VII. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini membahas tentang analisis pendugaan fungsi produksi usaha ternak sapi potong dan tingkat daya saing yang dicapai pada usaha penggemukan sapi potong di wilayah penelitian. Analisis ini dilakukan untuk melihat bagaimana kondisi daya saing usaha dengan kondisi produksi usaha penggemukan sapi potong saat ini. Analisis fungsi produksi dilakukan untuk melihat variabel-variabel yang mempengaruhi produksi usaha penggemukan sapi potong, tingkat efisiensi teknis yang dicapai dan variabel-variabel yang mempengaruhi inefisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong diwilayah penelitian. Analisis fungsi produksi menggunakan model Stochastic frontier dengan metode pendugaan
Maximum Likelihood (MLE). Daya saing usaha penggemukan sapi potong
dianalisis dan diukur melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan Policy Analysis
Matrix (PAM). Model PAM disusun berdasarkan data penerimaan dan biaya
produksi yang terbagi dalam dua bagian yaitu harga finansial (private) dan harga ekonomi (social).
Dalam analisis ini variabel input yang diduga berpengaruh terhadap produksi usaha penggemukan sapi potong yang dilihat dari pertambahan bobot badan sapi, terdiri dari hijauan (X1), konsentrat (X2), tenaga kerja (X3), obat-obatan (X4), dummy umur bakalan (X5) dan dummy penguasaan ternak (X6). Sebelum dilakukan pendugaan terhadap fungsi produksi usaha penggemukan sapi potong, maka terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap model tersebut agar mendapatkan model estimasi yang baik.
7.1. Analisis Variabel-variabel yang Mempengaruhi Produksi Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam
7.1.1. Deskripsi Variabel Usaha Penggemukan Sapi Potong
Statistik deskriptif berguna untuk mengetahui karakter dari sampel yang diteliti dalam penelitian. Dari statistik deskriptif tersebut dapat diketahui nilai rata-rata, nilai minimum, nilai maksimum dan standar deviasi masing-masing variabel dari sampel yang diteliti. Tabel 21 menyajikan statistik deskriptif untuk semua variabel yang digunakan dalam estimasi fungsi produksi stochastic
frontier.
Tabel 21. Statistik Deskriptif Masing-masing Variabel Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam
No Variabel Minimum Maximum Mean Standar
Deviasi 1 Pertambahan Bobot Badan (kg) 135.20 524.80 298.22 95.87 2 Jumlah Hijauan (kg) 15 015.00 38 610.00 28 349.75 5 180.79 3 Jumlah Konsentrat (kg) .00 7 850.70 1 578.69 2 475.83 4 Jumlah TK (HOK) 42.90 160.90 93.73 33.70 5 Pengeluaran Obat-obatan (Rp) .00 800 000.00 112 333.33 118071.60
6 Dummy Umur Bakalan - - - -
7 Dummy Pola
Pengusaan Ternak - - - -
Rata-rata produksi usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam sebesar 298.22 kg dengan nilai minimum adalah 135.20 kg dan nilai maksimum sebesar 524.80 kg. Nilai standar deviasi pertambahan bobot badan sapi sebesar 95.87, dimana nilai tersebut lebih kecil dari nilai rata-rata menunjukkan bahwa data terkumpul dan terdistribusi normal. Sedangkan rata-rata jumlah hijauan yang diberikan peternak sebesar 28 349.75 kg dengan standar deviasi lebih kecil yaitu sebesar 5 180.79, mengindikasikan bahwa data terdistribusi normal. Hal yang
sama juga ditunjukkan pada variabel Tenaga Kerja, dimana untuk variabel tersebut nilai standar deviasinya juga lebih kecil dibandingkan nilai rata-ratanya. Sedangkan untuk variabel jumlah konsentrat dan tenaga kerja nilai standar deviasinya lebih besar dari nilai rata-ratanya, yang berarti data cukup bervariasi. Namun dalam analisis produksi sudah menggunakan log atau ln, sehingga data sudah dinormalisasi dan menjadi lebih baik.
7.1.2. Pengujian Fungsi Produksi Usaha Penggemukan Sapi Potong
Bentuk fungsi produksi harus dapat menggambarkan dan mendekati keadaan sebenarnya, mudah diukur atau dihitung secara statistik serta dapat dengan mudah diartikan, khususnya arti ekonomi dari parameter yang menyusun fungsi produksi tersebut (Soekartawi et al. 1986). Sebelum melakukan estimasi
maximum likelihood, maka terlebih dahulu dilakukan penentuan garis penduga
dengan metode kuadrat terkecil (ordinary least square) yang memenuhi kriteria
Best Linier Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian model dengan uji asumsi
OLS (Ordinary Least Square) didapatkan bahwa model produksi usaha penggemukan sapi potong yang dibangun sudah menghasilkan estimator yang
Best, Linear, Unbiased Estimator (BLUE), dan hasil pengujian ditampilkan pada
Lampiran 2, 3 dan 4. OLS akan bersifat BLUE jika memenuhi asumsi-asumsinya. Untuk mendapatkan model estimasi yang baik maka perlu dilakukan beberapa pengujian, diantaranya : uji normalitas, multikolinearitas, dan heterokedastisitas.
Uji normalitas dilakukan dengan uji normal p-plot, yaitu dengan melihat penyebaran data (titik) pengamatan pada sumbu diagonal grafik. Jika data menyebar normal disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Semakin dekat garis
pengamatan dengan garis aktual berarti residualnya semakin kecil dan semakin bagus model tersebut. Hasil yang diperoleh bahwa data meyebar normal mengikuti garis diagonal, dimana garis pengamatan berada dekat atau disekitar garis aktual. Multikolinearitas adalah situasi adanya hubungan antara variabel-variabel independen diantara satu dengan yang lainnya atau adanya hubungan yang sempurna antara beberapa atau semua variabel bebas (X) dalam model regresi yang digunakan. Salah satu cara untuk mendeteksi masalah multikolinearitas dalam sebuah model dapat menggunakan Variance Inflation
Factor (VIF). Jika nilai VIF semakin besar maka diduga ada multikolinearitas.
Multikolinearitas yang serius dalam model jika nilai Variance Inflation Factor (VIF) lebih besar dari 10 (Widarjono, 2007). Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai VIF untuk masing-masing input adalah lebih kecil dari 10, yang berarti tidak terdapat multikolinearitas dalam model.
Pengujian heterokedastisitas dimaksudkan untuk melihat bahwa variabel gangguan semuanya mempunyai varians yang sama. Jika asumsi ini tidak dipenuhi maka terdapat heterokedastisitas. Heterokedastisitas bertentangan dengan salah satu asumsi dasar regresi linier, yaitu bahwa variabel residual sama untuk semua pengamatan (homoskedastisitas), dan penaksir ini tidak lagi mempunyai varians minimum atau efisien atau dengan kata lain estimasi koefisien menjadi kurang akurat jika terjadi heterokedastisitas. Cara yang paling cepat dan dapat digunakan untuk menguji masalah heterokedastisitas adalah dengan mendeteksi pola residual melalui sebuah grafik. Jika residual mempunyai varians yang sama maka pola residual akan menyebar, dan sebaliknya jika ada heterokedastisitas maka residual menunjukkan pola tertentu. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa varian dari variabel gangguan adalah sama (homoskedastisitas).
7.1.3. Pendugaan Fungsi Produksi Usaha Penggemukan Sapi Potong
Pembahasan mengenai variabel-variabel yang mempengaruhi produksi dijelaskan berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisis fungsi produksi
stochastic frontier (Lampiran 5). Dalam menduga fungsi produksi, semua variabel
input yang diduga berpengaruh terhadap produksi usaha penggemukan sapi potong yang dilihat dari pertambahan bobot badan sapi, dimasukkan kedalam model. Variabel tersebut terdiri dari hijauan (X1), konsentrat (X2), tenaga kerja (X3), obat-obatan (X4), dummy umur bakalan (X5), dan dummy pola penguasaan ternak (X6).
Hasil estimasi fungsi produksi stochastic frontier disajikan pada Tabel 22. Nilai sigma squared (σ2) dan gamma (γ) berturut-turut adalah 0.022 dan 0.999, dan nyata pada taraf 99 persen. Gamma mengindikasikan keberadaan efisiensi teknis dalam proses produksi, atau variasi hasil yang disebabkan oleh perbedaan efisensi teknis.
