• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. dikaitkan dengan bahasa sastra (Chapman dalam Nurgiyantoro, 2010: 279).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. dikaitkan dengan bahasa sastra (Chapman dalam Nurgiyantoro, 2010: 279)."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stilistika

Stilistika (stylistics) menyaran pada pengertian studi tentang stile, kajian terhadap wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya sastra. Kajian stilistika itu sendiri sebenarnya dapat ditujukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa, tak terbatas pada sastra saja namun biasanya stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra (Chapman dalam Nurgiyantoro, 2010: 279).

Menurut Ratna (2009: 3) stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stile (style) secara umum adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Gaya merupakan salah satu cabang ilmu tertua dalam bidang kritik sastra. Makna-makna yang diberikan sangat kontroversial, relevansinya menimbulkan banyak perdebatan. Gaya terkandung dalam semua teks, bukan bahasa tertentu, bukan semata-mata teks sastra. Gaya adalah ciri-ciri, standar bahasa, gaya adalah cara ekspresi. Meskipun demikian, pada umumnya gaya dianggap sebagai sebuah istilah khusus, semata-mata dibicarakan dan dengan demikian dimanfaatkan dalam bidang tertentu, bidang akademis, yaitu bahasa dan sastra. Dengan pertimbangan bahwa gaya menyangkut masalah penggunaan bahasa secara khusus, maka sastralah, dalam hubungan ini karya sastra yang dianggap sebagai sumber data utamanya. Perkembangan terakhir dalam sastra juga menunjukkan bahwa gaya hanya dibatasi dalam kaitannya dengan analisis puisi. Alasannya, di antara genre-genre karya sastra, puisilah yang dianggap sebagai memiliki penggunaan bahasa paling

(2)

khas. Stilistika jelas berkaitan dengan genre.Sebagai institusi genre seolah-olah memaksa pengarang untuk menciptakan jenis yang sesuai dengan karya yang ditulis. Seorang penyair sejak semula sudah berpikir bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa puisi, bahasa dengan tingkat seleksi yang tinggi.

Seperti pernyataan tersebut, pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Noor (2005: 118) bahwa stilistika berasal dari kata style yang artinya gaya. Style atau gaya adalah cara khas yang dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri. Cara pengungkapan tersebut dapat meliputi setiap aspek bahasa (kata-kata, kiasan-kiasan, susunan kalimat, nada, dan sebagainya).

Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu, yang pada umumnya dalam dunia kesastraan dan pada khususnya dalam puisi untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya. Kajian stilistika juga dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan antara apresiasi estetis (perhatian kritikus) di satu pihak dengan deskripsi linguistik (perhatian linguis) di pihak lain (Leech & Short dalam Nurgiyantoro, 2010: 280). Stilistika kesastraan, dengan demikian, merupakan sebuah metode analisis karya sastra.

Gaya dengan demikian adalah kualitas bahasa, merupakan ekspresi langsung pikiran dan perasaan. Tanpa adanya proses hubungan yang harmonis antara kedua gejala tersebut, maka gaya bahasa tidak ada. Dalam aktivitas kreatif komunikasi antara pikiraan dan perasaan diproduksi secara terus-menerus sejak awal hingga akhir cerita, sehingga keseluruhan karya dapat dianggap sebagai memiliki gayabahasa. Perbedaannya ciri-ciri perasaan dominan dalam puisi, sebaliknya, pikiran dominan dalam prosa (Murry dalam Ratna, 2009: 6). Style atau gaya dapat diartikan sebagai

(3)

cara khas yang dipergunakan oleh seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan diri dengan gaya pribadi (Al-Ma‟ruf, 2009: 9).

Menurut Shipley dalam Ratna (2009: 8) stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya (style), sedangkan style itu sendiri berasal dari akar kata stilus (Latin), semula berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang berlapis lilin. Bagi mereka yang dapat menggunakan alat tersebut secara baik disebut sebagai praktisi gaya yang sukses (stilus exercitotus), sebaliknya bagi mereka yang tidak dapat menggunakannya dengan baik disebut praktisi gaya yang kasar atau gagal (stilus rudis).

