• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Hakikat Folklor - KAJIAN STRUKTUR DAN NILAI EDUKATIF DALAM CERITA RAKYAT DI KABUPATEN TASIKMALAYA SERTA RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SMP KELAS VII SEMESTER 2 - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "1. Hakikat Folklor - KAJIAN STRUKTUR DAN NILAI EDUKATIF DALAM CERITA RAKYAT DI KABUPATEN TASIKMALAYA SERTA RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SMP KELAS VII SEMESTER 2 - repository perpustakaan"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

A. Kajian Teoretis

Pada subbab ini akan dibahas mengenai lima pokok pembahasan, di antaranya: (1) hakikat folklor, (2) hakikat, jenis, dan fungsi cerita rakyat, (3) kajian struktur cerita rakyat, (4) kajian nilai edukatif cerita rakyat, dan (5) pengajaran sastra di Sekolah Menengah Pertama.

1. Hakikat Folklor

(2)

Menurut Dananjaja (dalam Endraswara 2017: 58) folklor adalah bagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Danandjaja (dalam Endaswara, 2017: 59) merumuskan ciri-ciri pengenal folklor yaitu: (a) penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut (leluri), dan kadang-kadang tidak disadari; (b) bersifat tradisional, artinya disebarkan dalam waktu yang relatif lama atau dalam bentuk standar; (c) bersifat anonim, penciptanya tidak diketahui secara pasti; (d) menjadi milik bersama.

Melalui ciri-ciri folklor di atas, peneliti dapat mengenali tata kelakuan, pandangan hidup dan etika pendukungnya. Menurut Sudikan (dalam Endraswara, 2017: 59) ada beberapa fungsi folklor bagi pendukungnya, yaitu: (a) sebagai sistem proyeksi; (b) sebagai alat pengesahan kebudayaan; dan (c) sebagai alat pendidikan.

Dari beberapa pengertian mengenai tradisi kelisanan, folklor, dan ciri-ciri folklor. Penulis menyimpulkan bahwa dalam melakukan sebuah kajian khususnya mengenai cerita rakyat, perlu dipahami terlebih dulu mengenai ciri-ciri folklor.

2. Hakitat, Jenis, dan Fungsi Cerita Rakyat

a. Hakikat Cerita Rakyat

(3)

rakyat adalah bagian dari kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki setiap bangsa. Cerita rakyat menyebar dan berkembang secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam suatu masyarakat. Sebuah cerita rakyat dianggap sebagai hasil dari sastra rakyat atau masyarakat setempat, karena lahir di kalangan rakyat, menjadi warisan suatu masyarakat, merujuk masa lampau, dan merupakan sebagian dari kehidupan budaya masyarakat

Cerita rakyat adalah cerita yang mengisahkan kejadian masa lalu yang penyampaiannya melalui lisan atau ceritanya disampaikan dari mulut ke mulut (leluri). Cerita rakyat biasanya bercerita tentang suatu tokoh, tokoh itu bisa manusia, binatang, nama-nama dewa, dll. Sebelum mengenal tulisan, cerita rakyat sudah melekat di dalam masyarakat, cerita rakyat dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan nilai-nilai seperti nilai moral, nilai pendidikan, nilai budaya, nilai agama, dll. Cerita rakyat merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia, dan ketika terus digali cerita rakyat dari setiap daerahnya akan banyak ditemukan cerita-cerita yang menarik.

(4)

tersebut, jika dicermati pendapat itu benar adanya, karena semua tradisi lisan dalam cerita rakyat memang merupakan bagian dari folklor.

Seseorang dapat mengenal cerita rakyat karena adanya proses tutur dan proses pewarisan dari seseorang yang mengetahui cerita rakyat tersebut. Mengenal cerita rakyat merupakan bagian dari mengenal sejarah, budaya masa lampau yang masih ada hingga sekarang. Secara umum cerita rakyat biasanya mengisahkan tentang suatu kejadian, bisa kejadian alam semesta, asal muasal penamaan sebuah tempat, cerita tentang tokoh-tokoh seperti tokoh manusia, binatang dan sebagainya.

Menurut Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2016: 163) cerita rakyat merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu yang umumnya disampaikan secara lisan. Cerita dan tradisi bercerita sudah dikenal sejak manusia ada muka bumi ini, jauh sebelum mereka mengenal tulisan. Cerita merupakan salah satu sarana penting untuk mempertahankan eksistensi diri, (Nurgiyantoro 2016: 164).

(5)

Saat ini cerita rakyat tidak hanya disampaikan secara leluri, melainkan telah banyak dibukukan atau dituliskan dalam jurnal-jurnal nasional. Meskipun belum semua daerah tersentuh tentang cerita rakyatnya; namun, ini menjadi bukti bahwa beberapa cerita rakyat sudah tergali oleh pihak-pihak atau pemerhati sastra lama, khususnya cerita rakyat.

b. Jenis-jenis Cerita Rakyat

Sebelumnya dibahas mengenai hakikat cerita rakyat. Dalam subbab ini akan dibahas mengenai jenis-jenis cerita rakyat. Jenis-jenis cerita rakyat oleh beberapa para ahli dikemukakan secara bervariasi dan beragam. Namun, dalam hal ini meski penamaannya berbeda, disisi lain mempunyai kesamaan-kesamaan, yang membedakan hanya dari segi penamaan bentuk cerita rakyat. Untuk lebih jelasnya penulis akan paparkan di bawah ini.

Berbicara mengenai jenis-jenis cerita rakyat, dipembahasan sebelumnya sempat disinggung bahwa cerita rakyat tidak terlepas dari folklor, folklor juga sering disamakan dengan tradisi lisan. Hanya, dalam folklor mempunyai arti yang cukup luas. Hal ini sejalan dengan bentuk folklor yang dijelaskan oleh Dananjaja (dalam Priyadi, 2017: 28) bentuk folklor dibagi atas tiga bentuk, yaitu: (1) folklor lisan; mencakup bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, cerita prosa rakyat (mite, legenda dan dongeng), (2) folklor sebagai lisan; mencakup permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, dan pesta rakyat, (3) folklor bukan lisan; mencakup material dan non-material.

(6)

adalah cerita prosa rakyat. Cerita rakyat dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) mite/ myth, (2) legenda/ legend, (3) dongeng/ folktale. Nurgiyantoro (2016: 172-215) mengemukakan bahwa dalam sastra tradisional terbagi atas beberapa bentuk atau jenis, diantaranya: (1) mitos, (2) legenda, (3) cerita binatang/ fabel, (4) dongeng, dan (5) cerita wayang. Hal serupa dikemukan oleh Fang (dalam Sarmadi, 2009: 11) membagi cerita rakyat menjadi lima golongan, yaitu; (1) cerita asal-usul, (2) cerita binatang, (3) cerita jenaka, (4) cerita penglipur lara, dan (5) pantun. Sejalan dengan itu Haviland (dalam Sarmadi, 2009: 11) juga membagi cerita rakyat ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: (1) mitos, (2) legenda, dan (3) dongeng.

Dari beberapa bentuk atau genre cerita rakyat, pada dasarnya memiliki kesamaan dalam isi, stuktur dan makna, yang membedakan dari hal tersebut adalah istilah penamaan. Ada yang mengistilahkan cerita rakyat sebagai sastra tradisional, cerita prosa rakyat, dan banyak pula menyatakan cerita rakyat ya cerita rakyat yang dibagi atas mite, legenda, dan dongeng.

(7)

1) Mite (Myth)

Mite adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau (Bascom; dalam Dananjaja, 1986: 50). Nurgiyantoro (2016: 172-173) mengemukakan bahwa mite adalah salah satu jenis cerita lama yang sering dikaitkan dengan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan supranatural yang lain yang melebihi batas-batas kemampuan manusia.

(8)

Bascom (dalam Dananjaja, 1986: 51) mengemukakan bahwa mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk tipografi, gejala alam dan sebagainya. Mite juga mengisahkan tentang petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, kisah perang mereka, dan sebagainya. Mite di Indonesia dapat dibagi menjadi dua macam berdasarkan tempat asalnya, yakni: yang asli berasal dari Indonesia dan yang berasal dari luar negeri, terutama dari India, Arab, dan Negara sekitar laut tengah. Mite Indonesia biasanya menceritakan terjadinya alam semesta (cosmogony); terjadinya susunan para dewa; dunia dewata (pantheon), terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture hero); terjadinya makanan pokok, seperti padi, dan sebagainya untuk pertama kali.

