mungkin berakhir sublim dan mengkristal menjadi Drama Mini Kata Rendra: ''Bip Bop'', ''Rambate Rate Rata''....

Sementara bagi para pen-takziyah yang muda-muda, yang menyangka bahwa maut ada kaitannya dengan muda dan tua, di kompleks Bengkel Teater

meneriakkan puisi-puisi perjuangan, mengibarkan kepercayaan di dalam diri mereka bahwa kepergian Rendra bukanlah sirnanya perjuangan sosial, progresivisme ideologi nasional dan martabat kemanusiaan. Mereka seolah menghadirkan kembali panggung ''Mastodon dan Burung Kondor'', ''Sekda'', bahkan ''Kasidah Barzanji'', hingga puisi ''Orang Miskin di Jalan'', ''Bersatulah Pelacur-pelacur Ibukota'', ''Seonggok Jagung di Kamar''.

***

Wahai maut, siapakah engkau? ''Bukan kematian benar menusuk kalbu,'' kata Chairil Anwar, penyair terbesar Indonesia di samping Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri. ''Keridaanmu menerima segala tiba. Tak kutahu setinggi itu atas debu. Dan duka Maha Tuan bertahta...."

Tuhan tak sudi dipergoki. Takdir-Nya tak bisa dicegat. Kehendak-Nya tak mungkin dibatasi. Hak-Nya atas misteri garis terang dan gelap kehidupan, serta atas

ketentuan detik maut dihadirkan, tak membuka diri sedikit pun untuk dirumuskan oleh segala ilmu dan pengalaman. Kehidupan sangat mengaitkan sakit dengan kematian, tetapi maut tidak bersedia dikaitkan dengan sakit.

(33)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 33

Orang bisa sakit berkepanjangan tanpa kunjung maut menjemputnya. Orang sehat walafiat bisa mendadak dihadang oleh kematian. Rendra dipanggil Allah tidak berdasar akselerasi logis dari sakit demi sakit yang dideritanya: pikiran yang memberat, jantung bekerja terlalu keras, ginjal menanggung akibatnya, kemudian tiba-tiba demam berdarah menelusup ke darahnya dan menganiaya jiwanya.

Keadaannya justru membaik, sehingga diperkenankan keluar dari rumah sakit, kemudian menempuh jalan yang ia menyebutnya: ''Aku pengin membersihkan tubuhku dari racun kimia. Aku ingin kembali kepada jalan alam. Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah. Tuhan, aku cinta pada-Mu'' (31 Juli 2009).

Rasulullah Muhammad SAW menderita panas badan yang sangat luar biasa melebihi kebanyakan orang. Beliau menjawab pertanyaan salah seorang

sahabatnya tentang panas yang ekstra itu: bahwa beliau dibebani Allah tanggung jawab sangat besar melampaui semua yang lain, sehingga Tuhan

menganugerahkan juga kemuliaan yang sangat tinggi melebihi siapa pun, tetapi harus juga beliau tanggung panas yang amat tinggi dan dahsyat yang orang lain tak menanggungnya.

Demikianlah juga kadar derita sakit yang dialami Rendra, takaran jenis

kesengsaraan yang menimpanya, yang khalayak ramai tidak perlu mengetahui atau turut menghayatinya. Rendra bahagia di dalam anugerah kemuliaan yang diterimanya dalam rahasia. Bahkan lautan kebahagiaan dan kemuliaan Rendra tidak perlu ''digarami'' oleh pernyataan pers Presiden Republik Indonesia sebagaimana Mbah Surip dianggap memerlukannya.

(34)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 34

Pada hari wafatnya Rendra, di samping menikmati pemandangan indahnya kemuliaan rahasia Rendra itu, saya mendapat cipratan anugerah yang lain: menyaksikan seseorang menginfakkan Rp 6,1 trilyun --dengan Allah merebut seluruh kemuliaan hamba-Nya itu-- dengan cara membiarkan sesama manusia justru memperhinakannya. Alangkah anehnya metode cinta Tuhan.

Di hadapan akal sehat, presiden berpidato untuk wafatnya Mbah Surip tapi tidak untuk wafatnya Rendra adalah kehancuran logika dan kebangkrutan parameter nilai budaya. Tapi, di hadapan karamah Allah, itu justru keindahan yang spesifik. SBY bikin stempel tegas atas dirinya sendiri.

Ini sama sekali bukan polarisasi antara Rendra dan Mbah Surip. Tiga tahun lebih saya ikut mengawal dan menjunjung Mbah Surip dan ''Tiga Gorilla''-nya --bersama Bertha dan almarhum Ndang: melalui forum rakyat rutin bulanan di Jakarta,

Jombang, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta.

