• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBIJAKAN: DAYA SAING CPO INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KEBIJAKAN: DAYA SAING CPO INDONESIA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Arisman

Analisis Kinerja Industri CPO di Indonesia

Nilai RCA (Revealed Comperative Advantage) merupakan gambaran dari kinerja ekspor suatu komoditi. Nilai RCA yang lebih besar dari 1 (satu) dianggap memiliki kinerja ekspor yang cukup baik. Komoditi dengan nilai RCA lebih dari satu tersebut dapat juga dikatakan memiliki keunggulan komparatif sehingga disarankan untuk terus dikembangkan dengan melakukan spesialisasi pada komoditi tersebut dalam konteks ini komoditi minyak kelapa sawit (CPO).

Tabel 1. Nilai RCA : Crude Palm Oil (CPO)

TAHUN INDONESIA MALAYSIA

1990 13.85 65.72 1991 17.11 66.08 1992 17.03 77.86 1993 12.41 33.31 1994 11.95 30.78 1995 10.72 30.08 1996 10.87 27.65 1997 16.29 27.26 1998 9.53 48.29

Nilai RCA minyak kelapa sawit dan produk turunannya baik Indonesia maupun Malaysia ternyata seluruhnya lebih dari 1 (satu). Nilai RCA CPO Indonesia pada tahun 1990 adalah 13.85, kemudian meningkat menjadi 17.11 pada tahun 1991, tetapi kemudian menurun kembali menjadi 12.41 pada tahun 1993. Setelah itu nilai RCA Indonesia stabil dan pada tahun 1997 mencapai tingkat tertinggi yaitu 16.29 akibat makin banyaknya investasi dalam negeri maupun asing. Ini dapat dilihat dari porsi pengelolaan

(2)

minyak sawit yang sebelumnya dikuasai sebagian besar oleh perusahaan negara (PTPN) telah beralih menjadi lebih dominan swasta (PBS). Tetapi pada tahun 1998 akibat diterapkan pajak ekspor yang mencapai 60% dengan asumsi untuk menjaga stock dalam negeri untuk konsumsi salah industri hilirnya yaitu industri minyak goreng, maka nilai RCA Indonesia turun menjadi 9.53.

Daya saing CPO Malaysia seperti yang ditunjukkan nilai RCA dalam tabel di atas, nilai RCA-nya berada jauh di atas Indonesia, yaitu pada tahun 1990 nilainya 65.72, menurun menjadi 33.31 pada tahun 1993, kemudian turun lagi menjadi 27.26 pada tahun 1997 dan naik kembali pada tahun 1998 menjadi 48.29. Trend nilai RCA Malaysia menunjukkan bahwa Malaysia kinerja ekspornya lebih baik dari Indonesia, tetapi penurunan terjadi dari tahun 1990 sampai tahun 1997 akibat kemampuan produksi Malaysia yang berkurang. Ini disebabkan kurangnya areal perkebunan untuk kelapa sawit sehingga mendorong Malaysia melakukan investasi di negara lain termasuk Indonesia. Tetapi pada tahun 1998 akibat dampak pajak ekspor Indonesia, maka Malaysia mensuplai 50% dari permintaan dunia sehingga nilai RCA naik menjadi 49.29. Kinerja ekspor malaysia yang lebih baik dari Indonesia disebabkan karena Pemerintah Malaysia mendukung ekspor CPO Malaysia dengan membebaskan secara penuh pajak terhadap komoditi CPO.

Kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa secara perlahan-lahan Indonesia mulai berhasil memanfaatkan peluang peningkatan ekspor dengan adanya pertumbuhan pasar dunia. Walaupun nilai ekspor Malaysia masih menunjukkan peningkatan, namun percepatan peningkatan ekspornya kalah dengan Indonesia. Ini disebabkan karena dari sisi suplai Indonesia masih mempunyai keunggulan komparatif yaitu areal lahan yang potensial juga didukung oleh sumber daya manusia yang murah serta subsidi pupuk. Untuk melihat perbandingan biaya produksi Indonesia dengan Malaysia dapat dilihat pada pembahasan berikut.

