• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERGESERAN TIPOLOGI GRAMATIKAL DAN NILAI KESANTUNAN BERBAHASA DALAM KLAUSA BAHASA MINANGKABAU: BAGAIMANA HARUS DISIKAPI? 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERGESERAN TIPOLOGI GRAMATIKAL DAN NILAI KESANTUNAN BERBAHASA DALAM KLAUSA BAHASA MINANGKABAU: BAGAIMANA HARUS DISIKAPI? 1"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

DAN NILAI KESANTUNAN BERBAHASA DALAM KLAUSA

BAHASA MINANGKABAU: BAGAIMANA HARUS DISIKAPI?

1

Jufrizal

Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FBS Universitas Negeri Padang juf_ely@yahoo.com

Abstract

Minangkabaunese has both ergative and accusative constructions. The case tells that Minangkabaunese belongs to a neutral language. The data implicitly tell as well that old-Minangkabunese was an ergative language and it evolutionarily changes to be an accusative one. The shifts and changes of grammatical typology naturally lead to the shifts and changes of language politeness values brought by clause constructions in the local language. It is natural in Minangkabaunese that the topicalization and ergative constructions bring high values of language politeness. Recently, however, most educated and young speakers of Minangkabaunese just use passives with di- and even actives constructions to deliver polite expressions. Both grammatical typology and language politeness values brought by clause constructions have been changing in Minangkabaunese. This paper, which is intentionally derived and further developed based on parts of the research results2 conducted in 2013 – 2014, discusses: (i) the shift

of grammatical typology in Minangkabaunese; (ii) how the grammatical shift leads to the shift of language politeness values brought by clause contrustions; and (iii) how the grammatical and language politeness values should be culturally perceived as the way to empower the local language.

Key words/phrases: ergative, accusative, shift, change, Minangkabaunese, grammar, politenese

Abstrak

Bahasa Minangkabau mengenal adanya klausa ergatif dan akusatif sehingga bahasa daerah ini digolongkan sebagai bahasa netral. Isyarat tipologis lain adalah bahwa bahasa Minangkabau pada masa dahulu adalah bahasa ergatif dan dalam perkembangannya terus mengarah ke bahasa bertipologi akusatif. Pergeseran tipologi gramatikal turut menyebabkan terjadinya pergeseran nilai kesantunan berbahasa yang dikemas oleh konstruksi klausa yang ada dalam satu bahasa, termasuk dalam bahasa Minangkabau; pergeseran bahasa beriringan dengan pergeseran budaya masyarakat penuturnya. Jika pada lazimnya klausa pentopikalan dan ergatif mengemas nilai kesantunan berbahasa lebih tinggi dari yang dikemas oleh klausa pasif asli dan aktif, namun ada kecenderungan penutur bahasa Minangkabau saat ini sudah menggunakan klausa pasif asli atau aktif untuk mengungkap makna santun. Lalu, bagaimana fenomena itu disikapi sebagai upaya pemberdayaan bahasa lokal dan penguatan jati diri sosial-budaya penuturnya? Makalah, yang merupakan telaah lanjut dari sebagian hasil penelitian tahun 2013 -2014, ini membahas: (i) perihal pergeseran tipologi gramatikal dan nilai kesantunan berbahasa dalam klausa bahasa Minangkabau; dan (ii) bagaimana fenomena ini harus disikapi sebagai upaya pemberdayaan bahasa daerah ini sebagai jati diri penuturnya.

Kata/frasa kunci: tipologi gramatikal, ergatif, akusatif, pentopikalan, aktif, pasif, bahasa santun PENDAHULUAN

Ilmuwan dan peneliti bahasa pada umumnya berpendapat bahwa pergeseran dan perubahan bahasa tidak terlepas dari apa yang terjadi pada berbagai fenomena sosial-budaya kehidupan manusia. Para ilmuwan juga menyatakan bahwa alam jagat-raya dan semua isinya sebenarnya selalu berevolusi; bergeser dan berubah secara alami. Tidak terkecuali, proses evolusi juga terjadi pada bahasa sebagai alat komunikasi manusia. Pencermatan teliti terhadap bahasa membuktikan bahwa evolusi bahasa bermula dari pergeseran kecil dan dalam waktu tertentu sampai pada perubahan. Pemicu semua itu dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar,

(2)

yaitu faktor linguistik dan faktor sosial-budaya manusia sebagai penutur bahasa itu. Pergeseran dan perubahan bahasa yang terjadi pada setiap lapis bahasa mempunyai tingkat kecepatan yang berbeda-beda. Lapisan bunyi, bentuk kata, dan makna bahasa bergeser lebih cepat bergeser dan berubah sehingga butuh waktu yang tidak terlalu lama. Sementara itu, tataran konstruksi dan fitur-fitur gramatikal membutuhkan waktu relatif lebih lama untuk bisa berubah. Itulah sebabnya perubahan gramatikal sering tidak disadari adanya kecuali melalui pengamatan seksama dengan memperbandingkan data bahasa dalam dua masa yang relatif lebih panjang (diakronis) (lihat McMahon, 1999; Croft, 2000; Schendle, 2001; Campbell, 2004; Jufrizal, 2013; Jufrizal dkk., 2013).

Adanya pergeseran dan perubahan bahasa juga terjadi pada bahasa Minangkabau (BM), bahasa daerah utama yang dipakai di kawasan Sumatera Barat dengan penutur aslinya suku bangsa Minangkabau. Sebagai suku terbuka, orang Minangkabau banyak bergaul dengan suku dan bangsa lain sehingga bahasa dan budaya mereka ikut bersentuhan dengan bahasa dan budaya lain tersebut. Ini merupakan faktor utama, selain faktor dari dalam bahasa itu sendiri, yang mendorong terjadinya pergeseran dan perubahan BM pada setiap lapisannya. Pergeseran dan perubahan bahasa terkait erat dengan pergeseran dan perubahan sosial-budaya masyarakat penuturnya karena bahasa adalah bagian dari kebudayaan dan wahana utama penyebar fitur-fitur kebudayaan itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2013 – 2014, ada gejala yang bisa “ditangkap” bahwa tipologi gramatikal BM sedang dalam pergeseran dari bahasa bertipologi ergatif-absolutif (S = P, ≠ A) menuju bahasa nominatif-akusatif (S = A, ≠ P) secara sintaktis. Asumsi ini didasarkan pada hasil telaah data BM yang ada naskah lama, ragam adat, dan sebagian ragam bahasa lisan penutur usia tua yang banyak berkonstruksi ergatif-absolutif. Sementara itu, BM ragam resmi-tulis dan konstruksi klausa yang banyak digunakan oleh penutur usia muda dan kaum terpelajar lebih banyak berkonstruksi nominatif-akusatif. Keadaan inilah yang menyebabkan BM dikelompokkan sebagai bahasa netral, sebuah bahasa yang memiliki konstruksi klausa ergatif dan akusatif.

