• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. komunitas di Yogyakarta yang berdiri pada kurun waktu 1969 sampai 1977.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. komunitas di Yogyakarta yang berdiri pada kurun waktu 1969 sampai 1977."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Persada Studi Klub (selanjutnya disingkat PSK) merupakan salah satu komunitas di Yogyakarta yang berdiri pada kurun waktu 1969 sampai 1977. Dalam perjalanannya sebagai sebuah komunitas, PSK melakukan serangkaian kegiatan yang berfokus pada bidang penulisan, terutama puisi. Komunitas ini berada di bawah naungan mingguan Pelopor Yogya yang secara berkala mempublikasikan karya-karya anggotanya.

PSK bermarkas di Jalan Malioboro 175 A lantai atas. Alamat tersebut merupakan tempat pertemuan rutin mereka dalam membicarakan segala hal tentang sastra dan budaya yang dilaksanakan setiap hari Minggu pagi. Selain kegiatan rutin, PSK juga kerap melaksanakan acara-acara sastra dari kampung ke kampung yang meliputi diskusi, poetry reading, dan poetry singing.

Komunitas yang berumur delapan tahun ini telah menghasilkan sejumlah sastrawan dalam dunia sastra Indonesia, misalnya Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, dan Korrie Layun Rampan. Dari para anggotanya, telah lahir ratusan karya sastra yang hingga kini masih ada yang mengalami cetak ulang. Bahkan, para alumnusnya yang sekarang memasuki usia senja masih terus menghasilkan karya sastra.

(2)

Setelah lebih dari tiga puluh lima tahun PSK bubar, pembicaraan mengenainya masih saja dapat ditemukan di sejumlah kegiatan sastra. Hal ini merupakan sebuah pencapaian yang menarik mengingat pada dekade 1970-an di Yogyakarta ada pula komunitas-komunitas serupa, seperti Remaja Nasional (di bawah harian Bernas), Insani (di bawah Masa Kini), dan Suluh Remaja (di bawah Suluh Marhaen), yang semuanya kini hampir hilang dalam pembicaraan. Masih kerap dibicarakannya PSK sebagai sebuah komunitas sastra dicurigai karena serangkaian strategi para anggotanya dalam memposisikan komunitas tersebut di arena sastra nasional.

Selama ini, wacana tentang PSK lebih banyak tersiar melalui kabar-kabar lisan daripada tulisan. Baru pada tahun 2010 terbit buku Orang-Orang Malioboro yang berisi kesaksian sejumlah orang tentang PSK. Namun, buku tersebut tidak lengkap mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana PSK karena hanya berisi kesan-kesan para penulisnya selama hidup berkomunitas. Bahkan, alih-alih menjelaskan kegiatan-kegiatan PSK, buku ini justru menjadi ajang memuji untuk sejumlah anggota kepada anggota lainnya. Meskipun demikian, buku tersebut menjadi salah satu petunjuk—sekaligus data penting—bagi penelitian yang dilakukan terhadap PSK.

Dewan Bahasa Yogyakarta pernah berusaha mengungkap tentang komunitas PSK dalam buku Sastra Indonesia di Yogyakarta 1945—2000 (2008). Namun, usaha yang dilakukannya tersebut belum maksimal karena lebih banyak menyebut nama anggota daripada menguraikan aktivitas PSK atau mengomentari karya-karya anggota PSK. Selain itu, karena rentang data objek penelitian yang

(3)

luas, buku ini hanya sedikit menyinggung tentang PSK dan menyebutnya sebagai sebuah komunitas yang amat berarti dan berpengaruh di Yogyakarta daripada menguraikan keberartian dan keberpengaruhan tersebut.

Usaha lain untuk mengkaji PSK juga pernah dilakukan Atisah (2010). Atisah menulis makalah berjudul “Umbu Landu Paranggi dalam Pembinaan Sastrawan Indonesia: Studi Kasus Persada Studi Klub”. Meskipun menyinggung proses kreatif dalam PSK, makalah ini berfokus pada cara yang dilakukan Paranggi dalam membina anggota PSK tanpa menelusuri aktivitas dan interaksi anggota PSK lainnya secara intens. Makalah ini dapat dikatakan lebih merupakan suatu usaha untuk mengabadikan peran Paranggi dalam PSK daripada mengkaji PSK sebagai sebuah komunitas.

Minimnya data tertulis mengenai PSK menjadi salah satu kendala untuk mengkaji komunitas ini. Secara administratif, PSK bukan sebuah organisasi formal yang berbadan hukum, tidak memiliki AD/ART, dan kelengkapan lainnya. PSK juga tidak mencatat secara tertib formal siapa saja anggotanya yang mencapai 1.555 orang karena tidak ada kartu anggota bagi para anggotanya (Rampan, 1984: 66).

Dokumentasi karya-karya yang termuat di Pelopor Yogya (1968—1978), media massa yang mengayomi kehidupan kreatif mereka, juga tidak ditemukan di sejumlah perpustakaan di Yogyakarta. Para anggotanya pun menyatakan tidak memiliki dokumentasi tersebut ketika diminta untuk bahan kajian penelitian. Ragil Suwarno Pragolapati pernah mendokumentasikan segala tulisan hasil karya

(4)

anggota, dan tentang PSK, tetapi naasnya dia meninggal dunia sebelum data itu dikaji. Sepeninggalnya, sebagian besar data yang dimilikinya juga rusak karena bencana gempa bumi tahun 2006 di Yogyakarta. Data yang tertinggal ini kemudian dititipkan ke Emha Ainun Nadjib. Data-data yang masih ada tersebut menjadi data penting bagi penelitian ini.