(3)

Untuk melihat daya saing industri kelapa sawit Indonesia dapat dilihat dari sisi penawaran (supply side) dengan melihat biaya produksi yang mencerminkan efisiensi. Menurut laporan Bank Dunia, industri minyak kelapa sawit Indonesia adalah industri minyak nabati yang terendah biaya produksinya setelah minyak kedelai Argentina dan Brazil (Sato, 1997). Dalam tabel di bawah ini dapat dilihat perbandingan biaya produksi antara minyak kelapa sawit Indonesia dengan Malaysia. Menurut Yuri Sato (Sato, 1997), rendahnya biaya produksi minyak kelapa sawit Indonesia lebih disebabkan oleh: Pertama, rendahnya tingkat upah buruh di Indonesia, dan kedua karena adanya subsidi pupuk sehingga harga pupuk menjadi lebih murah.

TABEL 2. Perbandingan Biaya Produksi CPO Indonesia dengan Malaysia

Pos Biaya Indonesia Malaysia

(I) (II)

a. Biaya Produksi

1. Biaya produksi TBS per kg Rp. 87,- Rp. 116,- 2. Volume produksi TBS (ha/th.) 19 ton 23 ton

3. Randemen (%) 22,3% 19%

4. Vol. Produksi CPO (ha/th.) 4,2 ton 4,3 ton 5. Biaya produksi TBS per ha RP. 1.501.000 Rp. 3.095.000

US$ 641 US$ 1.323 6. Biaya pabrik untuk CPO Rp. 82,- Rp. 40,- 7. Biaya perkebunan & pabrik Rp. 471,- Rp. 651,- b. Biaya Lain-lain

8. Sewa tanah per ha Rp. 1 juta Rp. 1,5 juta

9. Tingkat bunga (%/th.) 19% 8-9%

Sumber: Yuri Sato, 1997

Bila kita melihat perbandingan biaya produksi CPO Indonesia dengan Malaysia pada tabel di atas jelas bahwa biaya produksi TBS per Kg Indonesia sebesar Rp 87, lebih murah dibandingkan Malaysia sebesar Rp 116. Tetapi dari volume produksi TBS , Malaysia lebih produktif, dimana Malaysia menghasilkan 23 ton sementara Indonesia hanya 19 ton. Dari sisi

(4)

biaya produksi per ha , Indonesia mempunyai biaya produksi 50% lebih kecil dari Malaysia. Dari sisi biaya tetap (fixed cost) yaitu untuk pabrik terlihat Indonesia biayanya lebih besar dari Malaysia (Indonesia Rp 40 sementara Malaysia Rp 82). Dari aspek tingkat bunga jelas terlihat perbankan kita kurang mendukung sektor perkebunan kelapa sawit, ini terlihat dari tingkat bunga Indonesia yang lebih tinggi dari Malaysia.

Dari data di atas bahwa Indonesia mempunyai daya saing yang kuat dalam industri CPO, bahkan dengan Malaysia sebagai kompetitor terkuat dalam persaingan di dunia internasional. Sehingga di antara minyak nabati lainnya, minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling kompetitif di pasar dunia. Apabila kita melihat peluang Indonesia pada industri minyak nabati, khususnya minyak sawit maka dapat dikatakan peluang yang ada sangat besar baik pada pasar internasional maupun domestik. Minyak kelapa yang diproduksi di Indonesia dapat dikatakan stagnan. Sehingga peran minyak kelapa dalam perdagangan internasional hampir dikatakan tidak ada, oleh karena itu andalan Indonesia dalam perdagangan minyak nabati di pasar internasional hanya akan bertumpu pada minyak sawit.

Analisis Kebijakan Pemerintah untuk Industri Minyak Kelapa Sawti Indonesia

Karena merupakan komoditi yang paling penting bagi Indonesia, maka pemerintah merasa perlu untuk turut mengatur sistem tata niaga kelapa sawit beserta produk-produknya terutama CPO. Wujud campur tangan pemerintah ini ada tiga, yaitu pertama: pengaturan alokasi CPO, kedua: pembentukan sistem pengawasan secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik, ketiga: pembatasan dan pelarangan ekspor CPO.

Kebijakan mengenai tata niaga minyak kelapa sawit khususnya CPO dan PKO pertama kali dikeluarkan pemerintah pada tahun 1978 dan terus diperbaharui hingga sekarang. Tujuan utama penetapan kebijakan-kebijakan

(5)

tersebut adalah tidak lain untuk menjamin agar pasokan CPO dalam negeri tetap stabil, sehingga harga minyak goreng di dalam negeri tetap stabil.

Tata niaga CPO dan PKO pada mulanya diatur pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi pada tahun 1978 untuk tujuan ekspor. Selanjutnya masih pada tahun yang sama, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Pertanian, dan Menteri Perindustrian yang berisi tentang pengaturan sistem tata niaga minyak sawit baik di dalam negeri maupun untuk ekspor.