Tabel 22. Pendugaan Fungsi Stochastic Frontier dengan Menggunakan Metode
Maximum Likelihood Estimates (MLE)
Variabel Simbol Parameter
Dugaan
t-rasio
Intersep 6.832 6.732
Jumlah Hijauan (kg) X1 0.119* 1.051
Jumlah Konsentrat (kg) X2 0.006 *** 2.899
Jumlah Tenaga Kerja (HOK) X3 0.033 0.582
Pengeluaran Obat-obatan (Rp) X4
0.003 0.655
Dummy Umur Bakalan X5 0.324 *** 3.840
Dummy Pola Penguasaan Ternak X6 0.139 * 1.648
Log-likelihood OLS Log-likelihood MLE LR 29.73 36.75 14.05 Keterangan : ***nyata pada α 1% ; **nyata pada α 5%; * nyata pada α 15%
Nilai ratio generalized likelihood (LR) dari fungsi produksi stochastic
frontier adalah 14.05 dan lebih besar dari pada nilai kritis pada Tabel Kodde dan
Palm (1986) yaitu 11.91, dimana signifikan pada α = 5 persen yang berarti ada efek inefisiensi teknis dalam model pada teknologi tertentu. Dalam fungsi produksi variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan sapi adalah jumlah hijauan, konsentrat, dummy umur bakalan, dan dummy pola penguasaan ternak. Sedangkan untuk Variabel jumlah tenaga kerja dan pengeluaran obat-obatan tidak berpengaruh nyata.
Jumlah Hijauan (X1). Koefisien hijauan bertanda positif dan
berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan sapi pada taraf (α = 15 persen). Nilai koefisien hijauan sebesar 0.119 berarti penambahan pakan ternak berupa hijauan sebesar 10 persen dapat meningkatkan pertambahan robot badan sapi senesar 1.19 persen. Hal ini mengingat hijauan merupakan pakan utama ternak sapi dan kebutuhan sapi terhadap hijauan cukup besar yaitu 10 persen dari bobot badan sapi atau 70 persen dari komposisi pakan usaha penggemukan sapi potong. Disamping itu sebagian besar peternak di daerah penelitian hanya memberikan hijauan sebagai pakan ternak, sehingga produksi sapi tergantung pada hijauan yang dikonsumsinya. Kondisi empiris di lapangan, peternak memberikan hijauan rata-rata 66.33 dan 65.83 kg per ekor per hari masing-masing di Kecamatan Sungai Puar dan Tilatang Kamang, dimana jumlah tersebut sudah memenuhi kebutuhan 10 persen dari bobot badan sapi.
Untuk meningkatkan fungsi hijauan dalam rangka meningkatkan bobot badan sapi, maka peternak juga harus memperhatikan frekuensi pemberian hijauan, karena akan berpengaruh terhadap kecernaan bahan pakan oleh sapi,
dimana empiris di lapangan umumnya peternak memberikan hijauan dalam jumlah yang banyak dengan frekuensi 2 kali sehari, yaitu pagi dan sore hari. Proses memamah-biak (ruminasi) pada ternak ruminansia berlangsung secara periodik. Proses ruminasi ini dapat terganggu apabila volume pakan yang masuk lebih besar dari kapasitas lambung. Akibatnya bolus pakan yang belum sempat dicerna akan dapat langsung masuk kedalam alat digesti selanjutnya (usus). Pemberian hijauan sebaiknya dihindari pemberian yang sekaligus dan dalam jumlah yang banyak, dimana dianjurkan pemberian dilakukan secara bertahap dan minimal 4 kali dalam sehari semalam (Siregar, 2008).
Hasil penelitian Arfa’i (1992) juga menunjukkan bahwa faktor produksi hijauan berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan sapi selama pemeliharaan. Penelitian Elly (2008) menghasilkan bahwa jumlah konsumsi rumput oleh ternak berpengaruh nyata terhadap produksi ternak sapi pada taraf nyata 15 persen, dan sebaliknya kebutuhan terhadap hijauan juga tergantung pada produksi sapi, dimana semakin tinggi produksi sapi, kebutuhan terhadap hijauan juga semakin meningkat.
Jumlah Konsentrat (X2). Koefisien konsentrat berpengaruh positif dan
signifikan pada taraf (α = 1 persen). Koefisien konsentrat sebesar 0.006 berarti peningkatan pemberian konsentrat sebagai pakan ternak sebesar 10 persen berpeluang meningkatkan bobot badan sapi sebesar 0.06 persen. Konsentrat adalah bahan pakan yang berkonsentrasi tinggi dengan kadar serat kasar yang relatif rendah dan mudah dicerna. Fungsinya adalah meningkatkan dan memperkaya (pelengkap) nilai gizi pada bahan pakan lain (hijauan) yang nilai gizinya rendah. Konsentrat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah campuran
dari berbagai bahan pakan yang terdiri dari dedak, kulit ubi, dan mineral. Ternak sapi yang hanya diberi pakan hijauan tanpa pakan konsentrat tidak mungkin pertambahan bobot badannya maksimal. Jumlah pemberian konsentrat yang dianjurkan untuk sapi peranakan adalah 2 persen dari bobot badan. Sedangkan di daerah penelitian pemberian konsentrat masih dibawah 2 persen yaitu rata-rata 1.3 persen dari bobot badan sapi. Berarti pemberian konsentrat masih perlu ditambahkan dalam rangka peningkatan bobot badan sapi. Pertambahan bobot badan sapi rata-rata di daerah penelitian adalah 0.5 kg per hari untuk Kecamatan Sungai Puar dan 0.75 kg per hari untuk Kecamatan Tilatang Kamang. Hasil penelitian Sidauruk et al. (2001) setiap penambahan satu persen konsentrat menyebabkan penambahan 0.0416 persen bobot akhir sapi pada penggemukan pola fattening. Yenita (1995) menghasilkan penggunaan konsentrat 1.2 persen dari bobot badan awal sapi menghasilkan pertambahan bobot 1.1 kg per ST per hari. Target pertumbuhan sapi potong yang dicanangkan oleh Menteri Pertanian dalam program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS), pertambahan bobot badan sapi untuk sapi keturunan adalah diatas 0.9 kg/ekor/hari, sedang untuk sapi PO diatas 0.7 kg/ekor/hari.
Jumlah Tenaga Kerja (X3). Koefisien tenaga kerja berpengaruh positif
namun tidak nyata berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan sapi. Koefisien tenaga kerja adalah 0.033 menunjukkan bahwa penambahan jumlah jam kerja pada penggemukan sapi potong memungkinkan pertambahan bobot badan sapi meningkat sebesar 0.33 persen. Curahan jam kerja tidak berpengaruh nyata, hal ini terkait dengan perbedaan curahan jam kerja diantara peternak lebih disebabkan oleh perbedaan waktu yang diperlukan untuk mencari hijauan, dimana
bagi peternak yang menempuh jarak yang lebih jauh akan menghabiskan waktu lebih lama. Sedangkan dalam hal pengelolaan ternak relatif sama, seperti kebersihan kandang dan waktu pemberian pakan.
Tenaga kerja manusia masih menduduki peran penting dalam pengusahaan sapi potong. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Awoyemi (2000) yang menunjukkan bahwa di negara berkembang tenaga kerja manusia masih sangat penting, karena tenaga mesin biasanya hanya digunakan pada usaha pertanian besar yang bersifat komersial. Disamping itu ketersediaan tenaga kerja keluarga yang tinggi pada usaha peternakan sapi potong akan mendorong rumah tangga lebih giat guna mendorong produksi sapi.
Kondisi empiris di daerah penelitian, bahwa proporsi tenaga kerja yang banyak digunakan untuk pengelolaan sapi potong adalah tenaga kerja keluarga. Curahan jam kerja peternak untuk pengelolaan sapi potong adalah 1.7 jam per ekor per hari, atau 0.213 HOK per ekor per hari, dimana sebagian besar digunakan untuk mencari atau menyediakan hijauan. Jadi satu HOK mampu menangani 4 sampai 5 ekor ternak. Produksi masih dapat ditingkatkan dengan meningkatkan jam kerja dalam pengelolaan sapi potong terutama curahan waktu untuk perawatan ternak, seperti sanitasi kandang, penyiapan pakan, dan memandikan ternak. Hal ini sangat penting dalam rangka menjaga kesehatan ternak. Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Mulyanuddin (1996) menjelaskan satu HOK hanya mampu menangani empat ST (Satuan Ternak). Penelitian Elly (2008) menghasilkan ketersediaan tenaga kerja keluarga pada usaha ternak sapi di Bolaang Mongondow berpengaruh dalam peningkatan produksi sapi, sedangkan di Minahasa tidak mempengaruhi produksi sapi.
