• Tidak ada hasil yang ditemukan

rinitis alergi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "rinitis alergi"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya. Rinitis alergi merupakan penyakit hipersensitifitas tipe 1 yang diperantarai oleh IgE pada mukosa hidung dengan gejala karakteristik berupa bersin-bersin, rinore encer, obstruksi nasi dan hidung gatal. Gejala terjadi pada hidung dan mata dan biasanya terjadi setelah terpapar debu, atau serbuk sari musiman tertentu pada orang-orang yang alergi terhadap zat ini. (1)

Berdasarkan atas saat pajanan rhinitis alergi diklasifikasikan menjadi rhinitis alergi musiman (seasonal) dan rhinitis alergi tahunan (perennial). ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) bekerjasama dengan WHO 2001 membuat klasifikasi baru rhinitis alergi berdasarkan parameter gejala dan kualitas hidup penderita. Berdasarkan atas lama dan beratnya penyakit, rhinitis alergi diklasifikasikan menjadi intermiten ringan, intermiten sedang berat, persisten ringan dan persisten berat.

Ini merupakan kondisi yang sangat umum, mempengaruhi sekitar 20% dari populasi. Rhinitis alergi bukanlah kondisi yang mengancam jiwa, namun komplikasi masih dapat terjadi dan menyebabkan kondisi yang secara signifikan dapat mengganggu kualitas hidup.(2)

Dua pertiga dari pasien memiliki gejala rinitis alergi sebelum usia 30, tapi kejadiannya dapat terjadi pada usia kapanpun. Alergi rhinitis tidak memiliki

predileksi seksual.

(2)

riwayat rhinitis alergi memiliki sekitar 30 persen kesempatan untuk memproduksi keturunan dengan gangguan tersebut Resiko meningkat sampai 50 persen jika kedua orang tua memiliki riwayat alergi. Pasien dapat sangat dibatasi dalam kegiatan sehari-hari, sehingga dalam waktu yang berlebihan dari sekolah atau bekerja. (3)

(3)

BAB II

ANATOMI & FISIOLOGI HIDUNG

2.1 Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah : pangkal hidung, (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung.(1)

Gambar 2.1 : Hidung luar(17)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis

(4)

inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, beberapa pasang kartilago ala minor dan tepi anterior kartilago septum.

Gambar 2.2 : Hidung bagian dalam(16)

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrase. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago

(5)

septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang,sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya rudimenter.

Gambar 2.3 : Concha nasalis(16)

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat ronga sempit yang disebut meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus

(6)

inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral ronga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.

Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat pula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.

Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat sinus etmoid terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.(1)

2.1.1 Pendarahan Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika, sedangkan a. oftalmika berasal dari a. karotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid, a. labialis superior, a. palatina mayor, yang disebut pleksus

(7)

Kiessebach (Little’s area) letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epitaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.(1)

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. (1)

2.1.2 Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina.

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (n.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (1)\

(8)

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).

Mukosa pernafasan.

Terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudostratified columnar epithelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi epitel skuamosa.

Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.

Mukosa penghidu.

Terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseusostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. (1)

2.2 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori structural, teori evalusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah 1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humadifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik local ; 2) Fngi penghidu Karen terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus

(9)

penghidu; 3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mncegah hantaran suara sendiri melalui koduksi tulng ; 4) Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas ; 5) Refleks nasal.

a. Fungsi respirasi

Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kea rah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.

Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lender. Pada musim panas, udara hampir jenuh olh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akn terjadi sebaliknya.

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370 C. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dn adanya permukaan konka dan septum yang luas.

Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh a) rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, b) silia, c) palut lender. Debu dan bakteri akan melekat pda palut lender dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengn refleks bersin.

(10)

Hidung juga bekeja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanaya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dn sepertiga bagian atas septum.

Partikel bau dapat mencapai daeah ini dengan cara difusi dengan palut lender atau bila menarik nafas dengan kuat.

Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalh untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membdakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.

c. Fungsi Fonetik

Resonnsi oleh hidung penting untuk kualitas ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia)

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

d. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.(1)

(11)

RINITIS ALERGI

3.1 Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (von Pirquet,1986)

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gataldan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai leh Ig E.(1)

3.2 Epidemiologi

Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 % anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50 %.Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.