Selanjutnya, dalam teknis pelaksanaan sistem tata niaga minyak sawit untuk perdagangan dalam negeri, surat keputusan bersama tersebut diperkuat dengan kebijaksanaan pedoman dan pelaksanaan teknis yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri yang dikeluarkan pada tahun 1979 dan 1983. Surat keputusan ini mengatur tentang syarat-syarat penyerahan, pengangkutan, teknis pelaksanaan, dan sebagainya.

Setelah penyediaan bahan baku CPO bagi industri minyak goreng di dalam negeri cukup, maka sejak tanggal 3 Juni 1991 sistem tata niaga kelapa dan kelapa sawit dibebaskan. Seandainya terjadi kekurangan bahan baku minyak goreng, maka produsen bebas mengimpor CPO dengan bea masuk 5%. Akibat kebebasan ekspor tersebut serta didukung oleh baiknya harga CPO di pasar internasional, maka terjadilah kelangkaan CPO di dalam negeri.

Pada bulan Juli tahun 1992 melalui paket deregulasi, pemerintah menetapkan bahwa minyak goreng kelapa sawit termasuk dalam daftar negatif investasi (tertutup) bagi semua investor, baik untuk PMA, PMDN, maupun non PMA/PMDN. Investasi diizinkan bila dilakukan secara terpadu dengan pengembangan perkebunan kelapa sawitnya atau dengan penyediaan bahan baku sekurang-kurangnya 65% dari hasil produksinya yang diekspor. Sementara itu tarif bea tambahan yang semula 20% dihapuskan agar produsen dalam negeri dapat bersaing dengan produk-produk luar yang masuk.

(6)

Keberhasilan ekspor CPO dengan pembebasan sistem tata niaga serta didukung oleh naiknya harga CPO di pasaran internasional kembali mengakibatkan terjadinya kelangkaan CPO di dalam negeri bagi pasok bahan baku khususnya industri minyak goreng. Untuk mengerem laju ekspor tersebut maka pada bulan September 1994 pemerintah mengeluarkan kebijakan pengenaan pajak ekspor (PE) progresif untuk CPO dan produk turunannya melalui SK Menteri Keuangan.

Pada pertengahan 1995, peran pemerintah (BULOG) dalam menstabilkan harga minyak sawit ditingkatkan lagi melalui kerja sama dengan perusahaan perkebunan negara menghimpun buffer stock CPO dan selanjutnya bekerjasama dengan industri minyak goreng swasta melakukan operasi pasar minyak goreng pada saat menjelang tahun baru dan hari raya Idul Fitri.

Untuk memberikan kesempatan kepada pemodal dalam negeri (PMDN), sejak bulan Maret 1997, pemerintah membekukan sementara investasi penanaman modal asing dalam bidang perkebunan kelapa sawit, sedangkan izin bagi investasi Penanaman Modal Asing di proyek minyak kelapa sawit mentah (CPO) dibatasi.

Memasuki masa krisis moneter, pada bulan Juli 1997 pemerintah menurunkan PE CPO dan produk turunannya dari sekitar 10% sampai 12% menjadi 2% sampai 5%. Sistem perpajakan ini menekankan struktur tarif PE yang diharmonisasikan dengan memberikan beban yang lebih besar pada ekspor bahan baku dan beban lebih ringan pada ekspor barang jadi.

Pada bulan Desember 1997, melalui SK Menteri Keuangan pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pajak ekspor tambahan (PET) yang diberlakukan mulai tanggal 17 Desember 1997. Kemudian untuk mengamankan persediaan minyak goreng di dalam negeri terutama menjelang hari-hari raya, maka pemerintah melalui SK Memperindag mengatur alokasi pasokan dalam negeri yang diberlakukan mulai tanggal 19 Desember 1997. Selain itu pemerintah telah menunjuk 17 kelompok perusahaan kelapa sawit untuk memberikan kuota 80% produksinya untuk

(7)

industri minyak dalam negeri. Bagi perusahaan yang melanggar kuota tersebut, pemerintah menaikkan PE tambahan sesuai dengan SK Menteri Keuangan tersebut yaitu berkisar antara 28-30%. Tarif PE tersebut dikenakan dengan catatan harga minyak goreng dalam negeri mencapai Rp. 1.250/kg dan besarnya ditetapkan bervariasi 40-70%. Besarnya tarif PE dari tiap-tiap jenis dikelompokkan ke dalam 6 tingkat tarif yang didasarkan pada perkalian besarnya tarif dengan selisih harga ekspor (HE) dan harga dasar (HD) yang telah ditentukan.