Fenomena lain yang dapat dikemukakan adalah bahwa dalam perkembangan pemakaian bahasa di kalangan generasi muda dan kaum terdidik, konstruksi klausa akusatif dengan diatesis aktif dan pasif semakin banyak terpakai, sementara konstruksi ergatif dan pentopikalan semakin berkurang keberpakaiannya. Pergeseran tipologi gramatikal BM dari bahasa ergatif menuju bahasa akusatif diikuti pula oleh pergeseran nilai kesantunan berbahasa yang dikemas oleh konstruksi klausa yang ada dalam bahasa daerah ini. Konstruksi klausa pasif dengan pemarkah ba- dan konstruksi pentopikalan (keduanya dianggap sebagai konstruksi ergatif) yang mengemas nilai kesantunan berbahasa paling tinggi dalam budaya berbahasa masyarakat Minangkabau sejauh ini sudah tidak banyak lagi diperhatikan oleh penutur BM usia muda dan masyarakat perkotaan. Untuk berbahasa santun, mereka sudah biasa saja menggunakan konstruksi berdiatesis aktif atau pasif berpemarkah morfologis di- dengan lebih memberdaya pemakaian fitur-fitur suprasegmental dan fungsi-fungsi pragmatis-komunikatif.

Berdasarkan gejala kebahasaan ini, ada pergeseran tipologi gramatikal dan nilai kesantunan berbahasa dalam klausa BM akhir-akhir ini. Bagaimana semua ini harus disikapi dalam upaya pemberdayaan bahasa dan budaya Minangkabau dalam era mendunia ini? Makalah, yang didasarkan dan dikembangkan lebih jauh dari sebagian hasil penelitian yang dilaksanakan tahun 2013 – 2014, ini membahas: (i) perihal pergeseran tipologi gramatikal dan nilai kesantunan

berbahasa dalam klausa BM; dan (ii) bagaimana fenomena ini harus disikapi sebagai upaya pemberdayaan bahasa daerah ini sebagai jati diri penuturnya. Pembahasan ini mempunyai

arti penting untuk memahami pergeseran/perubahan bahasa sebagai fenomana alamiah dan bagaimana memunculkan sikap positif atas semua itu sehingga melahirkan tindakan dan keputusan bijaksana dalam upaya pemertahanan dan pemberdayaan bahasa daerah ini di tengah pergaulan yang mendunia. Bahasan ini juga akan memicu beberapa bentuk penelitian lanjutan

(3)

yang berkenaan dengan kekhasan budaya dan pelestarian BM sebagai salah satu bahasa daerah besar di Indonesia.

TINJAUAN SINGKAT TEORI TERKAIT

1. Pergeseran Tipologi Gramatikal dan Evolusi Bahasa

Selain sebagai fenomena linguistik, pergeseran dan perubahan bahasa dapat pula dipahami sebagai fenomena sejarah dan evolusi biologis, meskipun kaitannya dengan evolusi ilmu biologi ini masih diperdebatkan. Pembahasan evolusi bahasa dan geolinguistik terus berkembang menjadi bagian pokok-pokok kajian yang turut memperkaya khazanah linguistik mutakhir (lihat McMahon, 1999; Croft, 2000; Schendle, 2001). Berbagai alasan dan faktor penyebab mengapa bahasa bergeser dan berubah telah dan terus dibahas oleh para ahli dari berbagai sisi dan dengan pendekatan teori yang berbeda-beda. Berdasarkan berbagai pendapat dan hasil penelitian linguistik terkait, Schendl (2001:67 – 80) mengemukakan bahwa perubahan bahasa itu dapat diungkapkan dan dijelaskan melalui tiga pendekatan, yaitu: (i) pendekatan fungsional; (ii) pendekatan psikolinguistik; dan (iii) pendekatan sosiolinguistik. Pendekatan fungsional yaitu penjelasan tentang ihwal fenomena bahasa yang dipusatkan pada bahasa sebagai sistem abstrak di mana daya-dalam dari sistem bahasa itu sendiri lah yang menyebabkan terjadikan perubahan bahasa. Pendekatan psikolinguistik adalah penjelasan tentang perubahan bahasa yang dikaitkan dengan proses kognitif, mentalistis, dan psikologis yang terjadi dalam otak dan pikiran penutur. Sementara itu, pendekatan sosiolinguistik adalah penjelasan yang melihat secara seksama alasan dan faktor perubahan bahasa berdasarkan peran penutur sebagai makhluk sosial-budaya (Jufrizal, 2013; Jufrizal dkk., 2013; Jufrizal dkk., 2014).

Berkaitan dengan itu, pergeseran dan perubahan bahasa dipicu oleh berbagai faktor linguistik, faktor kejiwaan-pikiran penutur, dan faktor sosial-budaya masyarakat penuturnya. Secara sosiolinguistik, pergeseran dan perubahan bahasa sering dikaitkan dengan fenomena kebertahanan, pemertahanan, kelahiran, dan kematian bahasa. Faktor-faktor sosial-budaya yang mempunyai peran penting dalam pergeseran dan perubahan bahasa adalah status ekonomi, status sosial, status sosio-historis, status bahasa itu sendiri, dan status demografis penuturnya (lihat Appel dan Muysken, 1988). Pergeseran dan perubahan bahasa tidak bergantung pada satu faktor saja, melainkan terkait dengan berbagai faktor kebahasaan dan bukan-kebahasaan, baik secara bersamaan maupun sebagian. Pergeseran dan perubahan fitur-fitur kebahasaan dalam satu bahasa adalah hal yang lazim dan alamiah. Kelaziman itu dapat pula terjadi dengan pergeseran tipologi gramatikal suatu bahasa, termasuk tipologi gramatikal BM (Jufrizal, 2013 dan Jufrizal dkk., 2013; Jufrizal dkk., 2014). Ini berarti bahwa pergeseran dan perubahan bahasa yang terjadi pada setipa lapisan bahasa tidak mungkin dihindari sama sekalu, apalagi pada zaman mutakhir ini.