Berdasarkan beberapa pengertian mite di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa mite merupakan cerita rakyat dalam bentuk prosa yang mengisahkan terjadinya alam semesta, yang di dalamnya terdapat tokoh dewa-dewa, manusia, dan sebagainya. Salah satu contoh mite yang terkenal di Indonesia hingga saat ini adalah tentang Nyi Roro Kidul.

2) Legenda (Legend)

(9)

Lukens (dalam Nurgiyantoro, 2016:181-189) legenda sama halnya dengan mitos, legenda juga termasuk bagian dari cerita rakyat, perbedaan antara mitos dan legenda tidak pernah jelas. Keduanya sama-sama menampilkan cerita yang menarik dengan tokoh-tokoh yang hebat yang berada di luar batas-batas kemampuan manusia lumrah. Hal yang membedakan adalah bahwa mitos sering dikaitkan dengan tokoh dewa-dewa dan atau kekuatan-kekuatan supranatural yang di luar jangkauan manusia. Sebaliknya walau sama-sama menghadirkan tokoh-tokoh yang hebat, legenda tidak mengaitkan dengan tokoh-tokoh dewa-dewa atau yang berkekuatan supranatural, melainkan dengan tokoh, peristiwa, atau tempat-tempat nyata yang mempunyai kebenaran sejarah.

Sejalan dengan pendapat di atas, Riswandi, dkk (2010: 30) legenda merupakan jenis prosa yang bercerita tentang keadaan atau kejadian alam. Misalnya legenda tangkuban perahu, danau toba, malin kundang, dan sebagainya. Sedangkan menurut KBBI (Edisi IV, 2008: 803) legenda merupakan cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah, karakteristiknya ada tokoh terkenal atau tokoh yang berprestasi hebat.

(10)

a) Legenda Tokoh

Legenda tokoh yang dimaksudkan sebagai sebuah cerita legenda yang mengisahkan ketokohan seorang tokoh. Ia mirip mitos kepahlawanan yang juga sama-sama mengisahkan perjalanan hidup dan atau kepahlawanan seseorang. Biasanya tokoh pahlawan ini dikagumi banyak orang atas kehebatan, kecerdasan, kekuatan, dan kegagahannya. Contoh legenda seorang tokoh terkenal di Betawi

dan pernah difilmkan yaitu “SiPitung”.

b) Legenda Tempat Peninggalan

Legenda tentang tempat-tempat peninggalan atau cerita asal-usul dimaksudkan sebagai cerita yang berkaitan dengan adanya peninggalan-peninggalan tertentu dan atau asal-usul terjadinya sesuatu dan penamaan tempat-tempat. Contoh legenda tempat peninggalan; Telaga Warna, Banyuwangi, Gunung Tangkuban Perahu, Danau Toba, Situ Gede di Tasikmalaya.

c) Legenda Peristiwa

(11)

Dari beberapa pengertian dan penjelasan mengenai legenda, dapat disimpulkan bahwa legenda hampir sama dengan mite. Keduanya sama-sama menghadirkan tokoh-tokoh hebat dalam setiap peristiwa. Namun, secara sederhana dapat dibedakan dari tokohnya, jika mite erat kaitannya dengan tokoh dewa-dewa sedangkan dalam legenda tokoh yang dihadirkan adalah tokoh manusia.

3) Dongeng (Folktale)

Jika sebelumnya membahas mengenai mite dan legenda yang mempunyai kemiripan. Sama halnya dengan dongeng, karena dongeng juga merupakan salah satu dari bentuk cerita rakyat.

Jika legenda adalah sejarah kolektif (folk history), maka dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusasteraan lisan. Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak benar-benar dianggap terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindirian, pernyataan ini dikemukakan oleh Danandjaja (1986: 83).

(12)

Dongeng biasanya mempunyai kalimat pembuka dan penutup yang bersifat klise. Pada bahasa Inggrisnya biasanya selalu dimulai dengan kalimat pembuka: Once upon a time, there lived a ….. (pada suatu waktu hidup

seorang…..), dan kalimat penutup: ….. and they lived happily aver after (……

dan pada akhrinya mereka hidup bahagia untuk selama-lamanya), Danandjaja (1986: 84).

Kemunculan dongeng yang sebagai bagian dari cerita rakyat, selain berfungsi untuk memberikan hiburan, juga sebagai sarana untuk mewariskan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat pada waktu itu. Perlu diketahui selain cerita rakyat mempunyai fungsi tertentu, dongeng juga dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok jenis dongeng.

Thompson (dalam Danandjaja, 1986: 86) dongeng memiliki beberapa jenis, yaitu: (1) dongeng binatang, (2) dongeng biasa, (3) dongeng lelucon dan anekdot, serta (4) dongeng berumus. Madzab (dalam Taum, 2011) penggolongan cerita rakyat (dongeng) dibagi menjadi dua kriteria dasar yaitu type dan motif. Type berarti cerita tersebut digolongkap berdasarkan tipe atau jenisnya.

Aarne-Thompson (dalam Taum, 2011: 85-87) membuat sistem klasifikasi dongeng yang menggolongkannya ke dalam tujuh type jenis dongeng, yaitu sebagai berikut:

a) Animal Tales (dongeng binatang)

(13)

terjadinya Gunung Kelud di Kediri termasuk animal tales karena melibatkan sosok manusia berkepala kerbau bernama Lembu Sura.

b) Tales of Magic (dongeng tentang hal-hal magis)

Dongeng ini meliputi: tantangan supranatural, istri atau suami atau kerabat supranatural, tugas-tugas supranatural, penolong supranatural, barang-barang magis, kekuatan atau pengetahuan supranatural, dan dongeng-dongeng lainnya tentang supranatural. Legenda terjadinya Gunung Kelud di Kediri dan Legenda Candi Loro Jonggrang di Yogyakarta termasuk juga jenis tales of magic karena berkaitan dengan kekuatan-kekuatan supranatural yang dimiliki tokoh Lembu Sura (Gunung Kelud) dan Bandung Bondowoso (Candi Loro Jonggrang).

c) Religious Tales (dongeng keagamaan)

Dongeng ini meliputi: imbalan hadiah atau hukuman dewa, kebenaran yang terwujud, surge, hantu, dan dongeng keagamaan lainnya.

d) Realistic Tales (dongeng realistik)

Dongeng ini meliputi: cerita-cerita seperti seorang pemuda biasa menikahi putri raja, seorang wanita biasa menikah dengan sang pangeran, bukti kesetiaan dan kemurnian, istri yang keras kepala belajar menjadi setia, prinsip-prinsip hidup yang baik, tindakan dan kata-kata yang cerdas, dongeng tentang nasib, perampok, pembunuh dan dongeng-dongeng realistik lainnya.

e) Tales of the Stupid Orgre/ Giant/ Devil (dongeng tentang raksasa atau hantu yang bodoh)

(14)

raksasa, raksasa ditakut-takuti oleh manusia, manusia menaklukkan raksasa, jiwa diselamatkan dari gangguan setan.

f) Anecdotes and Jokes (anekdot atau lelucon)

Dongeng ini meliputi: cerita-cerita tentang si pandir, cerita tentang pasangan yang sudah menikah (istri yang bodoh dan suaminya, suami yang bodoh dan istrinya, dan pasangan yang bodoh), cerita tentang seorang wanita (mencari suami, lelucon tentang seorang nyonya tua), cerita tentang seorang laki-laki (pria yang cerdas, keberuntungan, lelaki bodoh), lelucon tentang tokoh-tokoh agama (tokoh agama ditipu, tokoh agama dan perihal lainnya), lelucon tentang kelompok masyarakat lain.

g) Formula Tales (dongeng yang memiliki formula)

Dongeng ini meliputi: dongeng-dongeng kumulatif (yang didasarkan pada jumlah, objek, binatang atau nama; yang selalu dikaitkan dengan kematian; makan, atau kejadian-kejadian lainnya), dongeng tentang jebakan, dan dongeng-dongeng formula lainnya.

Yang dimaksud dengan dongeng formula adalah dongeng yang terikat pada rumusan tertentu, seperti jumlah, nama, binatang, dan lainnya yang disiapkan oleh tradisi. Selain dongeng memiliki type seperti yang sudah dijelaskan di atas, dongengpun memiliki bebera motif. Untuk lebih jelasnya akan penulis paparkan di bawah ini.

(15)

yang dapat diterapkan secara universal pada cerita-cerita rakyat. Secara lebih lengkap, yang dimaksud dengan motif adalah unsur-unsur suatu cerita (narratives elements). Motif teks suatu cerita rakyat adalah unsur dari cerita tersebut yang menonjol dan tidak biasa sifatnya Danandjaja (dalam Taum, 2011: 53).