Beberapa hari kemudian tepatnya tanggal 24 Desember 1997 pemerintah menetapkan larangan ekspor CPO melalui SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri sebagai tindak lanjut kebijakan pembatasan ekspor sebelumnya.

Selanjutnya dalam rangka mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri, pemerintah melalui Surat Menteri Kehutanan dan Perkebunan tanggal 22 April 1998, mengatur beberapa hal, yaitu melalui penyaluran CPO PTPN kepada perusahaan pengolah CPO yang telah ditunjuk, pendistribusian minyak disalurkan oleh BULOG, pembatalan kontrak (outstanding contract), serta pengaturan pembayaran minyak goreng secara cash flow.

Pada pertengahan tahun 1998, tingginya harga CPO di pasar internasional serta rendahnya nilai kurs Rupiah terhadap US$ kembali mendorong lajunya ekspor CPO. Hal ini tentu saja kembali mengakibatkan langkanya pasokan CPO dalam negeri. Oleh karena itu pada bulan Juli 1998 pemerintah menaikkan PE CPO yang semula 40% menjadi 60%.

Setelah dianggap pasokan CPO telah mencukupi sehingga harga minyak goreng kembali turun, maka pada awal tahun 1999 pemerintah kembali menurunkan PE CPO yang semula 60% menjadi 40%. Namun pemerintah melarang ekspor CPO produksi PTPN.

Beberapa saat yang lalu tepatnya pada tanggal 3 Juni 1999, pemerintah kembali menurunkan PE CPO sebesar 10%, yaitu yang semula 40% turun menjadi 30%. Menurut Deperindag, tujuan penurunan PE CPO ini

(8)

adalah sebagai latihan untuk mengamankan harga minyak dalam negeri. Selanjutnya penurunan akan dilakukan secara bertahap setelah mengkaji kondisi pasar dalam negeri dan pasar internasional.

Dalam tabel berikut dapat dilihat ringkasan-ringkasan kebijakan pemerintah untuk produk kelapa sawit yang dilekuarkan sejak tahun 1978 hingga tahun 2000.

Tabel 3. Matriks Kebijakan Pemerintah untuk Produk Kelapa Sawit (Th. 1978-2000)

TANGGAL SURAT KEPUTUSAN HAL PENDAPAT PENULIS

11 Des 1978 SK Menteri Perdagangan dan Koperasi 268/Kp/XII/78

Pengaturan tata niaga minyak sawit untuk tujuan ekspor

Kebijakan tepat untuk menjaga stock dalam negeri agar cukup 21 Des 1978 SK Bersama Tiga Menteri : Pengaturan tata niaga minyak Kebijakan tepat untuk

Menteri Perdagangan dan Koperasi sawit untuk kebutuhan dalam menjaga stock dalam No. 275/KPB/XII/78 negeri dan juga untuk tujuan negeri agar cukup Menteri Pertanian Ekspor

No. 284/KPTS/12/78 Menteri Perindustrian No. 282/KP/XII/78

11-Jan-79 SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Pengaturan alokasi atau jatah untuk kebutuhan dalam negeri

Seharusnya sudah mulai tidak diatur oleh

No. 001/Dagri/Kp/I/79 Beserta harganya pemerintah 23-Jan-83 SK 17/Dagri/Kp/I/83 Pemberlakuan lisensi dari Tidak ada pendapat

Sk 22/Dagri/Kp/I/83 Departemen Perdagangan

untuk ekspor

3 Juni 1991 Paket Kebijakan Deregulasi Pembebasan sistem tata niaga

Kebijakan sudah tepat kelapa sawit dan pajak

ekspor

Karena sudah sesuai dgn CPO. Jika dibutuhkan, impor Mekanisme pasar CPO diperbolehkan dengan

bea masuk 5%

1992 Paket Deregulasi Penetapan minyak goreng Kebijakan sudah tepat utk kelapa sawit ke dalam taraf Mendorong investasi CPO negatif investasi, baik untuk Sebagai bahan baku PMA, PMDN dan non PMA/ Minyak goreng

PMDN. Investasi

diperbolehkan jika terpadu dengan pengemba-

ngan perkebunan kelapa sawit

(9)

(Penyediaan bahan baku lebih kurang 65%) Tarif bea tambahan (20%) diha-

Puskan.