(12)

Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor(4) :

Alergen

Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang penting.

Gambar 2.4 : Pencetus alergi (alergen)(13)

Polutan

Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih jelas.

Aspirin

Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis alergika pada penderita tertentu

(13)

2.5 Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase. Yaitu Immadiate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-46-8 jam.

Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper ( Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagia sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B akan menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activting Factor (PAF) dan berbagia sitokin (IL3, IL4, IL5,

(14)

IL6, GM-CSF Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor),dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC Reaksi Alergi Fase Cepat terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak dengan alergensampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin, tiptase danmediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2) dan bradikinin. Mediator-mediatortersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan dilatasi dari anastomosisarteriovenula hidung yang menyebabkan terjadinya edema, berkumpulnya darah padakavernosus sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi dari saluranhidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet menyebabkan hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.

Reaksi Alergi Fase Lambat terjadi setelah 4 – 8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini disebabkanoleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel postkapiler yangakan menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule (VCAM) dimana molekul ini menyebabkan sel leukosit seperti eosinofil menempel pada sel endotel.Faktor kemotaktik seperti IL5 menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast, limfosit,basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini kemudian menjaditeraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major

(15)

Basic Protein (MBP) dan EosinophilicPeroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas dan hiperresponsif hidung.Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan hidung.(1)

Gambar 2.5 : Patofisiologi Rinitis Alergi(11) 2.6 Gambaran Histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan peneblan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.

(16)

Gambar 2.6 : Concha pada pasien rhinitis alergi(16)

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/ persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang irreversible, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hyperplasia mukosa sehingga tampak mukosa hidung menebal.(1)

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas(1) :

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah, (D. pteronyssinus, D. farina, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing,anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria)

2. Alergen ingesten yang masuk ke saluran cerna, berupa maknan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.

3. Alergi injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bhan kosmetik, perhiasan.

(17)

Satu macam allergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga member gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member gejala asma bronchial dan rhinitis alergi. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari(1) :

1. Respon primer :

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir samapi di sini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder :

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunya kemungkinan ialah system imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari system imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tertier.

3. Respon tertier :

Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikas reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/ sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Sedangkan manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1 yaitu rhinitis alergi (1)

(18)

Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu(1):

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di Negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena iti nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis, karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi)

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paking sering ialah allergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergi ingestan. Alergen inhalan utama adalah allergen dalam rumah (indoor) dan allergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan parenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

Berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA tahun 2000, menurut sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi(5):

a. Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

b. Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari 4 minggu.

(19)

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: a. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

b. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas

2.8 Gejala Klinis

Manifestasi utama adalah bersin berulang-ulang sering kali pagi dan malam hari (umumnya bersin lebih dari 6 kali),rinorea yang encer dan cair serta jumlahnya banyak, terasa cairan menetes ke belakang hidung (pont nasal drip) karena hidung tersumbat. Hal ini sering menimbulkan batuk kronis, hidung gatal dan kadang bisa disertai gatal pada mata,teliga dan tenggorok, sumbatan hidung.(15) Pembagian rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi rinitis musiman (seasonal allergic rhinitis), sepanjang tahun (perenial allergic rhinitis), dan akibat kerja (occupational allergic rhinitis). Gejala rinitis sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang abnormal, maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit berwarna kehitaman dibawah kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse nasal crease), edema konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung dengan spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan kebiru-biruan (boggy and bluish).

Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan masalah sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga. Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas.

(20)

Pengobatan rinitis juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif maupun negatif. Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup, sedangkan non sedatif antihistamin berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Pembagian lain yang lebih banyak diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup, menjadi intermiten ringan-sedang-berat, dan persisten ringan-sedang-berat(1)

2.9 Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan(1): 1.Anamnesis

Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidungtersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul, menetap)beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadappengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Karena rinitis alergi seringkaliberhubungan dengan konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada mata dan lakrimasimendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga merupakan petunjuk yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis pada anak.

2.Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak

(21)

granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring meneval. Lidah tampak gambaran peta (geographic tongue).

Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanyakelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.

3.Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5 sel/lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil dalam darah tepidapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilainormal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu penyakit. Lebih bermaknaadalah pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST (Radioimmuno Sorbent Test) atauELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Test).

Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes kulit yaitu teskulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal berupa tes kulit gores (scratch)dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin prick test). Tes intradermalyaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan pengenceran ganda (SkinEndpoint Titration – SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkanalergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, jugadapat menentukan derajat alergi serta dosis inisial untuk imunoterapi. Selain itu, dapatpula dilakukan tes provokasi hidung dengan memberikan alergen langsung ke mukosahidung. Untuk alergi makanan, dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atauIntracutaneous Provocative Food Test (IPFT)

(22)

2.10 Diagnosa Banding

Rinitis alergika harus dibedakan dengan (4): 1. Rinitis vasomotorik

2. Rinitis bakterial 3. Rinitis virus

2.12 Penatalaksanaan

Terapi rinitis alergi umumnya berdasarkan tahap-tahap reaksi alergi, yaitu:

• Tahap terjadinya kontak antara alergen dengan kulit atau mukosa hidung. Tahapan ini

diterapi dengan penghindaran terhadap alergen penyebab.

• Tahap penetrasi alergen ke dalam jaringan subkutan/submukosa menuju IgE padapermukaan

sel mast atau basofil. Tahapan ini diterapi secara kompetitif dengan imunoterapi. • Tahapan ikatan Ag-IgE di permukaan mastosit/basofil, sebagai akibat lebih lanjutreaksi Ag-IgE

dimana dilepaskan histamin sebagai mediator. Tahapan ini dinetralisir dengan obat – obatan

antihistamin yang secara kompetitif memperebutkan reseptor H1dengan histamin. •Tahap manifestasi klinis dalam organ target, dimana ditandai dengan timbulnya gejala.

Tahapan ini dapat diterapi dengan obat-obatan dekongestan sistematik atau lokal.

(23)

Secara garis besar penatalaksanaan rinitis terdiri dari 3 cara, yaitu: Menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan imunoterapi,sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi komplikasi seperti sinusitisdan polip hidung.

Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya adalah alergen hirupan. Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan obat, efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan utama sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 1 menunjukkan obat-obat yang biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang sering dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan.

Pemilihan obat-obatan

Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain :

1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang. 2. Tidak menimbulkan takifilaksis.

3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.

(24)

4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan adanya efek samping sistemik.

Tabel 1 . : Jenis obat dan efek terapetik.

Jenis obat Bersin Rinorea Buntu Gatal hidung Keluhan mata

Antihistamin H1 Oral Intranasal Intraokuler ++ ++ 0 ++ ++ 0 + + 0 +++ ++ 0 ++ 0 +++ Kortikosteroid intranasal +++ +++ +++ ++ ++ Kromolin Intranasal Intraokuler + 0 + 9 + 0 + 0 0 ++ Dekongestan Intranasal Oral 0 0 0 0 +++ + 0 0 0 0 Antikolinergik 0 ++ 0 0 0

(25)

Antilekotrien 9 + ++ 0 ++

Jenis obat yang sering digunakan :

Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari

Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.

Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2–5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.

Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari.

Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5–11 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.

Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.

(26)

Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.

Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.

Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan keamanannya lebih baik.

Leukotrien antagonis

Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.

2.13 Pencegahan

Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:

1.Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap

alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko atopi.Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan kacang) mulai trimester3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itukontrol lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.

2.Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa

asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal berupaalergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran terhadappajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui dengan uji kulit.

(27)

3.Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit

alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan 2.14 Penyulit

Ada beberapa kondisi yang mempersulit pengobatan pada rinitis diantaranya (4):

 Sinusitis kronis (tersering)

 Poliposis nasal

 Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan sensitive terhadap aspirin)

 Asma

 Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah

 Hipertrofi tonsil dan adenoid

 Gangguan kognitif 2.15 Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah(1) : • Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidun merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. • Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak

(28)

2.16 Prognosis

Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu dalam jangka panjang.(6)

BAB IV KESIMPULAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (von Pirquet,1986) Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung

(29)

dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gataldan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai leh Ig E.(1)

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase. Yaitu Immadiate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-46-8 jam.(1)

Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 % anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50 %.Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.

Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidungtersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul, menetap)beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadappengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Karena rinitis alergi seringkaliberhubungan dengan konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada mata dan lakrimasimendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga merupakan petunjuk yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis pada anak.