Benda runcing sebagai alat untuk menulis dapat diartikan bermacam-macam. Salah satu di antaranya adalah menggores, melukai, menusuk bidang datar sebagai alas tulisan. Konotasi lain adalah „menggores‟, „menusuk‟ perasaan pembaca, bahkan juga penulis itu sendiri, sehingga menimbulkan efek tertentu. Pada dasarnya di sinilah terletak makna kata stilus sehingga kemudian berarti gaya bahasa yang sekaligus berfungsi sebagai penggunaan bahasa yang khas. Secara praktis, khususnya dalam karya sastra, ruang lingkup stilistika adalah deskripsi penggunaan bahasa secara khas.

Stilus itu sendiri juga berasal dari akar kata „sti-„ yang berarti mencakar atau menusuk. Dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah stylos berarti pilar atau rukun yang dikaitkan dengan tempat untuk bersemadi atau bersaksi. Dalam bidang bahasa dan sastra style dan stylistic berarti penggunaan bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek tertentu (Ratna, 2009: 9).

Gaya dikenal dalam retorika dengan istilah style. Seperti di atas, pernyataan yang sama juga diungkapkan Keraf, bahwa kata style diturunkan dari bahasa Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Gaya bahasa adalah

(4)

cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya. Gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa) (Keraf, 2009: 113).

Sedangkan menurut Siswantoro (2010: 115), gaya bahasa (figure of speech) adalah suatu gerak membelok dari bentuk ekspresi sehari-hari atau aliran ide-ide yang biasa untuk menghasilkan suatu efek yang luar biasa.

Terdapat enam pengertian gaya yang diberikan oleh Enkvist dalam Junus (1989: 4) sebagai berikut:

1. Bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya.

2. Pilihan antara berbagai-bagai pernyataan yang mungkin. 3. Sekumpulan ciri pribadi.

4. Penyimpangan daripada norma atau kaedah. 5. Sekumpulan ciri-ciri kolektif.

6. Hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada sebuah ayat.

Kajian sastra adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan hubungan antar unsur dalam karya sastra dengan bertolak dari pendekatan, teori, dan cara kerja tertentu (Aminuddin, 1997: 61). Dengan demikian, stile dapat bermacam-macam sifatnya, tergantung konteks di mana dipergunakan, selera penyair, namun juga tergantung apa tujuan penuturan itu sendiri. Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri, juga merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu dapat dilihat pada bentuk ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam sebuah karya (Nurgiyantoro, 2010: 277).

(5)

Stile, atau wujud performansi kebahasaan, hadir kepada pembaca dalam sebuah fiksi melalui proses penyeleksian dari berbagai bentuk yang berlaku dalam sistem bahasa itu. Pengarang, dalam hal ini, memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan struktur maknanya ke dalam struktur lahir yang dianggap lebih efektif (Fowler dalam Nurgiyantoro, 2010: 279).

Menurut Noth dalam Ratna (2009: 35) stilistika jika dikaitkan dengan retorika klasik, terkandung dalam elocuito. Perbedaan antara retorika dengan stilistika dijelaskan sebagai berikut.

1. Stilistika pada dasarnya memusatkan perhatian pada struktur permukaan teks, pada umumnya merupakan varian ekspresi leksikal dan sintaktik, sedangkan retorika menyediakan aturan bagi pengorganisasian wacana secara keseluruhan. Dalam hubungan ini retorika lebih komprehensif dibandingkan dengan stilistika.

2. Stilistika lebih banyak tertarik terhadap ciri bahasa pengarang individual (atau zaman), retorik tertarik untuk menemukan atau merekomendasikan pola-pola struktural yang ditetapkan oleh tradisi norma-norma lama. Dalam hal ini stilistika lebih komprehensif dibandingakan dengan retorika sebab ia mempertimbangkan sembarang ciri-ciri tekstual, tidak hanya tradisional.

3. Retorika lebih tertarik terhadap efek wacana atas audiens, sedangkan stilistika lebih fokus pada keunikan tekstual, fase-fase teks pragmatik yang berbeda, seperti resepsi teks dan produksi teks.

Dengan singkat stilistika berkaitan dengan pengertian ilmu tentang gaya secara umum, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Stilistika dalam karya sastra merupakan bagian stilistika budaya itu sendiri. Meskipun demikian, dengan adanya intensitas penggunaan bahasa, maka dalam karya sastralah pemahaman stilistika paling banyak dilakukan (Ratna, 2009: 5). Para pelopor dalam bidang kajian stilistika memiliki anggapan bahwa bahasa dari sebuah teks mencerminkan dunia tekstual secara sempurna (Fasold, 1990; Joseph, Love dan taylor, 2001 dalam Black, 2011: 1).