Pengeluaran Obat-obatan (X4). Koefisien pengeluaran obat-obatan
bertanda negatif, namun tidak nyata. Hal ini terkait dengan nilai koefisien elastisitas permintaan faktor produksi bertanda negatif, yang menjelaskan adanya hubungan negatif antar permintaan faktor produksi variabel terhadap harganya. Kenaikan harga obat-obatan menyebabkan penggunaan obat-obatan cenderung berkurang, sehingga upaya peternak terhadap pengobatan dan pencegahan penyakit ternaknya menurun. Peternak di daerah penelitian umumnya hanya menggunakan obat-obatan jika ternak ada yang sakit. Obat- obatan yang sering diberikan berupa antibiotik dan obat cacing, sedangkan obat-obatan lain biasanya berupa vitamin, namun itupun tidak diberikan secara rutin. Vitamin biasanya diberikan waktu pertama kali sapi sampai di kandang atau saat awal penggemukan dilakukan, dan selanjutnya beberapa peternak memberikannya satu kali enam bulan. Penelitian Yunus (2009) tentang efisiensi produksi ayam pedaging menunjukkan bahwa variabel vaksin, obat-obatan dan vitamin berpengaruh nyata namun dengan arah yang negatif. Sumartini (2004) dalam Yunus (2009) juga menemukan pada peternak mandiri, variabel obat dan vaksin mempunyai hubungan yang negatif terhadap output usaha ternak ayam ras pedaging, karena pada umumnya peternak hanya mengandalkan pengalaman dan metode coba-coba dalam hal pemberian obat-obatan (antibiotik).
Dummy Umur bakalan (X5). Koefisien dummy umur bakalan berpengaruh positif, dan nyata pada α = 1 persen. Tanda positif mengindikasikan penggemukan sapi potong dengan bakalan yang digunakan berada pada fase pertumbuhan, maka akan berpengaruh positif terhadap pertambahan bobot badan sapi. Empiris di lapangan menunjukkan bahwa 46.67 persen dari peternak
menggunakan sapi bakalan dengan umur diatas satu tahun. Sugeng (2006), menyatakan bahwa penggemukan sebaiknya dilakukan pada ternak sapi usia 12-18 bulan atau paling tua umur 2.5 tahun. Pembatasan usia ini dilakukan atas dasar bahwa pada usia tersebut ternak tengah mengalami fase pertumbuhan dalam pembentukan kerangka maupun jaringan daging. Berdasarkan umur sapi yang akan digemukkan, lama penggemukan dibedakan menjadi tiga (Sugeng 2006), yaitu : (1) untuk sapi bakalan dengan umur kurang dari 1 tahun, lama penggemukan berkisar antara 8-9 bulan, (2) untuk sapi bakalan umur 1-2 tahun, lama penggemukan 6-7 bulan, dan (3) untuk sapi bakalan umur 2-2.5 tahun, lama penggemukan 4-6 bulan. Siregar (1996) mengemukakan bahwa untuk mencapai efisiensi yang tinggi pada usaha penggemukan sapi potong perlu diketahui saat yang tepat untuk penggemukan, lama pemeliharaan dan saat yang tepat untuk menjual sapi hasil penggemukan.
Dummy Pola Penguasaan Ternak (X6). Koefisien dummy pola penguasaan ternak bertanda positif dan nyata berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan sapi pada α = 15 persen. Tanda yang positif mengindikasikan bahwa penguasaan peternak terhadap ternak, yaitu milik sendiri atau bagi hasil akan mempengaruhi peternak dalam mengelola usahanya, sehingga peternak yang usahanya adalah milik sendiri akan lebih giat dan akan dengan cepat mengantisipasi resiko kegagalan yang mungkin muncul, karena peternak tidak ingin menderita kerugian dalam usahanya tersebut. Secara umum pola penguasaan ternak sapi di daerah penelitian adalah milik sendiri (53.3 persen) dan sisanya adalah sistem bagi hasil (46.7 persen). Bila usaha ternak dengan status penguasaannya milik sendiri mengalami kegagalan maka yang menanggung
kerugiannya adalah peternak sendiri. Mengingat sapi potong merupakan komoditas yang memerlukan biaya tinggi, maka untuk menghindari kegagalan petani akan lebih memperhatikan usaha ternaknya.
7.1.4. Efisiensi Teknis Usaha Penggemukan Sapi Potong
Efisiensi teknis dianalisis dengan menggunakan model fungsi produksi
stochastic frontier. Nilai indeks efisiensi teknis hasil analisis dikategorikan
efisien jika lebih besar dari 0.8 karena daerah penelitian merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Sumatera Barat.
Tabel 23. Sebaran Efisiensi Teknis Peternak Responden
Sebaran Nilai Efisiensi Teknis Jumlah Presentase (%) 0.41 – 0.50 0.51 – 0.60 0.61 – 0.70 0.71 – 0.80 0.81 – 0.90 0.91 – 1.00 1 2 20 18 11 8 1.67 3.33 33.33 30.00 18.33 13.33 Total 60 100.00 Rata-rata Minimum Maksimum 0.764 0.478 0.996
Tabel 23 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis yang dicapai peternak penggemukan sapi potong di lokasi penelitian adalah sebesar 0.764. Artinya, rata-rata produktivitas yang dicapai adalah sebesar 76.4 persen yang berarti produksi masih dapat ditingkatkan sebesar 23.6 persen untuk mencapai frontir yakni produktivitas maksimum yang dapat dicapai dengan sistem pengelolaan yang terbaik. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar peternak di Kabupaten Agam belum efisien dalam berproduksi, karena rata-rata tingkat efisiensi yang dicapai masih di bawah 80 persen.
Secara umum tingkat efisiensi teknis usaha ternak relatif merata, dimana dari seluruh peternak yang mengusahakan penggemukan sapi potong yang diteliti, 63.33 persen berada pada 0.61-0.80. Sedangkan yang tergolong efisien (tingkat efisiensi di atas 0.80) hanya 31.67 persen. Hal ini berarti proporsi peternak sapi potong yang mendekati frontir (Tingkat Efisiensi Teknis mendekati 1,0) ada sebanyak 31.67 persen. Hasil penelitian juga menunjukkan rata-rata tingkat efisiensi teknis pengusahaan penggemukan sapi potong di Tilatang Kamang lebih tinggi yaitu sebesar 0.798, sedangkan Kecamatan Sungai Puar rata-rata 0.731. Hasil yang diperoleh lebih rendah dari penelitian Cehyan dan Haznechi (2010) yang menghasilkan bahwa Technical Efficiency (TE) yang dicapai pada usaha penggemukan sapi potong di Turkey rata-rata adalah 0.92 dengan kisaran antara 0.67-1, sehingga berarti penggunaan input dapat diturunkan sebesar 8 persen tanpa mengurangi tingkat output yang dihasilkan. Sedangkan penelitian Rae et al. (2006) yang meneliti Total Factor Productivity (TFP) dan Technical Efficiency (TE) usaha ternak di China menghasilkan bahwa selama rentang waktu 1998-2001 rata-rata pertumbuhan TFP produksi daging sapi di atas 4.5 persen sedangkan rata-rata pencapaian efisiensi teknis adalah 75 persen.
Tingkat efisiensi teknis dapat diinterpretasikan dari dua sisi. Pada satu sisi, tingkat efisiensi teknis yang tinggi mencerminkan prestasi peternak sapi potong dalam keterampilan manajerial usaha penggemukan sapi potong adalah cukup tinggi. Penguasaan informasi dan pengambilan keputusan dalam mengelola faktor-faktor penting yang mempengaruhi kinerja produktivitas usaha penggemukan sapi potong dapat dinilai berada dalam level yang memuaskan. Sementara di sisi lain, tingkat efisiensi teknis yang tinggi juga merefleksikan
bahwa peluang yang kecil untuk meningkatkan produktivitas yang cukup tinggi, karena kesenjangan antara tingkat produktivitas yang telah dicapainya dengan tingkat produktivitas maksimum yang dapat dicapai dengan sistem pengelolaan terbaik (the best practice) cukup sempit. Dengan kata lain, agar dapat meningkatkan produktivitas secara nyata maka dibutuhkan inovasi teknologi yang lebih maju. Sebaliknya tingkat efisensi teknis yang rendah menunjukkan bahwa masih terdapat peluang yang besar untuk meningkatkan produktivitas hingga dicapainya produktivitas maksimum.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat efisiensi teknis yang dicapai masih rendah. Hal ini terkait dengan penggunaan input-input produksi dan sumber-sumber inefisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong, yaitu umur, pendidikan, pengalaman peternak dan status usaha ternak.
