• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Pengertian dan Konsep Daya Saing

Daya saing adalah suatu konsep komparatif dari kemampuan dan pencapaian dari suatu perusahaan, subsektor atau negara untuk memproduksi, menjual dan menyediakan barang-barang dan jasa kepada pasar. Daya saing diterapkan pada pasar yang mengarah pada pasar persaingan sempurna. Konsep daya saing bisa juga diterapkan pada suatu komoditi, sektor/bidang, wilayah dan negara. Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak, 1992). Menurut Kadariah et al. (1978) keunggulan komparatif terlihat dari efisiensi atau tidaknya produksi dunia. Artinya, apakah biaya produksi riil yang terdiri dari pemakaian sumber-sumber domestik cukup rendah sehingga harga jualnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat harga batas yang relevan (border price).

Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditi tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditi dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Konsep daya saing yang menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk memberikan masukan dalam perencanaan dan pengembangan usaha ternak. Sapi perah dengan produk

(2)

susu sebagai komoditi komersial, dimana keunggulan untuk menganalisis efisiensi dari sisi ekonomi sedangkan keunggulan kompetitif untuk menganalisis efisiensi dari sisi finansial.

Konsep keunggulan komparatif seringkali digunakan untuk menerangkan spesialisasi suatu negara dalam memproduksi suatu barang dan jasa. Selain itu, konsep ini digunakan untuk wilayah yang lebih kecil seperti kabupaten atau provinsi. Konsep ini pertama kali diterapkan oleh David Ricardo yang dikenal dengan nama hukum keunggulan komparatif (the law of comparative advantage) atau disebut juga model Ricardian. Dalam model ini disebutkan bahwa sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi suatu komoditi jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif, sebaiknya negara tersebut akan mengimpor komoditi yang mempunyai kerugian absolut lebih besar. Melalui komoditi inilah negara tersebut akan mengalami kerugian komparatif (Salvator, 1994).

Model Ricardian ini mengasumsikan bahwa tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi. Teori nilai tenaga kerja ini menyatakan bahwa nilai atau harga dari suatu komoditi sama dengan atau dapat diperoleh dari jumlah waktu tenaga kerja yang dipakai untuk memproduksi komoditi. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa hanya tenaga kerja yang merupakan faktor produksi atau tenaga kerja digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua komoditi, dan tenaga kerja homogen. Teori nilai tenaga kerja ini

(3)

merupakan kelemahan dari model Ricardian karena tenaga kerja bukan merupakan satu-satunya faktor produksi, juga tidak digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua komoditi dan tenaga kerja tidak homogen.

Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu negara atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif secara dinamis akan mengalami perkembangan. Pearson dan Gotsch (2004) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif, yaitu: (1) perubahan dalam sumberdaya alam, (2) perubahan faktor-faktor biologi, (3) perubahan harga input, (4) perubahan teknologi, dan (5) biaya transportasi yang lebih murah dan efisien.

Melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keunggulan komparatif di atas, maka keunggulan komparatif merupakan suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan. Keadaan ini mengacu pada kemampuan mengelola secara dinamis dari suatu wilayah yang mempunyai keterbatasan sumberdaya dengan dukungan tenaga kerja, modal dan dari segi pengolahannya.

Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan alat untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Adanya konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali yang sulit ditemukan di dunia nyata dan keunggulan komparatif suatu aktivitas ekonomi dari sudut pandang atau individu yang berkepentingan langsung (Salvator, 1994).

Pada awalnya konsep keunggulan kompetitif dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Menurut Porter, keunggulan perdagangan antar negara didalam perdagangan internasional sebenarnya tidak ada. Pada kenyataannya ada

(4)

persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri di satu negara dengan negara lainnya, bahkan antar kelompok industri yang ada dalam satu negara.

