BAB II
DATA DAN ANALIS A
2.1 Data dan Literatur
Data informasi yang dipakai untuk mendukung proyek Tugas Akhir ini Diperoleh dari beberapa sumber, antara lain :
1. Literatur dan internet 2. Kepala daerah marunda 3. M usium Rumah Pitung
2.2 Hasil Survey Lapangan
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia, Betawi, atau Jacatra (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan : 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 7.552.444 jiwa (2007). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 23 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia.
Jakarta berlokasi di sebelah utara Pulau Jawa, di muara Ci Liwung, Teluk Jakarta. Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter dpl. Hal ini
pegunungan dengan curah hujan tinggi. Jakarta dilewati oleh 13 sungai yang semuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ci Liwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan di sebelah barat berbatasan dengan provinsi Banten.
Jakarta merupakan daerah tujuan urbanisasi berbagai ras di dunia dan berbagai suku bangsa di Indonesia, untuk itu diperlukan bahasa komunikasi yang biasa digunakan dalam perdagangan pada masa lampau yaitu bahasa M elayu. Penduduk asli yang berbahasa Sunda pun akhirnya menggunakan bahasa M elayu tersebut.
Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan terakhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga M anik yang saat ini dis impan di perpustakaan Bodleian, O xford, Inggris.
M eskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Untuk penduduk asli di Kampung Jatinegara Kaum, mereka masih kukuh menggunakan bahasa leluhur mereka yaitu bahasa Sunda.
Budaya Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan ibu kota Indonesia yang menarik pendatang dari seluruh Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, M inang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta
juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugal.
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. M ereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, M elayu dan Tionghoa.
Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari M alaka di semenanjung M alaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, M A memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu
sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Rumah Bugis di bagian utara Jl. M angga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. M isalnya saja orang Arab dan M oor, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang M elayu.
Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung
Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. M andor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
2.3 Buku
Buku adalah Buku adalah kumpulan dari kertas atau material lainnya yang dicetak atau ditulis; dan digabung bersama disatu sisi sehingga dapat dibuka dari sisi lainnya.
M anusia telah menggunakan buku dalam sekitar 5,000 tahun. Di jaman peradaban lampau, manusia menulis di lempengan lempung, potongan kayu tipis, atau material-material lainya. Kata book berasal dari kata inggris boc, yang berarti tablet atau written sheets. Buku dicetak pertama kali di Eropa pada pertengahan 1400’an.
2.3.1 Anatomi Buku
Buku pada umunya memiliki empat bagian, yaitu :
1. Kulit Buku 2. Awalan 3. Teks 4. Akhiran
2.3.2 Binding
Ini merupakan sisi pinggir dari buku, yang membuat kumpulan kertas menjadi satu. Prosesnya menggunakan lem yang keras lalu dilapisi kertas tebal yang sering disebut sebagai hardcover. Binding juga ada beberapa gaya untuk menambah sisi keunikan pada sebuah buku tersebut.
2.3.3 Ukuran Buku
Buku memiliki beberapa ukuran kertas ideal dari segi kenayaman memegang antara lain:
2. Quarto, Kertas dibagi menjadi empat bagian 3. Octavo, Kertas dibagi menjadi delapan bagian
Namun seiring berkembangnya waktu, ukuran buku menjadi sangat beragam. Ada juga dengan format ukuran yang tidak biasa atau unik untuk menambah daya tarik pembaca. Tetapi tetap pada ukuran-ukuran ideal tangan dan tata baca manusia.
2.3.4 Cover
Ada dua jenis cover buku, hardcover dan softcover. Cover merupakan salah satu bagian pendukung buku yang terbilang penting. Karena cover merupakan sisi luar dari sebuah buku, sisi dimana awal yang berbicara tentang isi dari buku tersebut. Cover yang menarik juga dapat menarik para pembaca untuk membaca atau membeli buku tersebut.
2. penyambung buku
3. tulang buku yang biasa juga ditulis judul selain di covernya. 4. Tail merupakan bagian bawah buku
1. Endsheet: selembar kertas yang biasanya menyambung pada bagian dalam cover.
2. Hinge: bagian sudut buku, agar buku dapat dibuka dengan mudah. 3. Fore edge: ujung buku
Dust Jacket adalah tambahan untuk sebuah buku, biasanya digunakan untuk melindungi buku agar tidak cepat rusak.
2.4 Target Publikasi
Target publikasi ini adalah semua lapisan masyarakat yang kurangnya edukasi tentang pahlawan suku. Usia mulai dari 16-25 tahun. Agar mereka tahu bahwa ternyata di Indonesia tepatnya di Jakarta terdapat seorang jawara yang tidak kalah menarik untuk panuti sifat positifnya. Dalam hal penyampaian informasi saya menggunakan media cetak buku, agar mudah didapat dan dapat dibawa pada saat berpergian. Dan diharpakan masyarakat dapat mengenal dan mengetaui
biografi perjuangan dari Jawara Betawi “Si Pitung” agar dari kalangan masyarakat Indonesia khususnya Jakarta bisa membanggakan dan meneruskan perjungan dari Jawara Betawi “Si Pitung”.
2.4.1 S .W.O.T S trength
- M emiliki data langsung dari M usium Si Pitung
- Sudah ada beberapa media cetak dan elektornik yang menceritakan kisah “Si Pitung” - Target publikasi yang di tuju adalah masyarakat yang sedang berkembang dengan
usia mulai dari 16 tahun keatas, dapat mendukung jalannya proses publikasi.
Weakness
- Informasi tentang kota Jakarta khususnya rawa belong.
- Target penelitian yang tempatnya antara satu dengan yang lain berjauhan.
Opportunity
- Keberaniandan kesaktian Si Pitung yang mampu menarik minat para masyarakat. - Dapat memperkuat dan mempertahankan budaya kita sendiri.
Threat
- Kurangnya publikasi oleh pemerintah setempat
- M inimnya tingkat kepedulian terhadap budaya sendiri yang dapat memudarkan ke cintaan masyarakat terhadat suku, adat, maupun bangsa nya.