7.1.5. Sumber-sumber Inefisiensi Teknis Usaha Penggemukan Sapi Potong
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis peternak di wilayah penelitian diduga dengan menggunakan model efek inefisiensi dari fungsi produksi stochastic frontier. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata dalam menjelaskan inefisiensi teknis didalam proses produksi usaha penggemukan sapi potong, adalah faktor umur dan dummy status usaha. Diantara faktor-faktor tersebut, hasil pendugaan sesuai dengan yang diharapkan, kecuali untuk faktor umur. Semua faktor berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Artinya peningkatan umur, pendidikan, pengalaman, dan status usaha milik sendiri dapat menurunkan inefisiensi teknis usaha penggemukan sapi potong.
Tabel 24. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Variabel Nilai Dugaan t – rasio
Konstanta Umur (Z1) Pendidikan (Z2) Pengalaman (Z3)
Dummy Status Usaha (Z4)
1.014 -0.139 * -0.058 -0.029 -0.128 ** 1.788 -1.166 -0.493 -0.838 -2.175
Keterangan : ***nyata pada α 1% ; **nyata pada α 5%; * nyata pada α 15%;
Umur (Z1). Variabel umur dimasukkan dalam model efek inefisiensi
teknis dengan dugaan berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis usaha ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur bertanda negatif. Hal ini mengindikasikan semakin lama umur, maka peternak cenderung lebih efisien dalam menggunakan input produksi. Hal ini terjadi karena seiring dengan peningkatan usia peternak, kemungkinan pengalaman dan keterampilan mereka juga meningkat. Sejalan dengan hasil tingkat efisiensi teknis yang dicapai masing-masing peternak yaitu terdapat 31.67 persen peternak yang berada pada selang tingkat efisiensi teknis yang tergolong tinggi yaitu antara 0.81-1.00. Sebagian besar peternak (78.9 persen) dengan tingkat efisiensi teknis yang tinggi tersebut berada pada usia di atas usia rata-rata peternak ( ≥ 43 tahun). Jika dibandingkan dengan peternak yang berada pada tingkat efisiensi teknis yang rendah yaitu pada selang kecil dari 0.81 ( < 0.81), empiris lapangan menunjukkan sebagian besar peternak berada di bawah usia rata-rata.
Kondisi ini sesuai dengan fenomena empiris di lapangan, dimana usaha ternak merupakan usaha turun-temurun, sehingga ada kecenderungan semakin bertambah usia peternak berarti pengalamannya dalam usaha ternak juga meningkat. Disamping itu dengan semakin meningkatnya usia peternak, alokasi
waktu untuk beternak menjadi lebih banyak, sehingga lebih fokus terhadap usaha ternaknya. Sementara peternak dengan usia yang lebih muda cenderung memiliki aktivitas lain sebagai sumber nafkah keluarga, sehingga usaha penggemukan sapi hanya ditempatkan sebagai usaha sampingan. Hasil yang sama pada penelitian Adhiana (2005) bahwa umur berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis petani lidah buaya. Begitu pula dengan penelitian (Umoh, 2006) yang menemukan bahwa variabel umur berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis pada usahatani di pedesaan namun tidak nyata. Penelitian Kurniawan (2008) pada usahatani jagung menemukan hal yang berbeda, dimana faktor usia petani jagung berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis petani namun tidak nyata menjelaskan inefisiensi teknis didalam proses produksi.
Pendidikan Formal (Z2). Hasil analisis menunjukkan variabel umur
bertanda negatif namun tidak nyata. Variabel ini dianggap sebagai proxy dari kemampuan manajerial peternak. Semakin lama waktu yang dihabiskan peternak untuk menempuh pendidikan diduga semakin mendorong peternak untuk meningkatkan efisiensi dalam proses produksi dan penggunaan input-input. Variabel pendidikan tidak berpengaruh nyata, karena empiris di lapangan tingkat pendidikan peternak relatif merata, dimana sebagian besar (50 persen) peternak berada pada level pendidikan Sekolah Dasar (SD). Variabel lamanya pendidikan adalah jumlah waktu (tahun) yang dihabiskan peternak untuk menempuh pendidikan formalnya. Menurut Kebede (2001) pendidikan meningkatkan kemampuan petani untuk mencari, memperoleh dan mengiterpretasikan informasi yang berguna tentang input-input produksi. Hal ini didukung oleh hasil estimasi, dimana pendidikan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis produksi.
Peluang untuk meningkatkan produksi dapat dilakukan melalui peningkatan potensi teknologi dan peningkatan manajemen peternak. Namun pendidikan formal sebaiknya juga didukung dengan pendidikan non formal yang ditempuh di luar sekolah seperti pelatihan, lokakarya dan penyuluhan yang juga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peternak dalam mengelola usahanya.
Pengalaman (Z3). Pengalaman diukur berdasarkan selang waktu peternak
menjalankan usaha penggemukan sapi potong. Pada beberapa penelitian sebelumnya, pengalaman dianggap sebagai proxy dari umur petani khususnya pada sistem pertanian tradisional. Namun Kebede ( 2001) menemukan bahwa petani yang berumur lebih tua tidak selalu memiliki pengalaman yang lebih banyak dari petani yang lebih muda, sehingga pemisahan variabel umur dan pengalaman peternak sebagai variabel yang berdiri sendiri dianggap relevan. Hasil penelitian diperoleh pengalaman peternak yang bertanda negatif, menunjukkan bahwa semakin lama pengalaman peternak dalam mengusahakan penggemukan sapi potong, maka peternak akan semakin efisien atau tingkat inefisiensi teknis semakin rendah. Menurut Sihite (1998) pengalaman beternak sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan dan keterampilan peternak dalam pengelolaan usaha ternaknya. Rata-rata pengalaman beternak di daerah penelitian adalah 14.4 tahun. Tingkat pengalaman peternak selama itu akan memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola usaha ternaknya. Semakin lama pengalaman beternak, cenderung semakin memudahkan peternak dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan teknis pemeliharaan usaha
ternaknya. Hal tersebut disebabkan karena pengalaman dapat dijadikan pedoman dan penyesuaian terhadap permasalahan usaha ternak di masa mendatang.
Dummy status usaha ternak (Z4). Status usaha ternak di wilayah
penelitian terdiri dari usaha utama dan sampingan. Hasil analisis menunjukkan variabel dummy status usaha ternak berpengaruh nyata pada α = 5 persen dengan tanda negatif. Hal ini dapat dijelaskan bahwa peternak yang menjadikan usaha penggemukan sebagai usaha utama relatif lebih efisien dibandingkan peternak yang menjadikan usahanya hanya sebagai sampingan. Hal ini disebabkan peternak yang menjadikannya sebagai usaha utama, maka perhatiannya akan lebih fokus dan keinginan untuk peningkatan produksi akan lebih tinggi, karena usaha tersebut sebagai sumber penghasilan utama untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Secara umum usaha penggemukan sapi potong di wilayah penelitian masih sebagai usaha sampingan, yaitu rata-rata 63.33 persen dari keseluruhan peternak responden. Empiris di lapangan dari keseluruhan peternak yang berada pada selang tingkat efisiensi teknis tergolong tinggi ( 0.81-1.00), sebagian besar (68.4 persen) menjadikan usaha ternaknya sebagai usaha utama. Jika dibandingkan dengan peternak yang berada pada selang tingkat efisiensi teknis yang rendah ( < 0.81), 75.6 persen peternak menjadikan usaha ternaknya hanya sebagai usaha sampingan. Peternak yang menjadikan sebagai usaha sampingan, kepemilikan ternaknya lebih sedikit yaitu rata-rata 1.7 ekor, sedangkan kepemilikan ternak sebagai usaha utama rata-rata 4.7 ekor. Dengan demikian sejalan juga dengan teori yang menyatakan bahwa efisiensi dapat meningkat dengan peningkatan terhadap skala usaha.
Selanjutnya dapat dijelaskan varians (σ2) dan parameter gamma (γ) model efek inefisiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier. Pada Tabel dapat diketahui bahwa parameter γ dugaan yang merupakan rasio dari varians efisiensi teknis (ui) terhadap varians total produksi (εi) adalah 0.999. Secara statistik nilai tersebut nyata pada α = 0.01. Angka ini menunjukkan bahwa 99.9 persen dari variabel galat dalam fungsi produksi menggambarkan efisiensi teknis peternak atau 99.9 persen dari variasi hasil diantara peternak responden disebabkan oleh perbedaan efisiensi teknis.
Tabel 25.Varians dan Parameter γ (gamma) dari Model Inefisiensi Teknis Fungsi Produksi Stochastic frontier
Varians dan
Parameter γ Nilai Dugaan Standard Error t-rasio
σs2 = σv2 + σu2 0.022 0.005 1.540
γ = σu2 / σs2 0.999 0.270 3.703
Hasil ini menjelaskan bahwa hampir semua variasi dalam keluaran dari produksi batas dianggap sebagai akibat dari tingkat pencapaian teknis efisiensi yang berkaitan dengan manajerial dalam pengelolaan usaha penggemukan sapi potong.