31 Agt 1994 SK Menteri Keuangan Penetapan PE CPO Bertujuan mengerem No. 439/KMK. 017/1994 Ekspor CPO ke luar negeri

TANGGAL SURAT KEPUTUSAN HAL PENDAPAT PENULIS

4 Juli 1997 SK Menteri Keuangan Penurunan pajak ekspor CPO Penurunan PE CPO sangat No. 622/KMK. 01/1997 dan produk turunannya dari tepat

sekitar 10-12% menjadi 2-5%

secara advalorem

17 Des 1997 SK Menteri Keuangan Penetapan pajak ekspor tam- Kebijakan ini terlihat No. 622/KMK. 01/1997 bahan (PET) sebesar 40-70% bahwa adanya inkosisten-

Berdasarkan harga ekspor (dan

si kebijakan

harga dasar)

19 Des 1997 SK Memperindag Penetapan alokasi/kuota 80% Tidak ada pendapat No. 456/MPP/Kep/12/1997 dari produksi untuk pasokan

dalam negeri.

24 Des 1997 SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Pelarangan ekspor Merugikan produsen CPO Indonesia

No. 420/DJPDN/XI/91

22-Apr-98 SK Menteri Kehutanan dan Pengaturan pengolahan CPO,

Kebijakan ini bertujuan Perkebunan pembatalan Outstanding

Contract,

menjaga stock dalam negeri

pengaturan pembayaran

minyak

goreng secara cash flow. 7 Juli 1998 SK Menteri Keuangan Kenaikan PE (CPO: 40%

menja-

Inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam industri

No. 334/KMK. 07/1998 di 60% & RBD Olein: 35% men-

CPO jadi 55%). Pelarangan ekspor sawit produksi PTPN

29-Jan-99 SK Menteri Keuangan Penurunan PE CPO dari 60% Pemerintah mulai me - No. 30/KMK. 01/1999 menjadi 40% respon keinginan pasar 3 Juni 1999 SK Menteri Keuangan Penurunan PE CPO dari 40% Penurunan PE menunjukan

(10)

No. 189/KMK/06/1999 menjadi 30% keseriusan pemerintah menangani industri CPO 2 Juli 1999 SK Menteri Keuangan Penurunan PE CPO dari 30% Kebijakan sudah tepat

No.360/KMK.017/1999 menjadi 10% 12 Sept 2000 SK Menteri Keuangan

No.387/KMK.017/2000

Penurunan PE CPO menjadi 5%

Kebijakan ini sangat disukai pasar, dan juga tepat untuk pendapatan negara Sumber : Departemen Keuangan, Diolah oleh Penulis, 2000

Tahun 1997/1998 merupakan tahun yang sangat khusus dalam upaya stabilisasi harga minyak goreng (industri hilir dari CPO), karena hanya dalam 15 bulan telah ditetapkan silih berganti enam paket kebijaksanaan. Hal ini merefleksikan betapa pemerintah sangat kelabakan dalam mengatasi keadaan. Situasi tersebut dipicu oleh kenaikan harga CPO maupun minyak yang sangat tinggi di luar negeri bila diukur dengan Rupiah.

Paket kebijaksanaan akhir tahun 1997 merupakan instrumen alokasi ekspor, kebijaksanaan ini ternyata tidak efektif, yang disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :

a. Harga CPO di pasar internasional jauh di atas harga di dalam negeri, sehingga dengan berbagai cara pengusaha berusaha menghindarkan diri dari kewajibannya memenuhi kebutuhan dalam negeri.

b. Dalam memenuhi kewajiban tersebut perusahaan negara kemungkinan lebih patuh dari pada perusahaan swasta. Namun sebagaimana diketahui produksi perusahaan negara tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

c. CPO tidak hanya digunakan oleh industri minyak goreng. Oleh karena itu kebijaksanaan alokasi ini sama artinya dengan memberikan subsidi pada industri hilir lain yang sebenarnya tidak perlu.

Meskipun tidak efektif, kebijaksanaan ini dibayar cukup mahal karena dalam jangka panjang menghambat promosi ekspor. Akibat lain menyebabkan sektor perkebunan kelapa sawit hanya memiliki keunggulan komparatif karena kemudahan alam.

Kebijaksanaan selanjutnya yaitu dengan melarang ekspor dalam jangka waktu tertentu. Kebijaksanaan ini telah digunakan oleh perusahaan

(11)

swasta untuk menahan stok CPO-nya sampai batas waktu yang telah disebutkan pemerintah. Meskipun pada akhirnya batas waktu ini dicabut dan digantikan dengan syarat sampai harga minyak goreng dalam negeri stabil, namun ekspor terus berlangsung dengan berbagai cara.