Melihat fakta-fakta di atas, penelitian terhadap PSK layak segera dilakukan agar komunitas tersebut tidak menjadi mitos kawah candradimuka yang disebut-sebut sebagai tempat pematangan, tetapi tidak pernah dikaji ada proses apa yang bekerja di sebaliknya. Kemungkinan pemitosan ini menguat mengingat apa yang dikabarkan pada khalayak hanya kehebatan-kehebatan kehidupan PSK pada masa itu, yang justru tidak berasal dari kegiatan rutin mereka. Agar PSK tidak terlanjur menjadi mitos dan dilupakan sejarah, terutama sejarah sastra Indonesia, keberadaan PSK dapat diantisipasi dengan melakukan dua macam penelitian.

Pertama, penelitian terhadap karya-karya seluruh anggota PSK, yang sampai kini belum dilakukan. Penelitian ini dimungkinkan akan menguatkan atau justru melemahkan mitos PSK yang hingga kini terus-menerus dibangun. Kedua, penelitian terhadap aktivitas anggota PSK dan sejumlah pihak yang turut memperbesar nama PSK. Bagaimanapun, PSK merupakan sebuah komunitas yang mudah saja dilupakan apabila tidak ada pihak-pihak yang mencoba mengabadikannya. Asumsi dasarnya, PSK tidak akan menjadi sebuah komunitas yang besar hanya dengan mengandalkan karya-karya para anggotanya, tetapi turut pula—bahkan mungkin lebih karena—pergerakan para anggotanya yang hingga

(5)

sekarang masih terus menahbiskan komunitasnya sebagai sebuah arena sastra yang besar. Bahkan, pada akhirnya, penahbisan PSK sebagai sebuah komunitas yang memiliki legitimasi turut mendongkrak status sosial para anggotanya dalam arena sastra yang berujung pada peraihan modal ekonomi dan pengakuan atas karya-karya mereka. Artinya, pengakuan atas karya sastra anggota PSK justru ditentukan oleh nama besar komunitas ini daripada nilai estetika yang dikandungnya.

Penelitian ini merupakan jenis kedua mengingat penelitian jenis pertama mengharuskan menganggap karya-karya anggota PSK sebagai karya sastra yang memiliki nilai estetika yang baik karena betapapun sebuah penelitian mengharuskan adanya alasan nilai di balik tiap pemilihan objek materialnya. Penelitian ini mendasarkan kajian pada teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu. Dengan sosiologi sastra Bourdieu, dikaji pergerakan pihak-pihak tertentu yang turut memperbesar nama PSK. Dalam pandangan Bourdieu, pihak-pihak itu meliputi para sastrawannya (anggota PSK), pengamat atau kritikus sastra, serta media massa dan penerbitan pada masa itu.

Selain itu, Bourdieu juga menekankan untuk mengkaji arena sastra lain di luar arena sastra yang diteliti—dalam hal ini PSK—dan arena kekuasaan yang menanunginya karena hal ini berkaitan dengan kebertahanan arena tersebut sebagai arena sastra yang hingga kini masih dikenal meskipun arena tersebut telah tiada. Dalam hal PSK, ada dua arena yang patut dikaji, yakni arena kekuasaan Orde Baru dan arena sastra nasional pada kurun waktu 1969—1977. Arena kekuasaan Orde Baru memiliki pengaruh terhadap berdiri, eksis, dan bubarnya

(6)

PSK. Sementara itu, arena sastra nasional pada waktu PSK eksis sedang banyak diwarnai eksperimentasi penulisan sehingga menyediakan ruang kemungkinan bagi PSK untuk turut bereksperimen atau menuruti kaidah penulisan sastra yang telah mapan. Ruang-ruang kemungkinan yang tercipta dari dua arena tersebut memiliki peran terhadap kebertahanan nama komunitas ini hingga sekarang. Kebertahanan tersebut tidak dapat dilepaskan dari habitus, modal, dan strategi yang dilancarkan sejumlah anggota yang menyiratkan trajektori PSK dalam meraih posisi dalam arena sastra nasional.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan di atas maka terdapat sejumlah permasalahan sebagai berikut.

(1) Arena kekuasaan yang mendominasi arena sastra PSK.

(2) Disposisi PSK dalam arena kekuasaan dan arena sastra nasional. (3) Habitus, modal, strategi, dan trajektori PSK.

1.3 Tujuan Penelitian

Muara pertanyaan dari rumusan masalah di atas secara teoretis akan: (1) mengungkap arena kekuasaan yang mendominasi PSK, (2) menguraikan disposisi PSK dalam arena kekuasaan dan arena sastra; dan (3) mendeskripsikan habitus, modal, strategi, dan trajektori sejumlah agen PSK. Selain memiliki tujuan teoretis

(7)

tersebut, penelitian ini juga mempunyai tujuan praktis, yakni turut menyumbangkan kajian sebuah massa (komunitas PSK) dalam suatu masa (rentang dekade 1960-an hingga 1970-an) yang belum digarap oleh para sejarawan atau sejarawan sastra. Diharapkan, dengan adanya penelitian ini akan ada penelitian lain yang melengkapi sejarah kesusastraan Indonesia di Daerah Istimewa Yogyakarta mengingat banyaknya komunitas-komunitas sastra di provinsi ini dan karya-karya sastra yang telah diterbitkannya.