7.2. ANALISIS DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG
Efisiensi merupakan salah satu akar penentu daya saing. Suatu produk memiliki daya saing yang tinggi salah satu cirinya adalah produk tersebut dapat diproduksi secara efisien. Hal ini karena suatu produk yang diproduksi secara efisien akan menyebabkan biaya produksi menurun sehingga keuntungan akan makin meningkat. Secara sederhana, produksi yang efisien adalah produksi yang dapat menghasilkan produk yang optimal. Efisiensi adalah rasio antara output
dengan input. Dari definisi tersebut, terdapat tiga situasi yang dapat dikategorikan sebagai produksi yang efisien. Pertama, apabila dengan input yang sama menghasilkan output yang lebih besar. Kedua, apabila dengan input yang lebih kecil menghasilkan output yang sama, dan yang terakhir dengan input yang lebih besar menghasilkan output yang lebih besar (Lipsey, 1995).
Berdasarkan hasil analisis dihasilkan bahwa rata-rata efisiensi pada usaha penggemukan sapi potong adalah sebesar 76.4 persen, dimana nilai efisiensi terendah yaitu 47.8 persen dan yang tertinggi 99.6 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pada tingkat penggunaan input yang ada produksi masih dapat ditingkatkan, atau pada tingkat produksi yang ada biaya produksi masih dapat diturunkan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pada penelitian ini juga akan dilihat bagaimana pengaruh produksi terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong. Upaya peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Beberapa upaya yang perlu dioptimalkan penggunaannya pada usaha penggemukan sapi potong adalah sumberdaya alam seperti bahan baku pakan lokal dan bibit ternak lokal, sumberdaya kapital dan sumberdaya manusia dalam hal ini peternak sebagai pengelola. Hal ini tentunya juga akan sangat menentukan daya saing usaha penggemukan sapi potong, dimana pemanfaatan sumberdaya domestik seefisien mungkin akan meningkatkan daya saing usaha itu sendiri.
Daya saing usaha penggemukan sapi potong di kedua lokasi penelitian dianalisis dan diukur melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix). Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan
menggunakan matriks PAM akan diperoleh informasi daya saing kegiatan usaha penggemukan sapi potong di wilayah penelitian. Hasil analisis tersebut dapat memberikan informasi apakah sebaiknya pemerintah mengimpor atau memproduksi daging untuk mencukupi kebutuhan dalam negerinya, serta melihat dampak kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan usaha penggemukan sapi potong. Dari analisis PAM dapat diketahui nilai PCR (Private Cost Ratio) dan DRC (Domestic Resources Cost Ratio) yang merupakan kriteria keunggulan kompetitif dan komparatif suatu komoditas.
7.2.1. Justifikasi Harga Bayangan
1. Harga Bayangan Output
Harga bayangan dalam hal ini sapi potong ditingkat peternak digunakan harga CIF (cost insurance and freight). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia sebagai net importir sapi potong. Kemudian dari harga border tersebut dilakukan penyesuaian dengan penambahan terhadap biaya penanganan dan angkutan. Harga output disesuaikan dengan nilai tukar Rupiah bayangan (Shadow
Exchange Rate).
Harga bayangan sapi potong dalam penelitian ini ditetapkan rata-rata sebesar Rp. 13 741 741 per ekor. Harga ini diperoleh dari harga CIF sapi potong ditambah dengan biaya penanganan dan pengangkutan dan dikalikan dengan
Shadow Exchange Rate (SER) yaitu sebesar Rp. 11 004.42. 2. Harga bayangan Sapi Bakalan
Sumber bibit atau bakalan sapi diperoleh dari hasil persilangan sapi impor dan lokal. Untuk itu harga bayangan bibit diasumsikan 50 persen terdiri dari
komponen tradable dan 50 persen terdiri dari komponen domestik. Untuk komponen domestik diasumsikan harga bayangan sama dengan harga pasarnya (harga di lokasi usaha). Sedangkan untuk komponen tradable yang berasal dari impor digunakan harga CIF ditambah dengan biaya transportasi dan tataniaga lainnya. Rata-rata harga bayangan sapi bakalan adalah Rp. 8 990 281 per ekor. 3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan
Penentuan harga bayangan sarana produksi dan peralatan didasarkan pada harga border price untuk yang termasuk komoditi tradable dan harga domestik untuk input non tradable. Dalam penelitian ini yang termasuk input tradable adalah mineral, vitamin, antibiotik, obat cacing dan pupuk urea. Sedangkan bahan pakan berupa hijauan, dedak, dan ampas tahu serta peralatan yang digunakan pada usaha penggemukan sapi termasuk input non tradable.
Harga bayangan untuk mineral dan obat-obatan walaupun sudah diproduksi di dalam negeri namun sebagian bahan bakunya masih diimpor, sehingga harga bayangan untuk mineral dan obat-obatan berdasarkan harga CIF. Biaya obat-obatan terdiri dari input tradable dan non tradable, dimana karena sebagian besar bahan bakunya adalah impor, maka ditetapkan 80 persen dihitung sebagai komponen tradable dan 20 persen sebagai komponen non tradable, seperti yang dilakukan oleh Adnyana et al. (1996). Untuk biaya komponen non
tradable atau domestik vitamin, juga ditambahkan dengan biaya tip yang
dikeluarkan untuk tenaga kesehatan hewan yang membantu dalam pengobatan. Harga CIF antibiotik ditambah biaya penanganan dan pengangkutan yaitu sebesar Rp. 875.54/ml.
Harga pupuk urea sampai saat ini masih disubsidi oleh pemerintah, yaitu berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 32 tahun 2010 yaitu tentang kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian tahun anggaran 2010, harga pupuk urea subsidi yaitu Rp. 1 600 per kilogram. Harga bayangan pupuk urea berdasarkan pada harga pupuk non subsidi di wilayah penelitian yaitu Rp. 3 500 per kilogram. Komponen biaya pupuk urea terdiri dari 33.7 persen tradable dan 64.3 persen non tradable, seperti yang dilakukan Kurniawan (2008).
4. Harga Bayangan Tenaga Kerja
Harga bayangan tenaga kerja dihitung dengan mempertimbangkan tingkat pengangguran pada daerah penelitian. Harga bayangan tenaga kerja jika tidak ada pengangguran berarti harganya sama dengan harga harga aktual upah, sedangkan berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Agam (2009) dengan adanya pengangguran sebesar 7 persen, maka harga bayangan sosial adalah 93 persen dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian. Tingkat upah aktual yang berlaku adalah Rp. 35 000 per HOK. Dengan demikian harga bayangan tenaga kerja adalah Rp. 32 550 per HOK.
5. Harga Bayangan Lahan
Harga sosial lahan didekati dengan nilai sewa lahan di daerah penelitian, hal ini dilandasi oleh mekanisme pasar lahan di pedesaan berjalan dengan baik, dan sulitnya mencari opportunity cost of land. Walaupun berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa sebagian besar peternak memanfaatkan lahan milik sendiri, namun di wilayah penelitian tersebut masih berlaku sewa menyewa lahan, terutama dalam usaha pertanian. Berdasarkan hal tersebut, maka
harga bayangan sewa lahan mengacu pada harga yang berlaku di daerah penelitian yaitu Rp. 1 000 000 per hektar.
6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah
Harga bayangan nilai tukar Rupiah dihitung menggunakan Standard
Conversion Factor (SCF) sebagai koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku.
Harga bayangan merupakan hasil bagi dari harga nilai tukar resmi pemerintah dengan SCF. Nilai SCF yang diperoleh pada tahun 2009 adalah sebesar 0.99, sehingga harga bayangan nilai tukar adalah Rp. 11 004.42.
7.2.2. Identifikasi Kebijakan Pemerintah terkait dengan Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam
Kompetisi antara sapi lokal dengan produk impor berupa sapi maupun daging akan terus terjadi. Pada kompetisi ini yang sangat memegang peranan adalah daya saing, khususnya dalam pengadaan feeder cattle dan proses penggemukan yang lebih cepat dan efisien. Pengendalian impor dijalankan sesuai dengan aturan perdagangan internasional dengan memanfaatkan tariff maupun
non-tariff barrier. Pengenaan non tariff barier sesuai dengan prinsip Sanitary and Phitosanitary (SPS) dan Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).
Indonesia mempunyai acuan dalam pemasukan ternak dan produk ternak yaitu berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada dasarnya pemasukan sapi hidup ke Indonesia harus berasal dari negara yang bebas dari Penyakit Hewan Menular Utama (PHMU) dan Zoonotic berbahaya. Khusus untuk pemasukan karkas, daging dan atau jeroan tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20 tahun 2009. Hal ini memberikan peluang terhadap negara manapun untuk dapat
menjadi negara pengekspor ke Indonesia sepanjang memenuhi persyaratan teknis yang telah ditetapkan.
