• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK (SODOMI) DIBAWAH UMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK (SODOMI) DIBAWAH UMUR"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

D. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295 dan 296

Pasal 289 KUHP menentukan: 14

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun”.

Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu termasuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya meraba-raba anggota badan atau kemaluan, yang dilarang dalam Pasal ini bukan saja sengaja memaksa orang untuk melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul.

Pasal 290 KUHP menentukan : 1. Pasal 290 ayat ( 2 ) KUHP

“Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: barang siapa

melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa yang bersangkutan belum masanya dikawin”.

      

(2)

Perbuatan yang dilarang disini adalah perbuatan sengaja memaksakan kehendak dari orang dewasa yaitu melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan terhadap anak dibawah umur (belum lima belas tahun) atau anak yang tidak diketahui jelas umurnya dan belum saatnya dikawin.

2. Pasal 290 ayat ( 3 ) KUHP

“Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: Barang siapa

membujuk (menggoda) seseorang, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya bahwa umur orang itu belum cukup lima belas tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul atau bersetubuh diluar perkawinan dengan orang lain”.

Menurut pasal ini dapat dihukum orang yang membujuk atau menggoda seseorang (laki-laki atau perempuan) yang umurnya belum cukup lima belas tahun atau belum waktunya dikawin untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan orang lain, membiarkan dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan oleh orang lain dan melakukan hubungan kelamin (bersetubuh) diluar perkawinan dengan orang lain. Kata-kata membujuk disini bisa dilakukan oleh pelaku dengan menghasut, memberikan janji-janji, mengiming-imingi sesuatu, memberikan hadiah dan lain sebagainya kepada korban.

(3)

Menurut R. Soesilo seorang wanita yang melakukan persetubuhan dengan anak laki-laki yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun dapat dikenakan Pasal ini15

Pasal 292 KUHP menentukan:

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang

belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun”.

Pasal ini mengatur mengenai perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa terhadap anak yang belum dewasa yang berjenis kelamin sama dengan pelaku. Dewasa berarti telah berumur dua puluh satu tahun atau belum berumur dua puluh satu tahun tetapi sudah pernah kawin. Jenis kelamin yang sama berarti laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.Perbuatan cabul yang dimaksud sama dengan penjelasan Pasal 289KUHP yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu termasuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.

Pasal 293 KUHP menentukan:

(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,

menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkahlakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau

      

15 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta

(4)

selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Yang diancam hukuman dalam Pasal ini adalah seseorang yang sengaja membujuk orang yang belum dewasa atau belum cukup umur dan bertingkah laku baik (misalnya anak tersebut bukan seorang pelacur) untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul atau tindakan-tindakan yang melanggar kesusilaan dengan dia. Bujukan-bujukan yang digunakan misalnya dengan memberikan hadiah, menjanjikan uang atau barang kepada korban, memberikan pengaruh-pengaruh yang berlebihan atau dengan tipu muslihat dengan tujuan agar korban terpengaruh dan terperdaya sehingga menuruti kemauan dan kehendak pelaku.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya

dilakukan kejahatan itu.

(3) Tempo tersebut dalam Pasal 74, ditentukan buat satu-satu pengaduan ini

ialah 9 (sembilan) dan 12 (dua belas) bulan Pasal 294 KUHP menentukan:

(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya, anak

angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaannya diannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Yang diancam dalam Pasal ini adalah seseorang yang sengaja melakukan perbuatan asusila atau cabul terhadap anak kandung, anak tiri, anak angkat

(5)

dan anak dibawah pengawasannya yang belum cukup umur atau belum dewasa yang tanggung jawab pemeliharaan, pendidikan, penjagaan atau semua kebutuhan atas anak tersebut ada pada atau menjadi tanggung jawab si pelaku.

(2) Diancam dengan pidana yang sama:

1. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena

jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya,

2. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara,

tempat pekerjaan negara, tempat pen- didikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.

Pasal 295 KUHP menentukan: (1) Diancam:

1. Dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan

sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;

2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan

(6)

tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.

(2) Jika yang melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.

Pasal 296 KUHP menentukan:

Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

E. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pengaturan lebih khusus mengenai perlindungan hukum terhadap anak tertuang dalam Undang-undang No.23 tahun 2002. Pembentukan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan landasan yuridis dan bagian kegiatan pembangunan nasional,khususnya dalam mewujudkan kehidupan anak dalam berbangsa dan bernegara. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak ini merupakan bentuk kepedulian masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak anak. Draf pertama Rancangan Undang-Undang Perlindungan Anak ini tersusun pada

(7)

tahun 1998 dalam kondisi politik dan keamanan Indonesia yang kurang menguntungkan serta krisis ekonomi yang begitu mengkhawatirkan.16

Hal inilah yang menyebabkan draf ini tertunda. Situasi yang tidak kondusif ini mendorong UNICEF untuk memfasilitasi penyusunan Rancangan Undang-Undang ini. Setelah melewati proses yang begitu panjang maka pada tanggal 22 Oktober 2002 RUU tersebut disahkan Asas dan tujuan lahirnya undang-undang ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3, sementara mengenai hak anak diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 18 dan kewajibannya diatur dalam Pasal 19. Disebutkan dalam Pasal 13 bahwa:

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

a. Diskriminasi17

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual18 c. Penelantaran19

      

16 Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perlindungan Anak berdasarkan

Undnag-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta : KPAI, Halaman 1.

17Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa:

Perlakuan diskriminasi, misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental

18 Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

dijelaskan bahwa: perlakuan eksploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan

19 Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

dijelaskan bahwa: perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajibab untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya

(8)

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan20 e. Ketidakadilan21

f. Perlakuan salah lainnya22

2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Kewajiban orang tua tidak hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2014 ini juga diatur kewajiban orang tua, antara lain:23

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;

b. Menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan

minatnya;

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan

d. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.

(2) Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau

karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung

      

20 Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

dijelaskan bahwa:perlakuan yang kejam, mislanya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, mislanya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial

21 Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

dijelaskan bahwa: perlakuan ketidakadilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak

22 Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

dijelaskan bahwa: perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak

(9)

jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada Keluarga, yang dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Dalam hal orang tua melakukan perbuatan yang oleh aturan hukum pidana yang dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang maka orang tua tersebut dinyatakan telah melakukan tindak pidana,yang disebut juga delik. Menurut wujud dan sifatya, tindak pidana ini adalah pebuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat dan bertentangan dengan atau mengahambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat yang dianggap adil.24

Bentuk perlindungan hukum terhadap anak menurut Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dapat dijelaskan sebagai berikut: Pasal 59A

Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya:

a. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;

b. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;

c. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak

mampu; dan

d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.”

      

24 Moeljanto, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana,

(10)

Pasal 64

Perlindungan Khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui:

a. perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai

dengan umurnya;

b. pemisahan dari orang dewasa;

c. pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. pemberlakuan kegiatan rekreasional;

e. pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang

kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya; f. penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup; g. penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai

upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat

h. pemberian keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak

memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i. penghindaran dari publikasi atas identitasnya.

j. pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh

Anak;

k. pemberian advokasi sosial; l. pemberian kehidupan pribadi;

m. pemberian aksesibilitas, terutama bagi Anak Penyandang Disabilitas; n. pemberian pendidikan;

(11)

p. pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 66

Perlindungan Khusus bagi Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d dilakukan melalui:

a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya

masyarakat, dan Masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap Anak secara ekonomi dan/atau seksual

Pasal 67

Perlindungan khusus bagi Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika,dan zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf e dan Anak yang terlibat dalam produksi dan distribusinya dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi.” Di antara Pasal 67 dan Pasal 68 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 67A, Pasal 67B, dan Pasal 67C sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 67A

Setiap Orang wajib melindungi Anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses Anak terhadap informasi yang mengandung unsur pornografi

(12)

Pasal 67B

(3) Perlindungan Khusus bagi Anak yang menjadi korban pornografi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf f dilaksanakan melalui upaya pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental.

(4) Pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 67C

Perlindungan Khusus bagi Anak dengan HIV/AIDS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf g dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, pengobatan, perawatan, dan rehabilitasi.”

Pasal 68

Perlindungan Khusus bagi Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 2 huruf h dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi.”

Pasal 69

Perlindungan Khusus bagi Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf i dilakukan melalui upaya: a. Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang

melindungi Anak korban tindak Kekerasan; dan b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi

(13)

Pasal 71

Perlindungan Khusus bagi Anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf m dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, konseling, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial.”51. Di antara Pasal 71 dan Pasal 72 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 71A, Pasal 71B, Pasal 71C, dan Pasal 71D sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pasal 71A

Perlindungan Khusus bagi Anak dengan perilaku sosial menyimpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf n dilakukan melalui bimbingan nilai agama dan nilai sosial, konseling, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial. Pasal 71B

Perlindungan khusus bagi Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf o dilakukan melalui konseling, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial.

Pasal 71C

Ketentuan lebih lanjut mengenai Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 71B diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 71D

(1) Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan

(14)

ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Kehadiran Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak memberikan angin segar bagi para aktivis hukum dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Namun, Undang-Undang ini belum dapat berjalan secara efektif. Untuk itu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang No. 35 tahun 2014. Perubahan Undang-undang ini berguna untuk mempertegas pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku. Tidak hanya itu perubahan undang-undang ini juga bertujuan untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak korban maupun anak pelaku kejahatan. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban maupun anak pelaku kejahatan di kemudian hari agar tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.

Adapun yang menjadi pemikiran sehingga menyebabkan lahirnya Undang- Undang ini adalah:

a. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap

warganya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;

b. Bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang

(15)

diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita

perjuangann bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia;

d. Bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu

dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Bentuk perlindungan yang telah ada dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.35 tahun 2014 hanya sedikit perubahan yang terjadi dalam beberapa Pasal, misalnya:

Pasal 59 UU No. 23 tahun 2002 diubah menjadi:

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga Negara lainnya berkewajiban

dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.

(2) Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan kepada:

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berkonflik dengan hukum;

c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

(16)

e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;

f. Anak yang menjadi korban pornografi;

g. Anak dengan HIV/AIDS;

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban kejahatan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas;

m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.

Secara khusus perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j diatas dan Pasal 69 UU No.23 tahun 2002 tentang Pelrindungan Anak sebagaimana telah diubah dalam Pasal 69A sebagaimana berikut:

“Perlindungan Khusus bagi anak korban kejahatan seksual sebgaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya:

a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; b. Rehabilitasi sosial;

(17)

d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.”

Setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual dalam hal ini incest berhak untuk mengajukan ke pengadilan berupa hak restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan. Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.25

Tujuan dari pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan yang mana dalam skripsi ini adalah hubungan seksual sedarah/incest sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada anak korban kekerasan seksual dalam hal ini incest, misalnya:

a. Memberikan penyediaan rumah aman ketika pelaku adalah ayah kandung atau

tempat tinggal yang sama dengan pelaku, rumah aman disediakan bekerjasama dengan pemerintah .

b. Memberikan bimbingan konseling keagamaan

      

25 Penjelasan Pasal 71D ayat (1) UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas

(18)

c. Melakukan pemeriksaaan psikologis.

d. Mendampingi dalam hal pemeriksaan kesehatan dan visum et refertum

e. Mengupayakan anak untuk tetap bisa bersekolah dan diterima kembali

disekolah

f. Melakukan pendampingan mulai dari kepolisian,kejaksaan sampai ke

pengadilan

F. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum sangatlah merisaukan.Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak memadai lagi dalam memberikan solusi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Berdasarkan hal tersebut maka DPR RI bersama Pemerintah RI telah membahas RUU Sistem Peradilan Pidana Anak pada tahun 2011 sampai dengan 2012. RUU Sistem Peradilan Anak (RUU SPPA) disampaikan Presiden kepada Pimpinan DPR -RI dengan Surat No. R-12/Pres/02/2011 tanggal 16 Februari 2011. Presiden menugaskan Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakiliPresiden dalam pembahasan RUU SPPAtersebut. Sementara itu, DPR RI menunjuk Komisi III untuk melakukan pembahasan RUU SPPA tersebut lebih lanjut melalui Surat Wakil Ketua DPR RI No. TU.04/1895/DPR RI/II/2011.26

      

26 Djamil M. Nasir, Anak Bukan untuk Dihukum, Jakarta,Sinar Grafika, 2013, halaman

(19)

RUU SPPA ini sendiri secara langsungditerima dalam Rapat Pleno Komisi III DPR RI pada tanggal 28 Maret 2011, untuk kemudian dibahas ditingkat Panja (Panitia Kerja) sejak tanggal 3 Oktober 2011. RUU SPPA ini merupakan penggantian terhadap Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin

perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum.27

Setiap pembentukan undang-undang yang baik, harus disertakan dasar-dasar filosofis, yuridis, dan sosiologis. Dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan dasar-dasar pemikiran dalam RUU tersebut, antara lain:28

1. Dasar filosofis

Dasar filosofis adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai Pancasila di dalam mencerminkan suatu keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Disebutkan bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, sehingga untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan anak. Dasar filosofis ini mengafirmasi nilai-nilai Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga sebagai bangsa yang bermartabat dan menunjung tinggi nilai-nilai religiusitas,

       27Ibid., halaman 51

(20)

maka permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum harus diberikan prioritas yang terbaik bagi anak.

2. Dasar Sosiologis

Perwujudan pelaksanaan lembaga peradilan pidana anak dapat menguntungkan atau merugikan mental, fisik dan sosial anak. Tindak pidana anak, dewasa ini secara kuantitas dan kualitas cenderung meningkat dibandingkan dengan tindak pidana lain, nyaris semua tindak pidana yang dilakukan orang dewasa dilakukan pula oleh anak-anak. Berbagai factor penyebabnya adalah keadaan social ekonomi yang kurang kondusif, pengaruh globalisasi dalam bidang komunikasi dan informasi, hiburan, perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan gaya hidup. Selain hal tersebut masalah ini disebabkan pula oleh faktor intern keluarga seperti kurang perhatian, kasih sayang dan pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh terhadap anak sehingga mudah terpengaruh oleh pergaulan yang negatif di lingkungan masyarakat.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Namun, dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Selain itu,undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan

(21)

belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.

3. Dasar yuridis

Menurut teori, hukum haruslah membantu manusia berkembang sesuai dengan kodratnya: menjunjung keluhuran martabat manusia, bersifat adil, menjamin kesamaan dan kebebasan, memajukan kepentingan dan kesejahteraan umum. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan atas hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dan diskriminasi”. Hal ini dijabarkan dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Prinsip perlindungan hukum terhadap

anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention On the Rights of

the Child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia

dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, banyak mengandung kelemahan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia.

(22)

4. Dasar Psikopolitik Masyarakat

Psikopolitik masyarakat adalah suatu kondisi nyata di dalam masyarakat mengenai tingkat penerimaan (acceptance) atau tingkat penolakan (resistance) terhadap suatu peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang dilakukan anak baik langsung maupun tidak langsung merupakan suatu akibat dari perbuatan dan tindakan yang dilakukan orang dewasa dalam bersinggungan dengan anak atau merupakan sebagai bagian dalam proses interaksi anak dengan lingkungannya, di mana anak belum mampu secara dewasa menyikapinya. Paradigma ini harus ditanamkan bagi masyarakat dan aparatur penegak hukum dalam menghadapi anak yang diduga melakukan suatu tindak pidana.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat kondisi angin yang seperti ini bisa dikatakan pada tanggal 9 November 2017 hujan berpotensi turun dalam waktu yang cukup lama sebab pergerakan angin seperti mendapat

The non-isothermal process in which the sample is heated inside the reactor produced more BO product than the isothermal process, and the oil was of higher quality.. The oil produced

KEWIRAUSAHAAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DI SMK BATIK 2 SURAKARTA. Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penelitian

[r]

Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup penting karena termasuk faktor resiko utama penyakit jantung koroner disamping hipertensi dan merokok. Kebiasaan makan individu..

Jumlah skor yang peneliti peroleh dalam melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL adalah 26 dan skor maksimal 36. Dengan demikian persentase

Kelengkapan dan kualitas bahan koordinasi, mutasi pegawai, analisis jabatan, analisis kinerja organisasi, analisis beban kerja, administrasi jabatan fungsional,

Apa saja yang menjadi tugas komite sekolah sebagai pendukung dalam pelaksanaan MBS di SDN Lamper Tengah 01 Semarang?. Memberikan dukungan fasilitas sarana prasarana serta