Danandjaja (dalam Taum, 2011: 88-90) bahwa ada beberapa motif yang dapat ditemukan dalam berbagai cerita rakyat. Beberapa motif yang biasa dijumpai dalam cerita-cerita rakyat khususnya dongeng adalah sebagai berikut. a) Motif Berupa Benda

Motif berupa benda ini yaitu motif yang berkenaan dengan; tongkat wasiat, sapu ajaib, lampu ajaib, bunga mawar, tanah liat, benda-benda angkasa. Misalnya cerita asal-usus manusia yang dibuat dari tanah liat, manusia berasal dari telur burung garuda, manusia berasal dari sejenis pohon tertentu, dll. Hal ini akan berkaitan dengan keyakinan religious ataupun fauna dan flora totem.

b) Motif Berupa Hewan yang Luar Biasa

Motif berupa hewan yang luar biasa yaitu motif yang berkenaan dengan kuda yang bisa terbang, buaya siluman, singa berkepala manusia, raksasa, hewan yang bisa berbicara, burung phoenix, ular naga, ayam jantan. Misalnya dalam dongeng Ande-Ande Lumut, dikisahkan tentang seekor kepiting raksasa bernama Yuyu Kangkang dan seekor burung bangau raksasa yang bisa berbicara.

c) Motif yang Berupa Suatu Konsep

(16)

tradisional (sifon) seorang lelaki harus melalui hubungan seks ritual dengan tiga perempuan yang bukan istrinya. Mengapa seorang gadis tidak boleh makan di ambang pintu. Mengapa perlu dilakukan ritual bersih desa. Mengapa pohon-pohon tertentu di hutan tidak boleh ditebang atau diambil kayunya. Mengapa perlu diadakan ritual sedekah laut oleh masyarakat nelayan. Motif yang berupa konsep-konsep larangan ataupun anjuran seperti ini banyak dijumpai dalam cerita-cerita rakyat di Indonesia. Motif tentang larang menghina ibu kandung, misalnya dapat dijumpai dalam Legenda Malin Kundang (Minangkabau) dan Legenda Batu Menangis (Kalimantan Barat). Jika dikaji secara lebih mendalam, akan dijumpai berbagai kearifan lokal kelompok-kelompok etnis melalui motif ini. Misalnya mengapa manusia perlu menjaga kelestarian hutan, flora, dan fauna, mengapa manusia perlu hidup dalam keseimbangan kosmos.

d) Motif Berupa Suatu Perbuatan

(17)

daun sirna ganda setelah membunuh ular naga yang menjaga daun tersebut. Jaka Budug pun menikah dengan putri raja Prabu Aryo Seto bernama Putri Kemuning. e) Motif Tentang Penipuan Terhadap Suatu Tokoh (raksasa atau hewan)

Di Indonesia banyak dijumpai motif hewan-hewan yang luar biasa, seperti cerita tentang si kancil, raksasa yang bisa menelan manusia yang mudah ditipu, dll. Legenda Gunung Kelud dan Legenda Candi Loro Jonggrang memiliki motif penipuan.

f) Motif yang Menggambarkan Tipe Orang Tertentu

Motif ini menggambarkan tipe orang tertentu, misalnya mengenai orang yang sangat pandai seperti Abu Nawas, tokoh yang selalu tertimpa nasib sial seperti si Pandir, dan si Kabayan, tokoh yang sangat bijaksana seperti raja Sulaiman, tokoh pemberani seperti Si Pitung, tokoh pelaut ulung seperti Hang Tuah.

(18)

berpandangan bahwa motif-motif tersebut merupakan penemuan-penemuan tersendiri yang tidak ada kaitannya (independent invention) atau sejajar (parallel invention).

c. Fungsi Cerita Rakyat

Keberadaan cerita rakyat memang memiliki fungsi penuh bagi suatu masyarakat. Selain sebagai media hiburan, cerita rakyat juga berfungsi sebagai media pendidikan. Bascom (dalam Danandjaja, 1997: 19) menyatakan bahwa cerita rakyat mempunyai empat fungsi, yakni: (a) sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai alat pencermin angan-angan kolektif; (b) sebagai pengesahan pranatapranata dalam kebudayaan; (c) sebagai alat pendidikan; dan (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma yang ada di dalam masyarakat akan selalu dipahami oleh anggota kolektifnya. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Hamidy (2003: 28) bahwa fungsi cerita rakyat adalah sebagai sarana pendidikan, harga diri, dan sebagai hiburan atau pelipur lara. Berkaitan dengan hal di atas, Atmazaki (2007: 138) menyatakan bahwa fungsi cerita rakyat meliputi: (a) untuk mengekspresikan gejolak jiwa dan renungannya tentang kehidupan oleh masyarakat terdahulu, (b) untuk mengukuhkan solidaritas masyarakat, dan (c) digunakan untuk memuji raja, pemimpin, dan orang atau benda yang dianggap suci, keramat, atau berwibawa oleh kolektifnya.

(19)

kekerabatan (silsilah), (4) asal mula tempat, (5) adat istiadat , dan (6) sejarah benda pusaka.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat merupakan bagian dari folklor yang berkembang di masa lalu dan diceritakan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena diceritakan secara lisan, seringkali mendapat beberapa variasi atau tambahan. Hal ini tergantung pada kemahiran tukang cerita atau pawang cerita. Namun lambat laun, sudah banyak cerita rakyat yang telah dibukukan. Sehingga, sering dijumpai cerita yang sama namun dalam versi yang berbeda-beda.

3. Kajian Struktur Cerita Rakyat

(20)

a. Pendekatan Strukturalisme Cerita Rakyat

Diuraikan oleh Abrams (dalam Jabrohim, 2017: 67) bahwa model yang menonjolkan kajiannya terhadap peran pengarang sebagai pencipta karya sastra disebut ekspresif; yang lebih menitikberatkan sorotannya terhadap peranan pembaca sebagai penyambut dan penghayat sastra disebut pragmatic; yang lebih berorientasi pada aspek referensial dalam kaitannya dengan dunia nyata disebut mimetic; sedangkan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom dengan koherensi intrinsik disebut pendekatan objektif. Dari keempat model pendekatan tersebut, keempat model tersebut saling melengkapi, meskipun dalam pelaksanaannya pendekatan-pendekatan tersebut bisa diaplikasikan secara bersamaan, sesuai dengan kekhasan cirinya.

(21)

dijalankannya transformasi-transformasi itu tidak memasukan ke dalamnya unsur-unsur dari luar.

Sejalan dengan pendapat di atas, Stanton (dalam Jabrohim, 2017: 72) mendeskripsikan unsur-unsur struktur karya sastra seperti berikut; unsur-unsur pembangun struktur itu terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra; fakta cerita itu sendiri terdiri atas alur, tokoh, dan latar; sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa dan suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan juga cara pemilihan judul.

Menurut pendapat Teeuw (2003: 112) makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra. Menurutnya tanpa dilakukan analisis struktural , kebulatan makna instrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri tidak akan tertangkap. Untuk itu, analisis yang menjadi prioritas pertama pada tahap awal adalah analisis struktur terhadap karya sastra. Sedangkan menurut Fananie (2001: 76) bahwa sebuah karya sastra baru bisa disebut bernilai apabila masing-masing unsur pembentuknya (unsur instrinsiknya) tercermin dalam strukturnya, seperti tema, karakter, plot, setting, dan bahasa merupakan satu kesatuan yang utuh.

(22)

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam pendekatan struktural langkah-langkah kajian dapat dilakukan dengan mengindentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan yang saling berhubungan antar unsur intrinsik. Dengan mengkaji struktur cerita rakyat maka unsur-unsur pembangun itulah yang menjadi objek utama dalam kajian struktur cerita rakyat yang mencakup unsur instrinsik.

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengkaji struktur cerita rakyat, seperti unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur tersebut adalah unsur intrinsik yang mencakup; tokoh/ penokohan, alur (plot), latar (setting), tema, dan amanat. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai unsur intrinsik dalam kajian struktur cerita rakyat dengan teori yan relevan.

1) Tokoh dan Penokohan

(23)

penggambaran tokoh dan perasaan tokoh, (4) reaksi tokoh lain, dan (5) narasi, pengarang/ narrator yang langsung mengungkapkan watak tokoh itu.

Sedangkan menurut Wahyuningtyas & Santosa (2011: 5) tokoh dan penokohan merupakan dua istilah yang berkaitan erat. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita, sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh cerita dimaksudkan sebagai pelaku yang dikisahkan perjalanan hidupnya dalam cerita fiksi lewat alur baik sebagai pelaku maupun penderita berbagai peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 2016: 222).