Salah satu aturan global yang penting dalam perdagangan antar negara dalam melindungi negara terhadap ancaman hama dan penyakit baik yang mengancam hewan, tumbuhan dan manusia adalah Sanitary and Phitosanitary
(SPS) Agreement yang merupakan hambatan non tariff. Aturan ini menjadi faktor
penting dalam mendukung Program Swasembada Daging Sapi sebagai pendorong Indonesia untuk mempertahankan status bebas beberapa penyakit yang tidak ada di Indonesia (eksotik) seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Bovine
Spongiform Encephalopathy (BSE) dan penyakit eksotik penting lainnya seperti
NIPAH, dan Rinderpest.
Kebijakan Pemerintah lainnya adalah terkait dengan upaya memfasilitasi pengembangan usaha penggemukan sapi. Usaha ini dilakukan baik oleh pihak swasta atau koperasi yang pada umumnya melakukan importasi sapi bakalan maupun oleh kelompok-kelompok peternak sapi potong skala kecil atau menengah yang mendapat fasilitas dari Pemerintah (pusat dan daerah) dengan memanfaatkan sapi lokal dan hasil IB. Usaha penggemukan sapi bakalan yang dilakukan oleh para importir sapi potong harus dilakukan sekitar 3 bulan atau lebih, sehingga sapi dengan bobot awal kurang dari 350 kg tersebut mencapai bobot potong sekitar 500-600 kg. Pemerintah menetapkan bahwa bobot sapi impor tidak boleh lebih dari 350 kg. Hal ini bertujuan agar sapi impor melewati proses penggemukan terlebih dahulu sebelum dipotong guna meningkatkan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja. Dari uraian diatas, maka beberapa peraturan
perundangan yang ditetapkan pemerintah untuk memproteksi usaha peternakan sapi potong domestik adalah:
1. Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2000 tentang Karantina Hewan.
2. Peraturan Menteri Pertanian No. 07/Permentan/OT.140/1/2008 tentang Syarat dan Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Benih, Bibit Ternak dan Ternak Potong.
3. Peraturan Menteri Pertanian No.20/Permentan/OT.140/4/2009 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging dan/atau Jeroan dari Luar Negeri.
4. Undang-Undang No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain kebijakan dari segi output, pada usaha penggemukan sapi potong juga berlaku kebijakan terhadap input (sapronak). Salah satu kebijakan pemerintah yang masih dirasakan peternak dan bersifat melindungi peternak adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk juga berlaku untuk peternak atau penanam hijauan pakan ternak. Pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani atau peternak yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah di sektor pertanian. Lingkup pengawasan mencakup pengadaan dan penyaluran, jenis, jumlah dan mutu, Harga Eceran Tertinggi (HET), dan waktu pengadaan penyaluran. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 32/Permentan/ SR.130/4/2010 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Teringgi (HET) Pupuk bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2010 ditetapkan Harga Eceran Tertinggi untuk pupuk urea adalah Rp 1 600 per kilogram. Dengan adanya
kebijakan subsidi pupuk diharapkan peternak dapat meningkatkan penyediaan kualitas dan kuantitas hijauan sebagai pakan ternak.
Disamping kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah juga menetapkan berbagai Peraturan Daerah terkait dengan tataniaga sapi potong. Hal ini sejalan juga dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Kebijakan Otonomi Daerah mendorong Pemerintah Daerah meningkatkan pendapatan asli daerah sehingga muncul retribusi dalam kegiatan perdagangan sapi potong. Kebijakan pemerintan daerah Kabupaten Agam dalam perdagangan sapi potong terdiri dari Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1998 tentang retribusi Rumah Potong Hewan (RPH). Struktur dan besarnya tarif yang ditetapkan adalah : (1) Pemeriksaan Kesehatan Ternak sebelum dipotong dengan tarif sebesar Rp. 10 000 per ekor, (2) tarif pemakain kandang sebesar Rp. 5 000 per ekor, (3) tarif pemakaian tempat pemotongan sebesar Rp. 10 000 per ekor, dan (4) pemakaian angkutan dengan tarif sebesar Rp. 1 500 per kilometer. Peraturan lainnya yang ditetapkan pemerintah Kabupaten Agam adalah Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1999 tentang retribusi pasar grosir atau pertokoan yang juga berlaku terhadap perdagangan sapi potong, dimana retribusi untuk pasar ternak adalah sebesar Rp. 5 000 per ekor sapi.
7.2.3. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam
Analisis finansial dan ekonomi memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai kelayakan usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. Komponen biaya merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam menjalankan suatu usaha. pengambilan keputusan tentang besarnya biaya perlu
menggunakan berbagai pertimbangan. Biaya yang dikeluarkan pada usaha penggemukan sapi potong terdiri dari biaya sapi bakalan, biaya pakan, biaya tenaga kerja, biaya vitamin dan obat-obatan, biaya pupuk untuk hijauan, biaya transportasi, biaya penyusutan kandang dan peralatan, serta biaya sewa lahan. Tabel 26. Penerimaan dan Komponen Biaya Rata-rata Usaha Penggemukan Sapi
Potong di Kabupaten Agam
Kec. Sungai Puar Kec. Tilatang Kamang
Uraian Jumlah (Rp/ekor) Proporsi (%) Jumlah (Rp/ekor) Proporsi (%) Penerimaan 15 187 778 15 377 778 Biaya : 1. Sapi Bakalan 2. Pakan 3. Tenaga Kerja 4. Vitamin dan Obat-obatan 5. Urea 6. Transportasi 7. Penyusutan Kandang 8. PenyusutanPeralatan 9. Sewa Lahan Total 8 722 666 2 920 473 1 300 042 83 245 54 178 58 613 327 407 121 556 58 889 13 647 069 63.9 21.4 9.5 0.6 0.4 0.4 2.4 0.9 0.4 100.0 9 624 596 1 870 340 397 775 49 035 72 593 109 133 204 141 85 924 84 848 12 498 385 77.0 14.9 3.2 0.4 0.6 0.9 1.6 0.7 0.7 100.0 Keuntungan 1 540 709 2 879 393
Berdasarkan Tabel 26, untuk setiap pemeliharaan satu ekor sapi potong di Kedua Kecamatan, biaya terbesarnya dialokasikan untuk biaya sapi bakalan yaitu 63.9 persen atau dengan nilai Rp. 8 722 666 untuk peternak di Kecamatan Sungai Puar dan 77.0 persen atau dengan nilai sebesar Rp. 9 624 596 untuk peternak di Kecamatan Tilatang Kamang.
Proporsi biaya berikutnya adalah biaya pakan sebesar 21.4 persen dengan nilai sebesar Rp. 2 920 473 untuk peternak di Kecamatan Sungai Puar dan 14.9 persen dengan nilai sebesar Rp. 1 870 340 untuk peternak di Kecamatan Tilatang Kamang. Selanjutnya untuk Kecamatan Sungai Puar adalah biaya tenaga kerja
(9.5 persen), penyusutan kandang (2.4 persen), penyusutan peralatan (0.9 persen), dan terkecil adalah urea, transportasi dan sewa lahan dengan proporsi yang sama yaitu masing-masing 0.4 persen. Sedangkan untuk Kecamatan Tilatang Kamang komponen biaya terkecil adalah biaya vitamin dan obat-obatan.
Perbedaan proporsi biaya antara dua Kecamatan terlihat jelas untuk komponen biaya sapi bakalan, dimana peternak di Kecamatan Tilatang Kamang mengelurkan biaya lebih besar. Hal ini disebabkan peternak di Kecamatan Tilatang Kamang umumnya membeli sapi bakalan yang berumur di atas 1 tahun sementara peternak di Sungai Puar lebih memilih sapi bakalan yang lebih muda, didasarkan pada modal yang dimilki.
Profitabilitas privat (finansial) adalah selisih penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan harga output yang diterima dan harga input yang dibayar peternak. Total biaya termasuk juga nilai sewa lahan dan upah tenaga kerja dalam keluarga. Profitabilitas privat (finansial) merupakan indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Sedangkan profitabilitas sosial mengindikasikan keunggulan komparatif suatu komoditas dalam pemanfaatan sumberdaya yang langka di dalam negeri. Pada kondisi ini harga input dan output diperhitungkan dalam kondisi persaingan sempurna, dimana segala bentuk subsidi dan proteksi yang bersifat mendistorsi pasar telah dihilangkan. Sistem komoditas dengan tingkat profitabilitas sosial (ekonomi) yang makin tinggi maka menunjukkan tingkat keunggulan komparatif yang semakin besar.
Secara finansial maupun ekonomi usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam, baik Kecamatan Sungai Puar maupun Tilatang Kamang
menguntungkan. Hal ini terlihat dari keuntungan finansial dan ekonomi yang bernilai positif. Penerimaan finansial dan ekonomi usaha penggemukan sapi juga memperlihatkan divergensi positif. Hal ini mengindikasikan bahwa harga yang diterima oleh peternak khususnya di Kabupaten Agam lebih tinggi dari barang sejenis yang dijual di pasar internasional. Adanya perbedaan harga output juga karena konsumen cenderung lebih suka sapi lokal dibanding sapi impor. Hasil analisis berdasarkan perhitungan PAM dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Matriks Analisis Kebijakan Usaha Penggemukan Sapi potong di Kabupaten Agam
Biaya Input (Rp/ekor) Uraian
Penerimaan Output
(Rp/ekor) Tradable Input Non Tradale Input
Keuntungan Kec. Sungai Puar
Nilai Finansial Nilai Ekonomi
Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar 15 187 778 13 621 857 1 565 921 4 479 439 4 201 291 278 148 9 167 630 8 917 480 250 150 1 540 709 503 086 1 037 623 Kec. Tilatang Kamang
Nilai Finansial Nilai Ekonomi
Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar 15 377 778 13 796 234 1 581 544 4 919 224 4 572 141 347 083 7 579 161 7 489 640 89 521 2 879 393 1 734 453 1 144 940
Keuntungan privat dan sosial dari usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Sungai Puar lebih rendah dibandingkan dengan keuntungan privat dan sosial peternak di Kecamatan Tilatang Kamang. Hal ini karena tingkat produksi yang dicapai usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Tilatang Kamang yang dilihat dari pertambahan bobot badan sapi (0.75 kg/hari) lebih baik dibandingkan usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Sungai Puar (0.56 kg/hari).
Salah satu penyebab terjadinya divergensi adalah kebijakan pemerintah yang distorsif. Penerapan kebijakan distorsif untuk mencapai tujuan yang bersifat
non efisiensi akan menghambat terjadinya alokasi sumberdaya yang efisien dan dengan sendirinya akan menimbulkan divergensi. Misalnya tarif impor daging yang ditetapkan untuk meningkatkan pendapatan peternak dan meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri, namun dilain pihak akan menimbulkan kerugian efisiensi bila harga daging sapi yang digantikannya ternyata lebih murah dari biaya domestik yang digunakan untuk memproduksi daging sapi di dalam negeri, sehingga akan timbul trade-off (Pearson, 2005).
Secara teori, kebijakan yang paling efisien dapat dicapai jika pemerintah mampu menciptakan kebijakan yang mampu menghapuskan kegagalan pasar dan jika pemerintah mampu mengabaikan tujuan non efisiensi serta menghapuskan kebijakan yang distorsif. Apabila tindakan menciptakan kebijakan yang efisien dan menghilangkan kebijakan yang distorsif tersebut mampu dilaksanakan, maka divergensi dapat dihilangkan.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnnya bahwa baik di Tilatang Kamang maupun di Sungai Puar, keduanya memiliki keuntungan privat dan sosial yang lebih besar dari nol. Hal ini berarti bahwa ada atau tidak adanya intervensi pemerintah pengusahaan penggemukan sapi potong masih menguntungkan secara finansial dan ekonomi atau memiliki daya saing dan tingkat efisiensi yang baik.
7.2.4. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam
Alokasi sumberdaya pada kegiatan perekonomian senantiasa diarahkan untuk mencapai tingkat efisiensi ekonomi yang tinggi sehingga produksi dan produktivitas yang tinggi dapat tercapai. Ukuran yang biasa digunakan untuk melihat efisiensi finansial dan ekonomi yang sekaligus sebagai indikator
keunnggulan kompetitif dan komparatif adalah Privat Cost Ratio (PCR) dan
Domestic Resources Cost Ratio (DRC). Efisiensi finansial dan Keunggulan
kompetitif suatu komoditas ditentukan oleh nilai keuntungan privat dan nilai
Privat Cost Ratio (PCR). PCR merupakan rasio antara biaya input non tradable
dengan nilai tambah atau selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga aktual. Harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga aktual yang terjadi di pasar dimana harga tersebut telah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol tersebut menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi potong untuk menghasilkan komoditi daging lokal menguntungkan secara privat dan dapat bersaing pada tingkat harga privat.
Berdasarkan nilai PCR dapat dikatakan bahwa komoditas sapi potong efisien secara finansial dan mempunyai keunggulan kompetitif, karena untuk menghasilkan satu unit nilai tambah pada harga-harga privat hanya memerlukan kurang dari satu unit input domestik. Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat efisiensi finansial dan keunggulan kompetitif yang dimiliki.
Tabel 28. Privat Cost Ratio (PCR) dan Domestic Resources Cost Ratio (DRC) Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam
No Indikator Kec. Sungai
Puar
Kec. Tilatang Kamang
Gabungan
1 Privat Cost Ratio (PCR) 0.856 0.725 0.767
2 Domestic Resources Cost Ratio (DRC)
0.947 0.812 0.853
Nilai PCR yang diperoleh pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam secara keseluruhan adalah 0.767. Sedangkan untuk
masing-masing Kecamatan adalah 0.856 untuk Kecamatan Sungai Puar dan 0.725 untuk Kecamatan Tilatang Kamang. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik masing-masing sebesar 0.856 dan 0.725. Keunggulan kompetitif akan meningkat jika biaya faktor domestik dapat diminimumkan dan atau memaksimumkan nilai tambahnya. Sesuai dengan hasil analisis produksi, bahwa pada tingkat penggunaan input yang ada produktivitas yang dicapai pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam masih dapat ditingkatkan, yaitu sebesar 23.6 persen untuk mencapai produktivitas maksimum. Selain itu nilai tambah juga dapat ditingkatkan dengan peningkatan penggunaan teknologi yang dapat menurunkan biaya per unit output.
Nilai PCR di Kecamatan Tilatang Kamang lebih kecil dibandingkan Kecamatan Sungai Puar, yang berarti bahwa pengusahaan penggemukan sapi potong di Kecamatan Tilatang Kamang lebih kompetitif dibanding Kecamatan Sungai Puar. Hal ini disebabkan biaya domestik yang harus dikeluarkan Kecamatan Sungai Puar lebih tinggi, terutama untuk biaya-biaya domestik yaitu biaya pakan berupa hijauan, biaya obat-obatan dan biaya tenaga kerja. Berdasarkan hasil penelitian pemberian pakan hijauan rata-rata 66.33 dan 65.83 kg per ekor per hari masing-masing di Kecamatan Sungai Puar dan Tilatang Kamang. Pemberian hijauan di Kecamatan Sungai Puar lebih tinggi dibandingkan Kecamatan Tilatang Kamang. Begitupula dengan penggunaan tenaga kerja, dimana di Sungai Puar jam kerja adalah 1.8 jam per ekor per hari, sedangkan di Tilatang Kamang 1.3 jam per ekor per hari. Hal ini terkait juga dengan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi, bahwa pengusahaan penggemukan sapi
potong di Kecamatan Tilatang Kamang memiliki rata-rata tingkat efisiensi teknis yang lebih tinggi dibandingkan Kecamatan Sungai Puar.
Keunggulan komparatif dan tingkat efisiensi ekonomi usaha penggemukan sapi potong ditunjukkan oleh nilai DRC yaitu rasio antara biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga sosialnya. Nilai DRC menunjukkan kemampuan sistem produksi usaha penggemukan sapi potong dalam membiayai faktor domestiknya pada harga sosial, atau dengan kata lain menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa.
Secara keseluruhan di Kabupaten Agam nilai DRC sebesar 0.853. Sedangkan untuk masing-masing kecamatan nilai DRC adalah 0.947 untuk Kecamatan Sungai Puar dan 0.812 untuk Kecamatan Tilatang Kamang. Nilai tersebut berarti bahwa pada masing-masing Kecamatan, untuk menghasilkan satu satuan nilai tambah diperlukan 0.947 dan 0.812 satuan biaya input domestik pada harga sosialnya. Nilai tersebut juga mengandung arti bahwa setiap US$1 yang dibutuhkan untuk impor sapi potong, jika diproduksi di Kabupaten Agam hanya membutuhkan biaya masing-masing US$ 0.947 dan US$0.812, sehingga terjadi penghematan devisa negara sekitar US$0.530-0.188. Hasil yang tidak jauh berbeda juga diperoleh oleh Adnyana (1997), dimana nilai DRC produksi daging sapi pada berbagai pola usaha kecuali usaha dengan pola PIR kredit adalah berkisar antara 0.806 sampai dengan 0.983. Sedangkan untuk usaha yang menerapkan pola PIR kredit lebih memiliki keunggulan komparatif dengan nilai DRC 0.547-0.656.