Sudaryanto dan Simatupang (1993) menyebutkan secara operasional keunggulan kompetitif dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan pesaing, seraya memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan (opportunity cost) sumberdaya. Lebih lanjut Sudaryanto dan Simatupang (1993) menegaskan bahwa agribisnis dan pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi dengan harga serendah mungkin atau pembangunan pertanian yang berwawasan produk sudah tidak sesuai dengan keadaan pasar global saat ini. Berdasarkan kondisi tersebut untuk mengantisipasi keadaan pasar, usaha produksi komoditi pertanian pada saat ini harus lebih berorientasi pada konsumen atau lebih berwawasan menjual.

Kondisi ini menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan komparatif (menghasilkan barang lebih murah dari pesaing), tetapi juga ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut (karakter) yang sesuai oleh dengan keinginan konsumen (Sukirno, 1998). Analisis keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur keuntungan privat (private profitability) atau kelayakan dari suatu aktivitas yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi yang berlaku. Dalam hal ini, suatu negara akan dapat bersaing dipasaran internasional jika negara terebut memiliki keunggulan kompetitif dalam menghasilkan suatu komoditi dengan asumsi adanya sistem pemasaran dari intervensi pemerintah.

(5)

Kondisi ini mengakibatkan suatu negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif ternyata memiliki keunggulan kompetitif. Sehingga pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditi yang diproduksi pada aktivitas ekonomi tersebut, misalnya melalui jaminan harga, kemudahan perizinan dan kemudahan fasilitas lainnya (Sudaryanto dan Simatupang, 1993). Walaupun demikian konsep keunggulan kompetitif ini bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya saling menggantikan terhadap keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan konsep yang sifatnya saling melengkapi.

2.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Susu di Indonesia 2.2.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Pengadaan Input Susu di Indonesia

Kebijaksanaan pengadaan sarana produksi berupa penyediaan bibit sapi, pakan ternak, dan obat-obatan yang dikaitkan dengan sistem kredit yang layak dan mudah merupakan titik strategi dari pembangunan peternakan. Fungsi pengadaan sarana produksi sangat penting karena pada umumnya peternak sapi perah rakyat kurang berpengetahuan tentang jenis ternak, pakan ternak, disinfektan, dan obat-obatan yang baik, dalam arti cocok dengan kondisi sehingga diharapkan usaha sapi perah rakyat dapat menghasilkan atau berproduksi dengan hasil yang tinggi dan tentunya efisien. Sedangkan sistem kredit diberikan karena peternak rakyat umumnya berekonomi lemah. Oleh karena itu, peran atau fungsi yang sangat penting ini tidak dipercayakan kepada badan usaha yang semata-mata mencari keuntungan (Erwidodo dan Hassan, 1993).

Pelayanan terhadap kebutuhan sarana produksi ternak yang meliputi bibit, peralatan dan terutama pakan konsentrat dilakukan oleh koperasi. Pengadaan

(6)

sapronak dilakukan oleh koperasi yang bekerjasama dengan dinas terkait, GKSI, pihak perbankan, pemasok bahan baku, dan pabrik makanan ternak. Berdasarkan kebijakan pemasukan bibit ternak sapi perah, ada tiga suarat keputusan (SK) Menteri Pertanian, yaitu:

1. SK Menteri Pertanian Nomor 750/Kpts/Um/10/82 tentang syarat-syarat pemasukan bibit ternak dari luar negeri.

2. SK Menteri Pertanian Nomor 752/Kpts/Um/10/82 tentang syarat-syarat teknik bibit sapi perah yang dimasukkan dari luar negeri.

3. SK Menteri Pertanian Nomor 753/Kpts/Um/10/82 tentang kesehatan bibit sapi perah yang akan dimasukkan dari Australia dan Selandia Baru.

Inti dari kebijakan ini adalah menitikberatkan persyaratan teknis agar impor bibit sapi perah tidak berdampak negatif, terutama penyakit ternak atau mutu genetis sapi perah yang rendah. Hal ini dimaksudkan agar bibit sapi perah yang masuk ke Indonesia terjamin kualitasnya dan mempunyai standar kualifikasi tertentu. Sedangkan para peternak tersebut dilatih terlebih dahulu, agar memahami sepenuhnya apa yang harus dikerjakan untuk menghasilkan sapi-sapi prima. Apabila ada peternak berpotensi tetapi terhambat modal maka perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah.