Pada kebijaksanaan penggantinya yang membebaskan ekspor disertai operasi pasar oleh PT Dharma Niaga dan pajak ekspor tinggi, yaitu 40% untuk CPO tetap tidak menjinakkan gejolak harga didalam negeri. Hal ini disebabkan oleh perbedaan harga internasional yang tetap lebih menarik meskipun dikenakan pajak tinggi.

Pada tahun 1998, terdapat 6 kelompok perusahaan yang menguasai pangsa produksi minyak goreng sawit sebesar 56,3%. Dari kelompok-kelompok usaha tersebut ada 3 kelompok-kelompok yang menguasai sekitar 55,9% (PDBI, 1998 ). Dari struktur produksi tersebut maka pemasaran minyak goreng cenderung bersifat oligopoli karena hanya beberapa pedagang besar menguasai pangsa pasar yang besar.

Selain dicirikan oleh konsentrasi perusahaan yang didominasi oleh beberapa kelompok perusahaan besar, penyebaran pabrik minyak goreng berbahan sawit juga tidak merata antar daerah. Kapasitas produksi minyak goreng berbahan sawit tersebut cukup dominan di daerah yang merupakan produsen utama sumber bahan baku CPO seperti di Sumatera Utara, atau di daerah yang dekat pusat konsumen seperti Jakarta yang transportasi dari sumber bahan baku relatif murah. Pabrik minyak goreng yang besar umumnya memiliki lahan perkebunan yang memberi jaminan pasokan bahan baku sawit dengan melaksanakan integrasi usaha vertikal, bahkan sampai kepada pemasaran produksinya. Dengan integrasi usaha vertikal tersebut, resiko usaha dapat ditekan karena ada kepastian perolehan bahan baku dan penjualan hasil produksinya. Selain itu, dengan integrasi vertikal, suatu perusahaan skala besar akan dapat menguasai pasar dan selanjutnya bertindak sebagai pemimpin harga (price leader).

Sebagaimana kebijakan-kebijakan lainnya yang berkaitan dengan minyak nabati, tujuan dari kebijakan Pajak Ekspor (PE) ini adalah

(12)

menstabilkan harga minyak goreng dalam negeri pada tingkat yang rendah. Perkembangan harga sebelum Pakjun 1991 menunjukkan bahwa, tidak terdapat jaminan bagi kestabilan harga minyak goreng dalam negeri, walaupun harga bahan baku bagi industri pengolahan minyak goreng ditetapkan oleh pemerintah pada tingkat harga yang rendah. Hal ini berarti bahwa, sementara Pajak Ekspor mengurangi daya saing produk CPO di pasar internasional, kebijakan itu sendiri tidak mempunyai efek nyata pada kestabilan harga minyak goreng dalam negeri.

Dampak pasti dari kebijakan Pajak Ekspor adalah kecenderungan perbedaan harga CPO yang semakin melebar antara pasar domestik dan pasar internasional. Hal ini berarti, produsen hilir terutama produsen minyak goreng memperoleh manfaat dari kebijakan ini, yang berarti pengadaan bahan baku yang relatif lebih murah dibandingkan tanpa adanya kebijakan Pajak Ekspor. Namun karena kebijakan Pajak Ekspor tidak mampu menurunkan harga minyak goreng dalam negeri bahkan dengan kecenderungan yang semakin meningkat, maka kebijakan ini memberikan keuntungan pada industri pengolahan minyak goreng domestik yang biaya ekonominya dibebankan kepada produsen CPO dan konsumen minyak goreng dalam negeri.

Konsep perubahan kehilangan kesejahteraan (welfare loss) yang harus ditanggung masyarakat karena adanya kebijakan tertentu akan digunakan untuk menganalisis kinerja ekonomis industri kelapa sawit secara keseluruhan. Penelusuran terhadap aspek tersebut akan didekati dari sisi produsen, konsumen dan dari sisi pemerintah sebagai perumus kebijakan. Kerangka analisis ekonomi yang paling sederhana dan sering digunakan untuk mengkuantifikasikan dengan nilai uang pengaruh suatu kebijakan adalah analisis keseimbangan parsial. Konsep surplus produsen dan surplus konsumen sampai saat ini masih merupakan dua konsep penting untuk analisis keseimbangan parsial ini. Surplus produsen adalah perbedaan penerimaan kotor produsen (gross margin) dari penjualan suatu barang pada harga yang berlaku. Sedangkan surplus konsumen adalah perbedaan jumlah

