LAPORAN KASUS
IMPETIGO KRUSTOSA
Ery Oktadiputra, dr. IGK Darmada, Sp.KK(K), dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar
ABSTRAK
Impetigo krustosa adalah penyakit infeksi pada epidermis yang sering diderita anak-anak. Penyakit ini menyebabkan kelainan kulit berupa bintik merah yang awalnya berair kemudian pecah, mengering, dan menjadi krusta. Dilaporkan kasus impetigo krustosa pada bayi laki-laki berusia 11 bulan 30 hari dengan gambaran lesi papula eritema kecil, berbentuk bulat dengan ukuran diameter 1-2 mm, terbentuk vesikel atau pustule, dan pecah sehingga terbentuk krusta. Pengobatan yang diberikan berupa krim asam fusidat 2% 2 kali sehari setelah mandi dan edukasi kepada orang tua pasien. Hasil pengobatan belum dapat dievaluasi dan prognosis pasien ini baik.
Kata kunci : impetigo krustosa, anak-anak, papula eritema
ABSTRACT
Impetigo crustosa is an infection of the epidermis disease that often affects on children. This disease leads to abnormalities in skin like red spots that initially watery then broke out, dry out, and become crusted. Reported cases of impetigo crustosa in male infants aged 11 months 30 days with small erythematous papules, round shape with a diameter of 1-2 mm, formed vesicles or pustules, and rupture to become crusts. Treatment is given of 2% fusidic acid cream 2 times a day after shower and education to his parents. The results of treatment can not be evaluated and the patient's prognosis is good.
Key word : impetigo crustosa, children, erythematous papules
PENDAHULUAN
Impetigo krustosa adalah penyakit infeksi oleh bakteri Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogenes atau keduanya yang terjadi pada kulit
bagian epidermis.[1,2] Penyakit ini biasanya terjadi pada anak-anak, walaupun tidak jarang terjadi pada usia dewasa dan sering terjadi di negara-negara tropis.[2,3,4,5] Di Amerika, setiap tahunnya kejadian
impetigo sebesar 2,8% pada anak-anak usia kurang dari 5 tahun dan 1,6% pada anak-anak di atas usia 5 tahun hingga usia 15 tahun.[1]
Gambaran klinis impetigo krustosa ditunjukan dengan terdapat makula atau papula menyendiri berwarna merah yang secara cepat berubah menjadi vesikel. Vesikel ini mudah pecah sehingga membentuk sebuah erosi, dan ketika isi dari vesikel ini mengering terbentuk sebuah krusta dengan warna kekuningan seperti madu.[1,3,5,6] Tanda klinis ini biasa terdapat di daerah wajah (terutama disekitar hidung dan mulut), leher, punggung, dan ekstremitas.[1,3] Umumnya lesi ini terasa nyeri dan disertai dengan demam.[3,4]
Diagnosis impetigo krustosa dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa kultur bakteri dan pengecatan, walaupun pemeriksaan penunjang ini tidak terlalu diperlukan. Kultur bakteri dilakukan pada pasien jika terjadi outbreak poststreptococcal glomerulonephritis atau pasien dicurigai mengalami resistan methicillin terhadap S. aureus.[1,3] Pengobatan pada penyakit
impetigo krustosa ini bertujuan untuk meredakan nyeri dan mengurangi kerusakan kosmetik pada pasien dengan penggunaan antibiotik topikal dan pemberian edukasi terhadap pasien. Antibiotik oral dapat diberikan jika pasien mengalami resistan obat topikal, adanya komplikasi lanjutan, dan terjadi infeksi sistemik.[1,3,5,7] Umumnya prognosis dari pasien yang mengalami impetigo krustosa baik dan dapat sembuh dengan atau tanpa bekas luka.[1,5,7]
LAPORAN KASUS
Seorang bayi berusia 11 bulan 30 hari datang dengan diantar oleh kedua orang tuanya ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah tanggal 6 Februari 2014 jam 9 pagi dengan nomor Rekam Medik 14007607. Keluhan utama pasien yang diutarakan orang tuanya yaitu terdapat bintik-bintik merah yang berisi air dan koreng pada daerah sekitar dahi, mulut, dan punggung. Awalnya timbul bintik-bintik merah yang berisi air pada dahi dan mulut sejak 4 hari yang lalu, kemudian timbul di punggung sejak 2 hari yang lalu dan menyebar luas di punggung
sejak kemarin. Bintik-bintik yang berisi air pada wajah tersebut kemudian pecah dan membentuk koreng dengan warna coklat kehitaman sejak 2 hari yang lalu. Sejak kemarin pasien mengalami demam dan ketika diukur saat dipoli suhu badan menunjukan 37,5oC. Riwayat pengobatan yaitu pemberian bedak Caladine dilakukan sehabis pasien mandi. Tidak ada riwayat alergi, riwayat operasi, dan riwayat transfusi pada pasien. Terdapat intensitas nyeri dengan visual analogue scale 2. Riwayat penyakit dalam keluarga ada yaitu kakak pasien yang berusia 5 tahun mengalami gejala yang sama yaitu berupa bintik-bintik merah berair dan terdapat koreng pada wajahnya.