2.2.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Produksi Susu di Indonesia

Produksi susu di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan Impor susu dari negara lain terutama dari negara Australia. Pemerintah melakukan impor susu dalam bentuk bubuk untuk memenuhi permintaan susu dalam negeri. Susu

(7)

tersebut diimpor dalam bentuk SMF (Skim Milk Powder) dan AMF (Anhydrous Milk Fat). Susu yang diimpor akan diolah kembali oleh Industri Pengolahan Susu (IPS) dan oleh non Industri Pengolahan Susu.

Perkembangan usaha sapi perah di Indonesia yang cukup signifikan itu tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam bentuk dukungan kebijakan yang bersifat lintas sektoral, perlindungan atau proteksi terhadap usaha peternakan rakyat dan penyediaan fasilitas kredit serta permodalan dalarn meningkatkan skala usaha dan populasi sapi perah di tingkat keluarga peternak. Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri, yakni Menteri Koperasi, Menteri Pertanian, dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang selanjutnya dikukuhkan dengan INPRES Nomor 2 Tahun 1985 mengatur tentang pemasaran susu segar dari peternak ke IPS. Oleh karena itu, IPS wajib menerima susu segar dalam negeri (SSDN) dan bukti serap sebagai pengaman harga SSDN dan harga bahan baku impor.

Beberapa instrumen kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah selama ini adalah adanya: (1) rasio impor bahan baku susu yang dikaitkan dengan keharusan serap susu segar domestik, atau yang lebih dikenal dengan rasio bukti serap (BUSEP), dan (2) penerapan tarif impor untuk bahan baku susu impor maupun produk susu (susu bubuk, keju dan mentega). Namun, Sejak ditandatanganinya kesepakatan antara Pemerintah RI dengan International Monetery Fund (IMF) pada Januari 1998 tentang penghapusan tataniaga SSDN, maka sejak saat itu sistem rasio BUSEP juga telah dihapus. Ketentuan tersebut menjadikan komoditas susu telah memasuki era pasar bebas meskipun seharusnya baru akan dimulai pada tahun 2003. Hal ini berarti bahwa komoditas susu memasuki pasar bebas

(8)

lebih awal dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan sehingga harus memiliki daya saing kuat untuk mengantisipasi masuknya bahan baku susu impor. Oleh karena itu, harga SSDN yang berlaku harus merupakan harga pasar yang kompetitif, terutama jika dipertimbangkan ancaman dari produsen susu dunia dari negara tetangga seperti Australia dan New Zealand.

Sejak November tahun 2008, untuk mengatasi permasalahan kurangnya

supply susu serta tingginya harga susu di tingkat konsumen, pemerintah melakukan program peningkatan daya saing industri susu di dalam negeri yaitu dengan memberikan insentif fiskal berupa penanggungan bea masuk oleh pemerintah atas impor barang dan bahan olah industri pengolahan susu (Permenkeu No. 145/PMK.011/2008). Namun, hal tersebut juga diperparah dengan dikeluarkannya kebijakan terbaru mengenai penghapusan tarif impor

masuk dari lima persen menjadi nol persen berdasarkan Permenkeu No. 19/PMK.011/2009 pada April dan efektif diberlakukan sejak 1 Juni 2009.

Kondisi ini memberikan implikasi bahwa IPS memiliki pilihan yang kuat dalam menentukan harga kontra karena harga susu impor (bubuk) jauh lebih murah hingga 15 persen dari susu lokal, serta memperburuk kondisi peternak sapi perah, karena mendapatkan harga yang lebih rendah dan posisi tawar yang lemah.