1.4 Tinjauan Pustaka

Meskipun PSK merupakan sebuah komunitas yang cukup melegenda di Yogyakarta, belum banyak penelitian yang mengkajinya. Komunitas ini lebih banyak disinggung dalam latar belakang pada penelitian-penelitian yang membahas karya sastra milik agen-agen PSK. Komunitas ini seperti menjadi suatu misteri yang dibiarkan tidak tersentuh, kecuali hanya sebagai sebuah masa lalu yang telah melahirkan sejumlah sastrawan masa kini (tetapi perlahan mulai menjadi masa lalu juga).

Hanya ada satu kajian yang pernah ditulis oleh Atisah (2010), yakni makalah berjudul “Umbu Landu Paranggi dalam Pembinaan Sastrawan Indonesia: Studi Kasus Persada Studi Klub”. Tersirat dari judulnya, kajian ini terbatas pada pembinaan yang dilakukan oleh Umbu Landu Paranggi terhadap anggota PSK. Kajian ini tidak luas membahas interaksi antar-anggota PSK dan proses kreatif di dalamnya, kecuali persinggungan anggota dengan Paranggi. Dengan demikian,

(8)

kajian ini belum memfokuskan pembicaraan pada komunitas PSK secara keseluruhan.

Selain objek material yang belum banyak disentuh oleh penelitian, penelitian ini juga menggunakan teori yang relatif baru untuk mengkaji karya sastra, yakni sosiologi sastra dari Pierre Bourdieu. Sejauh ini teori tersebut belum banyak digunakan untuk mengkaji kesusastraan di Indonesia. Salam pernah menggunakannya ketika menulis makalah berjudul “Membaca Jatisaba Membaca Desa Indonesia” (2011) dan “Sosiologi Penyair dan Puisi, Sebuah Pembicaraan Pengantar” (2011). Makalah pertama merupakan pembedahan atas novel Jatisaba karya Ramayda Akmal. Makalah ini tidak banyak membicarakan dunia di luar karya sastra, atau lebih spesifik tidak mengkaji arena sastra yang disinggahi penulis novel. Makalah ini hanya bergerak pada analisis internal karya sastra yang dihubungkan dengan realitas sosial.

Sementara itu, makalah kedua sudah bergerak ke arah arena kepenulisan, baik budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Pada makalah kedua ini, Salam mempermasalahkan bagaimana penyair dan puisinya mendapatkan legitimasi dari arena sosial yang melingkupinya. Makalah ini secara tegas menyatakan bahwa kata-kata dalam puisi tidak lagi memiliki kekuatan sosial, politik, maupun ekonomi karena masih memerlukan dukungan historis, modal-modal, dan strategi. Apa yang dibincangkan makalah ini adalah kilasan perkembangan arena sastra nasional dari kurun lahirnya sastra Indonesia modern sampai masa kini sehingga pembicaraan belum mendetail ke satu arena sastra tertentu dan kurun waktu tertentu. Untuk itulah, penelitian ini akan mencoba mengkaji lebih detail suatu

(9)

arena tertentu dalam kurun waktu tertentu yang belum pernah diperbincangkan, yakni arena PSK.

1.5 Landasan Teori

Untuk menjawab rumusan masalah dan mencapai tujuan yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu. Dalam pandangan Bourdieu (2010: 15—16) sosiologi sastra semestinya tidak hanya menjadikan produksi material sebagai objek kajiannya, tetapi juga produksi simbolis karya, yaitu produksi nilai sebuah karya atau produksi keyakinan terhadap nilai karya tersebut. Baginya, sosiologi sastra harus mempertimbangkan kondisi-kondisi sosial produksi objek-objek yang secara sosial dipandang sebagai karya sastra.

Sosiologi sastra Bourdieu bergerak dari studi teks ke dalam studi konteks. Hal ini merupakan sebuah cara pengkajian yang cukup baru dalam ilmu sastra sehingga mendatangkan sejumlah keberatan atas teorinya. Keberatan-keberatan itu pada dasarnya mengacu pada minimnya pembicaraan Bourdieu terhadap nilai estetika sebuah karya sastra. Keberatan-keberatan yang ada tersebut timbul karena adanya kekurangfahaman pada studi Bourdieu yang justru mempertanyakan munculnya nilai-nilai sastra yang pada waktu dan tempat tertentu dianggap baik, tetapi di lain tempat dan waktu dianggap buruk.

Sosiologi sastra Bourdieu lahir dari penelitiannya terhadap dunia seni di Perancis pada pertengahan abad ke-19. Pada saat itu, dunia seni Perancis tengah

(10)

tunduk pada kekuasaan agama dan ekonomi. Karya-karya seni mendapatkan apresiasi yang baik apabila mampu mencapai keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya dan tidak melanggar batas moral sesuai yang digariskan agama.

Akibatnya, para seniman, termasuk sastrawan di dalamnya, diposisikan setara dengan tukang yang menciptakan barang sesuai keinginan pemesan. Seniman tunduk pada kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh para pemesan sehingga daya kreatif dan imajinatif mereka menjadi mandeg. Kemudian lahirlah tuntutan otonomi kebebasan bagi para seniman untuk menentukan bentuk-bentuk dan subjek seninya sendiri. Tuntutan tersebut merupakan awal dari proses otonomisasi yang panjang antara arena seni terhadap arena kekuasaan, baik politik maupun agama (Martini, 2003: 42—43).