(6)

Dalam pengertian paling luas, stilistika dan estetika bekerja saling meliputi, stilistika mengimplikasikan keindahan, demikian juga sebaliknya. Keindahan melibatkan berbagai sarana yang dimiliki oleh gaya bahasa (Ratna, 2009: 251). Menurut Sudjiman (1993: 7) stilistika berupaya menunjukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks berkombinasi membentuk suatu pesan. Dengan kata lain, bagaimana karya sastra berlaku sebagai suatu sarana komunikasi.

B. Jenis-jenis Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek (Minderop, 2005: 51). Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan berkesan. Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain: agar menarik perhatian orang lain terhadap kita dan keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi (Keraf, 2004: 2). Bahasa, disamping sebagai alat komunikasi, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dari pengalaman tersebut (Keraf, 2004: 6).

Sementara itu, gaya bahasa merupakan ekspresi yang personal. Artinya gaya bahasa dipandang sebagai ekspresi pribadi penulisnya dalam menghadapi dan menyikapi pokok masalah karangannya. Menurut Jassin gaya bahasa adalah perihal memilih dan mempergunakan kata-kata sesuai dengan isi yang mau disampaikan. Gaya bahasa juga menyangkut masalah bagaimana menyusun kalimat secara efektif

(7)

dan secara estetis. Menurut Ahmadi dalam Al-Ma‟ruf (2009: 15) gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk meyakinkan atau mempengaruhi pembaca atau pendengar. Gaya bahasa juga berkaitan dengan situasi dan suasana karangan. Artinya, gaya bahasa menciptakan suasana hati tertentu, misalnya kesan baik atau buruk, senang, tidak enak, yang diterima karena pelukisan tempat, peristiwa, dan keadaan tertentu.

Menurut Ratna (2009: 22) gaya adalah ekspresi linguistis, baik di dalam puisi maupun prosa (cerpen, novel, drama). Shipley dalam Ratna (2009: 23) membedakan tujuh jenis gaya, sebagai berikut:

1. Gaya bahasa berdasarkan pengarang, seperti: gaya Shakespearean, Dantean, Homeric, dan gaya Miltonic.

2. Gaya bahasa berdasarkan waktu, hari, dekade, abad, peristiwa sejarah atau sastra, seperti: gaya pra-Shakespeare, gaya abad keemasan sastra Latin. 3. Gaya bahasa berdasarkan medium bahasa, seperti: gaya bahasa Jerman,

gaya bahasa Perancis.

4. Gaya bahasa berdasarkan subjek, seperti: gaya bahasa resmi, ilmu pengetahuan, filsafat, komis, tragis, dan gaya didaktis.

5. Gaya bahasa berdasarkan lokasi atau geografi, seperti: gaya bahasa urban, professional, gaya New England.

6. Gaya bahasa berdasarkan audiens, seperti: gaya bahasa umum, istana, kekeluargaan, populer, dan gaya mahasiswa.

7. Gaya bahasa berdasarkan tujuan atau suasana hati, seperti: gaya bahasa sentimental, sarkatis, diplomatis, dan gaya informasional.

Gaya bahasalah yang menjadi unsur pokok untuk mencapai berbagai bentuk keindahan. Dominasi gaya bahasa terkandung dalam puisi dengan pertimbangan keterbatasan medium penampilannya, sehingga unsur yang ditonjolkan adalah bahasa itu sendiri. Bahasa dalam puisi sekaligus merupakan alat dan tujuan. Tujuan gaya bahasa adalah menghadirkan aspek keindahan. Menurut Aminuddin (1997: 57) dalam konteks komunikasi kebahasaan, gaya secara umum memang dapat diartikan sebagai cara penggunaan bahasa untuk mengungkapkan gagasan.

(8)

Dengan gaya bahasa, seorang penyair dapat memperkaya makna sehingga ia dapat menggapai pesan yang diinginkan secara lebih intensif hanya dengan sedikit kata. Keraf (2009: 117) mengungkapkan pendapat bahwa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi tertentu.

Menurut Pradopo (2005: 271) untuk dapat menangkap makna karya sastra secara keseluruhan, lebih dahulu harap diterangkan gaya bahasa dalam wujud kalimat atau sintaksisnya, kemudian diikuti analisis gaya kata, dan yang terakhir analisis gaya bunyi. Dalam gaya kalimat, sajak memerlukan kepadatan dan ekspresivitas karena sajak itu hanya mengemukakan inti masalah atau inti pengalaman. Gaya dalam wujud kalimat tampak dalam baris-baris atau kalimat-kalimat yang terdapat dalam jenis gaya bahasa berikut:

1. Metafora

Adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf, 2009: 139). Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata seperti, bak, bagaikan, laksana, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Minderop (2005: 53) bahwa metafora merupakan gaya bahasa yang membandingkan satu benda dengan benda lainnya secara langsung.

2. Personifikasi

Adalah gaya bahasa yang menggambarkan benda-benda mati atau barang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan (Keraf dalam Siswantoro, 2010:

(9)

212). Menurut Minderop (2005: 53) personifikasi adalah suatu proses penggunaan karakteristik manusia untuk benda-benda non-manusia, tremasuk abstraksi atau gagasan.

3. Simile

Adalah perbandingan langsung antara benda-benda yang tidak selalu mirip secara esensial (Minderop, 2005:52). Perbandingan yang menggunakan simile, biasanya terdapat kata seperti, bak, bagaikan, atau laksana. Menurut Keraf (2009: 138) simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu yang sama dengan hal yang lain.

4. Hiperbola

Adalah pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan, sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal. Sedangkan tujuan dari majas hiperbola ini adalah untuk mendapatkan perhatian lebih dari orang yang membaca kalimat tersebut.

5. Pleonasme

Adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan (Keraf, 2009:133). Bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya atau maknanya tetap utuh.

Gaya dalam kata bertujuan untuk menghidupkan lukisan dan memberikan gambaran yang jelas. Sedangkan gaya dalam bunyi berfungsi untuk mendukung atau memperkeras arti kata ataupun kalimat. Gaya bunyi untuk memperdalam makna kata dan kalimat (Pradopo, 2005: 273).

Ketepatan pilihan kata atau diksi mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau

(10)

pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. Sebab itu, persoalan ketepatan pilihan kata akan menyangkut pula masalah makna kata dan kosa kata seseorang. Kosa kata yang kaya raya akan memungkinkan penulis atau pembicara lebih bebas memilih-milih kata yang dianggapnya paling tepat mewakili pikirannya (Keraf, 2009: 87).

Menurut Aminnudin (1997: 155) apabila diperhatikan, unsur bunyi dalam teks sastra nilai keberadaanya tidak dapat dilepaskan dari ranah kebahasaan. Sebab itulah bunyi sebagai gaya dapat menuansakan nilai rasa, suasana, dan pengertian tertentu. Hal demikian sesuai dengan kenyataan bahwa aspek bunyi dalam suatu kata lazimnya dapat dihubungkan dengan citra tertentu. Kata yang diakhiri bunyi nasal bersuara, misalnya bunyi [n] lazimnya menuansakan gerak secara serempak yang memberikan persepsi tertentu. Secara lebih terperinci, kajian menyangkut manipulasi bunyi dalam teks sastra dapat dilakukan dengan bertumpu pada pilahan menyangkut fakta yang disebut “bunyi kebahasan”.

Al-Ma‟ruf (2009: 15) mengemukakan fungsi gaya bahasa dalam karya sastra adalah sebagai alat untuk:

1. Meninggikan selera, artinya, dapat meningkatkan minat pembaca atau pendengar untuk mengikuti apa yang disampaikan pengarang atau pembicara;

2. Mempengaruhi atau meyakinkan pembaca atau pendengar, artinya dapat membuat pembaca semakin yakin dan mantap terhadap apa yang disampaikan pengarang atau pembicara;

3. Menciptakan keadaan perasaan hati tertentu, artinya dapat membawa pembaca hanyut dalam suasana hati tertentu, seperti kesan baik atau buruk, perasaan senang atau tidak senang, benci, dan sebagainya setelah menangkap apa yang dikemukakan pengarang;

4. Memperkuat efek terhadap gagasan, yakni dapat membuat pembaca terkesan oleh gagasan yang disampaikan pengarang dalam karyanya.

(11)

Gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu (Keraf, 2009: 117).