Secara garis besar penatalaksanaan rinitis terdiri dari 3 cara, yaitu: Menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan imunoterapi,sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi komplikasi seperti sinusitisdan polip hidung.(1)

(30)

Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu dalam jangka panjang.(6)

(31)

1. Rusmarjono, Erfiaty AS, Nurbiaty, dkk (Editor). Sumbatan Hidung, Rinitis Alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. 2007. Hal 118-122, 128-133 2. Sheikh, Javed, Najib, Umer. Rhinitis Allergy. Tersedia pada:

http://emedicine.medscape.com/article/134825-overview. Akses 31 Agustus 2010.

3. http://www.healthscout.com/ency/68/208/main.html. Akses 31 Agustus 2010

4. Harsono, Ariyanto, Endaryato, Anang. Rinitis Alergika. Tersedia pada :

http://www.pediatrik.com/isi03.php?

page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-bfxu225.htm . Akses 31 Agustus 2010

5. Rinitis alergi. Tersedia pada: http://www.klikdokter.com/illness/detail/207. Akses 31 Agustus 2010

6. National Library of Medicine. Allergic Rhinitis. Tersedia pada :

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm. Akses 31 Agustus 2010

7.Morris,Adrian. Allergic Rhinitis. Tersedia pada:

http://www.bbc.co.uk/health/physical_health/conditions/in_depth/allergies/allergicconditions

_rhinitis.shtml. Akses 31 Agustus 2010

8. Allergic Rhinitis. Tersedia pada:

http://www.medic8.com/healthguide/articles/allergicrhinitis.html . Akses 31 Agustus

2010

9. Definition of Allergic Rhinitis. Tersedia pada :

http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=2197 . Akses 31 Agustus 2010

10. Health Encyclopedia-Diseases and Conditions. Allergic Rhinitis. Tersedia pada

(32)

11. National Library of Medicine. Pathophysiology of Rhinitis Allergy.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8688666. Akses 31 Agustus 2010 12. Chronic Rhinitis nd Post-Nasal Drip. Tersedia pada :

http://www.medicinenet.com/hay_fever/article.htm. Akses 31 Agustus 2010 13. Rhinitis Allergy. Tersedia pada :

http://www.pennmedicine.org/health_info/allergy/000041.html. Akses 31 Agustus 2010

14.Wayan, Karya, Aziz, Amunudin,dkk. Pengaruh Rinitis Alergi (ARIA WHO 2001) terhadap Gangguan Fungsi Tuba Eustachius. Tersedia

pada

:http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_166Pengaruhrinitisalergi.pdf/09_166Pengaruhriniti

salergi.pdf Akses 31 Agustus 2010.

15. Nizar, Nuty W. Rinitis alergi. Tersedia pada : http//www.pdpersi.co.id/?

show=detailnews&kode=905&tbl=kesling , Akses 2 September 2010

15. Parennial Allergic Rhinitis. Tersedia pada:

http//www.virtualmedicalcentre.com/disease.asp?didi=30 . Akses 2 September 2010.

16. Academic dictionaries and Encyclopedias. Nasal concha. Tersedia pada :

http://en .academic.r u/dis.nsf/enwiki/293385. Akses 2 September 2010

17. External nose. Tersedia pada:

Gambar

Gambar 2.1 : Hidung luar (17)
Gambar 2.2 : Hidung bagian dalam (16)
Gambar 2.3 : Concha nasalis (16)
Gambar 2.4 : Pencetus alergi (alergen) (13)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penyakit alergi termasuk asma, eksim dan rhinitis alergi adalah reaksi peradangan yang disebabkan oleh respon spesifik terhadap allergen yang diinisiasi oleh CD4 + sel T helper

Penderita rinitis alergi mempunyai resiko berlanjut menjadi asma (3). Rinitis alergi dan asma merupakan penyakit inflamasi yang sering timbul bersamaan. Dokter perlu

Latar Belakang: Rinitis alergi (RA) adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atropi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama

Latar Belakang: Rinitis alergi (RA) adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atropi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta

inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskan suatu mediator kimia ketika

Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah paparan alergen melalui inflamasi yang diperantarai IgE pada

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta