• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Sindroma Koroner Akut

II.1.1. Definisi

Organisasi kesehatan dunia memprediksi bahwa penyakit

kardiovaskuler, terutama SKA akan menjadi penyebab utama morbiditas dan

mortalitas di negara-negara berkembang sebelum tahun 2020 (Katz,2006).

World Health Organization (WHO)

(Tunstall H dkk,1994) dan

American Heart

Association (AHA)

pada akhir tahun 1950 menegakkan diagnosis SKA

berdasarkan 2 dari 3 kriteria yaitu manifestasi klinis nyeri dada, gambaran

EKG dan penanda enzim jantung (Luepker,2003).

Sindroma Koroner Akut (SKA) terdiri dari infark miokard akut

(IMA) disertai elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST

(IMA non STE) dan angina pektoris tak stabil (APTS) (Braunwald,1989;

Christopher PC,2005).

Walaupun presentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki

kesamaan patofisiologi (Libby,1995). Jika troponin T atau I positif tetapi

tanpa gambaran ST elevasi disebut IMA non STE dan jika troponin negatif

disebut APTS seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. (Hamm dkk,2004;

PERKI,2012)

(2)

American College of Cardiology (ACC)

menyatakan bahwa adanya

peningkatan enzim jantung yaitu troponin ataupun

creatine kinase

MB

(otot,otak) (Luciano,2005) walaupun hanya sedikit merupakan penanda adanya

nekrosis miokard dan pasien harus dikategorikan sebagai IMA (Newby

dkk,2003).

Secara umum, IMA-STE menggambarkan oklusi koroner total akut

(Foo & De Bono,2000). Tujuan terapi adalah tindakan reperfusi segera,

komplit dan menetap dengan angioplasti primer (Levine dkk,2011) atau terapi

fibrinolitik (Antman dkk,2008). Sedangkan pada pasien dengan IMA non

STE/APTS, strategi awal pada pasien ini adalah meredakan iskemia dan gejala,

memantau pasien dengan EKG serial dan mengulangi pengukuran penanda

nekrosis miokard (Wright RS dkk,2011).

Data dari GRACE 2001, menunjukkan pasien yang datang ke rumah

sakit dengan keluhan nyeri dada ternyata yang terbanyak adalah IMA-STE

(34%), IMA non STE (31%) dan APTS (29%) (Budaj dkk,2003) seperti yang

ditunjukkan pada tabel 1.

II.1.2. Epidemiologi

Angka mortalitas dalam rawatan di rumah sakit pada IMA-STE

dibanding IMA non STE adalah 7% dibandingkan 4%, tetapi pada jangka

panjang (4 tahun), angka kematian pasien IMA non STE ternyata 2 kali lebih

tinggi dibanding pasien IMA-STE (Rationale and design of GRACE, 2001).

(3)

II.1.3. Patofisiologi

Lapisan endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan

oleh adanya faktor risiko antara lain, faktor hemodinamik seperti hipertensi,

zat-zat vasokonstriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap rokok, peningkatan

gula darah dan oksidasi oleh

Low Density Lipoprotein-C

(LDL-C) (Libby,1995;

Hamm dkk,2004). Kerusakan ini akan menyebabkan sel endotel menghasilkan

cell molecule adhesion

seperti sitokin (interleukin-1), tumor nekrosis faktor

(TNF-

α), kemokin

(monocyte chemoatractant factor-I)

, dan

platelet derived

growth factor

. Sel inflamasi seperti monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan

endotel dan bermigrasi dari endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian

berproliferasi menjadi makrofag dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat

lebih aterogenik. Makrofag ini terus membentuk sel busa (Braunwald, 1989;

Libby,1995). LDL yang teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan

menghasilkan respon inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari angiotensin

II yang menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek protrombin

dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan endotel terjadi

respon protektif yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi

fibrofatty

dan

fibrous.

Plak yang stabil bisa menjadi tidak stabil

(vulnerable)

dan mengalami

rupture (Libby, 1995).

Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis seperti kolagen,

adenosin diphosphate

(ADP), epinefrin dan serotonin memicu aktivasi trombosit,

yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan-A2

(vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu reseptor

glikoprotein II/IIIa yang mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino

pada protein adhesi yang larut

(integrin)

seperti faktor von Willebrand (vWF) dan

fibrinogen. Dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat

platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan

agregasi (Deckelbaum,1990; Foo dkk,2000).