C. Puisi sebagai Genre Sastra

Kata puisi berasal dari bahasa Yunani poiesis yang berarti penciptaan.Puisi adalah ekspresi yang konkrit dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama (Dunton dalam Tarigan, 1984: 7). Persamaan pendapat juga diutarakan oleh Siswantoro (2010: 24) bahwa bahasa puisi tertata secara artistik, sehingga komposisinya terasa lebih menawan. Ujud yang artistik tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa puisi merupakan bentuk seni. Sedangkan menurut Abercrombie (dalam Tarigan,1984: 7) puisi adalah ekspresi dari pengalaman yang bersifat imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa, yang memanfaatkan setiap rencana dengan matang dan tepat guna.

Secara konvensional, puisi biasa diartikan sebagai tuturan yang terikat (terikat oleh baris, bait, rima, dan sebagainya). Beberapa ahli sastra berbeda pendapat mengenai pengertian puisi, tetapi intinya hampir sama bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam puisi itu berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca indera, susunan kata-kata kiasan, kepadatan, dan sebagainya (Noor, 2005: 25). Menurut Ratna (2004: 86) di dalam puisi, energi organisatoris ini dipegang oleh ritme. Semata-mata dalam struktur penceritaan inilah, sebagai kualitas yang dibangun,

(12)

sebagai struktur yang diciptakan, terkandung kualitas estetis sebuah karya sastra. Konsep lain juga dikemukakan oleh Sklovsky, adalah otomatisasi dan defamiliarisasi. Otomatisasi adalah pemakaian bahasa yang sudah biasa, otomatis. Defamiliarisasi (pengasingan) membuat yang sudah biasa menjadi luar biasa, menjadi baru, menjadi aneh, menyimpang.

Suyitno (2009: 78) berpendapat bahwa, sesungguhnya puisi merupakan struktur norma-norma. Mengolah bahasa dalam berpuisi adalah semacam mengolah bahasa sehingga bahasa itu bersih dari pengertian-pengertian yang terdapat dalam fungsi linguistik sehari-hari. Menurut Ratna (2009: 85) puisi yang baik adalah mantra, setiap kata, bahkan setiap bunyi harus diberikan makna dan dengan sendirinya mengandung energi. Mungkin saja membaca puisi dilakukan dengan cara diam tetapi dalam hati harus bersuara sebab puisi harus dibaca sekaligus didengar, bahkan juga mungkin dilaksanakan sebagai akibat energi yang mendorong untuk bertindak.

Puisi yang baik akan menghasilkan aspek-aspek yang selalu baru dalam setiap kali proses pembacaan. Kata-kata yang tertulis dalam setiap bait, sebagai naskah tetap sama sepanjang masa, tetapi maknanya, sebagai teks, berubah sesuai dengan tanggapan pembaca. Secara tradisional energi karya sastra dan dengan demikian gaya terkandung dalam persamaan bunyi yang diperluas dengan majas. Puisi dengan demikian adalah keindahan bunyi (Ratna, 2009: 86).

Puisi merupakan karya sastra yang imajinatif yang mempunyai unsur seni (estetik) dominan. Segala yang tertuang dalam puisi juga merupakan bentuk kesedihan, amarah, kebahagiaan, rasa iba, dan semua yang berhubungan dengan perasaan. Yang kesemuanya itu dirangkai dengan penuh kehati-hatian oleh penulis.

(13)

Puisi mengandung keindahan fisik terkait dengan bahasa dan sekaligus keindahan struktur batinnya. Kandungan makna di dalam puisi, misalnya, banyak memberi manfaat bagi kehidupan, sebab makna itu terkait dengan nasihat, petuah, ajaran tentang moral, budi pekerti mulia, nilai kebijakan, keutamaan, dan keluhuran yang dapat menuntun ke arah jalan kebenaran.

Unsur utama puisi adalah kata, maka diksi berkaitan dengan bagaimana memilih kata paling tepat dan paling sesuai, karena itu penguasaan kosa kata dan maknanya sangat penting dalam menulis puisi, kekayaan akan perbendaharaan kata dan pemahaman mendalam akan maknanya membantu kita dalam membuat diksi yang unik dan khas. Untuk menciptakan keindahan dan kekuatan ekspresif, sebuah puisi harus dapat membangkitkan suasana dan memperdalam makna. Kedalaman puisi meliputi kedalaman emosi, pikiran, imaji, makna dan elemen-elemen puisi yang lainnya, yang membuat penikmat puisi tidak bisa berhenti membaca, tidak bisa berhenti merasakan, tidak bisa berhenti berpikir, walaupun puisi sudah berakhir. Seakan maknanya terus menusuk ke dalam jantung pembacanya, hanyut ke dalam alam bawah sadarnya. Oleh sebab itu, untuk mencapai kedalaman, puisi tidak bisa ditulis sepintas lalu.

