• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Kasus Rinitis Alergi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Kasus Rinitis Alergi"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

SMF Bagian Ilmu Penyakit THT-KL Laporan Kasus

RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang Juni 2016

Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana

RINITIS ALERGI

Disusun Oleh

Leonita Vivian Homalessy, S. Ked (1108012029)

Pembimbing :

dr. M. A. S. Wahyuningsih, Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES

KUPANG 2016

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Rinitis alergi yaitu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala gatal, bersin-bersin, rinore dan rasa tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(1)

Prevalensirinitis alergi diIndonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan

pada tahun 2009 mencapai 1,5-12,4%dan

cenderungmengalamipeningkatansetiaptahunnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan mulai tanggal 23 Mei 2016 sampai 21 Juni2016 di Poliklinik THT-KL RSUD Prof. Dr. W.Z Johannes Kota Kupang didapati 15 kunjungan, dimana kasus rhinitis alergi merupakan kasus yang cukup banyak dijumpai. Aeroalergenyangterseringmenyebabkanrinitisalergiyaitudebu rumah,dan tungaudebu rumah.(2)

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi pada rinitis alergi adalah suatu tahapan penatalaksanaan yang bersifat holistik berupa edukasi, penghindaran terhadap alergen, farmakoterapi secara tepat dan rasional dan mungkin imunoterapi. Dalam hal pemberian terapi, diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai patogenesis, patofisiologi rinitis alergi sebagai landasan dalam pemilihan obat yang tepat.Intervensi dini dan tepat dapat memperbaiki kualitas hidup dan produktifitas pasien dengan rinitis alergi.(3)Komplikasi rinitis alergi

yang sering adalah polip hidung, otitis media efusi yang sering residif dan sinusitis paranasal.(1)

Laporan kasus ini akan membahas lebih lanjut tentang kasus rinitis alergi pada seorang laki-laki berusia 18 tahun. Diharapkan laporan ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi kasus pasien dengan rinitis alergi.

(3)

BAB II LAPORAN KASUS 2.1. IDENTITAS

Nama : Nn.Nuni

Jenis Kelami : Perempuan

Umur : 29 Tahun

Alamat : Manutapen

Bangsa/Suku : Indonesia/Timor

No. MR : 0 -31- 53 – 30

Tanggal Pemeriksaan : 13 Juli 2016

2.2. ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS) Keluhan Utama :

Bersin-bersin terus menerus sejak 2 hari yang lalu Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poliklinik THT karena bersin-bersin terus menerus setiap hari sejak 1 bulan yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 4-5 kali. Bersin didapatkan pada waktu yang tidak menentu, baik pagi siang ataupun malam. Bersin meningkat apabila terpapar debu dan dingin. Bersin didapatkan selama 3-4 hari dalam 1 minggu. Keluhan juga disertai dengan pilek, hidung kadang tersumbat dirasakan penderita disaaat terpapar debu yang banyak. Pilek dengan cairan berwarna bening, encer, dan banyak, namun tidak berbau. Pasien juga sering merasakan gatal pada hidung, dan kemudian menggaruk hidung dengan menggunakan punggung tangan. Keluhan pada pasien tidak mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja pada siang hari. Keluhan tidak disertai dengan batuk, nyeri tenggorok, nyeri kepala dan penurunan fungsi pendengaran.

(4)

Pasien belum pernah mengalami keluhan hal yang sama sebelumnya. Riwayat Asma (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan/gejala yang sama dengan pasien

Riwayat Alergi

Pasien memiliki alergi terhadap debu dan udara yang dingin. Alergi terhadap makanan, dan obat-obatan (-)

Riwayat Pengobatan :

Pasien belum mendapatkan pengobatan sebelumnya Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Kebiasaan o Pasien seorang perawat

o Sering terpapar debu rumah, asap kendaraan dan rokok

2.3. PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis Tanda Vital Tekanan darah :120/70 mmHg Pernafasan : 20x/ menit Nadi : 84 x/menit Suhu : 37,2oC Status Lokalis THT 1) Telinga

Bagian Kelainan Auris

Dextra Sinistra Aurikula Kelainan kongenital

Radang Tumor Trauma Nyeritarik Nyeri tekan Sikatrik

(5)

-Canalis Acustikus Externa

Cukup Lapang /Sempit Kelainan kongenital Hiperemis Sekret Kloting Serumen Edema Jaringan granulasi Massa Cholesteatoma Cukup Lapang -Cukup Lapang -Membrana Timpani Intak Reflek cahaya + + + + 2) Pemeriksaan Hidung

Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri

Hidung luar Bentuk normal, hiperemis (-), nyeri tekan (-), deformitas (-)

Bentuk normal, hiperemis (-), nyeri tekan (-),deformitas (-)

Rinoskopi anterior

Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)

Cavum nasi edema, mukosa warna pucat,

rhinorrhea (+)

edema, mukosa warna pucat, rhinorrhea (+) Meatus nasi media Mukosa edema, sekret (+) Mukosa edema, sekret (+) Konka nasi inferior Edema (+), mukosa pucat (+) Edema (+), mukosa pucat

(+)

Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus (-), mukosa warna merah muda

3) Pemeriksaan Tenggorok

(6)

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda Mulut Mukosa mulut basah, berwarna merah muda

Geligi Normal

Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembran (-) Uvula Bentuk normal, hiperemis (-), edema (-),

pseudomembran (-)

Palatum mole Ulkus (-), hiperemis (-), edema (-)

Faring Mukosa hiperemis (-), refleks muntah (+), pseudomembran (-), sekret (-) Tonsila palatina Kanan Kiri T1 T1 Fossa tonsilaris dan arkus faringeus Hiperemis (-) Hiperemis (-) 2.4. RESUME

Pasien datang ke poliklinik THT karena bersin-bersin terus menerus setiap hari sejak 1 bulan yang lalu. Setiap bersin dapat mencapai 4-5 kali. Bersin didapatkan pada waktu yang tidak menentu, baik pagi siang ataupun malam. Bersin meningkat apabila terpapar debu dan dingin. Bersin didapatkan selama  3 - 4 hari dalam 1 minggu. Keluhan juga disertai dengan pilek, kadang hidung tersumbat. Pilek dengan cairan berwarna bening, encer dan banyak, namun tidak berbau. Pasien juga sering merasakan gatal pada hidung, dan kemudian menggaruk hidung dengan menggunakan punggung tangan. Keluhan pada pasien tidak mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja pada siang hari. Keluhan tidak disertai dengan batuk, nyeri tenggorok, nyeri kepala dan penurunan fungsi pendengaran.

(7)

2.5 DIAGNOSA KERJA J. 00 Acute Rhinitis 2.6 DIAGNOSA BANDING

Rhinitis Vasomotor

3 RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium seperti hitung eosinofil dalam darah tepi dan dapat pula dilakukan pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test), pemeriksaan sitologi hidung, Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan.

4 PENATALAKSANAAN

1. Edukasi untuk menghindari

faktor iritan dan faktor allergen

2. Edukasi untuk menggunakan

masker terutama saat berkendaraan atau saat membersihkan rumah.

3. Edukasi untuk menghindari

paparan asap rokok

4. Terapi medikamentosa :

- Hidrocortison zalf 2,5% - Asam Mefenamat 3x1 - Dyfenilhidramin - Paratusin 2 x 1 tablet

Komposisi per tab : Noscapine (antitusif)

Chlorpheniramine maleate (Antihistamin) Glyceryl guaiacolate (Ekspektoran) Paracetamol (analgesic)

Phenylpropanolamine HCl (dekongestan)

5 PROGNOSIS

(8)

Quo ad sanationam : Bonam Quo ad functionam : Bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os

(9)

nasalis, 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari.1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor), 3) beberapa pasang kartilago ala minor, dan 4) tepi inferior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus

(10)

inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribiformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius.

(11)

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.(1)

(12)

Gambar 3.2 Anatomi Hidung

Vaskularisasi

Hidung

Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri etmoidalis anterior, arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan arteri sfenopalatina. Arteri etmoidalis anterior memperdarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior memperdarahi septum bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina terbagi menjadi arteri nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan arteri septi posterior yang menyebar pada septum nasi.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

(13)

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Innervasi Hidung

Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya

mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina. Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut

parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nerus petrosus profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakan dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel- sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai arti penting dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke arah nasofaring.Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang tidak bersilia.Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa hidung, hanya lebih tipis dan sedikit mengandung pembuluh darah.(1)

3.2. Fisiologi Hidung 1. Fungsi Respirasi

Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi

(14)

pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin. 2. Fungsi Penghidu

Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan.

Gambar 3.3. Bagian Rongga Hidung.

3. Fungsi Fonetik

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis

(15)

rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair (ketika pilek) atau padat (polip, tumor, benda asing) yang menyumbat.

4. Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran cerna,kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.

3.3. Definisi Rinitis Alergi

Rinitis alergi yaitu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala gatal, bersin-bersin, rinore dan rasa tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(1)

3.4. EpidemiologiRinitis Alergi

Prevalensi rinitis alergi di Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dapat timbul pada semuagolongan umur, terutam anak dan dewasa, namun menurun sejalan denganbertambahnya umur. Faktor herediter berperan, sedangkan jenis kelamin,golongan etnis dan ras tidak berpengaruh.(2)

3.5. Etiologi Rinitis Alergi

Penyebab tersering adalah alergen inhalan dan alergen ingestan. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dangangguan pencernaan. Dipeberat oleh faktor non-spesifik, seperti asap rokok, bauyang merangsang,

(16)

perubahan cuaca dan kelembapan yang tinggi. Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas :

a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan dengan udara pernafasan,misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputanserta jamur.

b. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan. c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan,misalnya

penisilin, sengatan lebah dan bisa ular

d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringanmukosa, misalnya bahan kosmetika, perhiasan dan lain-lain.(1)

e. Temuan lainnya radiasi komputer atau laptop 3.6. Patomekanisme Rinitis Alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reactionatau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fasehiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.(1)

(17)

Gambar 3.4 Tahap Sensitisasi

Seperti ditunjukkan pada gambar 3.4, sensitisasi melibatkan penyerapan alergen oleh sel antigen (sel dendritik) di situs mukosa, yang menyebabkan aktivasi sel T antigen spesifik, yang kemungkinan besar dialirkan oleh kelenjar getah bening. Aktivasi simultan sel epitel oleh jalur nonantigenic (misalnya protease) dapat menyebabkan pelepasan sitokin epitel (stroma thymus lymphopoietin [TSLP], interleukin-25, dan interleukin-33), yang dapat mempolarisasi proses sensitisasi menjadi T-helper tipe 2 (Th2) respon sel. Polarisasi ini diarahkan menuju sel dendritik dan mungkin melibatkan partisipasi type 2 innate lymphoid sel (ILC2) dan basofil, yang melepaskan sitokin Th2-pembawa sitokin (interleukin-13 dan interleukin-4). Hasil dari proses ini adalah generasi sel Th2, yang pada gilirannya, mendorong sel B menjadi IgE-sel plasma-alergen tertentu. MHC menunjukkan major histocompatibility kompleks.

(18)

Gambar 3.5 Tahap Reexposure

Seperti ditunjukkan pada gambar 3.5, antibodi IgE alergen tertentu memiliki afinitas tinggireseptor pada permukaan sel jaringan yang berisi mast sel dan basofil yang sedang bersirkulasi. Pada paparan ulang, alergen berikatan dengan IgE pada permukaan sel-sel dan cross-link reseptor IgE, yang mengakibatkan mast sel dan aktivasi basofil serta pelepasan mediator neuroaktif dan vasoaktif seperti histamin dan cysteinylleukotrien. Zat-zat ini menghasilkan gejala khas dari rhinitis alergi. Selain itu, aktivasi lokal limfosit Th2 oleh sel dendritikmenghasilkan pelepasan kemokin dan sitokin yang mengatur masuknya sel-sel inflamasi (eosinofil, basofil, neutrofil, sel T, dan sel B) pada mukosa, memberikan lebih banyak target alergen dan meningkat pada organ-organ akhir hidung (saraf, pembuluh darah, dan kelenjar). Sel Th2 inflamasi membuat mukosa hidung lebih sensitif terhadap alergen tetapi juga terhadap iritasi lingkungan. Selain itu, paparan alergen lanjut merangsang produksi IgE.

(19)

Gambar 3.6 Gejala di hidung yang timbul pada paparan alergen. Seperti ditunjukkan dalam gambar 3.6 mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil dapat langsung mengaktifkan ujung-ujung saraf sensori, pembuluh darah, dan kelenjar melalui reseptor spesifik. Histamin tampaknya memiliki efek langsung pada pembuluh darah (yang mengarah ke permeabilitas pembuluh darah dan kebocoran plasma) dan sarafsensorik, sedangkan leukotrien lebih mungkin menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi saraf sensorik mengarah ke gejala pruritus dan berbagai refleks pusat. Ini termasuk refleks motorik untuk bersin dan refleks parasimpatis yang merangsang sekresi kelenjar hidung dan menghasilkan vasodilatasi. Selain itu, refleks simpatis mengakibatkan vena sinusoid melebar, dan terjadi pembengkakan pembuluh darah dan obstruksi pada saluran hidung. Dengan adanya peradangan alergi, respons pada organ akhir ini meningkat dan lebih berat. Respon yang berlebihan dari saraf sensorik adalah ciri-ciri umum dari patofisiologi rinitis alergi.(4)

(20)

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua golongan umur dan biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan dewasa muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun, tergantung pada banyaknya alergen di udara. Faktor herediter pada penyakit ini sangat berperan.