Sementara itu, tujuan pokok kajian tipologi linguistik, khususnya tipologi gramatikal, adalah berupaya mencermati sifat-perilaku gramatikal bahasa (-bahasa) di dunia berdasarkan struktur lahiriah tatakata dan tatakalimatnya, lalu mengelompokkannya berdasarkan kemiripan dan kecenderungan yang dimiliki bersama. Berdasarkan sistem morfologisnya, bahasa-bahasa manusia dapat dikelompokkan menjadi bahasa isolasi, bahasa aglutinasi, bahasa infleksi, dan bahasa poli-sintetis (lihat Mallinson dan Blake, 1981; Comrie, 1989; Schendl, 2001; Jufrizal, 2012; Jufrizal dkk., 2012). Sementara itu, berdasarkan sistem aliansi gramatikal antara klausa intransitif dan klausa transitif dalam satu bahasa, secara sintaktis bahasa (-bahasa) manusia dapat dikelompokkan menjadi bahasa akusatif (S = A, ≠ P), bahasa ergatif (S = P, ≠ A), bahasa aktif atau bahasa dengan S-alir dan S-terpilah (Sa = A, Sp = P) dan sistem lainnya (lihat Dixon, 1994; Payne, 2002). Selain sistem aliansi gramatikal, kajian tipologi gramatikal lain pada tataran sintaksis adalah tipologi tataurutan kata. Tataurutan kata pada klausa dasar bahasa-bahasa manusia dapat S – V – O, S – O – V, V – S – O, O – V – S, V – O – S dan yang lainnya, termasuk bahasa dengan tataurutan kata bebas namun mempunyai pemarkah morfologis yang jelas (Mallinson

(4)

dan Blake, 1981; Schendl, 2001; Song, 2001; Jufrizal, 2013; Jufrizal dkk., 2013, 2014). Kajian tipologi gramatikal sering pula berhadapan dengan keberagaman data tulis dan lisan yang tidak terbebas dari evolusi bahasa yang menyebabkan pergeseran dan perubahan bahasa pada tataran gramatikal.

Meskipun perubahan gramatikal, termasuk di antaranya perubahan tipologi gramatikal, adalah perubahan bahasa yang membutuhkan waktu panjang untuk dapat dicermati dan disadari, namun perubahan dan evolusi bahasa tetap terjadi tataran itu (Schendl, 2001; Jufrizal, 2013). Dalam kaitannya dengan perubahan (tipologi) gramatikal, Dixon (1994) menjelaskan bahwa kemungkinan pergeseran dan perubahan tipologi gramatikal itu dapat terjadi. Dalam hal ini, bahasa aglutinasi dapat berubah menjadi bahasa infleksi, bahasa isolasi dapat mengarah ke bahasa aglutinasi, atau sebaliknya. Jika ditinjau dari kemungkinan pergeseran pada sistem aliansi gramatikal, dapat pula dinyatakan bahwa, bahasa bertipologi ergatif dapat mengarah menjadi bahasa akusatif, atau menjadi bahasa aktif, dan/atau sebaliknya. Di antara pemicu luar bahasa yang mempercepat pergeseran dan perubahan bahasa pada zaman mutakhir ini adalah persentuhan budaya dan bahasa yang semakin cepat dan sering, internasionalisasi informasi dan pendidikan, dan kebutuhan akan informasi.

Cumming (1991), dalam kajiannya tentang Functional Change: The Case of Malay

Constituent Order, mencatat dan membahas perihal adanya pergeseran dan perubahan tipologi

tataurut kata (konstituen) dalam bahasa Melayu. Menurutnya, bahasa Melayu, termasuk bahasa Indonesia, sudah mengalami perubahan tipologi tataurut kata, dari bahasa dengan tataurut kata V – O – S menuju ke S – V – O. Klausa bahasa Melayu dan bahasa Indonesia dalam naskah lama, ragam adat-stilistika, dan sebagian ragam lisan lebih banyak menggunakan tataurut V – O – S, sedangkan klausa dalam ragam tulis-resmi dan bahasa generasi muda cenderung mempunyai tataurut kata S – V – O. Mencermati hal itu, secara fungsional, tipologi tataurut kata dalam bahasa Melayu dan juga dalam bahasa-bahasa lain mempunyai potensi dan kecenderungan untuk bergeser dan berubah. Ini adalah bagian dari evolusi bahasa yang terus-menerus terjadi sepanjang perkembangan peradaban manusia di muka bumi.

2. Pergeseran Budaya dan Nilai Kesantunan Berbahasa

Manusia, makhuluk cerdas dan berbudaya, selalu berpikir dan berkomunikasi dengan berbagai cara. Cara berkomunikasi manusia yang paling cerdas dan menakjubkan adalah komunikasi verbal dengan menjadikan bahasa sebagai wahana utamanya. Tidak dapat dimungkiri bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mencipta dan mengembangkan bahasa sebagai alat komunikasi sepanjang sejarah peradabannya sebagai bagian dari kebudayaan. Keberadaan bahasa sebagai alat komunikasi telah memungkinkan manusia menata dan mengembangkan taraf hidup sepanjang waktu dengan bantuan unsur-unsur kebudayaan lain. Berkomunikasi dengan bahasa merupakan “keistimewaan” manusia yang menjadikan mereka bisa hidup bermasyarakat dan mengembangkan budidaya yang dimiliki. Oleh karena itu, bahasa merupakan bagian penting dari kebudayaan dan sekaligus adalah wahana penyebar dan pemertahanan butir-butir kebudayaan yang ada (Duranti, 1997; Foley, 1999).

Pinker (2007:3) mengemukakan bahwa hubungan bahasa dengan manusia sungguh sangat dekat sehingga boleh dikatakan manusia selalu “berbahasa”. Jika dia tidak berbicara (berbahasa) dengan orang lain, dia berkemungkinan besar berbicara dengan dirinya sendiri, dengan hewan piaraannya, atau bahkan dengan benda mati di lingkungannya. Bahkan orang yang menderita afasia pun akan selalu berbahasa sesuai kemampuannya. Ini berarti bahwa sesederhana apapun budaya dan pola kehidupan manusia, mereka pasti menggunakan bahasa. Bahasa manusia berkembang seiring dengan perkembangan taraf hidup dan kebudayaan mereka. Ini menyiratkan bahwa budaya, bahasa, dan pola pikir manusia terus mengalami pergeseran dan perubahan dari masa ke masa.

(5)

Bahasa bukan satu-satunya alat komunikasi dan fitur budaya yang istimewa dalam kehidupan manusia. Masih banyak perangkat budaya dan kemampuan dasar lain yang mendukung manusia sebagai “penguasa” peradaban di muka bumi ini. Di samping memiliki budaya, manusia juga memiliki rasa dan budi-pekerti yang melahirkan budaya santun dan tenggang rasa. Berdasarkan pendapat Pinker (2007:230), dapat dikemukakan bahwa manusia, secara alamiah, selalu berharap agar percakapan yang mereka lakukan berjalan baik dan pemakaian bahasa memenuhi lapisan makna dan kandungan nilai-nilainya. Komunikasi manusia bukanlah seperti bekerjanya mesin pengeluar suara yang “berbicara” begitu saja tanpa memperdulikan nilai-nilai kemanusia, baik secara sosial-budaya maupun tindakan nyata secara langsung. Oleh karena itu manusia boleh dikatakan sebagai makhluk berperasaan dan mempedulikan lawan tutur dengan kiat berbahasa tententu, melalui berbahasa santun, misalnya. Mempedulikan dan mempertimbangkan sejumlah hal sehubungan lawan tutur sehingga mampu menjaga “wajah” lawan tuturnya adalah inti-dasar dari kesantunan berbahasa. Nilai kesantunan berbahasa yang berlaku dalam kelompok penutur bahasa tertentu mempunyai hubungan erat dengan budaya mereka serta perkembangannya. Dengan demikian, nilai kesantunan berbahasa juga tidak bersifat diam (statis), melainkan dinamis, bergeser dan berubah sesuai zamannya.