Nilai DRC yang kurang dari satu menunjukkan bahwa pengusahaan penggemukan sapi efisien secara ekonomi dan mempunyai keunggulan
komparatif serta mampu beroperasi tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Disamping itu juga mengindikasikan bahwa pemenuhan kebutuhan domestik akan komoditas sapi potong lebih baik diproduksi di dalam negeri dari pada harus mengimpor dari negara lain. Nilai DRC pada Kecamatan Sungai Puar lebih tinggi dari Kecamatan Tilatang Kamang mengindikasikan bahwa untuk memproduksi atau menghemat satu nilai tambah output di Kecamatan Sungai Puar membutuhkan biaya yang lebih besar (devisa yang dihemat lebih kecil). Walaupun hasil yang diperoleh menunjukkan lebih baik memperoduksi sendiri, tetapi kenyataannya Indonesia masih harus mengimpor sapi potong karena kebutuhan dalam negeri hanya mampu memenuhi 70 persen dari kebutuhan nasional, sedangkan kekurangannya harus diimpor terutama dari Australia dan New Zealand.
Nilai DRC pada usaha penggemukan sapi potong lebih besar dari nilai PCR (DRC > PCR) menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang memberikan insentif atau protektif terhadap produsen atau peternak sapi potong. Diantara kebijakan pemerintah terhadap usaha ternak sapi potong adalah adanya subsidi pupuk sehingga dapat menurunkan biaya produksi peternak dalam penyediaan hijauan sebagai pakan ternak. Kebijakan pemerintah lainnya terlihat dari adanya pembatasan jumlah impor untuk sapi potong dan pemberlakuan kriteria-kriteria untuk sapi yang boleh diimpor, diantaranya bobot badan sapi tidak boleh lebih dari 350 kg, dan peraturan pemasukan sapi hidup ke Indonesia harus berasal dari negara yang bebas dari Penyakit Hewan Menular Utama (PHMU) dan Zoonotic berbahaya. Walaupun kebijakan pemerintah yang ada masih memberikan insentif atau dukungan terhadap peternak, akan tetapi dukungan
tersebut semakin berkurang. Berdasarkan hasil penelitian Nefri (2000) menemukan bahwa keunggulan komparatif atau nilai DRC usaha peternakan sapi potong adalah sebesar 0.52-0.56. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh semakin berkurangnya kebijakan pemerintah yang memproteksi peternak. Semakin berkurangnya proteksi pemerintah terhadap peternak terlihat dari semakin menurunnya tarif impor sapi potong, yang saat ini sudah dihapuskan. Disamping itu juga semenjak tahun 2000 pemerintah telah mengahapus subsidi atas pakan ternak.
7.2.5. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam
Usaha agribisnis peternakan hanya akan berkembang dan maju bila didukung dengan kebijakan yang kondusif. Pada kegiatan hulu harus dapat menjamin ketersediaan input produksi secara mudah, murah dan berkelanjutan. Kebijakan dalam hal budidaya (on farm) harus dapat memberi kepastian usaha, terkait dengan tata ruang, kebijakan dalam hal harga dan perdagangan harus dapat memberi kepastian kepada pelaku usaha agar harga daging tetap atraktif namun masih terjangkau.
Kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat memberikan dampak positif maupun negatif, dimana dapat menurunkan atau meningkatkan produksi maupun produktivitas dari suatu aktivitas ekonomi. Saat ini peternak juga dihadapkan pada situasi dimana dengan diberlakukannya perdagangan bebas (Free Trade Area) yang akan mengurangi proteksi pemerintah terhadap peternak domestik.
Dampak kebijakan pemerintah dapat diidentifikasi melalui identitas divergensi yang disajikan pada baris ketiga dari Tabel PAM. Divergensi menyebabkan harga privat berbeda dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat karena adanya distorsi kebijakan yang mengakibatkan harga privat berbeda dengan harga efisiensinya, atau karena kekuatan pasar yang gagal.
7.2.5.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam
Indikator untuk menentukan proteksi pemerintah terhadap output peternakan sapi potong domestik dalam Tabel PAM ditunjukkan oleh besaran nilai Output Transfer (OT) dan nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Hasil Output Transfer (OT) usaha penggemukan sapi potong menunjukkan nilai yang positif, artinya harga output di pasar domestik lebih tinggi dibandingkan harga internasionalnya. Hal ini mengindikasikan bahwa ada kebijakan pemerintah yang bersifat protektif terhadap peternak sehingga menguntungkan peternak. Hal ini terlihat dengan adanya kebijakan pemerintah untuk membatasi kuota sapi impor maupun daging impor agar harga sapi domestik tidak jatuh. Pemerintah hanya memberikan izin impor dalam rangka mencukupi kebutuhan nasional. Disamping itu pemberlakukan kriteria-kriteria terhadap daging dan sapi impor seperti ASUH, SPS, dan bebas PHMU juga dapat melindungi produsen sapi potong domestik. Namun pemerintah masih harus memperhatikan kebijakan pengaturan volume impor, karena pada tahun 2007-2009 masih terdapat kelebihan impor untuk bakalan dan daging sapi.
Hasil OT didukung pula oleh nilai Nominal Protection Coefficient on
berdasarkan harga domestik dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan.
Tabel 29. Output Transfer dan Nominal Protection coefficient on Output Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam
No Indikator Kec. Sungai
Puar
Kec. Tilatang Kamang
Gabungan
1 Output Transfer (OT)
(Rp/ekor)
1 565 921 1 581 544 1 576 662 2 Nominal Protection coefficient
on Output (NPCO)
1.1150 1.1146 1.1147
Nilai NPCO yang lebih besar dari satu (NPCO > 1) yaitu 1.1147 menunjukkan bahwa harga domestik lebih tinggi dari harga internasional atau nilai total output 11.47 persen lebih tinggi dari harga internasionalnya. Hasil yang diperoleh di dua Kecamatan hampir sama disebabkan oleh harga yang diterima peternak di Kedua Kecamatan tersebut tidak berbeda. Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan yang ditemukan oleh Perdana (2003), bahwa nialai NPCO pada usaha penggemukan sapi di Kabupaten Bandung adalah sebesar 1.21 untuk sapi yang berasal dari bakalan impor dan 1.23 untuk usaha yang menggunakan sapi bakalan lokal. Hal ini berarti terdapat kebijakan pemerintah yang menguntungkan peternak.
Harga sapi potong domestik berkisar antara Rp. 22 000 sampai dengan Rp. 24 000 per kilogram. Sedangkan harga sapi impor berkisar antara Rp. 20 000 sampai Rp. 22 000 per kilogram. Berbeda dengan usaha sapi potong, usaha peternakan sapi perah menghasilkan NPCO < 1, yang berarti adanya dampak kebijakan pemerintah dan distorsi pasar susu menyebabkan tingkat harga yang dibayar konsumen lebih murah dari harga susu impor. Dampak kebijakan dan
distorsi pasar yang ada menyebabkan terjadinya transfer pendapatan dari produsen susu (peternak) ke konsumen susu (Feryanto, 2010).
7.2.5.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam
Kebijakan pemerintah juga berlaku untuk harga input dari usaha yang dijalankan. Berbagai kebijakan pemerintah biasanya diwujudkan melalui pemberian subsidi atau hambatan perdagangan (tariff atau non tariff) yang diberlakukan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan dapat melindungi produsen dalam negeri. Hal ini dilakukan dengan harapan agar peternak sebagai pengguna input dapat menerima harga input yang lebih rendah sehingga dapat menekan biaya produksi usaha ternaknya. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input ditunjukkan oleh nilai Input Transfer (IT), Factor
Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI). Indikator
dampak kebijakan pemerintah terhadap input dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30. Input Transfer, Nominal Protection Coefficient on Input dan Factor
Transfer Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam
No Indikator Kec. Sungai
Puar
Kec. Tilatang Kamang
Nilai Gabungan
1 Input Transfer (IT)
(Rp/ekor)
278 148 347 083 358 295 2 Nominal Protection
Coefficient on Input (NPCI)
1.066 1.076 1.081
3 Factor Transfer (FT)
(Rp/ekor)
250 150 89 521 132 101
Nilai Input Transfer (IT) merupakan selisih antara biaya privat input
tradable dengan biaya bayangannya atau dengan kata lain mengindikasikan
perbedaan harga input yang harus dibayar peternak dengan harga impornya. Input