Akan tetapi, dalam perkembangannya otonomisasi seni justru menunjukkan tingkat terdominasinya arena tersebut dalam arena kekuasaan ekonomi. Otonomisasi seni atau sastra hadir justru dicurigai sebagai strategi untuk menunda keuntungan ekonomi yang akan diraihnya. Otonomisasi arena sastra sekadar menjadi strategi untuk mencapai keuntungan dengan menolak keuntungan, dan mengubah keuntungan dari massa ke dalam masa. Artinya, keuntungan yang massif secara instan dihindari untuk mendapatkan keuntungan yang lebih langgeng.

Dari itulah Bourdieu kemudian mulai menganalisis arena sastra untuk mengetahui bagaimana nilai suatu produk sastra diciptakan di dalam arena yang terdominasi kekuasaan. Sosiologi sastra Bourdieu tidak dapat dilepaskan dari pemikirannya di bidang sosiologi yang berusaha menyempurnakan analisis

(11)

subjektivisme dan objektivisme. Bagi Bourdieu (1990: 135) subjektivisme gagal memahami landasan sosial yang membentuk kesadaran, sedangkan objektivisme melakukan sebaliknya, gagal mengenali realitas sosial di tataran tertentu yang dibentuk oleh konsepsi dan representasi yang dilakukan individu-ondividu terhadap dunia sosial.

Kelemahan dua pendekatan tersebut merambah juga dalam ilmu sastra, yakni pada analisis internal dan eksternal. Bourdieu mengkritik dua analisis tersebut seperti halnya ia mengkritik objektivisme dan subjektivisme. Analisis internal dianggapnya lemah karena dalam kajiannya (1) menghilangkan keberadaan agen sosial sebagai produsen, (2) mengabaikan hubungan-hubungan sosial yang objektif tempat praktik sastra muncul, dan (3) menghindari pertanyaan krusial mengenai apa yang membentuk nilai sebuah karya sastra. Analisis internal yang dikritik Bourdieu meliputi teori-teori strukturalisme dan formalisme. Sementara itu, analisis eksternal memiliki sejumlah kelemahan karena memiliki sifat determinisme mekanistik yang tajam sepeti terlihat dari sosiologi sastra Lucien Goldmann.1

Dalam menyempurnakan analisis-analisis yang dikritiknya, Bourdieu menggagas sejumlah konsep untuk digunakan dalam mengkaji karya sastra. Konsep utama yang diciptakan adalah habitus yang didefinisikan Bourdieu (1990b: 53) sebagai sistem disposisi yang berlangsung lama, dapat berubah-ubah, struktur yang disusun untuk memengaruhi sebagai penyusun struktur, yaitu

1Kelemahan kedua analisis tersebut dapat dibaca pada “Pengantar Pierre Bourdieu tentang Seni,

Sastra, dan Budaya” oleh Raudal Johnson yang menjadi kata pengantar buku Arena Produksi Kultural: Sebuah kajiam Sosiologi Budaya (2010).

(12)

sebagai prinsip-prinsip yang menghasilkan dan mengatur praktik serta gambaran-gambaran yang dapat disesuaikan secara objektif untuk mendapatkan hasil tanpa mensyaratkan kesadaran akan tujuan akhir atau penguasaan khusus atas operasi-operasi yang mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Apa yang dimaksud dengan disposisi adalah sikap, kecenderungan dalam mempersepsi, merasakan, melakukan, dan berpikir, yang diinternalisasikan oleh individu berkat kondisi objektif eksistensi seseorang. Disposisi berfungsi sebagai prinsip tak sadar tindakan, persepsi, dan refleksi. Jadi, disposisi yang telah diperoleh akan mengondisikan perolehan lebih jauh disposisi-disposisi baru (Haryatmoko, 2003: 11).

Dari definisi yang telah diberikan oleh Bourdieu, Harker (2009: 13—16) memerikan habitus kepada sejumlah hal yang mengacu kepada (1) sekumpulan disposisi yang tercipta dan tereformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal, (2) sesuatu yang bekerja pada tingkat bawah sadar, (3) pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang dunia, yang memberikan kontribusi tersendiri pada realitas dunia itu. Secara singkat, tesis sentral yang ingin ditekankan habitus adalah konstruksi pengantara, bukan konstruksi pendeterminasi. Dengan demikian, habitus menjadi sumber penggerak tindakan pemikiran dan representasi (Haryatmoko, 2003: 10)

Jenkins (2010: 107--108) memberikan pemaknaan yang lain terhadap habitus, yaitu (1) nalar sepele yang hanya ada selama ia ada ‘di dalam kepala’ agen. (2) Habitus hanya ada di dalam, melalui, dan disebabkan oleh praksis agen dan interaksi antara mereka dan dengan lingkungannya, seperti cara berbicara,

(13)

cara bergerak, cara membuat sesuatu, dan lain-lain. Dalam hal ini, habitus bukan hanya termanifestasi dalam perilaku melainkan juga merupakan suatu bagian integral darinya. (3) ‘Taksonomi praktis’ yang ada pada inti skema generatif habitus berakar dari dalam tubuh sehingga segala hal yang ditangkap panca indra seorang agen akan diwujudkan dalam bentuk simbol seperti laki-laki/perempuan depan/belakang, atas/bawah dan lain-lain.