Sehingga Tak Gendong dan Tidur Lagi sudah sangat dihafal oleh komunitas lima kota itu dan terus-menerus diulang karena sangat dicintai sebagai ''lagu

kebangsaan'' komunitas kami. Kami ''I love you full'' kepada Mbah Surip,

meskipun dua bulan terakhir menjelang beliau wafat, kami kehilangan diri kami di penggalan akhir sejarah Mbah Surip, tanpa Mbah Surip pernah hilang dari hati kami.

(35)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 35

Rendra dipanggil Allah justru di puncak optimisme keluarganya atas

kesembuhannya. Candle light phenomenon, kata orang. Fenomena lilin yang apinya membesar dan memancarkan cahaya sangat benderang, sebelum akhirnya padam. Tapi Tuhan berhak juga bikin lilin membenderang apinya, kemudian tidak padam. Atau lilin tidak pernah membenderang dan lantas padam.

Tuhan berhak memaparkan suatu gejala yang pada repetisi kesekian

dihipotesiskan oleh manusia sebagai jenis "perilaku" Tuhan atas nasib manusia. Tapi Tuhan juga berhak kapan saja melanggar rumusan apa pun yang pernah Ia berikan. Bahkan Tuhan seratus persen tidak berkewajiban untuk berbuat adil kepada siapa pun, karena Ia tidak terikat atau bergantung pada pola hubungan apa pun dengan siapa pun, yang secara logis membuat-Nya wajib bertindak adil.

Namun Ia selalu sangat adil kepada siapa pun, dan tindakan adil-Nya itu bukan karena Ia wajib adil, melainkan karena Ia sangat sayang kepada makhluk-Nya.

Termasuk bagaimana cara maut ditimpakan kepada seseorang, Tuhan menolak untuk kita rumuskan. Ada bandit mati ketika bersujud. Ada orang sangat alim saleh pergi ke masjid di tengah malam diserempet motor, kemudian ia dipukuli pengendara motor itu sampai meninggal. Ada pendosa besar mati ketika

bertawaf, ada true believer pengkhusyuk ibadah mati kecelakaan secara sangat mengenaskan.

Semua fenomena itu tidak menggambarkan apa-apa kecuali kemutlakan kuasa Tuhan. Posisi manusia hanya pada dinamika doa: selalu cemas dan memohon

(36)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 36

kepada-Nya agar diperkenankan untuk tidak tampak hina di hadapan sesama manusia.

Pun tak usah merumuskan sebab-akibat antara baik-buruknya manusia dan jumlah pelayat, volume pemberitaan media, tayangan langsung atau tunda, tatkala meninggal. Ada ratu lalim diantarkan ke pemakaman oleh puluhan ribu orang, ada nabi dikuburkan hanya oleh enam orang. Jadi, Rendra tidak bisa kita ukur kualitas mautnya, tak juga bisa kita takar mutu hidupnya. Tidak ada jenis dan wilayah ilmu manusia apa pun yang bisa dipakai untuk merumuskan hidup dan matinya Rendra. Sirrul-asror. Itu misteri seserpih rahasia di antara jagat raya tak terhingga rahasia iradah-Nya.

Yang mungkin, dan harus, kita lakukan adalah meneliti dan menghitung ulang karya-karya Rendra, menghormatinya dengan ilmu, merayakannya terus-menerus dengan cinta, menjunjungnya dengan semangat tanpa henti untuk memelihara keindahan hidup, serta menghidupkan kembali kandungan karya-karyanya itu di dalam berbagai modus kreatif kebudayaan kita.

Rendra telah diterima Allah untuk bergabung dalam keabadian. Kelabakanlah kita, sebab yang kita punyai pada saat ini adalah budaya instan, pola berpikir

sepenggal, perhatian terlalu rendah terhadap sejarah, serta kefakiran yang luar biasa terhadap kualitas hidup. ''Kami cuma tulang-tulang berserakan,'' kata

Chairil, ''Tapi adalah kepunyaanmu." Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan. Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan, dan harapan....''