2.3. Struktur Pasar Susu Segar Dalam Negeri Indonesia

Peta perdagangan internasional menyebutkan bahwa Indonesia merupakan

net consumer. Sampai saat ini industri pengolahan susu nasional masih sangat bergantung pada impor bahan baku. Apabila kondisi tersebut tidak dibenahi dengan membangun sebuah sistem agribisnis berbasis peternakan yang baik, maka

(9)

Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor hasil ternak khususnya susu sapi (Daryanto, 2009). Permasalahan yang dihadapi oleh usahaternak sapi perah, tidak hanya akibat ketidakmampuan usahaternak untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Setidaknya menurut Ilham dan Swastika (2001) konsumsi susu segar masyarakat masih terbatas, sehingga pemasaran susu segar tergantung pada IPS.

Penentuan harga yang dilakukan sepihak oleh IPS. Diperkirakan sekitar 88-91 persen produksi susu usahaternak sapi perah rakyat dipasarkan ke IPS. Harga jual susu tersebut ditentukan berdasarkan syarat teknis atau kualitas susu yang dicerminkan oleh kandungan total solid susu (11-12.5 persen). Fakta dilapangan menyebutkan hal tersebut dilakukan dengan mengukur Berat Jenis (BJ), kandungan lemak susu, dan kandungan bakteri (dibawah satu juta).

Mekanisme penentuan harga dilakukan secara sepihak IPS. Peternak hanya menerima harga yang telah ditentukan oleh IPS, berdasarkan kriteria yang disebutkan diatas. Bahkan koperasi primer maupun GKSI tidak mempunyai kekuatan dalam menentukan harga susu, karena keberadaannya hanya bersifat sebagai perantara yang memperoleh fee untuk tiap liter susu yang di pasarkan ke IPS. Saat ini IPS hanya akan membeli bila harga SSDN lebih murah dari bahan baku impor. Bila terjadi sebaliknya, dengan dicabutnya sistem rasio, diduga IPS akan lebih memilih untuk menggunakan bahan baku asal impor. Hingga saat ini belum ada upaya IPS menjalin kemitraan agar produksi SSDN dapat bersaing dengan produk impor. Hal ini disebabkan masih ada keterkaitan antara IPS sebagai usaha multinasional dengan industri persusuan di masing-masing negara investor/produsen (Ilham dan Swastika, 2001).

(10)

Kondisi tersebut menyebabkan struktur pasar susu segar dalam negeri cenderung mengarah ke oligopsoni. Hal ini dibuktikan bahwa jumlah persahaan yang tergabung dalam IPS terdapat 12 perusahaan. Adapun keduabelas perusahaan tersebut adalah: PT. Nestle Indonesia, PT. Foremost Indonesia, PT. Friesche Vlag Indonesia, PT. Indomlik, PT. Ultra Jaya, PT. Dafa, PT. Sari Husada, PT. Nutricia Indonesia, PT. Pantja Niaga, Ltd, PT. Sugizindo, PT. Mirota, dan PT. Indolakto (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009).

Perusahaan-perusahaan tersebut bergabung dalam IPS, dimana fungsi IPS melakukan kordinasi dalam hal penentuan jumlah susu yang akan dibeli dan penentuan harga berdasarkan tingkat kualitas. Fenomena ini mengindikasikan adanya potensi anti persaingan berupa abuse of dominant position dari IPS sekaligus potensi praktek monopsoni yang tidak sehat, (Siregar, 2009). Walaupun pada dasarnya peternak bergabung dalam koperasi dan GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia), namun koperasi belum mampu meningkatkan posisi tawar dan mengimbangi IPS. Beberapa alasan yang menyebabkan rendahnya posisi tawar peternak dan koperasi adalah: pertama, terbukanya pasar susu impor yang memberikan alternatif bahan baku susu bagi IPS, sehingga dengan tidak adanya kewajiban untuk membeli susu bagi peternak, IPS akan semakin leluasa untuk memanfaatkan bahan baku impor. Kedua, karakterisktik susu yang merupakan produk agribisnis memiliki ciri perishable, yakni produk yang relatif cepat rusak bila tidak ditangani/diolah lebih lanjut. Ketiadaan unit pengolahaan susu yang memadai yang dimiliki oleh koperasi dan tidak terdapatnya pasar alternatif selain IPS menyebabkan peternak atau koperasi harus menjual susunya kepada IPS. Ketiga, rendahnya pengetahuan dan pemahaman peternak untuk meningkatkan