Bagaimanapun habitus merupakan sesuatu yang mendasari, dan beroperasi dalam arena yang diartikan Bourdieu dan Wacquant (1996: 97) sebagai suatu jaringan, atau suatu konfigurasi dari relasi objektif antara berbagai posisi. Posisi ini secara objektif didefinisikan, dalam keberadaannya dan dalam determinasi-determinasi yang dipaksakannya kepada mereka yang menempatinya, agen atau institusi, oleh situasi aktual dan situasi potensial (situs) dalam struktur pembagian kekuasaan (atau modal) yang di dalamnya kepemilikan atas kekuasaan itu membuka akses ke dalam suatu keuntungan yang jadi taruhan di dalam arena.

Dalam ilmu budaya ada dua arena yang saling beririsan, yakni arena kekuasaan dan arena sastra. Arena kekuasaan adalah ruang hubungan dari kekuatan antara agen atau antara lembaga umum yang memiliki modal yang diperlukan untuk menempati posisi dominan dalam berbagai bidang (terutama ekonomi atau budaya) (Bourdieu, 1995: 216). Dalam arena kekuasaan, arena produksi budaya, termasuk arena sastra, menempati posisi terdominasi. Dengan jelas, Bourdieu (1990a: 145) menyatakan bahwa ini adalah fakta umum yang tidak dapat dibantah dengan teori umum tentang seni dan kesusastraan. Dengan

(14)

demikian, dapat dikatakan bahwa seniman dan penulis, dan secara umum intelektual, adalah fraksi terdominasi dari kelas dominan.

Dalam penelitian ini dominasi arena kekuasaan diungkap dengan cara menghubungkannya dengan arena sastra di luar PSK ketika masih eksis. Arena sastra didefinisikan sebagai arena kekuatan sekaligus arena pergulatan yang bertujuan mentransformasikan atau mempertahankan relasi kekuatan yang sudah ada, tempat sejumlah agen melibatkan kekuatan modalnya yang dia peroleh dari pergualatan sebelumnya lewat strategi-strategi yang orientasinya bergantung pada posisi masing-masing dengan modal spesifiknya (Bourdieu, 1990a: 143 dan 2010: 4--5). Arena sastra juga berarti sebuah semesta sosial independen yang memiliki hukum-hukumnya sendiri terkait dengan keberfungsian anggota-anggotanya, hubungan-hubungan kekuasaannya yang spesifik, dan yang mendominasi dan yang didominasi (Bourdieu, 2010: 214).

Bourdieu (2010: 17) menyatakan bahwa arena sastra merupakan tempat adanya hierarki ganda. Pertama, hierarki heteronom yang mengukur kesuksesan dari indeks angka penjualan buku dan jumlah pementasan teater (atau mungkin jumlah tiket yang terjual, dan sebagainya). Dalam hierarki ini ukuran kesuksesan disandarkan pada keuntungan ekonomi yang segera. Sebaliknya, pada hierarki yang kedua, yang disebut Bourdieu hierarki otonom, kesuksesan tidaklah diukur dari nilai ekonomi yang dihasilkan suatu karya, tetapi dilihat dari derajat konsekrasi yang spesifik yang diberikan oleh para ahli sastra. Semakin banyak penghargaan yang diraih—dan ini biasanya berbanding terbalik dengan

(15)

keuntungan ekonomi—semakin besarlah derajat kesuksesan yang dimiliki oleh seorang agen.

Menurut Bourdieu (2010: 19—20) arena sastra sepanjang waktu adalah pergulatan antara dua prinsip hierarkis di atas, antara prinsip heteronom yang didukung oleh mereka yang mendominasi arena secara ekonomis dan politis (seperti seni borjuis) dengan prinsip otonom yang di dalamnya para pendukungnya yang dianugerahi modal spesifik cenderung mengidentifikasi diri dengan tingkat independensi dari ekonomi. Mereka melihat kegagalan temporal sebagai tanda keterpilihan dan sebaliknya memandang kesuksesan sebagai tanda kompromi. Tingkat otonomi ini bergantung pada nilai yang direpresentasikan oleh modal spesifik penulis kepada fraksi-fraksi dominan dalam pergulatannya memelihara tatanan yang sudah mapan, dan yang lebih khusus lagi, dalam pergulatan di antara fraksi-fraksi yang ingin mendominasi arena kekuasaan, dan di sisi lain, dalam produksi dan reproduksi modal ekonomi (dengan bantuan para ahli dan kader-kadernya).

Pihak yang menganut prinsip hierarki otonom kemudian berada di kutub otonom, sementara di sisi lain ada kutub heteronom yang memegang prinsip heteronom. Pergulatan dua prinsip hierarkisasi atau dua kutub tersebut muncul dalam perebutan definisi mengenai sebutan penulis. Siapakah seseorang yang disebut sebagai penulis? Apakah ia yang mampu menulis sebuah karya yang laku di pasaran, tetapi tanpa puja-puji dari para ahli sastra? Atau, ia yang mampu menulis sesuai selera atau nilai-nilai estetis dalam pandangan ahli sastra sehingga mendapatkan banyak penghargaan dari sisi kualitas? Dengan demikian, menurut

(16)

Bourdieu (2010: 22) taruhan utama dalam pergulatan sastra adalah monopoli legitimasi sastra, yaitu, di antaranya, monopoli kekuasaan untuk mengatakan berdasarkan otoritas siapa yang berhak menyebut dirinya sebagai penulis. Atau dengan kata lain, soal monopoli atas semua kekuasaan untuk mengkonsekrasi produsen atau produknya dengan cara memberi kata pengantar, dengan melakukan studi, memberi penghargaan, dan sebagainya. Dalam hal ini kemudian terjadi pengalihan sebagian modal dari seorang pengarang terkenal kepada pengarang muda dan belum terkenal dengan memberinya review atau kata pengantar positif.2