Emha Ainun Nadjib Budayawan

(37)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 37

Bulan Tidak Suci

oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 25 Agustus 2009 jam 13:27 Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Kita menghormati ramadhan dengan selalu menyebutnya sebagai bulan suci ramadhan. Mungkin karena ramadhan ini memang khas. Ramadhan mengandung malam seribu bulan. Bulan penuh kekhususan. Padanya al-quran diturunkan, dan Allah sendiri begitu posesif terhadap ibadah puasa dengan mengemukakan bahwa ibadah yang satu ini khusus untukNya. Apakah bulan yang selain ramadhan boleh kita sebut bulan tidak suci? Apakah syawal bukan bulan suci, padahal padanya justru para pelaku puasa yg sukses mencapai kesucian atau kefitriannya kembali? Apakah ada bulan yang tidak suci? Apakah ada tahun, hari, jam, menit, detik, second atau waktu ciptaan Allah yang tidak suci? Apa sesungguhnya konsep dan pengertian tentang kesucian?. (Dikutip dari hikmah puasa)

(38)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 38

Dia mati; Alhamdulillah…………

oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 25 Januari 2010 jam 9:01

Petani Pugra berkata, “besok saya akan ke Solo dan mungkin akan tinggal lama sekali, karena saya akan belajar untuk bisa bertemu dengan aku saya yang sejati” – dan besoknya ia mati. Ia ketemu aku-nya yang sejati. Ini terjadi tahun 1974, jadi di kurun kita dimana orang haus akan dunia ini jua. Jadi, Wisanggeni yang lenyap ke telingan Sang Hyang Tunggal mungkin khayalan, tapi esensinya riil. Para Sufi, di Arab atau Jawa, yang bercinta terus menerus untuk bertemu dengan Tuhan

kekasihnya, bukan impian atau omong besar belaka. Terkadang oleh keterbatasan manusiawinya, mereka ingin cepat sampai ke kaki Tuhan (baca dengan ‘bahasa kita’: ingin cepat mati). Namun inti sikapnya jelas: dunia ini fana belaka, dan tidak terlalu penting dan sangat naif untuk membikin manusia berduyun jadi binatang serakah. Ini bukan igauan. Maka sufi itu menguburkan badan rekanya sambil berkata, “Dia mati; Alhamdulillah………….” [Emha Ainun Nadjib, Indonesia bagian dari desa saya, hal 208].

(39)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 39

Dimaafkan, Memaafkan, dan Tidak Memaafkan

oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 09 September 2010 jam 10:47 Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Dimaafkan adalah kelegaan memperoleh rizqi, tapi Memaafkan adalah

perjuangan yang sering tidak ringan dan membuat kita penasaran kepada diri sendiri. Tidak Memaafkan adalah suatu situasi psikologis dimana hati kita

menggumpal, alias menjadi gumpalan, atau terdapat gumpalan di wilayah ruhani-Nya. Gumpalan itu benda padat, sedangkan gumpalan daging yang kita sebut dengan hati diantara dada dan perut itu bukanlah hati, melainkan indikator fisik dari suatu pengertian ruhani tentang gaib. Jika hati hanyalan gumpalan daging; ia tak bisa dimuati oleh iman atau cinta. Maka gumpalan daging itu sekedar tanda syari’at hati, sedangkan hakikatnya adalah watak ruhani.

Didalam kehidupan manusia, yang biasanya berupa gumpalan dalam hati, misalnya, adalah watak dendam. Dendam bersumber dari mitos tentang harga diri dan kelemahan jiwa. Manusia terlalu ‘GR’ atas dirinya sendiri, dan tidak begitu percaya bahwa ia ‘faqir indallah’: ’musnah dan menguap’ dihadapan Allah.

(40)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 40

Kemudian cemburu. Ini watak yang juga mejadi ‘suku cadang’ dari hakikat cinta dan keindahan. Namun syari’atnya ia harus diletakkan pada konteks yang tepat. Hanya karena punya sepeda, saya tidak lantas jengkel dan cemburu kepada setiap orang yang memiliki mobil. Sambil makan di warung pinggir jalan tak usah kita hardik mereka yang duduk di kursi mengkilap sebuah restoran.?

(41)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 41

Gelar Karya Para Rajawali

oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 09 Agustus 2010 jam 9:02 Oleh: Emha Ainun Nadjib

Sebagai penggembira Gelar Karya Para Maestro Yogya, saya ingin turut

merayakan kegembiraan dan optimisme peristiwa ini dengan sebuah wacana klasik tentang Burung Rajawali.

Pada awalnya saya ingin bersegera mensyukuri dua hal. Pertama, telah lahirny satu Genre Baru Masyarakat budaya yang otentik dan orisinal, satu dua tahun terahir ini di Yogyakarta, melalui berbagai peristiwa kreativitas di sejumlah laboratorium kebudayaan, termasuk Taman Budaya Yogyakarta.

Akan tetapi saya menekan diri saya sendiri untuk bersabar dengan terlebih dahulu bercerita tentang Rajawali, sebab ada kemungkinan Sang Rajawali itu terdapat pada Genre baru itu.