Pada pemeriksaan fisik pasien, didapatkan status Internus pasien dalam batas normal. Pada mata tidak didapatkan tanda-tanda anemia ataupun ikterus. Pada pemeriksaan toraks didapatkan suara jantung s1 dan s2 dengan suara nafas vesikular. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usung + (dalam batas normal), dan akral pasien dalam keadaan hangat dan tidak disertai dengan bengkak. Lokasi lesi
pada kulit pasien terdapat pada bagian dahi, mulut dan punggung dengan bentuk kelainan kulit (eflorisensi) dimulai oleh papula eritema kecil, berbentuk bulat dengan ukuran diameter 1-2 mm. Selanjutnya pada papula tersebut terbentuk vesikel atau pustule yang mudah pecah dan meninggalkan bentuk erosi. Cairan serosa dan purulen akan membentuk krusta tebal berwarna kekuningan. Lesi ini akan melebar sampai 1-2 cm dan disertai lesi satelit disekitarnya. Pemeriksaan lain pada mukosa, rambut, kuku, kelenjar limfe, fungsi kelenjar keringat, dan sistem saraf pasien tidak ditemukan kelainan.
Pasien ini tidak dilakukan pemeriksaaan penunjang baik pemeriksaan histopatologi maupun pemeriksaan laboratorium. Sehingga dari anamnesis dan pemeriksaan fisik disimpulkan pasien mengalami impetigo krustosa. Terapi farmakologis yang diberikan pada pasien ini yaitu pemberian antibiotika topikal krim Asam Fusidat 2% 2 kali sehari setelah mandi dan pemberian KIE pada keluarga pasien serta mengingatkan untuk kontrol kembali di poliklinik
kulit dan kelamin RSUP Sanglah satu minggu setelah kunjungan pertama.
DISKUSI
Impetigo krustosa adalah penyakit infeksi oleh bakteri yang terjadi pada kulit bagian epidermis.[1,2] Penyakit ini biasanya terjadi pada anak-anak, walaupun tidak jarang terjadi pada usia dewasa dan sering terjadi di negara-negara tropis.[2,3] Impetigo krustosa ini disebabkan paling sering oleh bakteri Staphylococcus aureus pada musim hujan dan oleh bakteri Streptococcus pyogenes pada musim panas, atau terkadang sering disebabkan oleh dua bakteri tersebut secara bersamaan.[2] Di Amerika, setiap tahunnya kejadian impetigo sebesar 2,8% pada anak-anak usia kurang dari 5 tahun dan 1,6% pada anak-anak di atas usia 5 tahun hingga usia 15 tahun.[1] Di Indonesia sendiri menurut WHO tahun 1999, dari 917 sampel berusia di atas 12 tahun sekitar 1,4% mengalami pioderma (infeksi kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus, atau keduanya) dan dari 433 sampel
berusia di bawah 12 tahun 0,2% mengalami pioderma.[8]
Impetigo krustosa dapat terjadi ketika terdapat trauma kecil pada bagian kulit sehingga memudahkan untuk bakteri masuk ke bagian epidermis kulit secara langsung. Bakteri yang telah masuk sangat mudah melekat pada protein-protein di kulit, menyerang dan membentuk infeksi di kulit. Di bagian epidermis akan muncul neutrophilic vesicopustules, dan pada bagian atas kulit terdapat infiltrat yang hebat oleh neutrofil dan limfosit.[1,2,3] Gambaran klinis yang ditunjukan pada impetigo krustosa yakni awalnya terbentuk makula atau papula menyendiri berwarna merah yang secara cepat berubah menjadi vesikel. Vesikel ini mudah pecah sehingga membentuk sebuah erosi, dan ketika isi dari vesikel ini mengering terbentuk sebuah krusta dengan warna kekuningan seperti madu. Jika krusta ini diangkat akan terlihat erosi kulit yang lembab dan berwarna kemerahan.[1,3,4,5,6]
Dari kasus diatas orang tua pasien mengeluh terdapat bintik-bintik merah berair dan terdapat koreng di bagian mulut, dahi, dan
punggung. Awalnya terdapat bintik-bintik merah kecil dan terisi air. Selanjutnya bintik merah tersebut membesar dan memecahkan isinya dan terbentuk koreng. Pertama-tama terjadi di mulut dan dahi, kemudian menyebar ke daerah punggung. Pasien juga mengalami demam sejak kemarin dan kakaknya yang berusia 5 tahun mengalami gejala penyakit yang sama. Dari usia dan hasil anamnesis pada pasien tersebut, pasien telah memenuhi kriteria diagnosis untuk penyakit impetigo krustosa, sehingga diagnosis penyakit impetigo krustosa sudah dapat ditegakkan. Pemeriksaan penunjang belum perlu dilakukan pada pasien ini sebab kultur bakteri dilakukan jika terjadi outbreak poststreptococcal glomerulonephritis atau pasien dicurigai mengalami resistan methicillin terhadap S. aureus. Orang tua pasien tersebut menyebutkan tidak ada alergi pada pasien dan tidak terdapat wabah poststreptococcal glomerulonephritis pada daerah tempat tinggal pasien, tetapi jika setelah pengobatan pasien mengalami resistan antibiotik, pemeriksaan kultur bakteri perlu dilakukan.[1,3]