Tokoh dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa perbedaan seperti adanya tokoh utama, tokoh tambahan, tokoh protagonist, dan tokoh antagonis. Dalam Riswandi dan Titin (2010: 48-49) perbedaan tokoh terbagi atas beberapa perbedaan, di antaranya; (1) tokoh utama yaitu tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita; (2) tokoh tambahan yaitu tokoh yang hanya dimunculkan sekali-kali (beberapa kali) dalam cerita dan penceritaannya relatif singkat; (3) tokoh protagonis yaitu tokoh yang mendapatkan empati pembaca, sementara tokoh antagonis yaitu tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik; (4) tokoh statis yaitu tokoh yang memiliki sifat dan watak yang tetap, sedangkan tokoh dinamis yaitu tokoh yang mengalami perkembangan watak sejalan dengan plot yang diceritakan.

(24)

dipisahkan. Keduanya saling berhubungan dan saling berkaitan dengan alur, latar, dan lainnya.

2) Alur (Plot)

Istilah yang biasa dipergunakan untuk menyebut alur adalah alur cerita, plot, atau jalan cerita. Istilah mana yang akan dipakai terserah kepada tiap orang walau sebenarnya alur lebih dari sekedar jalan cerita.

Selama ini sering terjadi kesalahpahaman dalam mendefinsikan alur. Alur sering dianggap sebagai jalan cerita. Pendefinisian itu sebenarnya tidak tepat. Jalan cerita adalah peristiwa demi peristiwa yang terjadi saling susul menyusul. Lebih dari itu, alur adalah rangkaian peristiwa yang sering berkaitan karena hubungan sebab akibat (Riswandi & Titin Kusmini, 2010: 49-50).

Sejalan dengan pendapat tersebut, Nurgiyantoro (2016: 237) mengemukakan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa yang terjadi berdasarkan hubungan sebab akibat. Dalam sebuah cerita meski banyak peristiwa yang dirangkai menjadi satu kesatuan yang padu. Peristiwa-peristiwa yang dimunculkan itu sendiri tidak boleh terjadi secara insidental yang tidak saling terkait, melainkan masih dalam kaitan sebab akibat. Jadi, faktor sebab akibat itulah yang dipandang sebagai menggerakan alur cerita.

Lebih lanjut tahapan plot secara rinci dikemukakan oleh Tasrif (dalam Nurgiyantoro, 2015: 209-210) yaitu tahapan plot dibagi atas lima tahapan yaitu sebagai berikut.

(25)

a) Tahap Situation (Tahap Penyituasian)

Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh dalam cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan berfungsi untuk melandastumpui tahap berikutnya.

b) Tahap Generating Circumstances (Tahap Pemunculan Konflik)

Tahap pemunculan konflik merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

c) Tahap Rising Action (Tahap Peningkatan Konflik)

Tahap ini yaitu konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar itensitasinya. Peristiwa-peristiwa dramatic yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal dan eksternal, atau keduanya, pertentangan-pertentangan, dan sebagainya yang mengarah pada tahap klimaks semakin tidak dapat dihindari.

d) Tahap Climax (Tahap Klimaks)

(26)

e) Tahap Denouement (Tahap Penyelesaian)

Tahap penyelesaian adalah konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalur keluar, cerita diakhiri.

Dalam kaitannya dengan alur cerita, alur berhubungan dengan berbagai hal seperti peristiwa, konflik yang terjadi, dan akhirnya mencapai klimaks, serta bagaimana kisah itu diselesaikan. Alur berkaitan dengan masalah bagaimana peristiwa, tokoh, dan segala sesuatu itu digerakkan, dikisahkan sehingga menjadi sebuah rangkaian cerita yang padu dan menarik. Selain itu, alur juga mengatur berbagai peristiwa dan tokoh itu tampil dalam urutan yang enak, menarik, tetapi juga kelogisan dan kelancaran ceritanya.

3) Latar (Setting)

Bersama dengan unsur tokoh dan alur cerita, unsur latar merupakan sebuah fakta cerita yang secara konkret dapat ditemukan dalam berbagai cerita fiksi, khususnya dalam cerita rakyat.

Menurut Abrams (dalam Riswandi & Titin Kusmini, 2010: 50-51) latar adalah tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar dalam cerita dapat diklasifikasikan menjadi; (1) latar tempat, yaitu latar yang merupakan lokasi terjadinya peristiwa cerita, (2) latar waktu, yaitu latar yang berhubungan dengan saat terjadinya peristiwa tersebut, dan (3) latar sosial, yaitu keadaan yang berupa adat istiadat, budaya, nilai-nilai/ norma, dan sejenisnya yang ada di tempat peristiwa cerita.

(27)

berbagai peristiwa dan kisah yang diceritakan dalam cerita fiksi. Latar menunjuk pada tempat, yaitu lokasi di mana cerita itu terjadi, waktu, kapan cerita itu terjadi, dan lingkungan sosial-budaya, keadaan kehidupan bermasyarakat, tempat tokoh dan peristiwa terjadi.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa latar merupakan unsur yang selalu muncul dalam setiap cerita, seperti apapun bentuk ceritanya, latar tidak akan terpisahkan dari tokoh dan alur dalam sebuah cerita, khususnya cerita rakyat.

4) Tema

Tema adalah ide/ gagasan yang ingin disampaikan pengarang dalam ceritanya. Tema ini akan diketahui setelah seluruh unsur prosa fiksi itu dikaji. Dalam menerapkan unsur-unsur tersebut pada saat mengapresiasi karya prosa, seorang pengapresiasi tentu saja tidak sekedar menganalisis dan memecahnya perbagian. Tetapi, setiap unsur itu harus dilihat kepaduannya dengan unsur lain. Apakah unsur itu saling mendukung dan memperkuat, dalam menyampaikan tema cerita, atau bahkan sebaliknya (Riswandi & Titin Kusmini, 2010: 55).

Sedangkan menurut Lukens (dalam Nurgiyantoro, 2016: 260) secara sederhana tema dapat dipahami sebagai gagasan yang mengikat cerita. Mengikat berbagai unsur intrinsik yang membangun cerita sehingga tampil sebagai sebuah kesatupaduan yang harmonis. Jadi, dalam kaitan ini tema merupakan dasar pengembangan sebuah cerita.

(28)

Jabrohim & Sayuti (2009: 65) menyatakan bahwa tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran pengarang. Cerita yang tidak mempunyai tema tidak ada manfaatnya bagi khalayak (Sugono, 2005: 168). Pada umumnya, tema yang diangkat dalam suatu karya sastra sangat beragam, misalnya moral, agama.

Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, bahkan situasi tertentu. Dalam banyak hal tema bersifat mengikat terhadap kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik, atau situasi tertentu, termasuk berbagai unsur yang lainnya. Maka, dapat dikatakan bila tema ialah dasar pengembangan seluruh cerita dan tema juga bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Untuk menentukan tema dalam suatu cerita, harus disimpulkan dari keseluruhan cerita, artinya tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu dalam suatu cerita saja. Bahkan, seringkali kehadiran tema terimplisit sehingga para pembaca harus benar-benar jeli dalam menemukan suatu tema dalam sebuah cerita.

Tema yang sering ditemukan dalam karya sastra, baik lisan maupun tertulis, bersifat didaktis. Artinya, tema biasanya berisi pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Tema-tema seperti itu dituangkan dalam karya sastra dalam bentuk keadilan melawan ketidakadilan, kesabaran melawan ketamakan dan sebagainya.

5) Amanat

(29)

berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang khas, umum, subjektif, sehingga harus dilakukan dengan penafsiran Teeuw (dalam Sarmadi, 2009: 42).

Pendapat di atas menunjukkan bahwa amanat merupakan suatu hikmah dari permasalahan hidup yang terkandung dalam cerita. Melalui amanat pengarang ingin memberikan sesuatu hal yang positif, dan dari amanat tersebut diharapkan pembaca akan bisa mengambil sesuatu manfaat dari cerita. Suatu amanat dikatakan baik bila amanat tersebut berhasil membukakan kemungkinan-kemungkinan yang luas dan baru bagi manusia dan kemanusiaan. Begitu juga dalam cerita prosa rakyat terkandung amanat yang dapat dijadikan teladan oleh warga masyarakat yang melingkupinya.

b. Pendekatan Antropolinguistik dalam Cerita Rakyat

Dalam penelitian mengenai cerita rakyat daerah, pendekatan antropolinguistik mempunyai peranan yang sangat penting. Pendekatan antropolinguistik erat hubungannya dengan pendekatan strukturalisme, karena selain mengkaji unsur-unsur intrinsiknya perlu juga diketahui dan dikaji unsur lainnya. Unsur-unsur dalam pendekatan antropolinguistik difokuskan pada hubungan bahasa dengan seluk-beluk kehidupan manusia termasuk kebudayaannya.

(30)

konteks (situasi, budaya, sosial, ideologi) dan ko-teks (paralinguistik, gerak-isyarat, unsur-unsur material) yang berkenaan dengan bahasa dan proses berbahasa, sedangkan hubungan linier berkenaan dengan struktur alur seperti performansi. Kebernilaian, memperlihatkan makna atau fungsi, sampai ke nilai atau norma, serta akhirnya sampai pada kearifan lokal aspek-aspek yang diteliti. Keberlanjutan, memperlihatkan keadaan objek yang diteliti termasuk nilai budayanya dan pewarisannya pada generasi berikutnya (Sibarani, 2014: 319).

Pendapat serupa disampaikan oleh Foley (1997: 3) bahwa linguistik antropologi merupakan cabang linguistik yang berkenaan dengan posisi bahasa dalam konteks sosial dan kultural yang lebih luas, peran bahasa dalam memadu dan menopang praktik-praktik kultural dan struktur sosial. Konsep antropolinguistik ini memandang bahasa (language) dalam kaitannya dengan konteks sosio-kultural dan bahasa sebagai proses praktik budaya dan struktur sosial.

(31)

Pengkajian cerita rakyat dengan menggunakan pendekatan antropolinguistik difokuskan pada ko-teks dan konteks. Ko-teks yang dimaksud yaitu berkenaan dengan proses penuturan dan proses pencipataan atau proses pewarisan. Lebih jelas dapat dilihat di bawah ini.

1) Ko-teks

Dalam tradisi lisan, sebuah teks seringkali didampingi oleh unsur-unsur

nonverbal yang disebut dengan “ko-teks” (co-text). Ko-teks mungkin berupa

unsur paralinguistik, unsur proksemik, unsur kinetik atau unsur material yang kesemuanya penting dipertimbangkan dalam menganalisis struktur teks. Ketika ada proses mendongeng, bukan hanya struktur dongenya yang perlu dianalisis, tetapi juga struktur unsur nonverbalnya sebagai ko-teks seperti tekanan suara, tinggi rendahnya suara, penjagaan jarak antara pendongeng dengan pendengar, gerak isyarat pendongeng atau benda-benda yang digunakan oleh pendongeng. Keseluruhan teks dan ko-teks itu menjadi satu kesatuan dalam produksi dan distribusi performansi tradisi lisan (Sibarani, 2010: 306).

(32)

dan proses peciptaan atau proses pewarisan. Lebih jelas dapat dilihat dalam penjelasan di bawah ini.

a) Proses Penuturan

Proses penuturan menurut Dundes (dalam Badrun, 2003: 39) didefinisikan sebagai situasi sosial khusus tempat sesuatu (item) khusus dibawakan. Sementara menurut Schecher (dalam Nurjamin, 1998: 30) merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh individu atau kelompok, di hadapan individu atau kelompok.

Sebuah pertunjukan pada dasarnya mempunyai esensi yang sama dengan percakapan, yaitu sebagai sarana komunikasi yang menggunakan bahasa. Perbedaan keduanya hanya tampak pada sifatnya, yaitu pertunjukan merupakan komunikasi khusus, sedangkan percakapan merupakan komunikasi biasa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (Badrun, 2003: 38).

(33)

b) Proses Penciptaan/ Proses Pewarisan

Taum (2013: 14) mengemukakan bahwa dalam proses penciptaan dipentingkan aspek mimesis, yakni representasi, meniru, meneladani, membayangkan kenyataan. Proses penciptaan tersebut yakni, baik dalam pertunjukan, maupun di luar, merupakan tradisi yang sangat bergantung pada masyarakat pemilik dan sifat sebuah cerita yang diciptakan. Penggunaan proses penciptaan itu dapat terjadi dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itu, pilihan proses penciptaan dapat dikembalikan pada kebiasaan masyarakat pemilik tradisi lisan.

Proses penciptaan sebuah cerita rakyat (mite, legenda dan dongeng) menujukkan kesamaan dengan proses penciptaan dalam masyarakat tradisional, yakni skematik. Artinya, ada bagian-bagian tertentu yang harus tetap dan ada bagian tertentu yang boleh berbeda, tetapi bagian-bagian tersebut membentuk suatu pola, seperti adanya bagian awal, tengah, dan akhir. Skema tersebut merupakan hasil akumulasi ingatan penutur.

(34)

2) Konteks

Konteks mempunyai peranan penting dalam pengkajian makna sebuah teks wacana. Berkaitan dengan fungsinya dalam konteks, menurut Osch (1988: 8), wacana merupakan seperangkat makna yang menghubungkan struktur bahasa dengan konteks yang melatarinya yang dirajut oleh penutur dan pendengar dalam proses memproduksi dan menafsirkan makna.

(35)

Dengan memahami makna, maksud, pesan, dan fungsi sebuah teks dalam suatu performansi tradisi lisan, akan dapat diinterpretasi nilai dan norma budaya tradisi lisan, kemudian dipahami kearifan lokalnya (Sibarani, 2010: 307).

Konteks merupakan bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; di sisi lain konteks merupakan situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Misalnya orang itu harus dilihat sebagai manusia yang utuh atau kehidupan pribadi dan masyarakatnya (KBBI, Edisi IV, 2008: 728).

Dalam tradisi lisan (cerita rakyat yang mencakup mite, legenda dan dongeng) konteks memberikan keutuhan pemaknaan sebuah tradisi. Pertunjukan tradisi lisan akan memiliki interpretasi yang berbeda apabila konteksnya berbeda. Konteks adalah segala keadaan atau kondisi yang berada di sekitar suatu tradisi lisan yang membuat tradisi itu hidup dan tercipta. Melalui konteks pemahaman terhadap keseluruhan tradisi lisan tercipta. Konteks dibagi atas empat bagian yaitu konteks situasi, konteks budaya, konteks sosial, dan konteks ideologi. Untuk lebih jelasnya mengenai klasifikasi konteks dapat dilihat dalam rincian di bawah ini.

a) Konteks Situasi

(36)

Konteks situasi mengacu pada waktu, tempat, dan penggunaan teks. Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan konteks situasi ini adalah kapan, di mana, dan bagaimana sebuah teks dilakonkan atau dituturkan. Deskripsi konteks situasi waktu akan menghasilkan waktu pelaksanaan, pertunjukkan atau performansi sebuah tradisi baik dari pembagian waktu dalam sehari seperti pagi, siang, sore, dan malam., pembagian minggu dan bulan, seperti awal, pertengahan atau akhir bulan. Deskripsi konteks situasi tempat akan menghasilkan lokasi pelaksanaan, pertunjukkan atau performasi sebuah tradisi lisan. Lokasi pelaksanaan atau pertunjukan tradisi lisan meliputi bentuk “pentas”, tempat

pemain dan penonton atau pelaku dan khalayak, permanen atau berpindah-pindah, dan sebagainya (Sibarani, 2010: 325).

b) Konteks Budaya

Konteks budaya mengacu pada tujuan budaya yang menggunakan suatu teks. Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan konteks budaya ini adalah untuk tujuan budaya apa teks itu digunakan. Tujuan budaya yang dimaksud yaitu peristiwa budaya yang melibatkan tradisi lisan. Teks tradisi lisan yang digunakan untuk ritual kelahiran berarti bahwa ritual kelahiran atau upacara kelahiran itulah yang menjadi konteks kebudayaan (Sibarani, 2010: 323).

(37)

baik siklus kehidupan dalam cerita rakyat, siklus kehidupan setelah berkembangnya cerita rakyat, hingga siklus kehidupan yang berkembang saat ini.

c) Konteks Sosial

Konteks sosial mengacu pada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi atau menggunakan teks. Faktor-faktor sosial itu mencakup perbedaan jenis kelamin, stratifikasi sosial, kelompok etnis, tingkatan pendidikan, usia, dan sebagainya. Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan konteks sosial ini adalah siapa yang terlibat dalam teks itu. Konteks sosial ini meliputi orang-orang yang terlibat seperti pelaku, pengelola, penikmat, dan komunitas pendukungnya (Sibarani, 2010: 324).

Sejalan dengan pernyataan di atas, Sibarani dan Talhah (2015: 25) mengemukakan bahwa konteks sosial dapat dibedakan atas jenis kelamin, pendidikan, usia, stratifikasi sosial, dan etnis. Etnis dalam konteks sosial yaitu berkenaan dengan kelompok sosial atau sistem sosial seperti keturunan, agama, bahasa, dan adat/ tradisi.

Konteks sosial dan budaya merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan atau berhubungan. Konteks budaya erat kaitannya dengan tradisi atau adat istiadat, namun adat atau tradisi dipengaruhi oleh kelompok sosial dan sistem sosial. Konteks budaya yaitu mendeskripsikan atau menjelaskan mengenai fungsi

dalam tradisi lisan, misalnya fungsi cerita rakyat “Asal Muasal Situ Gede” bahwa

sejak zaman dahulu nenek moyang telah memberikan warisan budaya berupa cerita rakyat “Asal Muasal terjadinya Situ Gede”. Sedangkan konteks sosial yang

(38)

keturunan, agama, bahasa dan tradisi. Sebagai contoh cerita rakyat “Asal Muasal

Situ Gede” diceritkan oleh penutur dengan menggunakan bahasa Sunda, karena

cerita tersebut berkembang dan menyebar di daerah yang berbahasa Sunda.

d) Konteks Ideologi

Konteks ideologi mengacu kepada kekuasaan atau kekuatan apa yang mempengaruhi dan mendominasi suatu teks. Ideologi adalah paham, aliran, kepercayaan, keyakinan, dan nilai yang dianut bersama oleh masyarakat. Ideologi itu dapat berupa ideologi mengenai politik, agama, negara, teknologi, modernism, tradisionalisme, dan sebagainya yang mempengaruhi, bahkan mendominasi sistem ideologi itu menjadi suatu konsep sosiokultural yang mengarahkan dan menentukan nilai yang terdapat di dalam komunitas (Sibarani, 2010: 328).

Tradisi lisan sebagai proses produksi, distribusi, konsumsi oleh komunitas dapat juga dipengaruhi dan didominasi suatu ideologi. Pelaku dan khalayak tradisi lisan memproduksi dan memahami tradisi lisan berdasarkan ideologi yang mendominasi dan menguasai pikiran masyarakat. Ideologi itu dapat dipahami secara positif, tetapi dapat juga dipahami secara negatif. Dipahami secara positif, ideologi dimuat sebagai kebenaran dalam tradisi lisan, tetapi kalau dipahami secara negatif, ideologi itu “dilawan” dalam teks tradisi lisan (Sibarani, 2010:

329).

(39)

mencakup konteks penuturan, konteks penciptaan atau perawisan, konteks sosial yang di dalamnya mencakup konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideologi. Pertama, proses penuturan adalah bagaimana cerita itu dituturkan dalam pertunjukkan berlangsung, lebih sederhananya dalam pertunjukkan berlangsung mempunyai syarat tertentu, misalnya saat penutur menyampaikan cerita, seorang pendengar tidak boleh melamun. Kedua, proses penciptaan atau pewarisan ini bagaimana cerita tersebut disampaikan dan didapatkan. Biasanya cerita tersebut diperoleh dari mulut ke mulut atau secara leluri, dengan syarat ataupun tidak. Ketiga adalah konteks sosial, konteks sosial ini terbagi atas tiga bagian yaitu konteks situasi berkaitan dengan waktu, situasi, cara; konteks budaya berkaitan dengan mata pencaharian, siklus kehidupan; sedangkan konteks ideologi berkaitan dengan paham, kepercayaan, atau keyakinan terhadap suatu hal yang tabu ataupun lainnya.

4. Kajian tentang Nilai-nilai Edukatif dalam Cerita Rakyat

(40)

secara umum dan nilai-nilai edukatif dalam cerita rakyat, didasari dengan teori yang relevan.

a. Pengertian Nilai secara Umum

Menurut Persons dan Shills (dalam Marzali, 2007: 105) bahwa nilai merupakan suatu konsepsi, eksplisit atau implisit yang khas milik seorang individu atau suatu kelompok, tentang yang seharusnya diinginkan yang mempengaruhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara dan tujuan tindakan.

Spradley dan David (1980: 283) mengungkapkan bahwa, “A value is any concept reffering to a desirable or undesirable state of affairs” (Nilai adalah konsep yang mengacu kepada sesuatu yang diinginkan atau yang tidak diinginkan). Jadi, nilai tidak hanya sesuatu yang diinginkan, tetapi dapat juga sesuatu yang tidak diinginkan.

Sedangkan menurut KBBI (Edisi IV, 2008: 963) dijelaskan bahwa nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan dan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Nilai adalah kualitas atau sifat yang membuat apa yang bernilai menjadi bernilai, misalnya nilai “jujur” adalah sifat atau tindakan yang jujur, Scheler (dalam Franz Magnis

Suseno, 2000: 34).

Sejalan dengan pendapat di atas, Marzali (2007: 105) mengungkapkan bahwa perkataan, perbuatan dan materi merupakan manifestasi dari suatu nilai.

Contoh “Orang harus menghormati guru”, ini bukan sebuah nilai tapi manifestasi

(41)

ketika berjalan di depan orang tua”, ini bukan sebuah nilai tapi manifestasi dari suatu nilai yang diungkapkan dalam bentuk prilaku.

Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai bukanlah sesuatu yang dapat dilihat oleh pacaindra manunisa dan tidak bisa diraba. Nilai hanya dapat diinterpretas dan disimpulkan berdasarkan suatu perkataan, ucapan, perbuatan, tindakan manusia serta benda-benda kebudayaan yang dihasilkan manusia.

b. Nilai-nilai Edukatif dalam Cerita Rakyat

Selain dari kajian struktur cerita rakyat yang sudah penulis paparkan dalam subbab sebelumnya. Penulis menganggap kajian struktur dengan kajian nilai edukatif cerita rakyat merupakan peranan penting dalam mengkaji cerita rakyat. Keduanya saling berkaitan dan berhubungan. Nilai-nilai pendidikan dalam suatu karya sastra baik lisan maupun tulisan cukup bervariasi, terutama nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat.

(42)

Kajian nilai edukatif yang dimaksud oleh penulis adalah kajian mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat yang sudah ditranskripkan dalam bentuk teks tulis. Nilai-nilai tersebut di antaranya terbagi atas nilai moral, budaya, agama, dan sosial. Untuk lebih jelasnya akan penulis paparkan di bawah ini dengan teori-teori yang relevan.

1) Nilai Moral

Secara umum moral merujuk pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, dan susila (Nurgiyantoro, 2015: 429). Menurut Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2015: 429) moral dapat dipandang sebagai wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral.

Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2015: 430) menjelaskan bahwa nilai moral dalam karya sastra biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan), melalui cerita yang ditampilkan dalam cerita itu melalui sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya.

(43)

seseorang tentang moral, nilai-nilai, dan kecenderungan-kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidup, way of life bangsanya. Dalam karya sastra, moral biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran. Hal itulah yang akan disampaikan kepada pembacanya.

Berdasarkan beberapa pandangan mengenai nilai moral di atas, penulis menyimpulkan bahwa moral dapat dikatakan sebagai nilai etik, nilai etik yang dimaksud oleh penulis adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat didasari oleh akhlak individu itu sendiri. Jika nilai moral dikaitkan dengan cerita rakyat, bahwa melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dan pesan-pesan moral yang disampaikan atau diamanatkan.

2) Nilai Budaya/ Adat

Nilai budaya dapat didefinsikan sebagai suatu hal yang bersifat umum dalam benak sekumpulan orang-orang tertentu, mengacu kepada lingkungan masyarakat. Orang-orang dalam suatu lingkungan masyarakat memiliki banyak gagasan, nilai gambar yang sama, singkatnya mereka memiliki perwakilan yang bersifat kolektif pada diri mereka yang tidak dijumpai pada kumpulan orang lain (Vansina, 2014: 193-194).

(44)

Serta pandangan-pandangan terhadap realitas juga sama, misalnya kepercayaan terhadap larangan-larangan yang dianut dalam kelompok tersebut.

Sejalan dengan pendapat Vansina, Sibarani (2013: 19-20) mengungkapkan bahwa cerita rakyat memiliki nilai budaya sebagai peninggalan leluhur yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Cerita rakyat mengandung pesan-pesan yang hendak disampaikan kepada masyarakat baik berupa makna dan fungsi, nilai dan norma maupun kearifan lokal. Nilai lazimnya menunjuk pada mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk, sedangkan norma biasanya menunjuk pada mana yang dianggap benar dan mana yang dianggap

salah meskipun sering juga disebut “nilai” terutama “nilai budaya” yang mengacu

kepada keduanya baik tentang benar-salah maupun tentang baik-buruk.