(11)

kualitas susu yang dihasilkan, agar memperoleh harga yang lebih tinggi berdasarkan yang disyaratkan oleh IPS, terutama dalam proses perawatan sapi perah dan alat yang digunakan. Keterbatasan modal menjadi alasan bagi peternak untuk tetap menggunakan alat-alat sederhana, seperti ember bekas, milk cain

(tempat penampungan susu) yang sudah rusak dan tidak memiliki tutup. Perbaikan sistem budidaya menurut pendapat peternak akan menimbulkan tambahan biaya bagi usahaternak.

2.4. Kebijakan Negara Maju di Bidang Persusuan

Komoditi peternakan khususnya susu merupakan komoditas yang memiliki nilai strategis dan bahkan politis bagi negara produsen susu, seperti New Zeland, Australia, Amerika Serikat, dan Eropa. Berbagai bentuk kebijakan dilakukan oleh pemerintah negara produsen untuk dapat meningkatkan produksi susu dan memasarkannya ke negara lain, khususnya negara berkembang termasuk Indonesia. Subsidi yang diberikan oleh negara maju terhadap peternakan merupakan bukti perlindungan. Pakpahan (2004) dalam Karo-Karo (2007) menyebutkan bahwa setiap sapi di negara-negara produsen mendapat subsidi sebesar US$ 1.00-US$ 2.00 per ekor per hari untuk pakan atau dalam bentuk lainnya. Pemberian subsidi tersebut dilakukan dalam bentuk green box, amber box

(subsidi input dan output), ataupun blue box (bantuan langsung), kebijakan-kebijakan tersebut adalah kebijakan-kebijakan yang ‘disepakati’ di dalam WTO (World Trade Organization). Negara maju memiliki dana untuk ketiga bentuk subsidi tersebut dan dalam pelaksanaannya tetap mengatakan tidak akan mendistorsi pasar. Sedangkan negara berkembang yang hanya memiliki dana dalam bentuk

(12)

subsidi amber box, diprotes negara maju karena menurut mereka akan mendistorsi pasar.

Kondisi tersebut tentunya akan memberikan konsekuensi pengembangan usaha sapi perah di negara masing-masing. Menurut PSE-KP Litbang Departemen Pertanian (2009) menyebutkan terdapat lima perilaku negara maju yang berupaya untuk melindungi produksinya dan mengupayakan komoditasnya masuk ke pasar negara-negara berkembang. Adapun kelima perilaku tersebut adalah: pertama, menekan negara berkembang menurunkan tarif, sementara negara maju melakukan non tarif barrier dengan sanitary phytosanitary (SPS), Non-Trade Concerns (NTCs), lingkungan hidup, dan pandangan masyarakat. Kedua, melakukan lobi dengan pemerintah negara-negara berkembang yang memiliki kemampuan untuk memutuskan agar tercipta kerjasama bilateral untuk menembus pasar negara berkembang. Ketiga, Membagi negara-negara berkembang yang sebelumnya bergabung ke dalam G20 dan G33, sehingga kekuatan negara berkembang akan semakin lemah dan dengan demikian akan semakin mudah untuk menembus pasar negara-negara berkembang yang rendah dari segi produksi susu dan pemenuhan asupan nilai gizi. Keempat, negara-negara maju lebih cenderung untuk menurunkan tarif impor minor dan mempertahankan tarif produk utama. Kelima, negara maju ternyata memanfaatkan Multinational Corporation

(MNC) yang memiliki cabang-cabang di negara berkembang untuk mengakses pasar negara berkembang tersebut.

Kebijakan yang diterapkan oleh negara maju untuk melindungi komoditas susu dan produk turunannya adalah dengan menetapakan tarif bea masuk ataupun non tarif yang berbentuk hambatan teknis. Menurut Litbang Departemen

(13)

Perdagangan (2009) negara-negara maju seperti Canada, Amerika Serikat, dan Australia menerapkan kebijakan untuk memproteksi komoditas susu dan turunan dari serbuan produk sejenis dari negara lain. Faktanya Amerika Serikat menerapkan tarif masuk sebesar 17.50-18.50 persen untuk produk susu dan turunannya, Canada menerapkan tarif bea masuk sebesar tujuh persen, sedangkan negara Australia menetapkan zero tariff untuk komoditas susu, namun menetapkan non tariff barrier dalam bentuk sanitary certificate, dan manufacture certificate.

2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pengukuran daya saing usaha ternak sapi perah yang diukur atau dilihat dari komoditas yang dihasilkan yakni susu segar masih terbatas dilakukan oleh para akademisi ataupun peneliti. Secara umum penelitian yang dilakukan untuk mengukur daya saing lebih banyak membahas komoditas sapi potong, penggemukan sapi potong dan komoditi di sektor pertanian lainnya. Sedangkan untuk daya saing susu segar sapi perah masih terbatas dilakukan dan dipublikasikan. Namun dari hasil penelusuran literatur dan pustaka yang dilakukan di beberapa tempat (perpustakaan, internet, lembaga penelitian seperti Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian) didapat tiga penelitian yang relevan dan membahas komoditi susu serta mengukur daya saingnya dengan menggunakan alat analisis PAM (Policy Analysis Matrix).

Penelitian yang dilakukan oleh Hutagaol dan Karo-Karo (2008), berjudul ”Analisis Daya Saing Koperasi di Era Globalisasi, Studi Kasus: Pada Koperasi Susu di Jawa Barat”. Penelitian ini menggunakan alat analisis PAM (Policy

(14)

Analysis Matrix) dan formulasi strategi dengan teknik SWOT (Strenghts, Weakness, Oppurtunities and Threats) untuk merumuskan strategi dalam peningkatan daya saing. Berdasarkan penelitian tersebut pengukuran daya saing kelembagaan koperasi yang diukur dari produk susu yang dihasilkan oleh koperasi tersebut. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa koperasi susu memiliki daya saing. Daya saing tersebut ditunjukkan dari keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya. Keunggulan kompetitif ditunjukkan oleh koesifien PCR (Private Cost Ratio) sebesar 0.49 yang memiliki pengertian bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar Rp. 1 pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp. 0.49, sehingga penggunaan faktor domestik sudah efisien sehingga layak untuk diusahakan. Sedangkan keunggulan komperatif ditunjukkan oleh koefisien nilai DRC (Domestic Resourse Cost) sebesar 0.23 yang berarti untuk memperoleh nilai tambah sebesar Rp. 6 456.51 per liter susu diperlukan tambahan biaya faktor produksi domestik sebesar Rp. 1 396.36 per liter susu, sehingga dapat dikatakan bahwa koperasi susu lebih efisien dalam menghasilkan susu dengan mengunakan sumberdaya domestik. Nilai DRC yang kurang dari satu (<1, semakin kecil) maka usaha produksi sapi perah di koperasi ini efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. Penelitian tersebut juga merumuskan tujuh strategi dengan menggunakan teknik SWOT untuk dapat meningkatkan daya saing koperasi susu tersebut, beberapa strategi yang diformulasikan dan direkomendasikan adalah dari penelitian tersebut: (1) pengembangan dan peningkatan bisnis koperasi susu melalui konsep kluster, strategi ini direkomendasikan agar koperasi mampu bersaing dan memiliki posisi tawar

(15)

dengan mitranya (IPS); (2) meningkatkan kegiatan promosi bersama mengenai pentingnya konsumsi susu sehat; dan (3) pemantapan sistem manajemen pemasaran dan produksi susu turunannya untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen lokal.