Menurut Foley (1997:270 – 271), kesantunan, pada dasarnya, adalah rangkaian keterampilan sosial yang bertujuan untuk menyakinkan seseorang merasa berterima (“diiyakan keberadaannya”) dalam interaksi sosial, salah satunya diungkapkan melalui bahasa. Ini berkaitan dengan teori wajah dalam kesantunan linguistik seperti dikemukakan oleh Lakoff, Leech, atau Goffman. Brown dan Levinson (1987, 2000) memecah konsep Goffman tentang wajah itu menjadi dua aspek, yaitu wajah positif dan wajah negatif yang keduanya berkaitan dengan keinginan wajah. Wajah (face) sebagai sebagai istilah teknis adalah kesan pribadi (jati diri) seseorang di tengah-tengah masyarakat. Wajah merujuk ke perasaan emosional dan sosial yang dimiliki oleh setiap orang di mana orang tersebut menghendaki orang lain mengenalinya. Dengan demikian, kesantunan (politeness), dalam interaksi, misalnya dalam berbahasa, berarti kiat atau cara yang lazim digunakan untuk memperlihatkan kepedulian terhadap wajah seseorang. Ini berarti bahwa santun adalah menempatkan wajah orang lain sesuai dengan yang diingininya. Berbahasa santun berarti susunan dan tatatutur bahasa yang digunakan mengemas makna dan fungsi komunikasi yang menempatkan seseorang pada perasaan kejiwaan dan sosialnya sesuai yang dikehendakinya. Oleh karena itu, kesantunan berkaitan erat juga dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat setempat dan perasaan orang yang menjadi lawan tutur (Brown and Levinson, 2000; Yule, 1998:60; lihat juga Foley, 1997; Bonvillain, 1997).

Brown dan Levinson (1987, 2000) membedakan keinginan wajah menjadi dua, yaitu keinginan wajah positif dan keinginan wajah negatif. Keinginan wajah positif adalah keinginan (dalam banyak hal) untuk diakui oleh orang lain. Seseorang yang mempunyai keinginan wajah positif menghendaki untuk diterima, bahkan disukai, oleh orang lain, diperlakukan sebagai anggota kelompok yang sama, dan berkeinginan pula untuk berbagi dengan yang lain. Keinginan wajah negatif adalah keinginan untuk tidak diganggu atau dihalangi dalam tindakannya. Seseorang yang mempunyai keinginan wajah negatif menghendaki untuk bebas, mempunyai kebebasan berbuat, dan tidak bergantung pada orang lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa wajah negatif itu keinginan untuk bebas dan wajah positif adalah keinginan untuk dikaitkan (dihubungkan) (lihat juga Yule, 1998:61 – 62; Bonvillain, 1997).

Brown dan Levinson (2000) sebagaimana juga dikutip oleh Bonvillain (1997:118 – 124) dan Yule (1998:62 – 64) menjelaskan bahwa kesantunan berbahasa itu dilakukan melalui berbagai macam kiat berbahasa yang semuanya itu adalah upaya untuk menyelamatkan keinginan wajah (meletakkan wajah seseorang sesuai dengan keinginan wajahnya) seseorang agar mitra tutur berkenan untuk menerima isi dan maksud pesan bahasa yang disampaikan. Seluruh kiat kesantunan berbahasa tersebut dikelompokkan menjadi empat, yaitu kesantunan positif (positive

(6)

politeness), kesantunan negatif (negative politeness), kesantunan tersamar (off record politeness),

dan kesantunan terus-terang (bald on record politeness).

Kesantunan positif, secara sederhana, adalah tindakan penyelamatan wajah yang berkenaan dengan wajah positif seseorang yang cenderung menunjukkan tenggang rasa (solidarity), menekankan bahwa kedua penutur ingin sesuatu yang sama, dan bahwa mereka mempunyai tujuan umum (bersama). Kesantunan positif berkaitan dengan kesan positif yang diingini pendengar; penutur mengenal keinginan pendengar untuk mendapatkan keinginan wajah positifnya. Strategi kesantunan positif mengungkapkan tenggangrasa, pertemanan, dalam keberterimaan kelompok. Lihat ujaran berikut ini!

Bagaimana jika saya pinjam sebentar kamusmu? a.

Bagus, kami akan sangat gembira kalau kamu bisa melompat lebih jauh lagi

b. .

Kesantunan negatif yaitu tindakan penyelamatan wajah yang cenderung menunjukkan rasa hormat, menekankan pentingnya waktu atau keberkenaan orang lain, dan bahkan meliputi maaf untuk gangguan atau penyelaan bicara. Strategi kesantunan negatif mengungkapkan pengendalian dan penghindaran gangguan penutur terhadap pendengar. Perhatikan contoh-contoh berikut ini!

Bisa saya pinjam kamus sebentar? a.

… tapi, mungkinkah kita ke sama sekarang? b.

Kesantunan tersamar merupakan strategi tidak langsung yang menghindar untuk membuat ujaran nyata yang menganggu, membebanani, atau ungkapan berterusterang kepada pendengar, seperti ungkapan berikut ini:

Oh Tuhan, saya lupa membawa dompet. a.

Hmm, di mana ya saya letakkan buku itu? b.

Kesantunan terus-terang adalah kiat berbahasa yang mengungkapkan secara langsung apa yang diingini. Lazimnya kesantunan seperti ini digunakan jika lawan tutur sudah sangat kenal satu sama lain dan tidak mempunyai hambatan faktor psikologis dan budaya untuk berterus-terang. Lihat ungkapan berikut ini!

Ambilkan air putih segelas! a.

Jangan berpayung juga dalam rumah! b.

(Lihat lebih jauh Foley, 1997; Bonvillain, 1997; Yule, 1998; Brown, 2000).

Nilai kesantunan berbahasa yang dikemas oleh konstruksi (bentuk) bahasa, di antaranya oleh konstruksi klausa, merupakan kemasan makna bahasa dan fungsi komunikatif yang memuat nilai-nilai kesantunan. Nilai-nilai kesantunan berbahasa itu bersumber dari nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat tersebut. Sejalan dengan adanya pergeseran dan perubahan bahasa dan budaya, nilai-nilai kesantunan berbahasa akan turut pula bergeser dan berubah seiring dengan apa yang terjadi dalam kerangka sosial-budaya masyarakat itu. Oleh karena itu, pergeseran dan perubahan nilai kesantunan berbahasa yang dikemas oleh konstruksi klausa dalam satu bahasa adalah juga keniscayaan. Semua yang ada di alam ini cenderung berubah, mengalami evolusi, tidak terkecuali bahasa, budaya, dan nilai kesantunan berbahasa yang berlaku di tengah-tengah masyarakat penutur suatu bahasa (lihat lebih jauh Bonvillain, 1997; Schendle, 2001).