Alkisah, burung Rajawali itu oleh Tuhan dikasih rangsum usia relative sama dengan umumnya makhluk manusia, yakni 60-80an tahun, naik turun. Kalau manusia Yogyakarta menggunakan wacana “katuranggan” dan menemukan dirinya adalah Rajawali, bukan mprit atau Cipret, atau sekurang-kurangnya ia menemukan potensi Rajawali di dalam dirinya : maka ia tinggal bercermin pada burung itu, karena hidup pada irama dan skala waktu yang relative sama.

(42)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 42

Manusia Yogya memiliki potensial untuk “hamengku” alias sikap memangku berbagai formulasi peradaban. Semua hasil “ijtihad” kosmologi diakomodasikan olehnya. Berbagai satuan tahun – dari Yunani, Mesir Kuno, Sanskrit, Jawi, Java— satuan bulan, siklus hari, bahkan weton dan neptu, dielus-elus oleh manusia Yogya dari pangkuanya.

Sudah pasti itu disebabkan oleh keistimewaan manusia Yogya, sehingga daerah ini tidak perlu dilegarisir oleh otoritas apapun untuk menjadi istimewa, karena

keistimewaan Yogya sudah lama ‘niscaya’ oleh dirinya sendiri, ada atau tidak ada NKRI, dengan atau tanpa Indonesia.

Keistimewaan itu akan memuat dan menerbitkan kepantasan kepemimpinan nasional secara politik dan internasional secara kebudayaan. Hal itu akan mewujud atau tidak, Yogya tidak pusing, sebab de facto ia tetap istimewa dan pemimpin. Kalau sejarah tidak menerimanya, maka kehancuran sejarah tidak akan mengurangi keistimewaan dan kepemimpinan kultural Yogya.

Pada usia 40 tahun, burung Rajawali terbang ke gunung jauh, mencari batu karang, memilih yang paling baja dari bebatuan itu, mematuknya, menggigitnya,

(43)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 43

sekeras-kerasnya, sekuat-kuatnya, dan takkan dilepaskanya sampai paruhnyatanggal dari mulut dan kepalanya.

Demikian juga cakar-cakar kedua kakinya. Ia cengkeramkan ke batu paling karang, dengan daya cengkeram sekali seumur hidup, dan takkan dibatalkanya sampai lepas tanggal kuku-kukunya dari jari-jemari kedua kakinya.

Kemudian dia akan kesakitan, tergeletak, terbang dengan lemah, hinggap di seberang tempat tanpa kekuatan untuk berpegang. Rajawali mengambil keputusan untuk menderita, untuk mereguk sakit dan kesengsaraan, sampai akhirnya hari demi hari paruh dan kuku-kukunya tumbuh kembali.

Nanti setelah sempurna pertumbuhan paruh dan kuku-kuku barunya, maka barulah itu yang sejati bernama bernama paruh dan kuku-kuku Rajawali, yang membuatnya pantas disebut Garuda.

Tariklah garis pengandaian: Rajawali itu adalah Anda. Sesungguhnya yang anda lakukan adalah, pertama : keberanian mental, ketahanan jasad, ketangguhan hati dan keikhlasan rohani untuk menyelenggarakan perubahan yang bukan hanya mendasar dan mengakar, melainkan ekstra-eksistensial, kegagahan untuk merelakan segala perolehan sejarah untuk di-nol-kan kembali, dan itu probabilitasnya benar-benar terletak diantara hidup dan mati.

(44)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 44

Kedua, pengambilan keputusan Anda sang Rajawali itu tidak mempersyaratkan sekedar keputusan hati, tapi juga keputusan akal dan nalar dengan pengetahuan yang sempurna tentang alur waktu ke depan. Keputusan itu bukan sekedar tindakan mental, tapi juga intelektual dan rohaniah. Rajawali diakui dan digelari Sang Garuda karena mengerti dan berani betapa beratnya menyangga kalimat sehari-hari yang sederhana dari Bapak Mbok dan para tetangganya di desa : yakni “mati sakjroning urip”.

Garuda Rajawali atau Rajawali Garuda itu pastilah Anda semua yang kini ada dihadapan saya. Sebab nyuwun sewu saya tidak menjumpai potensi dan kecenderungan itu di wilayah pemerintahan, di hamparan keummatan dan gerombolan-gerombolan kemasyarakatan. Termasuk di kalangan yang disebut Kaum Intelektual atau Kelas Menengah. Apalagi kaum Selebritis, meskipun gebyar beiau-beliau sangat penuh dengan kata ‘dahsyat’, ‘super’, ‘luar biasa’ dan banyak lagi ungapan-ungkapan yang penuh ketidakpercayaan diri.