(4)

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan

tissue factor

pada sel endotel

yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin

menjadi trombin yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri

koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri

dari agregat trombus dan fibrin (Findlay dkk, 2005; Braunwald, 1989).

Gambar 2. Patofisiologi aterosklerosis pada pembuluh darah (Findlay dkk,2005)

IMA STE umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara

mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada

sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat

biasanya tidak memicu IMA STE karena timbulnya banyak kolateral sepanjang

waktu. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerotik

mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi ruptur lokal akan

menyebabkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologi menunjukkan plak

koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai

fibrous cap

yang tipis dan

inti kaya lipid. Pada IMA STE gambaran klasik terdiri dari

fibrin rich red trombus

yang dipercaya menjadi dasar sehingga IMA STE memberikan respon terhadap

terapi trombolitik (Gambar 3) ( Hamm dkk,2004)

(5)

Gambar 3. Patofisiologi terjadinya sindroma koroner akut (Hamm dkk,2004)

II.2. Faktor-faktor prognostik yang berperan terhadap mortalitas dan

morbiditas pada Sindroma Koroner Akut

II.2.1. Karakteristik Pasien

Data dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa sebelum umur 60

tahun didapatkan 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 17 perempuan menderita SKA.

Ini berarti bahwa laki-laki mempunyai risiko 2-3 kali lebih besar dari

perempuan (Katz dkk,2006; Morrow dkk,2001).

Usia sering dihubungkan sebagai faktor determinan terhadap hasil

akhir pada kejadian SKA bahwa peningkatan usia dihubungkan dengan

peningkatan yang bermakna terhadap hasil akhir klinis (Jacobs dkk,1999;

Krumholz dkk, 1999). Pada penelitian GRACE ternyata menunjukkan bahwa

usia merupakan prediktor penduga yang independen terhadap kematian dalam

rawatan rumah sakit pada kejadian SKA dengan

odds ratio

1.70 setiap 10

tahun, dimana usia tua memiliki risiko tinggi kematian pada SKA

(6)

(Alexannder KP,2007). Penelitian yang dilakukan Antman dkk (2000)

menunjukkan hasil bahwa walaupun usia di atas 65 tahun merupakan bagian

dari penilaian skor risiko TIMI namun ternyata tindakan angiografi dan

revaskularisasi lebih sedikit dilakukan pada usia tua .

Hasil penelitian SPACE

di Arab Saudi menunjukkan bahwa pasien dengan usia

≥ 70 tahun memiliki

angka kematian di rumah sakit lebih tinggi (7%) dibandingkan dengan usia

< 70 tahun (1.6% - 3%) hal ini oleh karena pasien usia tua kurang mendapat

terapi secara agresif (Al-Saif dkk,2011)

.

Gambar 4. Faktor usia terhadap risiko kematian kardiovaskuler dan perdarahan mayor. (Budaj dkk,2003)

Cole dkk (1954) melaporkan bahwa pasien IMA yang datang ke

rumah sakit dengan kadar lekosit > 15.000/ml ternyata dalam 2 bulan

memiliki risiko kematian 4 kali lebih tinggi dibandingkan pasien IMA dengan

kadar lekosit yang normal (<10.000/ml). Peningkatan kadar lekosit

merupakan indikator inflamasi sistemik (Arnon dkk, 2002; Munir dkk, 2010)

dan telah diterima sebagai respon kejadian IMA serta merupakan prediktor

independen yang kuat untuk kematian jangka panjang pada IMA non STE

yang dilakukan tindakan revaskularisasi (Mueller dkk, 2003). Penelitian yang

dilakukan oleh Nunez J dkk,2005 juga menunjukkan bahwa peningkatan

kadar lekosit dalam darah sebagai salah satu prediktor jangka panjang

terhadap kejadian kematian kardiovaskuler (tabel 2).

(7)

Tabel 2 . Kadar lekosit berperan dalam risiko kematian jangka panjang pada IMA non STE (A) dan IMA STE (B). (Nunez J, 2005)

II.2.2. Faktor Risiko

Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya serangan

jantung dan stroke. Sekitar 24 % kematian akibat serangan jantung pada

laki-laki dan 11 % pada perempuan disebabkan karena kebiasaan merokok

(Huon dkk,2000).

Peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) pada saat serangan

nyeri dada merupakan faktor risiko independen yang kuat (Koon-Hou &

Topol EJ, 2000) dan prognostik yang jelek untuk pasien dengan SKA bahkan

pada pasien non diabetik (Bilal dkk,2007). Sean dkk (2007) menunjukkan

bahwa angka kematian dalam 30 hari lebih tinggi pada pasien diabetes

dibandingkan tanpa diabetes pada IMA non STE/APTS

(2.1% vs 1.1%,

P

<.001) dan IMA STE (8.5% vs 5.4%,

P

<.001).

Penelitian DIGAMI

(Malmberg dkk,1995) menunjukkan hasil bahwa pengontrolan metabolik

insulin secara intensif dengan mengunakan insulin dan infus glukosa pada

pasien dengan diabetes mellitus atau glukosa darah >11.0 mmol/l ternyata

memberikan keuntungan dalam menekan angka kematian setahun menjadi

lebih rendah (18.6% dibandingkan 26.1%).

(8)

tidak dilakukan terapi reperfusi ternyata didapatkan bermakna berhubungan

dengan peningkatan risiko kematian dalam 30 hari (tabel 3). Pada laki-laki

usia pertengahan (45-65 tahun) dengan tingkat serum kolesterol yang tinggi

(kolesterol : >240 mg/dL dan LDL kolesterol : >160 mg/dL) risiko terjadinya

SKA akan meningkat (Sacks dkk,1996).

Tabel 3. Analisis Univariat : prediktor kematian (Saman, 2007)

II.2.3. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis awal sangat prediktif untuk prognosis awal.

Timbulnya gejala saat istirahat menandakan prognosis lebih buruk dibanding

gejala yang hanya timbul pada saat aktivitas fisik. Pada pasien dengan gejala

intermiten, peningkatan jumlah episode yang mendahului kejadian acuan juga

mempunyai dampak terhadap hasil akhir klinis. Adanya takikardia, hipotensi

atau gagal jantung pada saat masuk rumah sakit juga mengindikasikan

prognosis buruk dan memerlukan diagnosis serta tatalaksana

segera(PERKI,2012).Faktor risiko yang tinggi termasuk angina yang

memberat, nyeri dada yang berkelanjutan (> 20 menit), edema paru (Killip

klas

≥2 ), hipotensi dan aritmia seperti pada tabel 4. (Antman EM, 2005).

Tabel 4. Klasifikasi Killip terhadap angka kematian pada IMA-STE (Antman EM, 2005)

(9)

Scirica dkk (2002) melaporkan bahwa pasien dengan IMA non STE / APTS

yang mengalami serangan angina yang memberat akan memiliki risiko

kematian yang meningkat dalam 1 tahun.

II.2.4. Penanda Enzim Jantung

GRACE (2001) dan WHO (Tunstall dkk,1994) menggunakan kriteria

diagnostik dengan penanda enzim jantung untuk IMA dan APTS . Angka

kematian dalam 30 hari dan 6 bulan pada pasien SKA dijumpai signifikan

cukup tinggi dengan peningkatan kadar troponin yang tinggi pada pasien

dengan IMA non STE/APTS, seperti yang ditunjukkan pada tabel 5

(SIGN,2007). Troponin I atau T merupakan penanda biologis terpilih untuk

memprediksi hasil akhir klinis jangka pendek (30 hari) terkait IMA dan

kematian (PERKI,2012). Peningkatan kadar troponin merupakan prediktor

independen terhadap kematian 30 hari dan selama pengamatan jangka

panjang (1 tahun dan lebih). Nilai prognostik dari cTnT dan cTnI ternyata

sama (Ohman,1996; Luciano,2005). Peningkatan troponin dikaitkan dengan

prognosis yang lebih buruk. Pasien dengan IMA non STE jika disertai dengan

peningkatan kadar enzim jantung troponin dalam 12 jam, maka memiliki

risiko tinggi kejadian kematian (dalam 30 hari dengan angka kematian sampai

dengan 4 – 5 %) (Christenson RH,1998)

Tabel 5. Definisi dan prognosis SKA berdasarkan kadar serum enzim troponin T (SIGN,2007)

(10)

II.2.5. Elektrokardiografi

Gambaran EKG awal sangat berguna untuk menduga kejadian SKA.

Jumlah

lead

yang menunjukkan depresi ST dan magnitudonya, merupakan

indikasi adanya iskemia berat dan luas dan berkorelasi dengan prognosis

terhadap angka kematian dalam 1 tahun seperti yang di tunjukkan pada

tabel 6 (Hamm, 2004). Pemantauan segmen ST secara berkala pada EKG saat

istirahat memberi informasi prognostik tambahan, selain hasil troponin dan

variabel klinis lainnya (Hamm, 2004; PERKI,2012). Pada penelitian GRACE

(2001) juga dijumpai faktor yang berhubungan secara independen terhadap

peningkatan angka kematian yaitu pertambahan usia, klas Killip, peningkatan

denyut jantung, depresi segmen ST, tanda-tanda gagal jantung, tekanan darah

sistolik yang rendah, nyeri dada yang khas dan peningkatan enzim jantung.

Adanya gambaran segmen ST yang deviasi (Kaul dkk, 2003) merupakan

prediktor yang kuat untuk hasil akhir klinis dibandingkan dengan peningkatan

enzim jantung troponin pada pasien SKA (SIGN, 2007).

Tabel 6. Jumlah angka kematian dalam 1 tahun terhadap luasnya infark (Hamm,2004).

(11)

Penelitian dari

Fibrinolytic Therapy Trialists’ Collaboration (FTTC)

(1994) melaporkan bahwa gambaran EKG merupakan prediktor kematian

yang cukup memberikan manfaat apabila dijumpai adanya elevasi segmen-ST

atau

bundle branch block

yang dianggap baru. Go AS dkk (1998)

menunjukkan bahwa

right bundle branch block

(RBBB) ternyata banyak

dijumpai pada gambaran EKG namun memiliki angka kematian yang lebih

tinggi bila dibandingkan dengan

left bundle branch block

(LBBB).

II. 2.6. Stratifikasi risiko

Ada beberapa sistem penilaian stratifikasi risiko yang dapat

memprediksi kematian pada pasien dengan SKA yaitu

GRACE,TIMI,

PURSUIT

dan

FRISC

(Wallentin dkk, 2000) yang paling sering digunakan

adalah GRACE dan TIMI (Antman dkk, 2000)

.

Pada penilaian secara

prospektif, skor risiko GRACE memberikan stratifikasi paling akurat untuk

risiko pada saat awal rawat dan pulang, karena kekuatan diskriminatifnya

yang baik dan juga merupakan prediksi yang paling akurat terhadap hasil

akhir klinis dan digunakan sebagai data yang sah untuk penelitian-penelitian

selanjutnya (PERKI, 2012). Penerapan secara umum dan ketepatan hasil akhir

dari skor GRACE dapat digunakan sebagai stratifikasi risiko pada SKA.

Risiko skor TIMI untuk IMA non STE/APTS dibuat sebagai alat bantu

prognostik para klinisi (Antman dkk, 2000; Fransisco dkk, 2005) yang dapat

digunakan secara mudah dengan hanya menggunakan variabel-variabel dasar

(Morrow dkk, 2000) untuk mengevaluasi hasil akhir klinis jangka pendek (14

hari) dan jangka panjang (6 bulan) (Marc dkk, 2003). Nilai skor tersebut

dapat dihubungkan dengan luasnya penyempitan pada pembuluh darah

koroner (Lakhani dkk, 2010; Manoharan dkk, 2009)

Penentuan risiko berdasarkan skor risiko

Thrombolysis in

Myocardial Infarction (TIMI)

untuk IMA STE sebagai berikut (Morrow dkk,

(12)

2000) :

Tabel.7. A. Indikator klinis serta skor stratifikasi risiko pada IMA STE dan B. Angka kematian dalam 30 hari terhadap skor stratifikasi risiko. (Morrow DA, 2000)

Angka rata-rata kematian, IMA ataupun pasien dengan

revaskularisasi segera secara signifikan meningkat sesuai dengan peningkatan

jumlah skor risiko TIMI (Rathore dkk, 2005; Soiza dkk, 2006), mulai dari >

5% pada pasien dengan skor risiko 0-1 sampai dengan > 40% pada skor risiko

6 atau 7. (Marc dkk, 2003). Untuk IMA non STE/APTS, penilaian dibagi

menjadi skor 0-2 = risiko rendah, skor 3–4 = risiko sedang dan skor 5–7 =

skor tinggi. Penentuan risiko penting dilakukan untuk penentuan strategi

pengobatan (Antman dkk, 2000). Penentuan risiko berdasarkan skor risiko

TIMI untuk IMA non STE/ APTS seperti dalam tabel 8.

Tabel 8. Stratifikasi Risiko TIMI pada IMA STE (Morrow,2000)

(13)

Skor risiko TIMI untuk IMA STE (tabel 9) menunjukkan hubungan

yang kuat antara kematian dalam 30 hari, sebanyak > 40 kali lipat pada

kelompok dengan skor > 8 dibandingkan dengan skor 0. Sementara kelompok

skor > 5 hanya sebanyak 12% namun > 2 kali lipat dari jumlah populasi

(Morrow dkk, 2000)

Tabel 9. Hubungan antara skor TIMI pada IMA STE terhadap angka kematian dalam 30 hari (Morrow dkk,2000)

Pollack Jr dkk (2006) melakukan pemantauan dalam 30 hari

terhadap pasien dengan IMA non STE/ APTS yang datang ke unit gawat

darurat. Ternyata 43 pasien meninggal dalam 30 hari, 15 pasien kembali

masuk dengan IMA, 14 pasien dilakukan tindakan intervensi koroner

perkutan setelah berobat jalan, dan 10 pasien dilakukan tindakan CABG.

Hasil skor risiko TIMI saat pasien tiba di unit gawat darurat ternyata

menunjukkan korelasi terhadap hasil akhir klinis dalam 30 hari (tabel 10;

chi-square

, p < 0.001 dan Cochran-Armitage

trend test

, p < 0.001)

Tabel 10 . Hubungan antara skor TIMI pada IMA non STE /APTS terhadap angka kematian dan revaskularisasi dalam 30 hari (Pollack Jr,2006)

(14)

II.2.7. Komplikasi

Pasien dengan irama atrial fibrilasi (AF) yang baru muncul setelah

serangan IMA menunjukkan peningkatan angka risiko kejadian

kardiovaskuler dan kematian. AF merupakan aritmia yang paling sering

muncul setelah serangan IMA dan menjadi prediktor utama untuk hasil akhir

klinis pada pasien dengan SKA.

(Antoni dkk, 2010). Hasil GRACE

menunjukkan bahwa persentase kejadian kematian lebih tinggi pada IMA non

STE dibandingkan dengan IMA STE (13% vs 8%), namun pada kejadian

masuk kembali ke rumah sakit dijumpai persamaan persentase antara IMA

non STE dan APTS (20%) (gambar 5).

Gambar 5 . Hasil akhir klinis : mulai rawatan sampai jangka waktu 6 bulan (GRACE,1999)

II.2.8. Penatalaksanaan Sindroma Koroner Akut

II.2.8.1. Kombinasi pemberian aspirin dan clopidogrel

Pada penelitian CURE (Fox dkk, 2004) kombinasi aspirin (300 mg

saat awal dan 75-150 mg setiap hari) dan clopidogrel (300 mg saat awal dan

75 mg setiap hari) ternyata jauh lebih efektif dibandingkan dengan pemberian

aspirin tunggal. Manfaat kombinasi aspirin dan clopidogrel terlihat dalam 24

jam dan ternyata mengurangi kejadian infark miokard berulang atau iskemik

berulang (Yusuf dkk, 2003). Bila dibandingkan dengan plasebo, pemberian

aspirin ternyata bermakna untuk mengurangi rerata angka kejadian

(15)

kardiovaskuler (kematian kardiovaskuler, infark miokard yang tidak fatal dan

non-fatal stroke) pada pasien dengan APTS (

absolute risk reduction

; RR

5.3%,

relative

RR 46%) dan mengurangi hampir sepertiga angka kematian

(

absolute

RR 3.8%,

relative

RR 30%) pada pasien dengan IMA.

(Antithrombotic Trialists’ Collaboration, 2002).

Penelitian CLARITY-TIMI 28 (clopidogrel 300 mg saat awal dan

75 mg setiap hari) dan COMM IT/CCS (clopidogrel 75 mg setiap hari) pada

pasien dengan IMA STE memberikan hasil yang menurunkan angka kematian

bila dengan pemberian kombinasi aspirin dan clopidogrel dibandingkan

dengan hanya pemberian aspirin tanpa adanya komplikasi perdarahan mayor

(Fox dkk, 2004; Sabatine dkk, 2005)

II.2.8.2. Beta Blocker

Meta analisis kecil pada pasien APTS memberikan hasil bahwa beta

blocker akan menurunkan rata-rata progresi kejadian infark miokard sebesar

13% (Yusuf dkk, 1998). Penelitian meta analisis dari COMMIT/CCS dengan

pemberian beta blocker lebih awal pada pasien IMA STE dengan Killip klas I

(tidak ada tanda gagal jantung) disertai dengan tekanan darah sistolik > 105

mmHg dan denyut jantung > 65 kali/menit memperlihatkan bahwa pemberian

intravena yang diikuti pemberian oral akan menurunkan angka kematian

(

absolute

RR 0.7%,

relative

RR 13%), kejadian infark berulang (

absolute

RR

0.5%,

relative

RR 22%) dan serangan jantung (

absolute

RR 0.7%,

relative

RR 15%) (Chen dkk, 2005).

II.2.8.3. Terapi Antikoagulan

Pada pasien dengan IMA non STE, pemberian

unfractionated

heparin (UFH)

dalam 48 jam ternyata mengurangi angka kematian ataupun

infark miokard (

absolute

RR 2.5%;

relative

RR 33%). Pada pasien dengan

IMA STE, pemberian UFH yang diikuti dengan aspirin dan trombolitik

dengan agen spesifik –fibrin, ternyata memberikan hasil yang cukup baik

(16)

dengan menurunnya angka kejadian infark ulangan (0.3%

absolute

RR) dan

kematian (0.5%

absolute

RR) (Eikelboom dkk, 2000).

Penelitian secara RCT membandingkan pemberian

low molecular

weight heparin

(LMWH) dengan UFH pada IMA STE menunjukkan

beberapa manfaat pada penggunaan LMWH, terutama enoxaparin (Wong dkk,

2003). Secara meta analisis memastikan bahwa pasien yang diterapi dengan

trombolitik, LMWH (enoxaparin) memiliki hasil akhir klinis yang jauh lebih

baik pada kasus IMA, (

absolute

RR 2.3%,

relative

RR 41%); iskemik

berulang (

absolute

RR 2.0%,

relative

RR 30%); kematian ataupun infark

berulang (

absolute

RR 2.9%,

relative

RR 26%); dan kematian atau iskemik

berulang (

absolute

RR 4.8%,

relative

RR 28%) tapi tidak ada penurunan pada

angka kematian bila dibandingkan dengan penggunaan UFH. (Theroux P,

2003).

Gambar 6 . Membandingkan enoxaparin dengan UFH sebagai terapi tambahan pada pasien dengan STEMI yang telah mendapatkan fibrinolitik. A. angka rerata hasil akhir klinis primer (kematian atau non-fatal MI) dalam 30 hari secara bermakna lebih rendah pada kelompok enoxaparin dibandingkan dengan UFH (9.9% versus 12%; P < 0.001 by the log-rank test). B. Angka rerata hasil akhir klinis sekunder (kematian, non-fatal MI atau revaskularisasi segera) dalam 30 hari secara bermakna lebih rendah pada kelompok enoxaparin dibandingkan dengan UFH (11.7% versus 14.5%; P < 0.001 by the log-rank test). Perbedaannya terlihat bermakna pada 48 jam pertama (6.1% pada kelompok UFH versus 5.3% pada kelompok enox; P = 0.02 dengan tes log-rank). (Antman EM, 2006.)

(17)

II.2.8.4. Terapi Reperfusi

Pasien IMA STE yang datang ke rumah sakit yang memiliki fasilitas

tindakan intervensi koroner perkutan (IKP) harus dilakukan tindakan IKP

primer dalam 90 menit saat kontak medis pertama kali diberikan (Klas I,

Level of Evidence

:A). Pasien IMA STE yang datang ke rumah sakit yang

tidak memiliki fasilitas tindakan IKP dan tidak dapat dirujuk ke pusat IKP

dan tidak dapat dilakukan tindakan IKP dalam 90 menit saat kontak medis

pertama kali, harus diberikan terapi fibrinolitik dalam 30 menit setelah tiba di

rumah sakit, kecuali didapatkan kontraindikasi terapi fibrinolitik (Klas I,

Level of Evidence

:B) (Antman, 2007; Brodie dkk, 2001). Tujuannya adalah

untuk meningkatkan jumlah pasien yang mendapatkan tindakan IKP primer,

setidaknya 75% pasien dilakukan tindakan IKP dalam 90 menit setelah tiba di

rumah sakit, berdasarkan penggunaan strategi

evidenced-based

untuk

mengurangi keterlambatan (Bradley, 2006).

Meskipun ditemukan hubungan antara waktu pemberian terapi dan

hasil akhir klinis, hasil yang terbaik adalah pemberian trombolisis dalam jam

pertama saat pasien tiba di rumah sakit (Milaveta JJ, 1998; David OW, 2004) .

Hal ini juga ditunjukkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh De Luca,

dkk (2004) bahwa keterlambatan 30 menit dalam pemberian terapi reperfusi

akan memberikan 7,5% angka kematian dalam 1 tahun. Salah satu hal yang

penting adalah bahwa waktu untuk pemberian terapi dipengaruhi oleh

beberapa faktor, termasuk usia lanjut, jenis kelamin perempuan dan riwayat

diabetes ataupun tindakan revaskularisasi sebelumnya.

Pasien dengan SKA yang tidak mendapatkan terapi reperfusi

ternyata menunjukkan angka risiko kematian yang lebih tinggi. Pada pasien

IMA STE ternyata hal ini sangat mempengaruhi hasil akhir jangka pendek

dan jangka panjang (David OW,2004).

(18)

Gambar 7. Hubungan antar onset nyeri dada terhadap angka keberhasilan terapi reperfusi.(Boersma dkk, 1996)

Pada gambar 7 menunjukkan pentingnya kecepatan waktu yang

untuk tindakan reperfusi pada pasien dengan IMA STE ternyata dapat

menyelamatkan pasien. Data menunjukkan bahwa dari 1000 pasien hidup

yang diterapi dengan fibrinolitik bila dibandingkan dengan plasebo

keberhasilan terapi ternyata dipengaruhi oleh cepatnya pemberian setelah

onset nyeri dada timbul. Oleh karena angka keberhasilan hidup setelah

pemberian fibrinolitik adalah maksimal 4 jam, maka hal tersebut menjadi

“golden hour”

untuk reperfusi farmakologis (Carlo DM,2011). Dibandingkan

dengan placebo, terapi trombolitik akan mengurangi angka kematian dalam

35 hari (1.9%

absolute

RR, 18%

relative

RR) pada pasien dengan IMA STE

(Boersma dkk, 1996; van Der Welf, 2003)

Gambar 8. Hasil Meta analisis waktu terhadap pemberian terapi pada Fibrinolitik dan IKP (Zijlstra dkk,2002)

5.4 7.3 14.6 5.1 6.1 6.7 0 2 4 6 8 10 12 14 16 < 2 hrs (424/414) 2-4 hrs (523/512) > 4 hrs (315/297) D eat h at 6 m on th s (% )

TIme from Sx Onset to Randomization

(19)

Pemberian trombolitik dapat mengurangi angka kematian dalam 35

hari (1.9%

absolute

RR , 18%

relative

RR ) pada pasien dengan IMA STE

dengan onset < 12 jam (FTT,1998)

Beberapa penelitian terhadap

rescue

IKP dibandingkan dengan terapi

konservatif setelah trombolitik yang tidak berhasil memberikan hasil

penurunan angka kejadian gagal jantung yang berat (

absolute

RR 8%,

relative

RR 68%) dan penurunan angka kematian dalam 1 tahun pada pasien dengan

IMA (

absolute

RR 5%,

relative

RR 38%). Penelitian secara acak antara

rescue

IKP terhadap elektif IKP (rata-rata 12 hari setelah serangan IMA)

memberikan hasil bahwa tindakan

rescue

IKP menunjukkan adanya

penurunan angka kematian, serangan infark berulang, revaskularisasi dan

kejadian iskemik dalam 6 bulan (

absolute

RR 25%,

relative

RR 49%). (FTT

Group, 1994). Pasien dengan IMA STE onset dalam 6 jam, yang gagal

dilakukan trombolitik, harus segera dilakukan

rescue

IKP (Levine dkk, 2011;

Sohby dkk, 2010). Pasien dengan IMA non STE risiko sedang atau tinggi

untuk angka kejadian serangan kardiovaskuler berulang harus dilakukan

tindakan angiografi koroner dan revaskularisasi (Wright RS dkk, 2011)

Dari penelitian GUSTO I terhadap kejadian 30 hari kematian

menunjukkan hasil bahwa umur (31.2%) berperan cukup penting untuk

kejadian SKA, kemudian tekanan darah sistolik (24%), klas Killip (15%) dan

denyut jantung (12%) secara statistik ternyata bermakna. Faktor risiko

hipertensi (0.6%) dan riwayat penyakit kardiovaskuler sebelumnya (0.4%)

hanya memiliki persentase yang kecil.

(20)

II.6. Kerangka Teori

SINDROMA KORONER AKUT ENZIM JANTUNG EKG NYERI DADA TIPIKAL ANGINA PEKTORIS TAK STABIL

IMA STE

IMA non STE

MORTALITAS DAN MORBIDITAS

Tunstall dkk (1994): definisi WHO dalam menegakkan diagnosis SKA adalah dijumpai 2 dari 3 kriteria

Antman dkk (2008) : usia, jenis kelamin, peningkatan enzim jantung, manifestasi klinis yang berat, nilai risiko skor stratifikasi yang tinggi, pemberian terapi reperfusi yang terlambat serta komplikasi perdarahan dapat menyebabkan kejadian mortalitas dan morbiditas pada pasien IMA STE.

Wright dkk (2007) : usia, jenis kelamin, peningkatan enzim jantung, perubahan ST deviasi yang luas pada rekaman EKG, nilai risiko skor stratifikasi yang tinggi komplikasi aritmia serta pemberian terapi yang tidak cepat dan adekuat dapat menyebabkan kejadian mortalitas dan morbiditas pada pasien IMA non STE/ APTS.

(21)

II.7. Kerangka Konsep

MORTALITAS DAN

MORBIDITAS

• Usia • Jenis Kelamin • Faktor risiko • Killip Klas III-IV

• Peningkatan enzim jantung • Aritmia

• Nilai risiko TIMI • Komplikasi

• Pemberian terapi & tindakan reperfusi

SINDROMA

KORONER

AKUT

Angina Pektoris Tak Stabil

IMA non STE

Gambar

Gambar 1 . Spektrum dan definisi dari SKA. (PERKI,2012)
Tabel 1. Jumlah kasus Sindroma Koroner Akut (Budaj dkk,2003)
Gambar 2. Patofisiologi aterosklerosis pada pembuluh darah    (Findlay dkk,2005)
Gambar 3. Patofisiologi terjadinya sindroma    koroner akut (Hamm dkk,2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Voltmeter untuk mengukur tegangan antara dua titik, dalam hal ini adalah tegangan pada lampu 3, voltmeter harus dipasang secara paralel dengan beban yang hendak diukur, posisi

• Evaluasi pelaksanaan kegiatan di tingkat kabupaten/kota Evaluasi pelaksanaan kegiatan di tingkat kabupaten/kota dilakukan dengan mempertimbangkan masukan dari hasil dilakukan

(3) Mahasiswa berprestasi yang dapat diberikan tarif layanan sebesar Rp0,00 (nol rupiah) dari tarif Sumbangan Pembinaan Pendidikan dan/atau tarif Dana Pengembangan

5. Meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan; 6. Menerapkan konsep manajemen berdasarkan sasaran. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa

1. Kepala Bagian Tata Usaha. Kepala Bidang Statistik Sosial. Kepala Bidang Statistik Produksi.. Kepala Bidang Statistik Distribusi. Kepala Bidang Neraca Wilayah dan Analisis

Nilai P untuk uji Jacobian tidak signifikan yang berarti terima 0 dimana dapat disimpulkan bahwa kondisi momen yang digunakan valid dan model sudah sesuai dengan

Hasil Penelitian adalah sebagai berikut ini, (1) ada perbedaan penggunaan e-learning berbantuan edmodo pada kelas eksperimen dengan pembelajaran konvensional pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedalaman gerusan dan pola gerusan yang terjadi di sekitar abutmen pada kondisi aliran jernih (clear-water scour) untuk saluran