(13)

yang telah dipersiapkan oleh konsumen terhadap suatu barang pada harga yang berlaku. Strategi pajak ekspor yang diterapkan untuk produk minyak kelapa sawit mentah (CPO) juga berangkat dari konsep keseimbangan parsial ini

Pengenaan tarif pajak ekspor terkesan terlalu tinggi dan dapat berakibat disinsentif bagi produsen CPO termasuk petani dan calon investor dalam rangka penanaman modal di industri CPO. Dalam jangka pendek, pemerintah perlu menghitung tarif pajak ekspor optimal. Dalam jangka panjang sejalan dengan penerapan komitmen Putaran Uruguay, pemerintah perlu menghapus kebijakan pajak ekspor atas CPO dan produk turunannya. Tingkat harga ekspor yang dijadikan acuan tidak pernah jelas dasar penetapannya, sehingga efektifitasnya masih meragukan. Dalam prakteknya, harga ekspor CPO dan turunannya mengikuti mekanisme pembentukan harga di pasar internasional. Pajak ekspor pada tahun 1999 sebesar 10% masih cukup tinggi sehingga pendapatan petani berkurang. Pada akhirnya pemerintah harus memilih antara produsen atau konsumen yang diuntungkan. Kebijakan pajak ekspor yang tinggi menunjukkan kurang seriusnya pemerintah untuk mengembangkan sektor agribisnis, padahal dalam pernyataan pemerintah melalui Deperrindag pada 18 Desember 2000 bahwa sektor perkebunan khususnya kelapa sawit merupakan prioritas dari 4 jenis industri agro. Kondisi diatas terlihat adanya inkonsistensi kebijakan pemerintah.

Kesimpulan

Komoditi minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia memiliki daya saing. Namun daya saing tersebut berupa murahnya biaya produksi dibandingkan dengan negara produsen lainnya. Hal ini disebabkan oleh rendahnya upah buruh di Indonesia dan kebijakan subsidi pupuk oleh pemerintah, serta karena faktor endowment yang dimiliki Indonesia.

Namun dalam menghadapi era perdagangan bebas mendatang, daya saing yang didasarkan oleh murahnya upah buruh serta adanya

(14)

kebijakan subsidi pupuk tidak akan dapat bertahan lama. Jika daya saing hanya mengandalkan kepada kedua faktor tersebut, maka Indonesia akan kehilangan posisisnya sebagai salah satu pemasok utama dunia untuk komoditi minyak kelapa sawit.

Di era pasar bebas mendatang bukannya tidak mungkin upah buruh akan meningkat, sehingga upah buruh tidak dapat lagi diandalkan sebagai faktor yang menyebabkan daya saing. Begitu juga halnya dengan subsidi pupuk agar dipertimbangkan kembali agar sesuai dengan kebutuhan dan tepat pada sasaran. Dari pengalaman menunjukkan subsidi ternyata lebih dinikmati oleh importir, distributor dan pedagang. Sementara petani dan konsumen tidak mendapat manfaat dari subsidi tersebut.

Jika dilihat dari perkembangan produksi dan ekspor impor dunia, maka dapat dikatakan bahwa minyak kelapa sawit Indonesia memiliki prospek ekspor yang cerah. Ini berarti Indonesia memiliki peluang yang lebih besar untuk memperoleh devisa dari komoditi ini.

Karena mempunyai arti penting bagi Indonesia , maka pemerintah perlu campur tangan dan mengatur tata niaga minyak kelapa sawit dalam bentuk pengaturan alokasi, pengawasan pasokan dan harga serta pembatasan dan pelarangan ekspor CPO. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan selama ini untuk kelapa sawit hanya bersifat jangka pendek dan lebih berorientasi kepada konsumen domestik. Adapun tujuan utama kebijakan tersebut adalah untuk menjaga kestabilan pasokan CPO dalam negeri.

Instrumen yang digunakan pemerintah untuk tujuan tersebut adalah berupa penetapan pajak ekspor CPO. Jika dilihat dari perkembangan kebijakan pemerintah dari tahun 1994-1999 terlihat bahwa penetapan pajak ekspor berubah-ubah. Jika pasokan dalam negeri berkurang yang mengakibatkan mahalnya harga CPO dalam negeri, maka pajak ekspor dinaikkan. Apabila pasokan dalam negeri dirasakan sudah cukup dan harganya turun, maka pajak ekspor kembali diturunkan. Pada september 2000 pajak ekspor kembali diturunkan menjadi 5%.