Kita sedang mengalami hukuman dari suatu Negri yang terlanjur mengalami kesalahan-kesalahan sangat substansial pada filosofi kebangsaan dan kostitusi kenegaraanya. Kita sedang berada di dalam berbagai cengkeraman global dan reaksi kita adalah berjuang untuk siapa tahu bisa menjadi bagian dari

pencengkeram, atau minimal sanggup membangun kenikmatan di dalam cengkeraman.

(45)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 45

Hukuman sejarah itu berupa kehancuran logika, kemusnahan nalar sosial, ketidakmengertian tentang apa yang layak dikagumi dan apa yang

menghancurkan martabat kemanusiaan, kebutaan untuk menentukan tokoh, pemimpin, idola, dan panutan. Kita dihukum dengan mengalami Negara yang hampir selalu gagal sebagai Negara, dengan Pemerintah yang benar-benar tidak mengerti pada tingkat elementer pun di mana sebenarnya letak Pemerintah, peranya, fungsinya, hak, dan kewajiban.

Kita dihukum dengan memiliki kekayaan alam yang melimpah dan harus membeli sangat mahal hasil kekayaan kita sendiri itu, setelah kita sewa para tetangga mancanegara untuk mengolah kekayaan itu dengan bayaran yang harus kita tanggung dengan menelan kenyataan bahwa kekayaan itu ternyata akhirnya menjadi milik mereka.

Bangsa ini sungguh-sungguh memerlukan “pengambilan keputusan paruh dan kuku Rajawali”. Namun lihatlah, potensi untuk itu betapa rendahnya, kecuali pada Anda semua yang kini berada di depan saya.

Maka di Yogya kita menggelar karya para Rajawali : Umar Kayam yang memelihara dan menjaga karakter bangsanya, Kuntowijoyo yang

sungguh-sungguh berilmu Rajawali, Nasyah Djamin yang allround sanggup terbang sanggup pula melata, Muhammad Diponegoro yang mampu memasak nasi sastra di atas kompor budaya Agama lingkunganya yang hampir tanpa sumbu dan api, Linus Suryadi AG yang menyelam di latan kemesraan dan estika ‘Jawi’ gen-nya,

(46)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 46

Suryanto Sastro atmojo penjaga simpul tali sejarah dari Astinapura, Lemoria Atlantis, Anglingdharma Batik madrim hingga Kemusu, Romo YB Mangun Wijaya yang mewasiti manusia dan masyarakat kemanusiaan, Rendra yang tidak sedia membiarkan anak-anak bangsanya merunduk rendah diri, yang senantiasa gagah karena menjaga pertanda manusia adalah kreativitasnya, serta Pak Besut yang dengan suaranyamembangun kegembiraan hidup menjadi kebesaran sehingga mengatasi segala yang bukan kegembiraan.

Siapakah yang belajar kepada Rajawali, selain Rajawali? Siapakah Rajawali itu, selain anda yang berkumpul di sini belajar kepada Gelar Karya Para Rajawali? Itulah yang diawal tulisan ini saya sebut Genre Baru Masyarakat Kebudayaan di Yogya.

Terhisap oleh hidungku bau darah dari kandungan jiwa Rajawali-Rajawali,

berhembus dari kaum muda yang dating berduyun-duyun, yang hadir dan belajar dengan otentisitas dan orisinalitasnya, yang melangkahkan kaki mereka dan

mengerubungi medan pembelajaran Rajawali dengan sukses mentransendensikan dirinya dari arus pusaran sejarah yang terlalu penuh sampah sepuluh tahun

terahir ini.Kadipiro 6 Agustus 2010

*) (Dibacakan untuk membuka acara ‘Repertoar Maestro Sastra Yogya 2010’ di Gedung Kesenian Sositet Taman Budaya Yogyakarta, jum’at 6 Agustus 2010).

(47)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 47

Gunung Jangan Pula Meletus?

by Komunitas Kenduri Cinta Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib,

Sumber: Kiai Bejo Kiai Untung Kiai Hoki, Gramedia Pustaka Utama, 2007

Khusus untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan kedalaman dukanya? Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilai-nilai kandungannya?

Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari salah satu sudut bibirnya hampir membuatku marah. Karena tak bisa kubedakan apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab, barang siapa tidak berduka oleh ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh lantak terkeping- keping, akan kubunuh.

“Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!” aku menyerbu.

“Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran,” Sudrun menyambut dengan kata-kata, yang seperti biasa, menyakitkan hati.