Penelitian kedua yang menghitung daya saing dan bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu dilakukan oleh Kuraisin (2006). Penelitian tersebut berjudul ”Analisis Daya Saing dan Dampak Perubahan Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditi Susu Sapi (Studi Kasus di Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor)”. Penelitian tersebut menggunakan alat analisis PAM (Policy Analysis Matrix) dan sensitivitas untuk melihat dampak perubahaan kebijakan komoditi susu pada skala kepemilikan sapi yang berbeda-beda yakni tiga ekor, sama dengan tiga ekor, dan >3 ekor. Hasil penelitian yang diperoleh adalah secara umum komoditi dan pengusahaan sapi perah pada skala yang berbeda di Desa Tajurhalang memiliki keunggulan Daya saing hal ini ditunjukkan oleh nilai PCR dan DCR kurang dari satu (yakni rata-rata 0.70 dan 0.55) sehingga menguntungkan secara ekonomi dan efisien dalam pengusahannya. Penelitian tersebut juga merekomendasikan agar pada tahun 2006, pemerintah harus menetapkan tarif impor susu sebesar 15-20 persen untuk meningkatkan posisi daya saing yang baik dan peternak agar mampu bersaing dengan susu impor dari aspek harga, hal ini diperoleh dari analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas gabungan (kenaikan harga input dan penurunan harga output) menunjukkan bahwa usaha ternak sapi perah di Desa Tajurhalang tetap memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif.

(16)

Penelitian ketiga yang dilakukan oleh Ilham dan Swastika pada tahun 2001, melakukan perhitungan dan pengukuran daya saing susu segar dalam negeri pasca krisis ekonomi dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha peternakan sapi perah di Indonesia. Ilham dan Swastika pada penelitiannya melihat dan mengukur daya saing pada usahaternak di dataran tinggi (Lembang) dan di dataran rendah (Grati, Pasuruan). Hasil analisis daya saing menunjukkan bahwa usaha peternakan sapi perah yang diukur dari produk susu yang dihasilkan cukup efisien, baik di dataran tinggi maupun di dataran tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai rasio sumber daya domestik (DRC) selama pasca krisis sebesar 0.57 untuk dataran tinggi dan 0.67 untuk dataran rendah.

Penelitian yang menggunakan PAM sebagai alat analisis di sektor peternakan, yakni komoditi ayam ras yang dilakukan oleh Saptana (1999). Penelitian ini mengemukakan bahwa sistem komoditi ayam ras petelur dan pedaging pada berbagai pola, skala usaha, dan lokasi yang diteliti pada kondisi sebelum terjadi krisis moneter nilai efisien (nilai DRC<1), bahkan setelah krisis moneter lebih efisien.

Referensi

Dokumen terkait

Kemandirian seorang Notaris terletak pada hakekatnya selaku Pejabat umum, hanyalah mengkonstatir atau merelateer atau merekam secara tertulis dan otentik dari

Fokus penelitian ini pada kegiatan Musrenbang pada tingkat desa dan kelurahan sebagai forum komunikasi stakeholder yang mewakili masyarakat desa/kelurahan untuk mengaspirasikan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah mengkaji langkah-langkah memperoleh minimum global dalam program integer tak linear dengan menggunakan metode fungsi quasi-filled

Nilai yang telah didapat dikelaskan dengan kalsifikasi usaha pengembangan objek wisata alam, maka kawasan air Riam Asam Telogah memiliki daya tarik areal yang bernila Baik (A)

Mengingat pentingnya kegiatan seminar internasional di perguruan tinggi dan juga merupakan salah satu point penunjang dalam akreditasi, oleh karna itu kami

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ- organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi

Hasil kalibrasi model antara indeks dari citra spasial dengan data nilai lengas tanah pada 40 titik pengamatan BRG selama periode 2018-2019 menunjukkan performa

Pemeriksaan laporan keuangan tidak dapat dijadikan satu alat untuk menilai kinerja pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah.. Oleh karena itu, jikalau belum dilakukan