Ketika definisi tentang penulis menjadi isu yang dipertaruhkan di dalam pergulatan setiap arena sastra, arena produksi kultural menjadi tempat-tempat bagi pergulatan-pergulatan ketika yang dipertaruhkan adalah kekuasaan untuk mengimposisi/memaksakan definisi dominan tentang penulis, dan karenanya, kekuasaan untuk membatasi populasi yang berhak ambil bagian di dalam pergulatan mendefiniskan penulis tersebut (Bourdieu, 2010: 22). Di sinilah peran suatu komunitas menjadi penting. Ia menjadi arena kultural yang dapat menganugerahi gelar penulis kepada agennya ketika arena sastra yang lebih luas belum mau memberi sebutan itu.

2 Lihat juga Salam dalam makalahnya “Sosiologi Penyair dan Puisi, Sebuah Pembicaraan

Pengantar” (2011) yang juga memasukkan politik endorsment sebagai bagian dari pengalihan modal semacam ini. Di sisi lain, ia juga memasukkan politik biografi yang menjajarkan beragam penghargaan dan jejak pemuatan karya (misalnya dalam antologi cerpen atau puisi) sebagai bagian dari strategi untuk legitimasi. Meskipun biografi ini ditulis sendiri oleh penulis, ia sejatinya telah menyerap modal milik juri suatu perlombaan/ penghargaan atau redaktur media massa tertentu yang sudah dipandang sebagai ahli sastra. Dalam proses yang demikian, sejatinya juri dan redaktur media massa selalu mengalihkan sedikit modal yang dimilikinya untuk karya-karya dari pengarang muda.

(17)

Meskipun demikian, komunitas bukanlah satu-satunya arena yang memberi legitimasi bagi seseorang untuk disebut sebagai penulis atau tidak. Masih ada sejumlah pihak yang termasuk dalam arena sastra yang ada di luar komunitas yang turut berkontribusi terhadap layak atau tidaknya seorang agen disebut sebagai penulis. Dalam hal inilah Bourdieu (2010: 12) menganjurkan bahwa penelitian harus ditujukan pada semua pihak yang turut memberikan kontribusi bagi hasil suatu karya seni atau sastra, yaitu orang-orang yang memahami ide karya seni itu (para komposer atau pemain drama), orang yang menyediakan perlengkapan dan materi yang dibutuhkan (para pembuat alat musik), orang-orang yang melaksanakannya (musisi atau aktor), dan orang-orang yang memberikan audiens pemahaman karya tersebut (kritikus dan ahli). Mereka adalah orang-orang yang diakui sanggup memberi modal simbolis pada para penulis atau pada komunitas tempat berkumpulnya para penulis.

Modal simbolis hanyalah salah satu dari berbagai jenis modal yang dirumuskan Bourdieu. Secara garis besar, modal diartikan Bourdieu (dalam Harker, 2009: 16--17) sebagai segala bentuk barang—baik materil maupun simbol, tanpa perbedaan—yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam sebuah formasi sosial tertentu. Secara garis besar modal terbagi dalam empat jenis, yakni modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolis. Modal ekonomi meliputi alat-alat produksi dan materi. Modal budaya meliputi ijazah, pengetahuan yang sudah diperoleh, kode-kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul, dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan

(18)

reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal sosial ialah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal simbolis mengacu pada salah satu akibat dari kekuasaan simbolis yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus suatu mobilisasi. Modal simbolis dapat berupa kantor yang luas di kawasan elite, mobil mewah dan sopirnya, gelar pendidikan di kartu nama, dan bagaimana cara membuat tamu menanti (Haryatmoko, 2003: 12).

Modal harus ada dalam suatu arena agar arena tersebut memiliki arti. Modal juga dipandang sebagai basis dominasi. Menurut Bourdieu, beragam jenis modal dapat ditukar dengan jenis-jenis modal lainnya Adapun bagaimana ragam modal itu dipertaruhkan dalam suatu arena (sastra) itu bergantung strategi yang digunakan oleh agen.

Strategi diartikan Bourdieu (1990b: 61) sebagai the product of the practice sense as the feel of game. Pada dasarnya strategi merupakan suatu praktik yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan atau melebarkan kekuasaan dalam suatu arena. Bourdieu (1984: 125—131) membagi strategi ke dalam dua macam, yakni (1) strategi reproduksi yang merupakan sekumpulan praktik yang dirancang oleh agen untuk mempertahankan atau meningkatkan modal ke arah masa depan. (2) Strategi rekonversi yang merupakan sejumlah pergerakan agen dalam ruang sosial yang terstruktur dalam dua dimensi, yakni keseluruhan jumlah modal yang terstruktur dan pembentukan jenis modal yang dominan dan terdominasi. Selain kedua macam strategi tersebut, Bourdieu (1990b: 68) juga menyebut jenis strategi

(19)

lain seperti strategi investasi biologis, strategi pewarisan, strategi pendidikan, strategi investasi ekonomi, dan strategi simbolis.