PERGESERAN TIPOLOGI GRAMATIKAL DAN NILAI KESANTUNAN BERBAHASA DALAM KLAUSA BM

Berdasarkan data konstruksi klausa BM yang dijumpai pada naskah lama, bahasa Minangkabau ragam adat (BMRA), bahasa yang digunakan untuk menasehati dan memohon, dan sebagian ragam lisan, konstruksi pasif dengan pemarkah morfologis di- dan konstruksi ergatif (konstruksi pasif dengan pemarkah ba- dan konstruksi pentopikalan) lebih banyak dijumpai. Sementara itu, BM ragam lisan-resmi dan ragam bahasa penutur usia muda lebih banyak menggunakan konstruksi aktif dengan pemarkah ma- dan pasif dengan pemarkah di- dan ta-

(7)

yang merupakan konstruksi nominatif-akusatif. Berdasarkan telaah nilai kesantunan berbahasa yang dikemas oleh klausa aktif, pasif, dan pentopikalan (ergatif) BM, dapat dikemukakan bahwa klausa pasif dengan pemarkah di- dan ta- mengemas nilai kesantunan berbahasa lebih tinggi dari pada yang dikemas oleh klausa aktif yang dimarkahi oleh prefiks ma-. Sementara itu, klausa pasif dengan pemarkah ba- dan konstruksi pentopikalan mengemas nilai kesantunan berbahasa yang lebih tinggi lagi.

Peringkat nilai kesantunan berbahasa yang dikemas oleh klausa BM dapat digambarkan dengan diagram berikut ini:

Peringkat nilai kesantunan berbahasa dalam klausa BM (termasuk BMRA)

SANTUN

(Ergatif)

Klausa Pentopikalan Klausa Pasif ( ba- ) Klausa Pasif (ta- )

Klausa Pasif (di- ) Klausa Aktif (ma-) (Akusatif)

TIDAK SANTUN

Konstruksi klausa aktif (dengan pemarkah morfologis ma- pada contoh yang ditandai a) berikut ini memuat kandungan makna “datar dan biasa” dengan tingkat kesantunan rendah. Konstruksi klausa seperti ini lazim dijumpai dalam BM ragam tulis-resmi dan bahasa kaum terpelajar usia muda dalam menyampaikan pesan komunkatif biasa. Klausa pasif dengan pemarkah

di- atau ta- memuat nilai kesantunan berbahasa lebih tinggi dari pada yang dimuat oleh klausa

aktif. Oleh karena itu konstruksi seperti pada (b) di bawah ini memuat nilai kesantunan berbahasa lebih tinggi dari pada yang dikemas oleh (a).

(1a) Inyo musti ma-ngamehi barang-barangnyo malam ko juo. AKT

‘Dia mesti mengemasi barang-barangnya mala mini juga’ (1b) Barang-barangnyo musti di-kamehi (dek inyo) malam ko juo.

PAS

‘Barang-barangnya mesti dikemasi mala mini juga’ (2a) Urang ma-nuka kayu jambatan tu kapatang.

AKT

‘Orang mengganti kayu jembatan itu kemaren’ (2b) Kayu jambatan tu di-tuka urang kapatang.

PAS

‘Kayu jembatan diganti (oleh) orang kemaren’

(3a) Anak buah harus ma-layani satiok atasan baiyo bana. AKT

(8)

(3b) Satiok atasan harus di-layani (dek anak buah) baiyo bana.

PAS

‘Setiap atasan harus dilayani (oleh anak buah) sungguh-sungguh’

Konstruksi pasif dengan pemarkah morfologis ta- berikut ini memuat nilai kesantunan berbahasa yang sama dengan pasif di- dalam BM.

(4) Kajadian ari tu ta-kana taruih dek ambo. kejadian hari itu PAS-ingat terus oleh PRO1TG ‘Kejadian hari itu teringat terus oleh saya’

(5) Aratinyo,barito tu ta- danga dek kami sambia lalu sajo. artinya, berita itu PAS-dengar oleh PRO1JM sambil lalu saja ‘Artinya, berita itu terdengar oleh kami sambil lalu saja’ (6) Urang maliang tu bisa ta- tangkok capek (dek polisi). orang maling itu bisa PAS-tangkap cepat (oleh polisi) ‘Orang maling itu bisa tertangkap cepat (oleh polisi)’ (7) Maaf pak, iyo barang tu ta- bao dek ambokutiko itu. maaf pak, ya barang itu PAS-bawa oleh PRO1TG ketika itu ‘Maaf pak, benar barang itu terbawa oleh saya ketika itu’

Sementara itu, konstruksi klausa ergatif (konstruksi pentopikalan dan/atau pasif dengan pemarkah ba-) adalah konstruksi klausa yang memuat nilai kesantunan berbahasa lebih tinggi lagi. Konstruksi ini banyak dijumpai dalam naskah lama BM, BMRA, dan ragam bahasa menasehati dan memohon. Berikut ini adalah contoh-contohnya.

(8) Salam jo maaf ambo pintak. salam-TOP dan maaf PRO1TG minta ‘Salam dan maaf lah yang kami minta’

(9) Rang mudo iyo lah lamo kami tunggu. orang muda-TOP ya telah lama PRO1JM tunggu ‘Memang orang muda telah lama kami tunggu’

(10) Yo bana tu nyiak, rundiang sapatah kami sampai-kan. ya benar itu paman, runding sepatah-TOP PRO1JM sampai- KAU ‘Ya benar paman, rundingan sepatah lah yang kami sampaikan’ (11) Utang budi tantu kito bao mati, yo nyiak.

Utang budi-TOP tentu PRO1JM bawa mati, ya paman ‘Utang budi tentu kita bawa mati, paman’

(12) Jalan bakelok rang mudo tampuah; jurang dalam lai mamak turun-i. jalan berbelok-TOP orang muda tempuh; jurang dalam ada paman turun-APL ‘Jalan yang berbelok telah orang muda tempuh; jurang yang dalam paman turuni’ (13) Tabang ba- timbal-i; panggang ba- baliak-an.

tebang ERG-tibal- KAU; panggang ERG- balik- KAU

‘Tebang (hendaknya) ditimbali; panggang (hendaknya) dibalikan’ (14) Lamak siriah ba- kunyah; lamak kato ba- sampai-an.

enak sirih ERG-kunyah; enak kata ERG-sampai- KAU ‘Enak(nya) sirih dikunyah; enak(nya) kata disampaikan’

(9)

(15) Kok lalai baliau ba- kubua, badoso kito pado Tuhan. kalau lalai beliau ERG-kubur, berdosa PRO1JM pada Tuhan ‘Kalau lalai beliau dikuburkan, berdosa kiga kepada Tuhan’ (16) Paisok ba- giliang, lah ba- panggang pulo.

rokok ERG-giling, telah ERG-bakar pula ‘Rokok sudah digiling, telah dibakar pula’

(17) Di siriah nan ba- cabiak, di pinang nan ba- gatok. di sirih yang ERG-robek, di pinang yang ERG-gigit ‘Pada sirih yang dirobek, pada pinang yang digigit’

Berdasarkan sifat-perilaku gramatikal yang dikaji secara tipologis diperkirakan bahwa BM saat ini sedang dalam proses perubahan dari bahasa bertipologi ergatif menuju ke bahasa akusatif. Ada tiga asumsi dasar yang mendukung asumsi ini. Pertama, tipologi gramatikal BM yang cenderung berada di antara dua dikotomi: “akusatif – ergatif” atau bahasa netral sehingga konstruksi gramatikal klausanya memperlihatkan adanya struktur akusatif dan ergatif, meskipun untuk bahasa ragam tulis-baku kecenderungannya lebih sebagai bahasa akusatif. Kedua, data bahasa ragam adat-sastra, naskah-naskah lama, dan sebagian ragam sehari-hari yang digunakan oleh penutur usia tua, dan untuk tujuan-tujuan berbahasa santun, struktur klausa ergatif lebih banyak digunakan. Ini berarti bahwa BM lama yang masih dapat dicermati melalui ragam adat-sastra, bahasa pasambahan, dan naskah-naskah kuno cenderung bertipologi ergatif. Ketiga, BM ragam biasa, bahasa tulis-baku, dan ragam bahasa generasi muda memperlihatkan kecenderungan sebagai bahasa akusatif. Secara teoretis, asumsi bahwa tipologi gramatikal BM bergeser dari bahasa ergatif menuju bahasa akusatif cukup berterima karena bahasa manusia berkembang dan berubah seiring dengan perubahan dan perkembangan budaya masyarakat penuturnya.

Meskipun perubahan gramatikal, termasuk tipologi gramatikal, adalah pergeseran dan perubahan bahasa yang membutuhkan waktu yang panjang untuk dapat dicermati, namun perubahan dan evolusi bahasa tetap ada pada tataran itu (Schendl, 2001). Terkait dengan perubahan bahasa, tipologi gramatikal bahasa (-bahasa) manusia juga turut mengalami perubahan. Dixon (1994) menjelaskan bahwa tataran gramatikal suatu bahasa, termasuk tipologinya, dapat berubah; bahasa aglutinasi dapat berubah menjadi bahasa infleksi, bahasa isolasi dapat mengarah ke bahasa aglutinasi, atau sebaliknya. Sementara itu, bahasa bertipologi ergatif dapat mengarah menjadi bahasa akusatif, atau menjadi bahasa aktif, dan sebaliknya.

Kebanyakan konstruksi klausa BMRA adalah klausa ergatif dalam bentuk konstruksi pentopikalan atau pasif berpemarkah ba-. Konstruksi BMRA adalah bentuk ujaran (ragam bahasa) yang dianggap mempunyai nilai kesantunan berbahasa tinggi oleh penuturnya. Naskah-naskah kuno dan buku cerita rakyat Minangkabau tempo dulu menggunakan konstruksi BMRA, begitu juga bahasa pasambahan dan pantun-pantun adat Minangkabau yang masih digunakan saat ini kebanyakan menggunakan ragam bahasa seperti ini. Para penutur BM usia tua, pemangku adat, tetua kebudayaan, dan guru-guru agama-adat menggunakan ragam BMRA dalam memohon, memberi nasehat, atau menyampaikan sesuatu yang penting untuk dimaklumi bersama.

Dalam perkembangan budaya dan BM dewasa ini, penutur usia muda dan generasi yang berpendidikan formal lebih banyak menggunakan BM ragam biasa dengan konstruksi aktif – pasif yang lazim ditemukan dalam bahasa akusatif. Ragam BMRA sudah makin berkurang keterpakaiannya meskipun masih bertahan untuk ranah-ranah tertentu. Bagi kalangan usia tua, konstruksi aktif dan pasif dengan pemarkah di- jarang dipakai untuk berbahasa santun. Akan tetapi di kalangan generasi muda pilihan konstruksi aktif dan pasif di- sudah mulai lazim dipakai untuk tujuan berbahasa santun. Dalam hal ini, para penutur BM hanya menggunakan fitur-fitur suprasegmental untuk menekankan nilai kesantunannya. Sudah mulai terlihat pemakaian konstruksi aktif, yang berpenonjol pelaku perbuatan dan subjek gramatikal klausa, banyak

(10)

menggantikan keterpakaian konstruksi ergatif (pasif ba- atau pentopikalan) dalam berbagai peristiwa bahasa sehari-hari. Ini berarti bahwa budaya menyembunyikan peran agen atau metaforis dalam budaya berbahasa orang Minangkabau tempo dulu sudah bergeser menjadi budaya yang mulai menonjolkan agen atau subjek gramatikal dalam konstruksi akusatif.

Berdasarkan itu, dapat dikemukakan bahwa ada gejala pergeseran tipologi gramatikal BM dan budaya berbahasa para penuturnya dalam mengemas pesan secara santun. Ada kemungkinan bahwa untuk masa yang akan datang, akibat persentuhannya dengan bahasa dan budaya lain yang bersifat “akusatif” seperti bahasa Inggris dan bahasa internasional lainnya, boleh jadi BM menjadi bahasa bertipologi akusatif kuat. Pergeseran dan perubahan tipologi gramatikal BM itu terjadi secara alami atau dipercepat oleh faktor sosial-budaya lainnya yang menyertai perubahan dan perkembangan hidup manusia sebagai penutur bahasa tertentu (lihat Dixon, 1994; Croft, 2000; Kramsch, 2001).

Jika pada masa lampau kebanyakan ujaran dan bentukan bahasa yang lahir dan ditulis oleh para penutur dan penulis banyak menggunakan konstruksi ergatif (pentopikalan dan konstruksi verbal-pasif berpemarkah ba-), tidak demikian halnya dalam BM akhir-akhir ini. Pilihan bentuk bahasa dalam klausa aktif pada masa dahulu hanya dipakai untuk tujuan datar-biasa, perintah, atau menguatkan pesan dalam situasi tertentu saja. Namun untuk BM yang ada sekarang keterpakaian klausa ergatif dalam bentuk pentopikalan dan pasif ba- mulai berkurang. Nilai kesantunan berbahasa nampaknya cenderung lebih menggunakan fitur-fitur suprasegmental dan isyarat tubuh saja dari pada menggunakan konstruksi gramatikal yang secara linguistik mengemas nilai kesantunan yang lebih tinggi.

Dengan menggunakan fitur-fitur suprasegmental disertai isyarat bahasa tubuh, konstruksi pasif asli dengan pemarkah morfologis di- bahkan klausa aktif berpemarkah ma- seperti contoh-contoh berikut ini sudah mulai lazim digunakan untuk tujuan berbahasa dengan nilai kesantunan tinggi.

(18) Iyo mak, baju ko di- pakai baa adonyo. Ya paman baju ini PAS-pakai bagaimana adanya ‘Benar paman, baju ini dipakai apa adanya’

(19) Tantu baitu, sadonyo di- pulang-an ka nan punyo. tentu begitu, semuanya PAS-pulang-KAU kepada yang punya ‘Tentu begitu, semuanya dipulangkan kepada yang punya’ (20) Warih samo di- jawek; pusako samo di- tolong.

waris sama PAS-jawab; pusaka sama PAS-tolong ‘Waris sama diterima; pusaka sama ditolong’

(21) Kami mam-baia utang; inyo ma- narimo piutang. PRO1JM AKT-bayar hutang; PRO3TG AKT-terima piutang ‘Kami membayar hutangl dia menerima piutang’

(22) Kami mam-buek paraturan alek nagari. PRO1JM AKT-buat peraturan pesta negeri ‘Kami membuat peraturan pesta negeri’

Informasi yang dikemas oleh konstruksi pasif (18 – 20) di atas akan lebih santun jika diungkapkan dengan konstruksi ergatif yang dimarkahi oleh prefiks ba- seperti berikut ini.

(18a) Iyo mak, baju ko ba- pakai baa adonyo. ya paman baju ini ERG-pakai bagaimana adanya ‘Benar paman, baju ini dipakai apa adanya’

(11)

(19a) Tantu baitu, sadonyo ba- pulang-an ka nan punyo. tentu begitu, semuanya PAS-pulang-KAU kepada yang punya ‘Tentu begitu, semuanya dipulangkan kepada yang punya’ (20a) Warih samo ba- jawek; pusako samo ba- tolong. waris sama ERG-jawab; pusaka sama ERG-tolong ‘Waris sama diterima; pusaka sama ditolong’

Sementara itu, informasi pada klausa aktif (21 – 22) di atas akan bernilai lebih santun jika dikemas dengan klausa pentopikalan seperti beriku ini.

(21a) Kami mam-baia utang; inyo ma- narimo piutang. PRO1JM AKT-bayar hutang; PRO3TG AKT-menerima piutang ‘Kami membayar hutangl dia menerima piutang’

(22) Kami mam-buek paraturan alek nagari. PRO1JM AKT-buat peraturan pesta negeri ‘Kami membuat peraturan pesta negeri’

Bergesernya tipologi gramatikal BM dari bahasa ergatif menuju bahasa akusatif dan bergesernya nilai kesantunan masing-masing konstruksi klausa BM yang ada disebabkan oleh bergesernya budaya masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat penutur BM sudah mulai meninggalkan budaya berbahasa metaforis dan menyembunyikan pelaku perbuatan. Pelaku perbuatan dan subjek gramatikal sudah tidak perlu lagi disembunyikan sehingga tafsiran isi pesan lebih bersifat langsung. Kecenderungan budaya berbahasa seperti ini mendorong penutur usia muda dan kaum terdidik Minangkabau untuk menggunakan konstruksi klausa aktif dari pada pentopikalan atau pasif ba- (ergatif). Sebagaimana diketahui, jika suatu kebiasaan sudah berlaku umum dan diikuti oleh kelompok masyarakat yang makin luas, hal itu akan menjadi hal yang tidak aneh lagi; itu sudah menjadi budaya dengan sendirinya. Jika keadaan ini terus berlanjut, tidak tertutup kemungkinan BM mempunyai sifat-perilaku gramatikal sebagai bahasa bertipologi akusatif kuat, seperti hal bahasa Inggris. Ini akan menyebabkan derajat nilai kesantunan berbahasa yang dikemas oleh klausa BM turut bergeser; klausa aktif boleh jadi mengemas nilai kesantunan tinggi menyaingi apa yang dikemas oleh klausa ergatif (konstruksi pentopikalan dan pasif ba-) BM saat ini.

BAGAIMANA FENOMENA ITU HARUS DISIKAPI?

Pergeseran dan perubahan yang terjadi dalam budaya dan bahasa manusia tidak dapat ditahan secara mutlak. Gejala pergeseran dan perubahan tipologi gramatikal BM yang diikuti oleh pergeseran dan perubahan nilai-nilai kesantunan berbahasa yang dikemas oleh klausa dalam bahasa daerah ini tentu tidak mungkin “ditahan” sama sekali. Namun pembiaran yang diikuti sikap tidak “mau tahu” malah ikut mempercepat pergeseran yang menuju ke perubahan yang menghilangkan jati-diri budaya sendiri adalah sikap yang kurang terpuji. Satu budaya atau satu bahasa bisa “mati” dan kehilangan jati-dirinya jika pemilik budaya dan bahasa itu tidak mempunyai kesetiaan budaya dan bahasa. Ini adalah kerugian sosial-budaya besar jika itu terjadi.

Lalu, bagaimana fenomena pergeseran tipologi gramatikal dan nilai kesantunan berbahasa yang ada dalam klausa BM itu harus disikapi dalam upaya pemberdayaan bahasa daerah ini sebagai jati-diri penuturnya? Sekurang-kurangnya, ada tiga sikap yang mesti dimiliki oleh masyarakat penutur BM dan pemerhati budaya dan bahasa daerah secara umum sebagai wujud pemberdayaan bahasa daerah ini. Pertama, miliki sikap netral terhadap pergeseran dan perubahan yang terjadi pada budaya dan bahasa. Penutur BM dan masyarakat Minangkabau harus berada pada posisi

(12)

“moderat” yang menerima perubahan sebagai hal yang alamiah. Mereka tidak harus ikut sebagai pemercepat perubahan atau penolak perubahan itu secara mutlak. Sikap ini berbeda dari sikap positif, sikap yang ikut hanyut dan pemercepat perubahan itu sehingga kehilangan jati-diri, atau sikap negatif, yaitu sikap yang menolak atau lari dari kenyataan perubahan yang terjadi (lihat Schendl, 2001).

Kedua, pemilik BM dan masyarakat Minangkabau harus memiliki sikap peduli akan keberadaan dan fungsi bahasa dan budaya mereka dengan terus memberi pengetahuan, pembelajaran, keteladanan, dan kesadaran berbahasa kepada generasi penerus bahwa BM mempunyai konstruksi (bentuk) klausa tertentu yang mengemas nilai-nilai kesantunan berbahasa sesuai dengan budaya Minangkabau. Sikap ini akan melahirkan tingkat kesetiaan budaya dan bahasa yang tinggi sehingga bahasa ini mempunyai daya hidup kuat dan lama. Kesetiaan bahasa yang moderat diikuti kearifan lokal para penuturnya adalah bentuk kebertahanan bahasa yang kuat dan alamiah. Sikap ini harus ditumbuh-kembangkan melalui berbagai kegiatan kedaerahan dengan dukungan pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi panutan bersama. Sikap ini akan melahirkan perilaku budaya dan bahasa yang mampu memberdayakan bahasa daerah sebagai salah satu jati-diri masyarakat penuturnya.

Ketiga, melakukan pemberdayaan dan pemerkuatan bahasa melalui adopsi-tersaring atas berbagai faktor sosial-budaya yang masuk ke dalam BM. Menutup diri atas semua persentuhan dan perkembangan sosial-budaya yang datang ke dalam BM akan menyebabkan bahasa ini tertinggal sendiri atau ditinggalkan oleh penuturnya sendiri. Pemberdayaan dan pemerkuatan dari sisi kosakata, makna, dan konstruksi kalimat melalui adopsi-tersaring memungkinkan bahasa daerah ini memiliki daya hidup di tengah-tengah masyarakat penuturnya. Artinya, kerangka dasar gramatikal dan budaya berbahasa dalam BM tidak “dicemari”, tetapi diperkaya dan diperkuat dengan berbagai bentuk bahasa dan fitur-fitur budaya yang sesuai. Sikap ini akan melahirkan tindakan tersaring dan keputusan arif untuk daya tahan bahasa dan keberpakaiannya sebagai alat komunikasi yang tepat-berdaya guna.

CATATAN PENUTUP

Pergeseran dan perubahan budaya dalam peradaban manusia selalu diikuti oleh pergeseran dan perubahan bahasa yang dapat terjadi pada setiap lapisan dan pemakaiannya. Fenomena ini tidak mungkin dihindari sama sekali, apalagi dalam kehidupan mutakhir dan pergaulan mendunia yang terus mendorong terjadinya kontak budaya dan bahasa. Penutur dan masyarakat yang benar-benar ekabahasawan sudah sangat jarang ditemui. Oleh karena itu, adanya pergeseran dan perubahan tipologi gramatikal dalam satu bahasa disertai adanya pergeseran/perubahan nilai-nilai budaya berbahasa yang dikemas oleh konstruksi klausanya adalah sesuatu yang juga tidak mungkin dihindari secara mutlak. Adanyan gejala pergeseran/perubahan tipologi gramatikal BM dari bahasa ergatif menuju bahasa akusatif pada tataran sintaksis adalah bagian dari evolusi bahasa. Begitu juga, pergeseran dan perubahan nilai-nilai kesantunan berbahasa yang dikemas oleh konstruksi gramatikal yang ada dalam bahasa daerah ini bukanlah sesuatu yang “luar biasa”.

Atas semua pergeseran dan perubahan itu, sikap arif dan bijaksana untuk mampu mempertahankan dan memberdayakan bahasa ibu dengan memanfaatkan fitur-fitur pergeseran dan perubahan itu perlu dikedepankan. Tiga sikap yang dikemukakan di atas memungkinkan BM bertahan dan berdaya karena bahasa ini akan kaya dengan kosa-kata baru dan sistem gramatika yang sesuai dan “disesuaikan” dengan perkembangan zaman. Kearifan lokal mesti dipupuk dan perkembangan baru harus disikapi oleh masyarakat penutur BM secara bijaksana sehingga bahasa daerah ini tidak ketinggalan atau ditinggalkan karena tidak mampu berperan sebagai alat komunikasi yang tepat guna dan berdaya guna.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Appel, R., dan Muysken, P. 1988. Language Contact and Bilingualism. London: Edward Arnold.

Bonvillain, N. 1997. Language, Culture, and Communication. New Jersey: Prentice Hall.

Brown, P., dan Levinson, S. C. 1987, 2000. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Campbell, L. 2004. Historical Linguistics: An Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Comrie, B. 1983, 1989. Language Universals and Linguistic Typology. Oxford: Basil Blackwell Publisher Limited.

Croft, W. 1993. Typology and Universals. Cambridge: Cambridge University Press.

Croft, W. 2000. Explaining Language Change: An Evolutionary Approach. Harlow: Pearson Education Limited.

Cumming, S. 1991. Functional Change: The Case of Malay Constituent Order. Berlin: Mouton de Gruyter.

Dixon, R. M. W. 1994. Ergativity. Cambridge: Cambridge University Press.

Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Foley, W. A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Malden: Blackwell.

Jufrizal. 2012. Tatabahasa Bahasa Minangkabau: Deskripsi dan Telaah Tipologi Linguistik. Padang: UNP Press.

Jufrizal., Zul Amri., dan Jufri. 2012. ‘Keakusatifan dan Keergatifan Bahasa Minangkabau: Telaah Tipologi Linguistik dan Budaya Berbahasa’ (Laporan Penelitian). Padang: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang.

Jufrizal., Zaim. M., dan Ardi, Havid. 2013. ‘Bahasa dan Budaya Minangkabau: Dari Tipologi Gramatikal ke Budaya Berbahasa Penuturnya’ (Laporan Penelitian Hibah Kompetensi tahun pertama). Padang: Universitas Negeri Padang.

Jufrizal., Zaim. M., dan Ardi, Havid. 2014. ‘Bahasa dan Budaya Minangkabau: Dari Tipologi Gramatikal ke Budaya Berbahasa Penuturnya’ (Laporan Penelitian Hibah Kompetensi tahun kedua). Padang: Universitas Negeri Padang.

Kramsch, C. 2001. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.

Mallinson, G., Blake, B. J. 1981. Language Typology: Cross-Linguistic Studies in Syntax. Amsterdam: North-Holland Publishing Company.

McMahon, April M. S. 1999. Understanding Language Change. Cambridge: Cambridge University Press.

Payne, T. E. 2002. Describing Morphosyntax: A Guide for Field Linguists. Cambridge: Cambridge University Press.

(14)

Pinker, S. 1994. Language Instinct. New York: Harperperennial.

Schendl, Herbert. 2001. Historical Linguistics. Oxford: Oxford University Press.

Song, J. J. 2001. Linguistic Typology: Morphology and Syntax. Harlow, England: Pearson Education Limited.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun bentuk pertanggungjawaban Notaris terhadap hal tersebut yaitu berdasarkan Pasal 52 ayat (3) UUJN yang menentukan bahwa “Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud

Pembuatan Turbin Pelton untuk sistem Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH) dengan bentuk Sudu Silinder Tertutup Dibelah Dua mempunyai tujuan apakah efisiensi

Pengaruh Tahapan Prediksi Dan Diskusi Pada Pembelajaran Berbasis Learning Cycle Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif dan Penguasaan Konsep Sistem Saraf Pada Siswa SMA..

Penginderaan jauh mampu dimanfaatkan untuk mengkaji parameter fisik kualitas air yang memiliki karakterisitk visual seperti suhu permukaan air, kekeruhan air, dan zat

Sejumlah 21 ekor anak ayam (DOC) secara acak dan diberi gelang plastik bernomor, kemudian ayam dibagi menjadi 3 kelompok yaitu, kelompok P1 terdiri dari 7

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada setiap perlakuan intensitas serangan penyakit Phytophthora pada buah yang menyerang

Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi

Ketika siswa diminta pendapat mengenai proses penulisan karangan narasi, sebanyak 83,7% siswa menganggap bahwa metode mind mapping dapat memudahkan mereka untuk