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.

Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet, dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya terutama berasal dari serpihan kulit dan feses tungau D. Pteronyssinus, D. farinae dan Blomia tropicalis, kecoa dan bulu binatang peliharaan (anijng, kucing, burung). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

(21)

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 munggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu. 2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut

diatas.(1,5)

3.8. Gejala Klinis Rinitis Alergi

Gejala klinis pada rinitis alergi adalah gatal, bersin berulang, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak dan hidung tersumbat. Pada mata dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan lakrimasi.Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tengah.(1)

3.9. Diagnosis Rinitis Alergi 1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari diagnosis saja. Anamnesis yang dapat ditanyakan yaitu apakah rinitis terjadi pada musim tertentu ataukah terjadi sepanjang tahun, gejala-gejala yang timbul pada paparan alergen tertentu (hewan, tanaman tertentu), pengobatan yang dijalani saat ini, riwayat penyakit atopi keluarga atau penyakit alergi, gejala yang timbul akibat paparan iritan, gejala dari infeksi saluran pernapasan atas.(1,6)

Gejala yang dapat ditanyakan antara lain gatal pada daerah hidung yang disebabkan oleh histamin yang merangsang nervus vidianus, bersin-bersin,

(22)

rinore yang biasanya cair jernih (kalau kental berwarna kuning berarti terdapat infeksi sekunder) dan rasa hidung tersumbat.

Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.

2. Pemeriksaan fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Perlu juga dilihat apakah terdapat kelainan septum (lurus, deviasi, spina, krista), dan polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia, apakah ada gambaran konka bulosa atau polip kecil di daerah meatus medius serta komplek osteomeatal. Pada anak dapat ditemukan juga allergic shiner, allergic salute dan allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). (1,3,6)

3. Pemeriksaan penunjang In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil sari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme

(23)

Linked Immuno Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksa pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.(1)

In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”).Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

3.10. Diagnosis Banding Rinitis Vasomotor

Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang.

(24)

Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dansebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.

Tabel 3.1 Diagnosis banding rhinitis alergika dan rhinitis vasomotor.

Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dandapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif. Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :

- obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.

- faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang.

- faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan hipotiroidisme.

- faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

3.11. Penatalaksanaan Rinitis Alergi

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

(25)

2. Lindungi dengan masker dan salap. 3. Terapi medikamentosa :

- Antihistamin

Antihistamin bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3 macam reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin yang diblok pada pengobatan rinitis alergi adalah H1 yang terdapat di bronkus, gastrointestinal, otot polos, dan otak.

Gambar 3.7 Target-target terapi rhinitis alergika.

Saat ini antihistamin (AH1) yang beredar di pasaran adalah generasi pertama dan kedua. Perbedaan antara AH1 dan kedua terletak pada kemampuan menembus sawar darah otak dan selektivitas/spesifisitas. AH1 generasi kedua bersifat lipofobik sehingga kurang mampu menembus sawar darah otak, yang akhirnya mengakibatkan penurunan efek sedasi. Di samping itu, generasi kedua lebih selektif sehingga tidak mempengaruhi reseptor fisiologik yang lain seperti muskarinik dan adrenergik alfa.

Kelebihan lain generasi dua adalah mempunyai efek antialergi dan antiinflamasi. Dikatakan antialergi karena dapat menghambat

(26)

pelepasan histamin, prostaglandin, kinin, dan leukotrien. Sedangkan antiinflamasi dikarenakan dapat mengurangi ekspresi ICAM-1. - Kortikosteroid

Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu topikal dan sistemik. Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama untuk penderita rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan persisten (menetap), karena mempunyai efek antiinflamasi jangka panjang. Kortikosteroid topikal efektif mengurangi gejala sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat.

Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat dan lambat dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil, mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal dan migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi GM-CSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di mukosa hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis dan apoptosis eosinofil 1.

Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek pada penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan pertama.

- Obat-obatan bronkodilatasi dan dekongestan untuk mengurangi rhinore dan obstruksi atau sumbatan pada hidung

Dekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat topikal bekerja dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek samping adalah rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa, serta perforasi septum. Yang terakhir jarang terjadi.

(27)

Takifilaksis dan gejala rebound (rinitis medikamentosa) dapat terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka panjang.

Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir 6 jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya adalah tablet lepas lambat (sustained release). Efek samping berupa iritabilitas, pusing melayang (dizziness), sakit kepala, tremor, takikardi, dan insomnia.

- Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.(1)

2.8. Komplikasi Rinitis Alergi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah : 1. Sinusitis paranasal

2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak 3. Polip hidung(1)

2.9. Prognosis Rinitis Alergi

Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu dalam jangka panjang.(7)

(28)

BAB IV

KESIMPULAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien laki-laki, berusia 18 tahun. Pasien datang dengan keluhan bersin-bersin sejak +3 tahun terakhir. Pada anamnesis ditemukan gejala gatal pada hidung, bersin-bersin, keluar cairan encer banyak dari hidung dan rasa tersumbat pada hidung. Keluhan ini terutama dirasakan pada malam hari dan pagi hari setelah pasien bangun tidur.Faktor penyebab dari pasien adalah debu, penggunaan obat nyamuk semprot, terpapar asap rokok dan kendaraan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan, tampak mukosa hidung edema, basah, berwarna pucat disertai adanya sekret encer berwarna bening yang banyak, namun tidak bau. Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan pada pasien ini, namun rencana pemeriksaan penunjanglaboratorium seperti hitung eosinofil dalam darah tepi dan dapat pula dilakukan pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test), pemeriksaan sitologi hidung,Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan. Pasien diedukasi untuk menghindari faktor allergen dan bahan iritan, menggunakan masker saat berkendaraan, menghindari asap rokok, penggunaan zalf hydrocortisone 2,5%, obat-obatan yang diberikan eflagen 2 x 1 tablet, paratusin 2 x 1 tablet. Prognosis pada pasien ini baik.

(29)

BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan kasus rhinitis alergi pada seorang laki-laki, berusia 18 tahun. Definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis dan penatalaksanaan serta komplikasi dari rhinitis alergi telah dibahas dalam laporan kasus ini. Begitu pula, perbandingan antara kasus rhinitis alergi dan teori rhinitis alergi telah dibahas dalam bagian pembahasan. Demikian laporan kasus ini dibuat sebagai bahan pembelajaran dan referensi bagi dokter muda ataupun pembaca dalam menangani kasus rhinitis alergi.

(30)

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI;2007; 128-134.

2. Rambe A Y F, Munir D, Haryuna T S, Eyanoer PC. Hubungan rinitis alergi dan disfungsi tuba Eustachius dengan menggunakan timpanometri. ORLI. 2015;43.

3. Ghanie A. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Terkini. Temu Ilmiah Akbar Lustrum IX Oktober 2007; Palembang. 2011.

4. Wheatley L M TA. Allergic Rhinitis. The new england journal of medicine. 2015;372:456-63.

5. Brozek J ea. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)2010 Revision Journal of Allergy and Clinical Immunology 2010:22 of 153.

6. Seidman M, et al. Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis. Otolaryngology–Head and Neck Surgery. 2015;152(1S): S1 –S43.

7. National Library of Medicine. Allergic Rhinitis. Diunduh dari : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm.[Diakses 16 Juni2016].

Gambar

Gambar 3.1 Anatomi Eksternal Hidung
Gambar 3.2 Anatomi Hidung
Gambar 3.3. Bagian Rongga Hidung.
Gambar 3.4 Tahap Sensitisasi
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini pasien yang didiagnosis rinitis alergi dan melakukan tes kulit dengan hasil lebih dari satu macam alergen untuk kasus rinitis alergi persisten lebih banyak

Hasil uji kulit pada pasien OME dengan rinitis alergi, kelompok alergen inhalan ditemukan positif terhadap tungau debu rumah 7 dari 11 pasien, kecoa 6 dari 11 pasien..

Latar Belakang: Rinitis alergi (RA) adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atropi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama

Latar Belakang: Rinitis alergi (RA) adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atropi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta

inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskan suatu mediator kimia ketika

Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah paparan alergen melalui inflamasi yang diperantarai IgE pada

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta