• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Kasus Spondiltis TB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Kasus Spondiltis TB"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG LAPORAN KASUS

SPONDILITIS TB

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Bagian Ilmu Penyakit Saraf

Diajukan Kepada :

Pembimbing : dr.Noorjanah Pujiastuti, Sp.S

Disusun Oleh :

Azmi Yunita H2A012006

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Saraf FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG RSUD TUGUREJO SEMARANG

(2)

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

Presentasi laporan kasus dengan judul :

Spondilitis TB

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Saraf

Disusun Oleh: Azmi Yunita H2A012006

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Nama pembimbing Tanda Tangan

dr. Noorjanah Pujiastuti, Sp.S ...

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini.

Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.

Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5 tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak.

Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada kasus-kasus tertentu diperlukan tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun setelah penderita menjalani tindakan operatif.

(4)

BAB II STATUS PASIEN

Nama : Tn. S

Umur : 78 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat : Bandarharjo RT 03/XI Semarang

Pekerjaan : Sudah tidak bekerja

Status Marital : Menikah

Agama : Islam

Pendidikan terakhir : SMP

Tanggal Masuk Rumah sakit : 6 September 2016 pukul 17.18 Tanggal Pemeriksaan : 15 September 2016 pukul 14.30

Ruangan : Bangsal Dahlia RSUD Tugurejo Semarang

I. ANAMNESIS

Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 15 September 2016 jam 14.30 WIB

(a) Keluhan Utama : Nyeri punggung bawah

(b) Riwayat Penyakit Sekarang :

 Onset : ± 2 tahun yang lalu

 Lokasi : Punggung bagian bawah

 Kualitas: Nyeri dirasakan tidak menjalar hanya di bagian punggung bawah. Nyeri seperti ditusuk dan mengganggu aktivitas terutama saat berjalan.

 Kuantitas : Nyeri dirasakan terus menerus.

 Kronologi :

Sejak 3 tahun yang lalu pasien mengeluh batuk berdahak. Pasien mengeluhkan penurunan nafsu makan yang disertai penurunan berat badan. Menurut pasien batuk yang dirasakan terus menerus dan disertai sesak nafas. Demam (+), keringat dingin dimalam hari (-), BAB normal, BAK normal.

± 2 tahun yang lalu pasien mengeluh nyeri di bagian punggung bawah. Nyeri dirasakan terus menerus dan rasanya seperti ada yang menusuk. Nyeri tidak menjalar. Nyeri bertambah

(5)

saat pasien bungkuk dan saat berjalan. Selaian itu pasien juga masih mengeluhkan batuk berdahak, sesak nafas,demam dan penurunan berat badan.

1 hari SMRS pasien mengeluh demam sampai menggigil disertai batuk berdahak. Selain itu pasien juga merasa nyeri di bagian punggung bawah. Nyeri tersebut tidak menjalar dan dirasakan terus menerus. Nyeri tersebut bertambah ketika pasien membungkuk dan berjalan, dan berkurang bila pasien berbaring, kesemutan (-). Pasien juga mengaku nafsu makannya mulai menurun sehingga berat badannnya berkurang dan tampak semakin kurus. BAK tidak ada keluhan, BAB cair.

 Faktor yang memperberat : Saat membungkuk dan berjalan

 Faktor yang memperingan : Berbaring

 Keluhan lain :Batuk (+), penurunan BB, sesak nafas (+), gangguan pendengaran, BAB cair

(c) Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat Sakit yang sama : Diakui

Riwayat Hipertensi : Disangkal

Riwayat Gejala Diabetes Melitus : Disangkal

Riwayat Kejang : Disangkal

Riwayat Jantung : Disangkal

Riwayat Stroke : Disangkal

Riwayat TBC : Diakui

Konsumsi obat-obatan tertentu : Diakui .

(d) Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengaku tidak ada anggota keluarganya yang pernah mengalami keluhan serupa.

(e) Riwayat Pribadi dan Sosial :

Pasien tinggal di pemukiman padat penduduk. Saat ini pasien sudah tidak bekerja. Pasien tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol. Pasien jarang melakukan olahraga secara rutin. Kesan ekonomi cukup.

(6)

II. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan umum dan Kesadaran

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Composmentis E4V5M6

2. Tanda-tanda Vital :

Tekanan darah : 140/70 mmHg

Nadi : 84 kali/menit regular, kuat

Respirasi : 20 kali/menit regular

Suhu : 37 0C

3. Pemeriksaan Status Interna

Kepala Normosefali, tidak ada tanda trauma atau benjolan.