Strategi-strategi ini digerakkan sesuai dengan modal dan habitus yang dimiliki oleh agen di sebuah arena dari waktu ke waktu sehingga akan muncul trajektori. Trajektori didefinisikan Bourdieu (1995: 258—259) sebagai serangkaian posisi berturut-turut yang diduduki oleh agen atau kelompok agen di ruang yang berurutan. Menurutnya, setiap trajektori harus dipahami sebagai cara perjalanan atau perpindahan unik yang melalui ruang sosial. Di satu sisi, ada perpindahan agen yang dibatasi dalam sektor tunggal arena produksi kultural dan yang cocok untuk mengakumulasikan modal menjadi lebih besar atau lebih kecil. Di sisi lain, ada perpindahan yang menyiratkan perubahan sektor dan konversi dari satu jenis modal tertentu ke modal yang lain, atau bahkan konversi modal simbolis menjadi modal ekonomi.

Dalam arena sastra, trajektori diartikan Bourdieu (2010: 252) sebagai deskripsi serangkaian posisi yang silih berganti ditempati seorang penulis di tengah keadaan arena sastra yang juga silih berganti. Trajektori para agen secara tidak langsung akan menunjukkan struktur arena sastra. Sementara itu, trajektori seorang agen (penulis) akan terlihat jelas dalam hierarkisasi yang ada dalam arena sastra, apakah ia berpindah sebatas dalam arena sastra atau keluar dari arena sastra dengan mengkonversikan modal simbolis yang dipunyainya ke dalam modal ekonomi.

Konsep-konsep yang telah diuraikan di atas sejatinya digunakan Bourdieu dalam menganalisis pergerakan seorang agen dalam sebuah arena sastra.

(20)

Mengingat penelitian ini tidak hanya mengkaji seorang agen, tetapi sebuah komunitas yang berisi banyak agen, maka terjadi sejumlah penyesuaian. Penyesuaian ini tidaklah melenceng dari apa yang sudah digariskan oleh Bourdieu, tetapi justru mencoba memperluas kemungkinan penggunaan sosiologi sastra Bourdieu yang belum pernah digunakan untuk menganalisis komunitas.

Penyesuaian tersebut meliputi tiga hal. (1) Banyaknya agen membuat penelitian harus mengerucutkan pada sejumlah agen yang hanya memiliki pengaruh terhadap komunitas tersebut. (2) Banyaknya karya-karya sastra dari para agen yang diteliti menjadikan tidak semua karya diteliti, tetapi hanya beberapa karya yang memiliki kaitan dengan kehidupan dalam dan tentang komunitas PSK. (3) Apa yang kemudian disebut sebagai habitus, modal, strategi, dan trajektori agen bukanlah murni milik keseluruhan agen sendiri, tetapi setelah terpengaruh oleh kehidupan dalam komunitasnya. Artinya, asal-usul habitus agen-agen sebelum masuk ke dalam komunitas tidak diperikan mengingat banyaknya agen dalam komunitas ini sehingga dimungkinkan akan meluaskan kajian pada masing-masing penulis daripada tentang komunitasnya.

1.6 Metode Penelitian

Secara garis besar, penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mengumpulkan, menyaring, dan menganalisis data. Metode penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (dalam Kaelan 2005: 5) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, catatan-catatan yang

(21)

berhubungan dengan makna, nilai, dan pengertian. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, pengamatan, dan wawancara.

Studi kepustakaan dilakukan dengan membaca sejumlah tulisan yang berhubungan dengan PSK, baik yang ada di dalam buku maupun media massa. Pengamatan dilakukan pada sejumlah acara sastra yang berkaitan dengan PSK yang berlangsung di Yogyakarta. Sementara itu, wawancara dilakukan kepada sejumlah anggota PSK yang hingga kini masih aktif menyebarkan nama PSK sebagai komunitas yang besar. Wawancara dilakukan dengan menggunakan petunjuk umum (lihat lampiran) yang berisi garis besar proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok-pokok masalah yang direncanakan ditanyakan dapat tercakup seluruhnya. Wawancara tidak terpaku pada pertanyaan yang telah disediakan, tetapi dapat meluas ketika menemukan hal-hal baru dari ungkapan narasumber yang masih sesuai dengan penelitian. Apabila ada gejala narasumber meluaskan masalah ke luar dari ranah penelitian, peneliti mengembalikan wawancara ke topik penelitian dengan petunjuk yang sudah dirancang sebelumnya.

Data-data yang didapatkan dari ketiga cara tersebut kemudian dianalisis dengan mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan asumsi-asumsi dasar yang seperti yang disarankan data sesuai teori yang digunakan. Pengorganisasian dan pengurutan data disesuaikan dengan konsep-konsep dalam sosiologi sastra Bourdieu seperti habitus, modal, arena, strategi, trajektori, dan lain sebagainya.

(22)

Data-data yang telah diorganisasikan dan diurutkan tersebut kemudian dideskripsikan dan dianalisis berdasarkan landasan teori yang digunakan. Deskripsi dan analisis tersebut terbagi dalam tiga bagian besar sesuai yang disarankan Bourideu (1995: 214), yakni (1) menganalisis posisi arena sastra dalam arena kekuasaan, dan evolusinya pada waktunya, (2) menganalisis struktur internal arena sastra, dan (3) menganalisis asal-usul habitus, sistem, disposisi dan trajektori sosial dari arena sastra bersangkutan. Ketiga bagian tersebut diuraiakan secara relasional. Setelah semua tahap dilalui, dilakukan penyimpulan.

1.7 Populasi, Sampel, dan Data

PSK merupakan komunitas yang beranggotakan ribuan penulis dengan ratusan karya sastra. Dari 1.555 anggota yang tercatat, dipilih enam orang yang dijadikan sampel, yakni Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarna Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, dan Korrie Layun Rampan. Keenam orang ini dipilih mengingat perannya yang sentral dalam PSK. Tiga orang pertama merupakan pendiri yang berperan sebagai pengasuh sejumlah sastrawan muda dalam PSK (maupun masa sesudahnya), sementara tiga orang terakhir merupakan anggota yang aktif bergerak di arena sastra nasional. Melalui ketiga nama terakhir, PSK mampu menjadi komunitas yang dicitrakan mumpuni dalam melahirkan penulis dan karya-karya yang bermutu.

Data yang diambil dari keenam sampel tersebut berupa tulisan-tulisan mengenainya dan tindakan-tindakan mereka yang berkaitan dengan kehidupan PSK, baik yang berasal dari pengamatan langsung penulis maupun dari data-data

(23)

yang ada mengenai mereka atau tulisan-tulisan mereka sendiri. Data tersebut juga penulis dapatkan dari wawancara yang melibatkan anggota bersangkutan dan anggota PSK yang lain. Wawancara dilakukan karena data-data tertulis yang ada belum secara menyeluruh mengungkapkan perjalanan PSK sebagai sebuah komunitas. Dengan wawancara diharapkan data-data yang belum muncul dapat digali sehingga melengkapi apa yang sudah ada.

Dari keenam orang yang dijadikan sampel, penulis hanya mewawancarai Iman Budhi Santosa mengingat akses pada Paranggi, Nadjib, dan Rampan sulit dijangkau. Sementara itu, Suryadi telah almarhum dan Pragolapati masih belum ditemukan. Selain karena jangkauan yang sulit, penulis juga memikirkan objektivitas data wawancara karena ketika mewawancarai Santosa ada tendensi untuk bercerita lebih banyak tentang dirinya sendiri daripada tentang komunitasnya dan kawan-kawannya.

Oleh karena itu, penulis juga mewawancarai tokoh lain, yakni Teguh Ranusastra Asmara, Sutirman Eka Ardhana, Mustofa W Hasyim, dan Jayadi Kastari. Asmara dipilih mengingat perannya sebagai pendiri PSK dan wartawan Pelopor Yogya, Ardhana dan Hasyim dipilih karena menjadi anggota PSK muda yang mampu meneruskan tradisi PSK ketika menjadi redaktur di surat kabar lain, dan Kastari, seorang redaktur sastra Kedaulatan Rakyat, dipilih karena kedekatan dengan Pragolapati ketika mengasuh sejumlah sastrawan muda.

Adapun data lain yang berupa tulisan terdiri dari dua macam. Pertama, sejumlah karya sastra yang pernah dimuat di Pelopor Yogya dan karya-karya anggota PSK yang telah diterbitkan dalam antologi bersama ataupun mandiri.

(24)

Karya-karya yang dipilih adalah yang memiliki kesamaan waktu penciptaan saat PSK masih eksis atau sebelum para anggota bersangkutan menemukan gaya ekspresi pribadinya. Kedua, data mengenai kehidupan PSK diambil dari sejumlah buku yang ditulis anggotanya, bebetapa artikel dan berita yang terdapat di media massa, seperti Kompas, Horison, Basis, Kedaulatan Rakyat, dan Minggu Pagi, serta dokumen pribadi milik Ragil Suwarna Pragolapati yang kini ada di Perpustakaan Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib.

1.8 Sistematika Penelitian

Penelitian ini disajikan dalam lima bab sebagai berikut.

Bab I berupa pendahuluan yang berisi: (1) latar belakang penelitian; (2) rumusan masalah; (3) tujuan penelitian; (4) tinjauan pustaka; (5) landasan teori; (6) metode penelitian; (7) populasi, sampel, dan data; dan (8) sistematika penyajian.

BAB II berisi uraian mengenai arena kekuasaan yang menaungi PSK dan arena sastra Indonesia pada kurun 1970-an.

BAB III berisi uraian tentang disposisi PSK dalam arena kekuasaan dan arena sastra nasional.

BAB IV berisi uraian mengenai pergelutan internal agen-agen PSK dalam meraih posisi di dalam arena sastra nasional.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendapatkan respons steady state rangkaian terhadap eksitasi non-sinusoidal periodik ini diperlukan pemakaian deret Fourier, analisis fasor ac dan prinsip superposisi..

Dari hasil penelitian yang dilakukan kepada 139 mahasiswa jurusan Teknik Informatika dan Sistem Informasi Fakultas Ilmu Komputer Universitas Lancang Kuning terhadap efektifitas

UNAIR NEWS – Tim peneliti program Calon Pengusaha Pemula Berbasis Teknologi (CPPBT) Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga mengadakan acara pengenalan produk

Berdasarkan informasi yang didapat penulis dari perusahaan, ternyata selama ini perusahaan tidak menerapkan akuntansi pokok sehingga perusahaan tidak memiliki laporan

a) Sistem pendukung keputusan pemilihan sekolah SMA Swasta Terbaik Dengan Menggunakan Metode PROMETHEE di Kota Pematangsiantar sistem berbasis web dengan

Apabila instansi lain menyetujui Kerangka Kerja Teknis dan Rancangan Prakiraan Anggaran Biaya, maka dapat ditindaklajuti dengan penandatanganan kesepakatan atau perjanjian

Alat Smart home ini menggunakan media bluetooth Module berbasis Arduino Uno 328P adalah sebuah prototype yang dapat mengontrol lampu melalui Android Smartphone yang

UPTD Layanan Pengadaan Secara Elektronik mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau teknis penunjang di bidang layanan pengadaan