(15)

Melalui kebijakan-kebijakan tersebut terlihat ketidakseriusan dalam melihat peluang ekspor CPO di pasar internasional. Inkonsistensi kebijakan tersebut menimbulkan kacaunya tata niaga CPO yang sudah ada. Oleh karena itu penetapan pajak ekspor CPO sebaiknya dipertimbangkan kembali dengan menganalisis dampak (positif/negatif) yang dapat terjadi akibat penetapan PE CPO.

Dari pemaparan diatas memang ada perbedaan "visi dan misi" antara pemerintah dengan produsen minyak kelapa sawit Indonesia. Di satu sisi pemerintah ingin agar pasokan dalam negeri stabil, sementara di sisi lain produsen dan petani menginginkan agar keuntungannya dapat dimaksimalkan. Pemerintah dipaksa untuk memilih akan berpihak kemana, apakah produsen atau konsumen karena pasti ada tradeoff diantara keduanya.

(16)

Daftar Pustaka

Conyers, Diana and Peter Hills, 1990, An Introduction to Development Planning in The Third World, Jon Wiley and Sons Ltd.

Dillon, H. S., 1999, Pertanian Membangun Bangsa, Pustaka Sinar Harapan

Dunn, William N., 1994, Public Policy Analysis: An Introduction, University of Pittsburgh, New Jersey: Prentice Hall

Dornbusch, Rudiger, 1994, Macroeconomics, USA: Mc Graw Hill. Inc

Hasibuan, Nurimansjah, 1993, Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi, Jakarta: LP3ES

Krugman, Paul R., 1991, International Economics: Theory and Policy, Harper Collins Publisher. Inc

Luc Anselin and Moss Madden, 1990, New Directions in Regional Analysis, Belhaven Press

Mangiri, Komet, 2000, Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input Output, Jakarta: BPS Mangkoesubroto, Guritno, 1997, Ekonomi Publik, Yogyakarta: BPFE

Miller, Ronald E. , 1985, Input Output Analysis, New Jersey: Prentice Hall

Porter, E. Michael, 1994, Competitive Advantage of Nations, UK: The Macmillan Press. Ltd, Hampshire

Salvatore, Dominick, 1996, International Economics, Fifth edition. New Jersey: Prentice Hall

Salvatore, Dominick, 1996, Managerial Economics in a Global Economy, USA: McGraw Hill Inc.

Sato, Yuri, 1997, The Palm Oil Industry in Indonesia: Its Structural Changes and Competitiveness, Wave of Change in Indonesia's Manufacturing Industry, Tokyo: IDE

(17)

Todaro, Michael P., 1997, Economic Development in The Third World, London: Wesley Longman Limited

Gambar

Tabel 1. Nilai RCA : Crude Palm Oil (CPO)
TABEL 2. Perbandingan Biaya Produksi CPO Indonesia dengan Malaysia
Tabel 3. Matriks Kebijakan Pemerintah untuk Produk Kelapa Sawit (Th. 1978-

Referensi

Dokumen terkait

Surat Ketetapan Pajak daerah lebih Bayar, yang dapat disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karema jumlah kredit

Ketentuan Pasal 5 dalam Peraturan Daerah Nomor I Tahun 1999 tentang Perubahan Bentuk Hukum Bank Pembangunan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dari Perusahaan Daerah (PD)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian atraktan (taurin dan tepung cumi) untuk meningkatkan pemanfaatan tepung darah sampai level 12% dalam pakan buatan

Salah satu keputusan penting yang dihadapi manajer (keuangan) dalam kaitannya dengan kelangsungan operasi perusahaan adalah keputussan pendanaan atau keputusan

Artinya, diperlukan kemampuan untuk melakukan pemilihan dan pemakaian bentuk wacana secara tepat dan sesuai dengan tujuan diadakannya upacara perkawinan; (3) kajian

Evaluasi dan perencanaan kembali Bendung Sapon yang dilakukan dengan perencanaan yang didasarkan pada data saat ini yakni luas areal irigasi efektif Sapon seluas

Yang dimaksud dengan prinsip syariah, disebutkan dalam pasal 1 angka 13, yaitu “aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana

Dalam menganalisis kinerja keuangan Koperasi Simpan Pinjam Berkat. Laporan keuangan yang digunakan dalam penelitian ini berupa laporan neraca dan laporan rugi