Karya atau puisi yang kualitas keindahannya tinggi adalah puisi yang latar belakangnya jelas, artinya bahwa karya tidak dibuat secara asal-asalan, atau secara sembarangan. Puisi, meskipun dilihat secara makna sering menimbulkan makna yang kabur atau bias, tetapi dari segi proses kreatif dan proses imajinatif sebenarnya akan terlihat kejelasan tujuan adanya sebuah karya. Untuk memahami puisi, perlu analisis yang menyeluruh, perlu pembacaan keseluruhan karya, setiap baris puisi adalah lukisan suasana tersendiri yang saling melengkapi bagian satu dengan bagian yang

(14)

lainnya, selain pemaknaan secara menyeluruh dari segi isi, memahami keindahan puisi juga harus dilihat dari segi bentuk, misalnya saja rima.

Puisi dapat menjadi penjaga keindahan taman kehidupan ini. Oleh karena itu wajar, puisi akan selalu ditulis oleh manusia yang merindukan dan mendambakan taman-taman surgawi dalam seluruh kehdupannya. Menulis puisi dapat dikatakan sebagai aktivitas kreatif yang khas. Aktivitas kreatif bukan semata-mata meyusun kata-kata, akan tetapi harus dapat mewakili benang-benang penghayatan atas rasa dan perasaannya, sehingga akhirnya dapat menjadi sebuah karya yang amat indah. Proses ini sangat rumit, lembut, tetapi kadang-kadang mengguncang dan mendebarkan, menggelisahkan atau mencemaskan, tetapi selalu berakhir dengan kenyamanan jiwa yang tiada tara.

D. Estetika dalam Puisi

Kata estetika berasal dari bahasa Yunani aesthesis, yang berarti perasaan, selera perasaan, atau taste. Estetika dalam konteks penciptaan menurut John Hosper, merupakan bagian dari filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya yang indah. Menurut Kant dalam Noor (2005: 109) estetika berasal dari Yunani aestanestai. Estetika bertujuan membuat manusia lebih peka terhadap realitas seni. Estetika adalah bagian dari filsafat seni, yakni bagian filsafat yang mengkaji nilai-nilai berkaitan dengan keindahan. Estetika dalam arti seluas-luasnya menurut pandangan Bradley dalam Noor (2005: 116) sebenarnya ditujukan kepada seni-seni yang lain, bukan pada seni sajak saja.

Estetika adalah ilmu tentang keindahan. Estetika merupakan cabang filsafat yang membahas keindahan yang melekat pada karya seni. Istilah estetis, biasanya

(15)

merujuk pada indah, tentang keindahan, atau memiliki nilai keindahan. NiIai estetis sebuah karya seni, dalam hal ini puisi, mampu memberikan hiburan, kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan batin ketika puisi itu dibaca, didengarkan, atau diresapi. Ada keindahan yang terkait dengan bahasa dan ada keindahan terkait dengan isi, makna, atau amanat.

Dalam estetika, dengan “subjek dengan proses kreatif” dimaksudkan seniman yang mengalami suatu pengalaman terjadinya restrukturasi dan biasosiasi. Pengalaman kreatif itu berlangsung dalam dunia internal atau dunia batiniah sehingga pengalaman kreatif merupakan suatu misteri. Untuk mencoba menyelami dan menyingkapkan misteri dunia internal harus dapat memahami tentang diri manusia melalui refleksi dan introspkesi (Noor, 2005: 110).

Kita perlu mengenal estetika, karena pengalaman estetika (pengalaman mengenai karya seni) itu begitu berharga sehingga dibutuhkan penelitian terhadap kualitas-kualitas karya seni. Estetika merupakan pengetahuan yang mempelajari dan memahami melalui pengamatan keindahan, baik pada pencipta maupun pengamatan melalui proses kreatif. Unsur estetika yang turut membangun keindahan sebuah puisi adalah warna, penyair-penyair besar biasanya memiliki ciri khas atau warna tersendiri dalam setiap karyanya, di mana ciri khas tersebut berbeda dengan gaya penyair lainnya.

Gagasan-gagasan atau ide-ide yang cemerlang juga turut serta membentuk estetikanya suatu karya, puisi-puisi yang banyak dikenal adalah puisi yang lahir dari pemikiran yang cemerlang para pengarangnya. Bahasa di tangan penyair adalah substansi (zat) yang akan dibentuk atau diciptakan. Bahasa puisi bersifat konotatif

(16)

karena banyak menggunakan makan kias dan makna lambang (majas). Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif. Dalam puisi, bahasa bukan hanya merupakan sarana komunikasi belaka, tetapi lebih dari itu, bahasa juga merupakan sarana untuk mencapai nilai estetis.

Dalam sebuah karya sastra, telah diketahui bahwa selain unsur imajinatif, unsur keindahan memegang peranan penting bagi karya sastra. Sesungguhnya keindahan karya sastra terletak pada cara pengarang melukiskan hal yang ingin disampaikan dan tentu saja melalui perantara bahasa karena pada hakikatnya bahasa adalah substansi karya sastra.

Stilistika dan estetika jelas merupakan aspek penting dalam karya sastra. Stilistika berkaitan dengan medium utama, yaitu bahasa, keindahan berkaitan dengan hasil akhir dari kemampuan medium itu sendiri dalam menampilkan kekhasannya. Stilistika dan estetika dominan dalam karya seni. Perbedaannya, stilistika dalam karya seni yang memanfaatkan bahasa, yaitu karya sastra, estetika dalam karya seni yang lain (Ratna, 2009: 254).

Menurut Ratna (2009: 249), dalam khazanah sastra di Indonesia ada empat jenis estetika, sebagai berikut.

1. Estetika sastra Sansekerta (estetika rasa). 2. Estetika sastra Jawa Kuno (estetika lango). 3. Estetika sastra melayu Kuno (estetika ekstatis). 4. Estetika sastra Indonesia Modern (estetika oposisi).

Estetika rasa berkaitan dengan kata rasa (bhava) itu sendiri yang dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: rasa sebagai selera, rasa sebagai kesenangan atau kesukaan, dan rasa sebagaimana terkandung dalam karya sastra. Rasa dalam karya sastra jelas berkaitan dengan emosi (pe-rasa-an). Estetika lango berkaitan dengan

(17)

pengalaman estetis pengarang, hanyut dalam keindahan. Estetika ekstatis berkaitan dengan kegembiraan, kegairahan, dan keheranan pengarang yang sedang mencipta. Terakhir, estetika pertentangan berkaitan dengan hakikat karya seni itu sendiri. Karya sastra yang baik adalah karya yang menampilkan kebaruan.

Keseluruhan aspek estetis, baik dalam karya seni maupun dalam kehidupan praktis sehari-hari jelas dilakukan dengan menggunakan gaya tertentu. Gaya dan keindahan adalah dua unsur yang saling meliputi dan saling melengkapi dalam rangka menampilkan makna suatu aktivitas kultural (Ratna, 2009: 252).

Persamaan bunyi dalam puisi, kombinasi warna dalam lukisan, susunan nada dalam lagu, kombinasi menu dalam makanan, disamping menampilkan gaya tertentu, pada gilirannya juga akan memperlihatkan atau menonjolkan unsur-unsur keindahan tertentu.

Referensi

Dokumen terkait

NPSH adalah besaran yang merupakan karakteristik pompa, sedangkan tekanan bersih Hnet adalah selisih antara tekanan yang tersedia dengan total hilang tekanan di dalam

suyatnofkmundip@gmail.com Blog: suyatno.blog.undip.ac.id Hp/Telp: 08122815730 / 02470251915 Pengertian IKM Menurut Winslow (1920): Kesehatan Masyarakat (public health) adalah ilmu

kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “ Hubungan Kadar Bilirubin

Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan, langkah selanjutnya adalah mengembangkan alat atau instrumen penilaian yang mampu mengukur pencapaian hasil

Begitu pula para sahabat radhiallahu anhum, mereka adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Diantara akhlak Salafush

Untuk mengetahui seberapa besar hubungan tingkat kecemasan dengan hasil belajar gerak dasar meluncur pada renang gaya bebas Siswa kelas VII A SMP Wiyata Karya

Apabila anjing terinfeksi berumur lebih dari 6 minggu dan vaksinasi belum dilakukan, maka tipe enteritis umumnya lebih sering terjadi, mengingat pada umur tersebut derajat

Pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun untuk mendapatkan, menagih dan memelihara