(48)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 48

“Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh dinikahkan dengan surga.”

“Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling menderita dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan

kesengsaraan sedalam itu?”

“Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya sehingga derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus menjalani kerendahan.”

“Termasuk Kiai….”

Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu kala. Kuusap dengan kesabaran.

“Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama ini, di tengah perang politik dan militer tak berkesudahan?”

(49)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 49

Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari kata-kataku. Badannya terguncang-guncang.

“Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan? Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?” katanya.

Aku menjawab tegas, “Ya”

“Kalau Tuhan diam saja bagaimana?”

“Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus mempertanyakan.”

“Sampai kapan?” “Sampai kapan pun!” “Sampai mati?”

“Ya!”

“Kapan kamu mati?”

(50)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 50

“Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan kenapa ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu juga tidak tahu berapa jumlah bulu ketiakmu. Kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam semestaNya, kemudian kamu tabuh genderang perang menantangNya!”

“Aku ini, Kiai!” teriakku, “datang kemari, untuk merundingkan hal- hal yang bisa menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan otoriter….”

Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya. Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.

“Kamu jahat,” katanya, “karena ingin menghindar dari kewajiban.”

(51)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 51

“Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter.

Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah

satu-satunya yang ada, yang berhak bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan

mencampakkannya ke tempat sampah.

Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang kepada siapa-siapa, dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang harus taat kepadaNya."

"Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan ini? Sini, sini…” -ia meraih lengan saya dan menyeret ke tembok- “Kupinjamkan dinding ini kepadamu….”

“Apa maksud Kiai?” aku tidak paham.

(52)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 52

“Emang untuk apa?”

“Misalnya untuk membenturkan kepalamu….”

“Sinting!”

“Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang terbaik untuk cara berpikir yang kau tempuh.”

Ia membawaku duduk kembali.

“Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia menurut pertimbanganmu?” ia pegang bagian atas bajuku.

“Kamu tahu Muhammad?” ia meneruskan, “Tahu? Muhammad Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup sebagai orang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya sendiri. Panjang rumahnya 4,80 m, lebar 4,62 m. Ia manusia yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang

(53)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 53

kampung Thaif diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat jidatnya berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan dipenggal kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer sehingga ada dua kuburannya. Muhammad dijamin surganya, tetapi ia selalu takut kepada Tuhan sehingga menangis di setiap sujudnya. Sedangkan kalian yang pekerjaannya mencuri, kelakuannya penuh kerendahan budaya, yang politik kalian busuk, perhatian kalian kepada Tuhan setengah-setengah, menginginkan nasib lebih enak dibanding Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa bencana, Tuhan yang kalian salahkan?”

Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke belakang.

“Kiai .. ” kata saya agak pelan, “Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa icon utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim….”

“Sangat benar demikian,” jawabnya, “Apa yang membuatmu tidak yakin?”

(54)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 54

“Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi adalah bahwa kamu pantas diludahi.”

“Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu….”

“Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta lubuk hati. Kenapa?”

“Aceh, Kiai, Aceh.”

“Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi. Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke surga dengan rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara- saudara mereka yang ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota mereka adalah medan

pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema Aceh Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis yang memenjarakan mereka selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir keputusan dan perubahan sejarah yang melapangkan kedua pihak”

(55)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 55

“Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar dibayangkan akan mampu tertanggungkan.”

“Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang tidak mati adalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buang dulu Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang, itulah kebaikan; sementara yang sebaliknya adalah keburukan? berhentilah memprotes Tuhan, karena toh Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu kehidupan berhenti ketika kamu mati.”

“Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa,

sementara membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup nikmat sejahtera?”

“Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka kelak tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan

kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang justru Tuhan bersegera mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar cepat mati karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang umurnya?”

(56)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 56

“Gusti Gung Binathoro!” saya mengeluh, “Kami semua dan saya sendiri, Kiai, tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan yang disuguhkan oleh perilaku Tuhan.”

“Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku Tuhan. Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu sehingga politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh

penghinaan atas martabat diri manusia sendiri- maka Tuhan justru menambahi penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup.”

“Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan….”

“Alangkah dungunya kamu!” Sudrun membentak, “Sedangkan ayam menjadi riang hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski ayam tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur”

(57)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 57

“Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka sehingga selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik berupa bencana alam, teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih tinggi

dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi, karena itu semua tidak menjadi pelajaran, mungkin itu menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk memberi peringatan dalam bentuk lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum

mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada kemungkinan….”

“Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!” aku memotong, karena ngeri membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.

“Bilang sendiri sana sama gunung!” ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyor meninggalkan saya.

“Kiai!” aku meloncat mendekatinya, “Tolong katakan kepada Tuhan agar beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam….”

“Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa tak kau pakai istilah bencana Tuhan?”

(58)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 58

Gusti, Kok Pas Sih....!

oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 28 Januari 2010 jam 8:51 Catatan: Munzir Madjid

NAMANYA “Muhammad Ainun Nadjib,” diutak-atik sendiri menjadi “Emha Ainun Nadjib.” Sejak tahun 1970-an namanya mulai dikenal sebagai penyair dari Jogja. Wilayah jelajah berikutnya sebenarnya tidak melulu di dunia kepenyairan.

Bahkan pertengahan 1960-an, kala masih tercatat sebagai pelajar SMA, sudah dipercaya mengasuh rubrik “Sastra-Budaya” di sebuah harian lokal Jogjakarta. Tahun 1980-an mulai melanglang dunia; ke Amerika Serikat, Filipina, Jerman, Belanda dan lorong-lorong Negara Eropa yang lain. Di tahun 80-an pula, tulisan-tulisannya mulai memenuhi berbagai majalah dan harian nasional. Undangan-pun berdatangan dari berbagai kalangan untuk dijadikan nara sumber lintas disiplin keilmuan.

Orang-orang terbiasa memanggilnya “Cak Nun.” Panggilan khas jawatimuran karena Emha berasal dari Jombang, Jawa Timur. Yang memanggil “Emha” juga tidak sedikit, terutama dari pergaulan dengan kalangan di luar Jogja dan Jawa Timur. Emha sendiri tidak terlalu peduli dengan berbagai panggilan itu, bahkan ada yang menjuluki “Kiai Mbeling.” Barangkali karena dalam berbagai

(59)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 59

kesempatan, baik dalam tulisan atau ucapan-ucapannya, Emha sangat fasih menyitir ayat-ayat Al Qur’an. Mungkin pula orang mau memanggil “Kiai” tanpa embel-embel “Mbeling” masih agak diragukan, kurang rela dan tidak pantas.

Beda lagi orang Makassar. Emha selalu dipanggil dengan “Cak Nung.” Saya tidak tahu kenapa lidah orang Makassar susah mengucapkan “Nun,” sebab bila nama Anda “Agung” akan dipanggil “Mas Agun.” Yang ini kebalik ‘kan, susah melafalkan “Mas Agung.”

Maka jangan heran jika di suatu tempat Emha dipanggil “Bapak Cak Nun,” sebagaimana orang keliru memanggil Bung Karno dengan “Bapak Bung Karno” atau Gus Dur dipanggil “Bapak Gus Dur.” Atau malah dikelira-kelirukan dengan “Cak Nur” (Nurcholish Madjid, Allah yarham).

<“Cak Nur kan?” seseorang menodong di Bandara Soekarno Hatta.

Emha kebingungan menjawabnya, jika dijawab tidak, kasihan juga.

(60)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 60

Emha hanya tersenyum.

“Iya, Nurcholish Ainun Nadjib kan?”

Saya sebenarnya bingung mau menulis apa tentang Emha, memulai dari mana dan menuju kemana. Banyak sekali memori saya tentang Emha, selama bertahun-tahun bergaul sampai sekarang. Beberapa kawan menyarankan saya menulis lagi sebagaimana tulisan-tulisan berseri yang pernah saya tuturkan. Saya bukan orang yang cerdas menyerap ilmu lalu saya deskripsikan dalam sebuah tulisan dengan berbagai analisa. Jadi mohon maaf, kalau tulisan ini hanya “wadag,” dan bukan “ruh.” Terlebih memohon maaf kepada Emha, jika ternyata tuturan saya tidak pas atau malah berlebihan.

Dalam suatu acara, seorang MC memanggil, “Kami persilakan Bapak KH Emha Ainun Nadjib, yang kita kenal sebagai Cak Nun...”

Sejak kapan Emha menjadi haji, saya membatin. Memang pada saat itu Emha belum berangkat haji, bahkan ke Makkah-pun belum pernah. Dan ‘haji’ dalam pemahaman kita juga bukan titel sebagaimana rukun Islam lain.

(61)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 61

Beberapa kali sahabat-sahabatnya ‘memaksa’ Emha untuk berangkat haji, dengan fasilitas ONH Plus-nya. Dengan cara halus Emha selalu menolaknya. Seorang pejabat penting mengirim ajudannya dengan membawa amplop berisi ribuan US Dollar untuk ongkos naik haji. Setelah amplop diterima dan dibuka isinya lalu Emha menyerahkan kembali kepada sang ajudan. Entahlah, apakah amplop diserahkan kembali kepada sang pejabat, atau diam-diam tidak diserahkan dengan alasan jika dikembalikan mendapat resiko dimarahi. Nilai nominalnya banyak lho, taruhlah misalnya USD 10.000 dikalikan kurs sekarang. Wallahu a’lam.

Barangkali pejabat tadi, yang sangat akrab dengan Emha, melihat Emha belum juga mau berangkat haji, meminta lagi kepada Emha untuk kesekian kalinya. Kali ini Emha mau menerima ongkos naik haji, tapi bukan untuk dirinya melainkan untuk beberapa orang miskin di kampungnya. Kalau Anda bertanya kapan kejadiannya, saat musim haji berbarengan dengan musibah terowongan Mina.

Lagi, di Bandara Soekarno Hatta. Seseorang wanita paruh baya mendatangi Emha. Emha sendiri merasa tidak mengenalnya. Emha berencana menuju Surabaya lalu ke Jombang. Saat sedang beracara di Jakarta dikabari bahwa salah satu kakaknya mendapat musibah kecelakaan mobil dan di rawat di RSUD Jombang.

(62)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 62

“Iya bu,” Emha dengan santun menjawabnya.

“Saya ada titipan, mohon diterima,” wanita itu memohon.

“Terima kasih bu,” Emha menerima amplop dengan ucapan terima kasih.

Aneh. Mereka tidak saling kenal dan tidak saling memperkenalkan diri.

Kejadiannya sangat cepat. Emha tersadar, kok tidak bertanya namanya siapa, dan ini amplop apa.

Sampailah Emha di RSUD Jombang dan menjenguk sang kakak. Lalu seseorang menyerahkan kwitansi pembiayaan pengobatan. Buru-buru Emha menuju toilet dan membuka isi amplop. Amplop berisi uang itu dihitung dan disesuaikan dengan tagihan biaya rumah sakit. Emha terkejut, nominalnya sangat pas.

“Gusti, syukur Alhamdulillah, tapi mbok yao dilebihin barang limapuluh ribu-lah...!” Emha mengucap dalam batin. []

(63)

Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 63

Hijrah dan Kultus Individu

oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 26 Februari 2010 jam 9:44 Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Tidak ada satu peristiwa apa pun dalam kehidupan yang dihuni oleh manusia ini yang tidak bersifat hijrah. Seandainya pun ada benda yang beku, diam dan seolah sunyi abadi: ia tetap berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya.

Orang jualan bakso menghijrahkan bakso ke pembelinya, dan si pembeli menghijrahkan uang ke penjual bakso. Orang buang ingus, buang air besar,

melakukan transaksi, banking, ekspor impor, suksesi politik, revolusi, apapun saja, adalah hijrah.

Tidak ada satu peristiwa apa pun dalam kehidupan yang dihuni oleh manusia ini yang tidak bersifat hijrah. Seandainya pun ada benda yang beku, diam dan seolah sunyi abadi: ia tetap berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya.

Orang jualan bakso menghijrahkan bakso ke pembelinya, dan si pembeli menghijrahkan uang ke penjual bakso. Orang buang ingus, buang air besar,

Referensi

Dokumen terkait

Bagian pertama tulisan ini memperkenalkan bentuk persamaan ruang keadaan waktu diskrit dan kontinu, baik yang time varying maupun time invariant, kemudian dibahas

Namun, jika ketiga syarat ini tidak dipenuhi, misalnya paus mengajar atas nama pribadi, dan bukan tentang iman dan moral, tidak pula menyangkut gereja universal,

Guide vane yang terdapat pada classifier di dalam coal mill pada Pabrik Tuban 4 memiliki tren keausan yang tinggi, sehingga sering kali dilakukan pemeliharaan lebih

Dalam penyebaran informasi melalui non- elektronik diberi arahan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap pada website (ppid.probolinggokota.go.id). Sampai saat

Kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan bahwa rumah sakit melakukan beberapa Kesalahan atas penerapan pemungutan yaitu objek PPh pasal 22, non objek PPh pasal

Tugas Akhir ini merupakan bagian dari kurikulum yang harus diselesaikan untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata Satu di Departemen Teknik Elektro,

Gangguan penghidu pada penyakit sinonasal seperti rinosinusitis kronik atau rinitis alergi disebabkan inflamasi dari saluran nafas yang menyebabkan berkurangnya aliran udara

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “PENGARUH BENTONIT KOMERSIAL DAN SERAT DAUN NANAS PADA SIFAT MEKANIK DAN KECEPATAN PEMBAKARAN DARI