Koentjaraningrat (dalam Sibarani, 2013: 20) mengatakan bahwa sistem nilai budaya adalah konsepsi yang hidup dalam alam pikiran manusia mengenai hal-hal yang dianggap amat bernilai dalam kehidupan dan berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi tingkah lakunya dalam kehidupan seharihari. Nilai budaya digolongkan pada nilai identitas, nilai interaksi, dan nilai visi hidup.

(45)

bernilai tinggi ialah apabila manusia itu suka bekerja sama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar.

3) Nilai Pendidikan Agama (Religius)

Nilai pendidikan agama atau nilai religius merupakan satu ikatan. Ikatan yang dimaksud adalah saling berhubungan. Terkadang banyak orang mengartikan bahwa nilai pendidikan dan nilai religuis itu sama, namun di sisi lain berbeda. Secara umum bisa dikatakan sama, namun secara spesifik mempunyai arti dan fungsi yang berbeda.

Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan sastra tumbuh dari dari sesuatu yang religius. Pada awal mula sastra adalah riligius (Mangunwijaya, dalam Nurgiyantoro, 2015: 446). Istilah religius membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat kaitannya, berdampingan bahkan dapat melebur dalam kesatuan, namun sebenarnya keduanya menunjuk pada makna yang berbeda (Nurgiyantoro, 2015: 446).

(46)

4) Nilai Sejarah (Historis)

Jika sebelumnya dibahas mengenai nilai moral, budaya, dan agama. Nilai sejarah/ historis dalam karya sastra khususnya cerita rakyat juga salah satu nilai yang penting. Karena cerita rakyat yang hubungannya dengan kejadian-kejadian masa lalu (lampau), tentu berpengaruh terhadap hasil karya sastra cerita rakyat itu sendiri baik yang tulisan maupun lisan.

Seperti yang dikemukakan oleh Waluyo (2002: 20) bahwa karya sastra termasuk cerita rakyat yang bermuatan kisah masa silam. Sebab, pada hakikatnya karya sastra merefleksikan kehidupan masyarakat. Seringkali dinyatakan bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial. Naskah dan tradisi lisan warisan budaya leluhur bermanfaat untuk mengenali perjalanan sejarah masyarakat lokal suatu bangsa.

Sejalan dengan pernyataan Waluyo, Abdullah (dalam Sarmadi, 2009: 38) naskah dan tradisi lisan warisan budaya leluhur bermanfaat untuk mengenali perjalanan sejarah masyarakat lokal dan bangsa. Melalui tradisi lisan atau naskah (sastra lisan yang sudah dibukukan) dapat ditelusuri kembali kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa masa lampau. Perjalanan hidup masyarakat, bangsa, dan anggotanya dapat dengan mudah diketahui.

(47)

5) Nilai Kepahlawanan

Orang yang gagah berani mengorbankan harta benda dan jiwa raganya untuk membela tanah kelahirannya atau negaranya, orang yang terkemuka karena jasa-jasanya yang baik dan pengabdiannya dapat disebut sebagai Pahlawan. Dari kata pahlawan terbentuklah kata kepahlawanan yang berarti perihal sifat-sifat pahlawan, sifat-sifat yang berhubungan dengan keberanian seseorang. Seseorang disebut pahlawan manakala ia memiliki sikap-sikap seperti yang dikemukakan di atas. Dapat dikatakan bahwa seluruh hidupnya diabdikan untuk membela kebenaran dan demi nusa dan bangsa. Hal ini sejalan dengan pengertian dalam KBBI IV (2008: 999) bahwa pahlawan mempunyai arti orang yang paling menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau pejuang yang gagah serta berani. Kepahlawanan yaitu perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan.

(48)

5. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada Kurikulum 2013 Revisi

di SMP (Sekolah Menengah Pertama)

a. Kerangka Pengembangan Kurikulum 2013 Revisi Mata Pelajaran

Bahasa Indonesia

Kerangka pengembangan kurikulum 2013 revisi mata pelajaran Bahasa Indonesia diberikan sejak sekolah dasar hingga atas (SD-SMA). Mata pelajaran Bahasa Indonesia dikembangkan untuk mata pelajaran wajib dan mata pelajaran peminatan. Di bawah ini adalah kerangka pengembangan yang dibuat oleh Kemendikbud (2017: 2-3);

1. pengembangan kompetensi kurikulum Bahasa Indonesia ditekankan pada kemampuan mendengarkan, membaca, memirsa (viewing), berbicara, dan menulis. Pengembangan kemampuan tersebut dilakukan melalui berbagai teks. Dalam hal ini teks merupakan perwujudan kegiatan sosial dan memiliki tujuan sosial. Kegiatan komunikasi dapat berbentuk tulisan, lisan, atau multimodal (teks yang menggabungkan bahasa dan cara/media komunikasi lainnya seperti visual, bunyi, atau lisan sebagaimana disajikan dalam film atau penyajian komputer);

2. kompetensi dasar yang dikembangkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam mendengarkan, membaca, memirsa (viewing), berbicara, dan menulis. Untuk mencapai kompetensi tersebut siswa melakukan kegiatan berbahasa dan bersastra melalui aktivitas lisan dan tulis, cetak dan elektronik, laman tiga dimensi, serta citra visual lain;

3. lingkup materi mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas I-XII merupakan penjabaran 3 lingkup materi: bahasa, sastra, dan literasi; dan

4. teks dalam pendekatan berbasis genre bukan diartikan --istilah umum-- sebagai tulisan berbentuk artikel. Teks merupakan perwujudan kegiatan sosial dan bertujuan sosial, baik lisan maupun tulis.

Teks tersebut dapat dipetakan sebagai berikut dalam tabel 2.1

Tabel 2.1 Kerangka Pengembangan Kurikulum 2013 Revisi (Permendikbud, 2017: 2-3)

Genre Tipe Teks Lokasi Sosial

(49)
(50)

b. Prinsip Pembelajaran Bahasa Indonesia

Prinsip pembelajaran Bahasa Indonesia dilaksanakan dengan menerapkan prinsip menurut Permendikbud (2017: 5) sebagai berikut;

1. bahasa merupakan kegiatan sosial. Setiap komunikasi dalam kegiatan sosial memiliki tujuan, konteks, dan audiens tertentu yang memerlukan pemilihan aspek kebahasaan (tata bahasa dan kosa kata) yang tepat serta cara mengungkapkan dengan strukur yang sesuai agar mudah dipahami; 2. bahan pembelajaran bahasa yang digunakan sedapat mungkin bersifat

otentik. Pengembangan bahan otentik didapat dari media massa (cetak dan elektronik); tulisan guru di kelas, produksi lisan dan tulis oleh siswa. Semua bahan dikelola guru untuk keberhasilan pembelajaran;

3. proses pembelajaran menekankan aktivitas siswa yang bermakna. Inti dari siswa aktif adalah siswa mengalami proses belajar yang efesien dan efektif secara mental dan eksperiensial;

4. dalam pembelajaran berbahasa dan bersastra, dikembangkan budaya membaca dan menulis secara terpadu. Dalam satu tahun pelajaran siswa dimotivasi agar dapat membaca paling sedikit 4 buku (2 buku sastra dan 2 buku nonsastra) sehingga setelah siswa menyelesaikan pendidikan pada jenjang SMP/MTs membaca paling sedikit 12 judul buku.

c. Kompetensi Dasar, Materi Pokok, dan Pembelajaran Cerita Rakyat

Kelas VII SMP

Dalam kurikulum 2013 revisi, kompetensi dasar, materi pokok serta pembelajaran sudah dikelompokan oleh Permendikbud, untuk lebih jelasnya akan dipaparkan dalam tabel 2.2.

(51)

fabel/legenda daerah

Dari tabel 2.2, dapat disimpulkan bahwa pengajaran sastra khususnya megenai cerita rakyat terdapat di kompetensi dasar; (1) 3.11 Mengidentifikasi informasi tentang fabel/legenda daerah setempat yang dibaca dan didengar, (2) 4.11

(52)

4.12 Memerankan isi fabel/ legenda daerah setempat yang dibaca dan didengar. Dari keempat kompetensi dasar tersebut, pengajaran berlangsung selama 6 jam pelajaran/minggu. Hal ini dikaitkan dengan relevansi penelitian yang penulis lakukan terhadap kajian struktur dan nilai edukatif cerita rakyat di kabupaten Tasikmalaya. Sebagai bahan pertimbangan dan acuan, bahwa pengajaran sastra khususnya membahas mengenai cerita rakyat ada di kelas VII semester 2.

d. Cerita Rakyat dalam Pengajaran Sastra di SMP

Menjadi pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia saat ini, ada banyak tuntutan keahlian dan pengalaman yang harus dimiliki tenaga pengajar, selain rutinitas penyampaian materi yang formal di kelas. Menjadi pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia dewasa ini dituntut menjadi sang kreator. Tidak disarankan menjadi apresiator pasif. Hal ini tentu harus jadi perhatian pengajar maupun pelajar, keduanya harus mampu bekerjasama dengan baik.

Seperti yang dikemukakan oleh Riswandi (2010: 150) bahwa betapa pentingnya memberikan pengajaran sastra yang baik kepada siswa. Dari mulai mengenalkan, mencintai, memahami, hingga mencipta. Dengan memberikan pengajaran sastra yang baik kepada siswa, guru sudah menginvestasi penanaman moral dan budi pekerti luhur. Melalui sastra seseorang didikik berbudaya, membina kepekaan jasmani dan rohani untuk mampu membaca juga memahami realitas yang terjadi di sekelilingnya.

(53)

sudah menerapkan kurikulum 2013 revisi. Adapun pandangan secara rasional dari kemendikbud mengenai tujuan pelajaran dangan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah.

Kemendikbud (2017: 1) bahwa kurikulum 2013 mata pelajaran Bahasa Indonesia secara umum bertujuan agar siswa mampu mendengarkan, membaca, memirsa (viewing), berbicara, dan menulis. Kompetensi dasar dikembangkan berdasarkan tiga hal lingkup materi yang saling berhubungan dan saling mendukung pengembangan kompetensi pengetahuan kebahasaan dan kompetensi keterampilan berbahasa (mendengarkan, membaca, memirsa, berbicara, dan menulis) siswa. Kompetensi sikap secara terpadu dikembangkan melalui kompetensi pengetahuan kebahasaan dan kompetensi keterampilan berbahasa. Ketiga hal lingkup materi tersebut adalah bahasa (pengetahuan tentang Bahasa Indonesia); sastra (pemahaman, apresiasi, tanggapan, analisis, dan penciptaan karya sastra); dan literasi (perluasan kompetensi berbahasa Indonesia dalam berbagai tujuan, khususnya yang berkaitan dengan membaca dan menulis).

Berdasarkan dari pernyataan di atas, bahwa pengajaran sastra telah dikelompokan dalam kompetensi dasar pada kurikulum 2013 revisi. Pengajaran sastra, khususnya mengenai materi cerita rakyat, ada di kelas VII semester 2.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang akan dilaksanakan oleh penulis relevan dengan beberapa peneliti sebelumnya, di antaranya sebagai berikut;

1. Penelitian dengan judul Kajian Trukturalisme dan Nilai Edukatif dalam Cerita Rakyat Kabupaten Klaten (Sarmadi, 2009)

Dalam penelitiannya ada lima cerita rakyat di Kabupaten Klaten yang dihimpun dan dianalisis. Lima cerita rakyat tersebut, yaitu: (1) “Ki Ageng Padang

Aran”, (2) “Petilasan Sunan Kalijaga”, (3) “Raden Ngabehi Ronggo Warsito”, (4)

(54)

tersebut diklasifikasikan ke dalam legenda dan lebih spesifik dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok legenda setempat, legenda perseorangan , dan legenda keagamaan.

Isi dan tema cerita rakyat Kabupaten Klaten adalah syiar agama, perjuangan seorang tokoh, dan terjadinya suatu tempat. Alur cerita yang digunakan adalah alur maju atau lurus. Tokoh yang dominan dalam cerita rakyat Kabupaten Klaten adalah manusia yang digambarkan sebagai manusia yang memiliki kasaktian dan berkarakter baik. Latar yang paling dominan adalah latar tempat. Amanat yang terkandung dalam cerita rakyat Kabupaten Klaten cukup bervariasi. Nilai pendidikan yang terdapat dalam cerita rakyat Kabupaten Klaten adalah Nilai pendidikan moral, nilai pendidikan adat (tradisi), nilai pendidikan agama (religi), nilai pendidikan sejarah (historis), dan nilai Kepahlawanan. Hal ini relevan dalam pengajaran sastra di sekolah dan perlu dikembangkan lagi, karena setiap daerah mempunyai cerita rakyat yang beragam.

2. Penelitian dengan judul Strukur dan Nilai Edukatif Cerita Rakyat Kabupaten Wonogiri (Sutarto, 2007)

Dari hasil penelitiannya, bahwa di Kabupaten Wonogiri memiliki sejumlah cerita rakyat yang masih hidup dan berkembang sampai saat ini. Cerita rakyat yang ada antara lain: (1) “Panembahan Senopati kahyangan Dlepih

Tirtomoyo”, (2) “Umbul Nogo” di Karanglor Manyaran, (3) “Asal-usul Goa Putri

Kencana” , (4) “Petilasan Bubakan Girimarto”, dan (5) “Sendang Siwani” .

(55)

dalam legenda dan lebioh spesifik dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok legenda setempat dan legenda perseorangan.

Berdasarkan kajian yang mendalam dapat diketahui bahwa di dalam cerita rakyat di Kabupaten Wonogiri terkandung nilai edukatif. Nilai-nilai eduktif yang ada meliputi nilai pendidikan moral, nilai pendidikan adat, nilai pendidikan agama, dan nilai pendidikan sejarah. Karena dipandang memiliki relevansi dengan pembelajaran sastra di sekolah, maka cerita rakyat Kabupaten Wonogiri perlu di kembangkan sebagai materi ajar sastra di sekolah.

3. Penelitian dengan judul Kajian Antropologi Sastra Cerita Rakyat Datumuseng dan Maipa (Anthropology of Literature Analysis Datu Museng dan Maipa Deapati Folklore) (Salmah Djirong, 2014).

(56)

disajikan Datumuseng dan Maipa Daepati tersebut, bahwa perlu atau disarankan ada pemerhati atau pakar kesusasteraan yang berminat meneliti dan mengungkapkan refleksi antropologi sastra dalam sasrra daerah yang lebih lengkap dan tuntas.

Dari ketiga peneliti terdahulu yaitu Sarmadi, Sutarto, dan Salmah Djirong adalah sama-sama mengkaji cerita rakyat. Sarmadi dan Sutarto sama-sama meneliti tentang kajian struktur dan nilai edukatif dalam cerita rakyat, sedangkan Salmah Djarong fokus penelitian mengenai kajian antropologi yang berpusat pada Cerita Rakyat Datumuseng dan Maipa. Pertama, penelitian Sarmadi dan Sutarto relevan dengan yang dilakukan peneliti, relevansinya dapat dilihat dari kajian struktur dan nilai edukatif serta relevansi terhadap pengajaran sastra di sekolah. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Salmah Djarong relevan dengan yang dilakukan penulis, relevansinya dilihat dari kajian dengan pendekatan antropologi dan penggunaan metode etnografi yang mencakup pola pikir masyarakat, tradisi pewarisan, dll. Ketiga, dari ketiga peneliti terdahulu secara umum mengatakan bahwa penelitian tentang kajian struktur dan nilai edukatif cerita rakyat, relevan dengan pengajaran sastra, dan perlu dikembangkan lagi oleh setiap peneliti, karena setiap daerah mempunyai cerita rakyat yang berbeda.

(57)

Gambar

Tabel 2.2 Kompetensi Dasar, Materi Pokok, dan Pembelajaran

Referensi

Dokumen terkait

1) Gaji pokok merupakan pemberian gaji sebagai imbal jasa atau penghargaan atas hasil kerja seseorang berdasarkan jenjang golongan, kepangkatan dan masa kerja pegawai

Melalui proses pencacahan/pemotongan, dan untuk menghasilkan cacahan yang baik, untuk itu di rancang suatu pisau pencacah. Pisau yang di buat merupakan alat yang

optimum sunscreen emulgel ekstrak etil asetat isoflavon tempe pada level

Pengukuran tingkat radioaktivitas udara lingkungan di kawasan PPTN Pasar Jumat telah dilakukan dengan mengambil sampel di II titik dalam kawasan yaitu 3 titik di kawasan

Pengetahuan Prosedur Kerja dan Tanggap Darurat adalah segala sesuatu yang diketahui responden tentang tata kerja awak 1 dan awak 2 dalam melaksanakan pengangkutan

Suddenly Greel moved away from the Cabinet and went to a gong that hung close to the door. Leela realized her danger

Billy, Delta, Ray and Goronwy stood in silence as Weismuller outlined their scuffle with the Bannermen in minute detail, going over and over the same points umpteen times.. Puffing

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui prestasi belajar matematika yang lebih baik antara siswa yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw II, tipeTGT,