Mata Konjungtiva kanan dan kiri tidak anemis, tidak ada sklera ikterik pada kedua mata, refleks cahaya +/+, diameter pupil 3 mm/ 3 mm, strabismus -/-.

Telinga Normotia, deformitas (-), serumen (-/-), sekret (-/-)

Hidung Septum deviasi (-), sekret (-/-), mukosa hiperemis (-/-), konka hipertrofi (-/-)

Tenggorok Faring hiperemis (-) tonsil T1-T1

Gigi dan

Mulut

Sianosis (-), lidah kotor (-), gigi karies (-),

Leher Tidak tampak adanya luka maupun benjolan. Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar getah bening. Tidak adanya peningkatan JVP.

Toraks Inspeksi: Pada keadaan statis dada terlihat simetris kanan

dan kiri, pada pergerakan/dinamis dinding dada terlihat simetris kanan dan kiri, tidak ada yang tertinggal, tidak terdapat retraksi atau penggunaan otot pernapasan tambahan. Pulsasi ichtus kordis tidak terlihat.

Palpasi: Fremitus raba sama kuat kanan dan kiri. Ichtus

kordis tidak teraba.

Perkusi: Pada lapangan paru didapatkan bunyi sonor.

Batas paru – hati didapatkan pada ICS 7 sebelah kanan. Batas Jantung:

(7)

batas kanan bawah : ICS V linea sternalis dextra

kiri bawah : ICS V 1-2 cm ke arah medial midclavikula sinistra

Konfigurasi jantung (dalam batas normal)

Auskultasi: Bunyi paru vesikuler +/+, ronki +/+ pada

apeks paru, wheezing -/-.

Bunyi jantung S1, S2 murni. Murmur (-). Gallop (-). Abdomen Inspeksi : turgor baik, dinding abdomen simetris, tidak

terlihat penonjolan massa ataupun adanya luka.

Palpasi : Tidak teraba pembesaran hepar. Lien tidak

teraba. Terdapat nyeri tekan di epigastrium dan hipokondrium kanan. Nyeri perut menjalar ke punggung (-), distensi abdomen (-), defense muscular (-), Nyeri tekan mac burney (-), rovsing sign (-), psoas sign (-), obturator sign (-).

Perkusi : asites (-)

Auskultasi : Bising Usus 15x/menit

Punggung Tampak kifosis

Ekstremitas atas dan bawah

Akral hangat, tidak ada edema pada semua ekstremitas.

Kuku Sianosis (-). Capillary refill time <2 detik.

4. Pemeriksaan Status Neurologis

(a) Tanda rangsang Radikuler

Tes laseque : (>70 0) (>700)

Tes Bragard : (-) (-)

Tes Sikard : (-) (-)

Tes Patrick : (-) (-)

Tes kontra Patrick : (-) (-)

(b) Pemeriksaan Saraf Kranial

1. Nervus I (Olfaktorius)

Bahan Kanan Kiri

Kopi Teh

(8)

2. Nervus II (Optikus)

Kanan Kri

Lapang pandang Menyempit Menyempit

Visus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

3. Nervus III, IV,VI

Kanan Kiri

Ptosis (-) (-)

Bentuk pupil Bulat, isokor Bulat, isokor,

Reflek cahaya Langsung

(+) (+)

Reflek cahaya tidak langsung

(+) (+)

Gerak mata

(atas, medial, bawah)

(+) (+)

Konvergensi N N

Hisberg reflek kornea Reflex sinar tampak ditengah pupil

Reflex sinar tampak ditengah pupil 4. Nervus V (Trigeminus) N.V (Trigeminus) a. Menggigit b. Membuka mulut c. Sensibilitas muka atas d. Sensibilitas (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+)

(9)

muka tengah e. Sensibilitas muka bawah f. Reflek kornea g. Reflek bersin h. Reflek masseter i. Reflek zigomatikus j. Trismus (+) (+) (+) N Tidak dilakukan (-) (+) (+) (+) N Tidak dilakukan (-)

5. Nervus VII (Fascialis)

Kanan Kiri

Motorik otot-otot wajah

Kerutan dahi (+) (+) Menutup mata (+) (+) Mengembangkan pipi (+) (+) Bersiul t.d.l t.d.l Tersenyum (+) (+) Komponen Lakrimasi Dengan kertas lakmus Tidak dilakukan Tidak dilakukan Komponen perasa khusus lidah

Dengan bahan Tidak

dilakukan

Tidak dilakukan

6. Nervus VIII (Akustikus)

Kanan Kiri

Mendengarkan suara berbisik

_ _

Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

7. Nervus IX (Glossofaringeus)

(10)

Palatum,&uvula Ditengah, hiperemis (-)

Dinding pharing Terangkat simetris

8. Nervus X (Vagus)

Interpretasi

Reflek muntah Tidak dilakukan

Bersuara N Gangguan menelan (-) 9. Nervus XI (Aksesorius) Kanan Kiri Memalingkan kepala N N Mengangkat bahu (+) (+)

10. Nervus XII (Hipoglossus)

Interpretasi Kesan

Menjulurkan lidah Tidak ada deviasi

Tidak ada parase N.XII

Tremor lidah (-)

Trofi otot lidah Eutrofi

Fasikulasi lidah (-)

(c) Pemeriksaan Motorik

Anggota Gerak Atas

Inspeksi Kanan Kiri

Gerakan N N

Kekuatan 5/5/5 5/5/5

Tonus Normotoni Normotoni

(11)

Anggota Gerak Bawah

Inspeksi Kanan Kiri

Gerakan N N

Kekuatan 5/5/5 5/5/5

Tonus Normotoni Normotoni

Trof N N

Lateralisasi (-) (-)

(d) Pemeriksaan Sensorik

Sensasi taktil : hipoestesi setinggi dermatom L 1 Getar dan Vibrasi : tidak dilakukan

Suhu : tidak dilakukan

(e) Pemeriksaan Koordinasi

Inspeksi Cara Berjalan : Tidak dilakukan

Tes Romberg : Tidak dilakukan

Tes tunjuk hidung : Tidak dilakukan

Tes tumit lutut : Tidak dilakukan

Diadokokinesia : Tidak dilakukan

(f) Pemeriksaan Refleks Fisiologis

Pemeriksaan Reflex Fisiologis Kanan Kiri

Biceps + +

Triceps + +

Brachioradialis + +

Patela + +

Achilles + +

(g) Pemeriksaan Refleks Patologis

Pemeriksaan Reflex Patologis Kanan Kiri

Horman - -Tromner - -Babinski - -Chaddock - -Gordon - -Gonda - -Openheim - -4. Fungsi Vegetatif

(12)

Kemampuan BAK : normal

Kemampuan BAB : normal

RESUME

Tn. S 78 tahun datang dengan keluhan nyeri di pinggang bawah. Sejak 3 tahun yang lalu pasien mengeluh batuk berdahak. Pasien mengeluhkan penurunan nafsu makan yang disertai penurunan berat badan. Menurut pasien batuk yang dirasakan terus menerus dan disertai sesak nafas. Demam (+), keringat dingin dimalam hari (-), BAB normal, BAK normal.

± 2 tahun yang lalu pasien mengeluh nyeri di bagian pinggang bawah. Nyeri dirasakan terus menerus dan rasanya seperti ada yang menusuk. Nyeri tidak menjalar. Nyeri bertambah saat pasien bungkuk dan saat berjalan. Selaian itu pasien juga masih mengeluhkan batuk berdahak, sesak nafas,demam dan penurunan berat badan.

1 hari SMRS pasien mengeluh demam sampai menggigil disertai batuk berdahak. Selain itu pasien juga merasa nyeri di bagian pinggang bawah. Nyeri tersebut tidak menjalar dan dirasakan terus menerus. Nyeri tersebut bertambah ketika pasien membungkuk dan berjalan, dan berkurang bila pasien berbaring, kesemutan (-). Pasien juga mengaku nafsu makannya mulai menurun sehingga berat badannnya berkurang dan tampak semakin kurus. BAK tidak ada keluhan, BAB cair.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran Composmentis E4M6V5, dengan Suhu 370C, Nadi 84x/menit teraba kuat dan regular, TD: 140/70 mmHg, didapatkan suara tambahan paru Ronchi pada bagian apex paru, bentuk punggung kifosis, dan pemeriksaan sensorik didapatkan hipoestesi setinggi dermatom L1.

(13)

HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium

Darah rutin Hasil Satuan Nilai normal

Lekosit Eritrosit Hb Ht MCV MCH MCHC Trombosit RDW Diff count Eosinofil Absolute Basofil Absolute Netrofil Absolute Limfosit Absolute Monosit Absolute Eosinofil Basofil Neutrofil Limfosit Monosit 7,15 3,97 10,90 42 81,20 27,50 33,90 290 13,70 0.03 0.03 5,27 1,32 0.50 0.40 0.40 73,70 18,50 7.00 10^3/ ul 10^6/ uL g/ dL % fL Pg g/dL 10^3/ ul % 10^3/ ul 10^3/ ul 10^3/ ul 10^3/ ul 10^3/ ul % % % % % 3.8 – 10.6 4.4 – 5.9 13.2 – 17.3 40 – 52 80 – 100 26 – 34 32 – 36 150 – 440 11.5 – 14.5 0.045 – 0.44 0 – 0.2 1.8 - 8 0.9 – 5.2 0.16 – 1 2 – 4 0 – 1 50 – 70 25 – 40 2 – 8

(14)

Pemeriksaan Sputum SPS I

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan Keterangan

BTA pagi negatif - Negatif : tidak ditemukan

BTA

- SCANTY 1-9 BTA/100

LP tulis BTA yang ditemukan

- 1 + : 10-99 BTA/ 100 LP

- 2+ : 1- 10 BTA/LP

- 3+ : >10 BTA/LP

(Px min 20 LP)

BTA Sewaktu1 negatif - Negatif : tidak ditemukan

BTA

- SCANTY 1-9 BTA/100

LP tulis BTA yang ditemukan

- 1 + : 10-99 BTA/ 100 LP

- 2+ : 1- 10 BTA/LP

- 3+ : >10 BTA/LP

(Px min 20 LP)

BTA Sewaktu 2 negatif - Negatif : tidak ditemukan

BTA

- SCANTY 1-9 BTA/100

LP tulis BTA yang ditemukan

- 1 + : 10-99 BTA/ 100 LP

- 2+ : 1- 10 BTA/LP

- 3+ : >10 BTA/LP

(15)

Pemeriksaan Radiologi

Kesan :

Cor : Cardiomegali

(16)

Kesan : Kompresi V.Lumbal I-III, suspect spondilitis TB

1. Diagnosis Klinis :

 LBP

 Kifosis

Diagnosis Topis :

Diagnosis Etiologi : Spondilitis Tb 2. TB lama

Penatalaksanaan

1. Non-Medikamentosa

 Bed Rest

 Observasi tanda-tanda vital  Fisioterapi 2. Medikamentosa - Inf. RL 20 tpm - Amitriptilin 1x12,5 mg po - Diazepam 2x2 mg po - Inj. Mecobalamin 1 x 500 mg iv

(17)

- Inj. Rantidine 2 x 50 mg iv

 Edukasi :

 Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit yang diderita dan risiko bahaya dapat muncul belakangan

 Menjelaskan tentang penyakit dan pemeriksaan yang akan dilakukan

 Motivasi pasien dan keluarga untuk patuh minum obat

PROGNOSA

Quo Ad sanam : dubia ad bonam

Quo Ad vitam : dubia ad bonam

Quo Ad fungsional : dubia ad bonam

FOLLOW UP

TGL S O A P

13/09/16 Nyeri punggung bawah,batuk (+), pusing(+), sesak nafas (+), BAB cair

KU: tampak sakit sedang Kesadaran: CM GCS: E4M6V5 TD: 130/80 N: 80 x/m RR: 22x/m S: 36,9oC Susp. Spondilitis TB (Usul Ro Thorax PA dan Pemeriksaan Sputum) Inf. RL 20 tpm Na.diclofenac 2x50 mg po Amitriptilin 1x12,5 mg po Diazepam 2x2 mg po Inj. Mecobalamin 1x500 mg iv Inj. Rantidine 2 x 50 mg iv 14/09/16 Nyeri punggung bawah,batuk (+), pusing(+), sesak nafas (-), BAB normal

KU: tampak sakit sedang Kes: CM TD: 136/61 N: 75 x/m RR : 19x/m S: 36,5oC Susp. Spondilitis TB Ro Thorax : TB lama Pemeriksaan sputum (-) Inf. RL 20 tpm Amitriptilin 1x12,5 mg po Diazepam 2x2 mg po Inj. Mecobalamin 1x500 mg iv Inj. Rantidine 2 x 50 mg iv

(18)

bawah,batuk (+), pusing(-), sesak nafas (-), BAB normal sedang Kes: CM TD: 140/70 N: 84 x/m RR : 21x/m S: 36,4oC Amitriptilin 1x12,5 mg po Diazepam 2x2 mg po Mecobalamin 1x500 mg po Rantidine 3x1 po BAB III TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi

Spondilitis tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi oleh kuman

Micobacterium tuberculosis yang menyerang tulang belakang. Ternyata

dalam perjalanannya, kuman ini tidak hanya menyerang paru, tetapi juga diketahui menyerang tulang belakang. Spondilitis tuberkulosa dikenal juga sebagai penyakit Pott, paraplegi Pott. Nama Pott itu merupakan penghargaan bagi Pervical Pott seorang ahli bedah berkebangsaan Inggris yang pada tahun 1879 menulis dengan tepat tentang penyakit tersebut. Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia (kelumpuhan) terbanyak setelah trauma, dan banyak dijumpai di Negara berkembang. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. (3, 4) Spondilitis tuberkulosa juga merupakan penyakit kronik dan lambat berkembang dengan gejala yang telah berlangsung lama. (5)

(19)

Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini mengalami peningkatan pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV. (6)

Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area thorako-lumbal terutama thorakal bagian bawah (umumnya T10) dan thorako-lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. (6)

3. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah

Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang

lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti

Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika

(20)

(banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat. (6)

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang

yang bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh secara lambat dalam media

egg-enriched dengan periode 6 – 8 minggu. Produksi niasin merupakan

karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain. (6)

Gambar 2. Organ Target Tuberculosis. (Dikutip dari kepustakaan nomor 1)

4. Patogenesis

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius. (6)

Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). (6)

Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbal yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu

(21)

setengah bagian bawah vertebra di atasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra. (6)

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal tiga bentuk spondilitis :

a. Peridiskal / paradiskal

Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal. (6)

b. Sentral

Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal. (6, 7)

c. Anterior

Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan di bawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral di bawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral. (6, 7)

(22)

d. Bentuk atipikal

Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat diidentifikasikan. Termasuk di dalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung saraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2% - 10%.(6)

Gambar 3. Bentuk Spondilitis Tuberkulosa. (Dikutip dari kepustakaan nomor 1 dan 4)

Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang

cancellous dari vertebra. Area infeksi secara bertahap bertambah

besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebra yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral. (6)

Terjadinya nekrosis perkejuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan

(23)

tuberculous sequestra, terutama di regio thorakal. Discus

intervertebralis yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis. (6)

Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung saraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi, dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas. (6)

Di regio thorakal, kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di area lumbal hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbal lordosis dimana sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus artikular. (6)

Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio thorakal, tulang-tulang iga akan menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel chest. (6)

Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps. (6)

(24)

Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkejuan, dan tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal anterior. Cold abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi aslinya. (6)

Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju lipat paha di bawah ligamentum inguinal. Di regio thorakal, ligamentum longitudinal menghambat jalannya abses, tampak pada radiogram sebagai gambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pada atau sedikit di bawah level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur ke dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral yang menyerupai ‘sarang burung’. Terkadang, abses thorakal dapat mencapai dinding dada anterior di area parasternal, memasuki area retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian tepi leher.

Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Kompresi saraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada tulang (kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan dari tulang (seperti epidural granuloma, intradural granuloma, tuberculous arachnoiditis). (6)

Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien

(25)

berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini. (6)

5. Penegakkan Diagnosis

Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat. (6)

Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa. (6)

Gambaran Spondilitis Tuberkulosa antara lain :

 Badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun,

 Suhu subfebril terutama pada malam hari serta sakit pada punggung, Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.

 Pada awal dapat dijumpai nyeri interkostal yaitu nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke garis tengah keatas dada melalui ruang intercosta, hal ini karena tertekannya radiks dorsalis ditingkat torakal

 Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal.

Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus karena proses destruksi lanjut berupa :

 Paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf, akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri,

 Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai bersifat UMN dan adanya batas defisit sensorik setinggi tempat gibus/lokalisasi nyeri interkostal

(26)

Pemeriksaan fisik

 Adanya gibus dan nyeri setempat

 Spastisitas

 Hiperreflex tendon lutut/Achilles dan reflex patologik pada kedua belah sisi

 Batas deficit sensorik akibat mielitis transversa dan gangguan miksi jarang dijumpai

Anamnesa dan inspeksi :

a) Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas. (6)

b) Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa. (6)

c) Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di thorakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian thorakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri, pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku. (6)

d) Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung. (6)

(27)

e) Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disanggah oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis. (6)

f) Infeksi di regio thorakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku. Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis. (6)

g) Di regio lumbal : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya di atas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul. (6)

h) Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi. (6)

i) Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi pada kurang lebih 10 – 47% kasus. Insidensi

(28)

paraplegia pada spondilitis lebih banyak ditemukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal. (6)

j) Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai demam dan nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.(6)

Palpasi :

a. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di atasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess. (6)

b. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena. (6)

Perkusi :

Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan di atas prosessus spinosus vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness. (6)

Pemeriksaan Penunjang : 1. Laboratorium :

a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam. (6)

b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein

Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi

pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium.

(29)

kemerahan dengan diameter ‡ 10mm di sekitar tempat suntikan selama 48 – 72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada – 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain). (6, 8)

c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-paru yang aktif). (6)

d. Hapusan darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif. (6)

e. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding. (6)

f. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TB. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan tampak: (6)

 Xantokrom.

 Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.

 Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik.

 Kandungan protein meningkat.

2. Radiologis : Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi. (6)

o Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).

o Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3 – 8 minggu onset penyakit.

(30)

o Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous.

o Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama

long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik

yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra thorakal.

o Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).

(31)

Gambar 4. Gambaran Foto Polos Spondilitis Tuberkulosis. (Dikutip dari kepustakaan nomor 9)

Gambar 5. Gambaran Foto Polos Spondilitis Tuberkulosis. (Dikutip dari kepustakaan nomor 10)

(32)

Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio thorakal dan keterlibatan iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung saraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.

Gambar 6. Gambaran CT Scan menunjukkan penghancuran signifikan elemen posterior tulang.

d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk : (6)

 Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau operatif.

 Membantu menilai respon terapi.

Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di abses.

(33)

A B

C

Gambar 7. MRI Spondilitis Tuberkulosis. A dan B gambaran potongan sagital dari vertebra thorakal, menunjukkan gambar disk space loss dan kompresi vertebral dengan ekstensi jaringan lunak paravertebral (panah). C menunjukkan abses paraspinal multiloculated besar.

(34)

6. Komplikasi

a. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis. (6)

b. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di thorakal ke dalam pleura. (6)

7. Diagnosis Banding

a. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative

spondylitis). Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada

foto rontgen menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain. (6)

b. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium. (6)

c. Tumor / penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma). Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas. (6) d. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis

tuberkulosa oleh karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal. (6)

(35)

8. Terapi

Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi :

A. Terapi Konservatif

a. Pemberian nutrisi yang bergizi.

b. Pemberian kemoterapi atau terapi antituberkulosa.

Pemberian kemoterapi antituberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat antituberkulosa dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil yang memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang belum berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatu pilihan yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harus menunda pemberian terapi. (6)

Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi : (6)

 Resistensi primer

Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada pasien yang sebelumnya belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap satu obat baik itu streptomycin (SM) ataupun isoniazid (INH). Jarang terjadi resistensi terhadap rifampicin (RMP) atau ethambutol (EMB).

 Resistensi sekunder

Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien dengan infeksi yang awalnya masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut.

The Medical Research Council telah menyimpulkan

(36)

sedang berkembang adalah kemoterapi ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 – 9 bulan. Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama 6 – 12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang. Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan pasien. Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang kontroversial. Terapi yang lama, 12 – 18 bulan, dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder. Obat antituberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB). (6)

Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide, cycloserine, kanamycin dan capreomycin. (6)

 Istirahat tirah baring (resting)

Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa

local rest pada turning frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi. (6)

Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3 – 4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri,

(37)

hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester. (6)

Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra thorakal, thorakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan. (6)

B. Terapi Operatif

Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3 – 6 minggu. (6)

Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3 – 4 minggu pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat. (6, 14)

Selain indikasi di atas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila : (6)

(38)

b. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan. c. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase.

d. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau kifosis berat saat ini.

e. Penyakit yang rekuren.

9. Prognosis

Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan. (6, 15)

a. Mortalitas

Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).

b. Relaps

Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.

c. Kifosis

Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetik secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan pernapasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.

d. Defisit neurologis

Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan dilakukannya operasi dini.

(39)

DAFTAR PUSTAKA

1. Hilman, A. 2012. Tulang Belakang dan Spondilitis Tuberculosa. (Online). ( http://kangantonhilman.blogspot.com/2012/01/sekilas-tentang-tulang-belakang-dan.html, diakses tanggal 31 Januari 2014)

2. Buranda T, Djayalangkara H, Datu A, dkk. Anatomi Umum. FKUH; Makassar: 2008.

3. Rauf, A. 2010. Spondylitis TB. (Online).

( http://www.afrisusnawatirauf.wordpress.com/2010/07/02/they-called-it-spondylitis-tb/ , diakses tanggal 2 Februari 2014)

(40)

4. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2010.

5. Tuberkulosis Tulang. (Online).

(http://www.google.com/Frepository.usu.ac.id.Chapter.pdf, diakses tanggal 31 Januari 2014)

6. Vitriana. 2002. Spondilitis Tuberkulosa. (Online).

(http://www.google.com/ pustaka.unpad.ac.id.spondilitis_tuberkulosa.pdf, diakses tanggal 31 Januari 2014)

7. Rasad S, Ekayuda I, dkk. Radiologi Diagnostik. Edisi II. FKUI; Jakarta: 2009.

8. Clifford, R. Wheeleess. 2013. Tuberculous Spondylitis. (Online). (http://www.wheelessonline.com/ortho/tuberculous_spondylitis, diakses tanggal 2 Februari 2014)

9. Irul. 2012. Spondilitis TB. (Online).

( http://masirul2197.blogspot.com/2012/08/spondilitis-tbc-tubercullosa.html, diakses tanggal 2 Februari 2014)

10. Rasuoli, M. Mirkoohi, M. Vaccaro, A., dkk. 2012. Spinal Tuberculosis. (Online). (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3530707/, diakses tanggal 2 Februari 2014)

11. Berquist, M.D. Thomas, H. dkk. 2007. Musculoskeletal Imaging

Companion.2nd ed. Wolters Kluwer.

12. Gunawan S, Setiabudy R, dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI; Jakarta: 2009.

13. Yeo B, Hartono, dkk. MIMS. Edisi 14. Jakarta: 2013.

14. Martin, E. 2014. Spondylitis Tuberculosis Treatment. (Online). (http://www.ehow.com/way_5463147_spondylitis-tb-treatment.html, diakses tanggal 2 Februari 2014)

15.Hidalgo, J. Cunha, B., dkk. 2012. Pott Disease. (Online). (http://emedicine.medscape.com/article/overview , diakses tanggal 2 Februari 2014)

Gambar

Gambar 2. Organ Target Tuberculosis.
Gambar 3. Bentuk Spondilitis Tuberkulosa.
Gambar 4. Gambaran Foto Polos Spondilitis Tuberkulosis.
Gambar 6. Gambaran CT Scan menunjukkan  penghancuran signifikan elemen posterior tulang.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sebagian besar dari diare akut disebabkan oleh karena infeksi. Banyak dampak  Sebagian besar dari diare akut disebabkan oleh karena infeksi. Banyak dampak  yang dapat terjadi karena

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi

Seperti telah dijelaskan gejala atau tanda pada TB sistem skeletal bergantung pada lokasi kelainan, kelainan pada tulang belakang disebut gibbus, menampakan gejala

Pleuritis dengan efusi terjadi bila rongga pleura terinfeksi oleh M. Setelah infeksi primer perifer, rongga pleura dapat terkontaminasi dengan organisme yang

Tulang pada kelainan skurvi biasanya tampak osteopenik difus, dengan batas yang relatif hiperdens (white lines of scurvy) dimana mineralisasi osteoid berlanjut. Secara

Tumor vertebra dan medula spinalis dapat jinak atau ganas. Tumor jinak dapat mengenai tulang atau jaringan lunak. Contoh gejala yang sering dijumpai pada tumor

Kondisi ini kemudian menyebabkan munculnya HP pada pasien TB paru.3,13,20 Infeksi sekunder berulang pada rongga yang tersisa bekas TB serta obstruksi saluran pernafasan disebabkan oleh

Klasifikasi HIV/AIDS Stadium Klinis Kondisi Klinis atau Gejala Infeksi primer HIV  Asimptomats  Sindrom retrovirus akut Infeksi stadium I  Asimptomats  Limfadenopat