Diagnosis banding dari kasus impetigo krustosa yang memilik gambaran klinis serupa yakni dermatitis atopik, kandidiasis, dermatitis kontak, dermatopitosis, ektima, herpes simplek, varicella, dan scabies.[1,4,5]
Tujuan pengobatan dari kasus impetigo krustosa yakni membunuh bakteri penyebab impetigo krustosa, meredakan nyeri atau memberikan kenyamanan, mengurangi kerusakan penampilan kosmetik, mencegah penyebaran yang luas, dan mencegah kekambuhan. Idealnya pengobatan harus efektif, tidak mahal, dan memiliki efek samping yang minimal. Lini pertama pengobatan kasus impoetigo krustosa yaitu pemberian antibiotik secara topikal dan pemberian edukasi terhadap pasien. Penggunaan antibiotik topikal memiliki keuntungan ketika digunakan hanya pada daerah yang diperlukan, dimana ini dapat meminimalisir efek sistemik pada tubuh.[1,2,3,4,5,7] Sebuah studi mengatakan, pemberian antibiotik topikal seperti Mupirosin atau Asam fusidat lebih effektif dalam menangani impetigo krustosa dibandingkan dengan pemberian
placebo.[1] Pemberian oral antibiotik dapat diberikan kepada pasien yang pengobatannya tidak berhasil terhadap pemberian secara topikal. Selain itu pemberian oral antibiotik dapat diberikan jika terjadi komplikasi sistemik pada pasien.[1,2,3,4,5,7]
Pada pasien ini pemberian antibiotik topikal asam fusidat 2% berfungsi untuk membantu penyembuhan pasien dan mengurangi penyebaran infeksi tersebut. Pemberian antibiotik ini dilakukan 2 kali sehari sesudah pasien mandi dan diberikan pada daerah yang diperlukan. Pada pasien ini pemberian obat tersebut sudah sesuai dengan referensi yang ada.
Umumnya prognosis pada penyakit impetigo krustosa baik, bahkan dapat sembuh tanpas bekas selama 2 minggu tanpa diberi pengobatan. Prognosis penyakit impetigo krustosa pada pasien ini baik, karena tidak terjadi komplikasi dan penyebaran yang terlalu luas. Pengobatan yang cepat dan pemberian edukasi yang cermat memberikan prognosis yang baik pada pasien ini. Edukasi yang diberikan pada orang tua pasien ini
berupa membersihan lesi-lesi pada tubuh pasien, kebersihan yang selalu dijaga untuk pasien, dan pemisahan pakaian pasien.[1,2,3,4,5,7]
SIMPULAN
Dilaporkan kasus impetigo krustosa pada bayi laki-laki berusia 11 bulan 30 hari dengan gambaran lesi papula eritema kecil, berbentuk bulat dengan ukuran diameter 1-2 mm, terbentuk vesikel atau pustule, dan pecah sehingga terbentuk krusta. Pengobatan yang diberikan berupa krim asam fusidat 2% 2 kali sehari setelah mandi dan edukasi kepada orang tua pasien. Hasil pengobatan belum dapat dievaluasi dan prognosis pasien ini baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cole, Charles., MD, Gazewood, John., MD. (2007). Diagnosis and Treatment of Impetigo. American Family Physician : USA. Vol. 75, No. 6, Pg: 859-864.
2. Koning S., R, van der Sande., AP, Veragen., et all. (2012). Intervention for Impetigo. The Cochrane Collaboration: Amsterdam.
3. M, Beheshti., Sh, Ghotbi. (2007). Impetigo, a Brief Review. Family Physician, Fasa Medical School : Iran. Vol. 8 No.3 Pg:138-141. 4. Sularsito SA, Djuanda S.
Dermatitis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2011;h:138-147. 5. Freedberg, Irwin M., Eisen,
Arthur Z., Wolff, Klaus., et all. (2008). Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, seventh edition. McGraw-Hill : USA. Vol. 2 No. 7 Pg. 1694-1698.
6. Asra Ali, MD. (2007). Dermatology: A Pictorial Review. McGraw-Hill : USA. Pg. 217-218.
7. Provost, Thomas T., MD., Farmer, Evan R., MD., (1988). Current Therapy in Dermatology-2. B.C. Decker Inc. : USA. Pg. 210-211.
8. Mahe, Antonie MD., J. Hay, Rod MD. (2005). Epidemiology and Management of Common Skin Disease in Children in Developing Countries. World Health Organization.