• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP 5.1 KESIMPULAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENUTUP 5.1 KESIMPULAN"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

117

BAB V

PENUTUP

Berdasarkan hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka berikut ini penulis mencoba memaparkan beberapa kesimpulan serta mengusulkan beberapa saran, yaitu :

5.1

KESIMPULAN

GKJ (Gereja Kristen Jawa) bersama-sama dengan gereja-gereja lain di Indonesia, menggunakan kata pendeta untuk menyebut salah satu pejabat gereja di lingkungannya dengan pengaruh budaya Jawa yang kuat dengan sistem patriakhalnya. Ternyata pengaruh budaya Jawa juga masuk dalam hidup bergereja. Budaya Jawa yang patriakal, nampak juga dalam hidup bergereja di Gereja Kristen Jawa. Budaya Jawa dalam sistem patriakalnya, sangat mengendalikan kaum perempuan di Gereja Kristen Jawa, sehingga masih banyak gereja-gereja GKJ yang menutup diri terhadap pendeta perempuan.

Istilah pendeta itu dipilih sebagai padanan dari istilah Predikant (Bld) yang berarti pengkhotbah, pengajar; atau Preacher (Ingr) yang juga berarti pengkhotbah. Predikant, karena dihormati, dalam bahasa Belanda disapa dengan

Domine (pria) atau Domina (wanita), keduanya berasal dari akar kata dominus

yang berarti tuan. Preacher disapa dengan Reverend, dari akar kata bahasa Latin

reverendus, yang berarti yang dihormati.

Penggunaan kata pinjaman pendeta yang diambil dari lingkungan budaya Hindu-Jawa seringkali tidak dapat dibersihkan dari makna yang berlaku sebelumnya, yang masih tersisa dalam pemahaman suku bangsa Jawa. Dalam bahasa Jawa, pandhita (asal bhs Sanskrit) diartikan : seseorang yang memiliki pengetahuan rohani penuh, pertapa guru ilmu kesempurnaan (ngelmu kasampurnan). Dalam bahasa Indonesia pendeta diartikan : orang alim, orang yang dalam ilmunya, ahli agama, ahli filsafat. Memang penggunaannya di lingkungan Kristen Protestan, dengan maknanya yang khas, sudah diterima umum

(2)

118 dengan arti pemimpin Agama Protestan atau Ulama Kristen Protestan,1 namun dalam praktik makna lama yang masih hidup ikut membayangi penggunaan ini. Hal itu sering menjadi “beban tambahan” yang tidak mudah disingkirkan oleh para penyandang sebutan pendeta, yang ternyata sering muncul secara spontan dalam komentar warga jemaat pada saat mereka menilai kehidupan seorang pendeta. Misalnya, mengenai gaya hidup yang “terlalu-menduniawi”, sikap hidup yang mengejar-ngejar kemewahan, sikap kurang menerima atau cenderung “mata duitan” bahkan serakah, tidak memberi teladan baik, ikut maunya sendiri dan sebagainya. Pendeta-pendeta GKJ mau tidak mau perlu memperhatikan konteks budaya itu.

Di lingkungan gereja-gereja Kristen Protestan, pendeta secara umum mengemban tugas sebagai Penatua yang mengajar (teaching elder) yang didasarkan pada nats 1 Tim. 5:17. Mengingat tugas khususnya itu, penulis menyebut pendeta sebagai penatalayanan2 atau hamba yang baik untuk memelihara ajaran gereja. Dalam perkembangan sejarah gereja, ternyata untuk mampu mengemban tugas itu seseorang perlu memperoleh pendidikan yang cukup.

Di zaman sekarang, agar dapat mengemban tugas mengajar dengan baik, seorang calon pendeta harus menjalani pendidikan formal selama empat-lima tahun guna menjamin mutu pengajarannya. Di Indonesia pendidikan formal itu disebut pendidikan ilmu teologi. Mereka yang lulus pada tingkat stratum-1 diberi gelar akademis Sarjana Sains Teologi (S. Th.) yang masih digunakan oleh beberapa Sekolah Tinggi Teologi. Dalam pendidikan formal tersebut semua bidang ilmu teologia (Biblika, sistematika, historika, praktika, Teologi Agama-Agama) dipelajari. Sebelum ditahbiskan, calon pendeta menerima pembimbingan dan pendampingan oleh gereja yang memanggilnya bersama klasis.3

Gambaran mengenai pelayanan pendeta yang bersifat penuh waktu dan segenap hidup, secara positif dimaksudkan agar pendeta memusatkan hidupnya

1

Band. Poerwadarminta, W. J. S., Baoessastra Djawa, Batavia : JB. Wolters, 1939, s.v. Pandita, Badudu, Prof. Dr. J. S.&Zain, Prof. Sutan Mohammad, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994, s.v. Pendeta.

2

Penatalayanan, dimaksudkan : abdi atau hamba yang baik, Steward (Ing.)

3

Pdt. Em. Sularso Sopater, D. Th., Sosok Pendeta Sebagai Penatalayanan Ajaran Gereja, dalam Buku Murid, Sahabat, Pelayan, Semarang : GKJ Semarang Timur, 2012, 17-18.

(3)

119 untuk melaksanakan tugas yang diembankan kepadanya, dengan niat batin yang bulat dan fikiran yang tidak bercabang. Jikalau hal ini dapat dilaksanakan, gereja yang dilayani akan terpelihara dengan lebih baik. Hati dan fikiran pendeta tadi tertuju bagi kebaikan gereja yang dilayaninya saja. Apabila pelayanan tidak dijalankan sepenuh waktu, artinya si pendeta pada waktu-waktu tertentu perhatiannya dialihkan ke masalah lain.

Gambaran demikian nampaknya bersifat hiperbolis. Dalam praktek pendeta bekerjasama dengan anggota majelis gereja yang lain, karena ia bukan seorang “single fighter”. Pendeta bahkan harus menjadi fasilitator utama, sehingga

segenap anggota majelis gereja mengambil bagian dalam memikul beban dalam memimpin gereja.

Gambaran yang ideal di atas sepatutnya menjadi visi seorang pendeta. Ia mengkonsolidasi niat untuk melaksanakan atau menetapkan komitmen untuk mengerjakannya hingga menjadi misi pendeta itu. Selanjutnya, ia merencanakan langkah-langkah/tindakan praktis yang dapat diukur untuk mewujudkan visi dan misi itu menjadi nyata.4 Demikian pendeta berusaha untuk bersungguh-sungguh memenuhi tugasnya, dengan memandang kepada Sang Gembala Agung, yang memberi tugas menggembalakan gereja-Nya (1 Pet.5:2-4).

Kriteria pendeta ideal menurut jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan jemaat GKJ Yeremia Depok yang telah dipaparkan, merupakan harapan jemaat terhadap pendeta yang akan melayani. Kriteria pendeta ideal ini muncul di jemaat GKJ khususnya jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan jemaat GKJ Yeremia Depok karena jemaat memandang seorang pendeta adalah seorang teladan bagi jemaatnya, sehingga ketika pendeta melakukan sedikit kesalahan saja maka kesalahan itu akan terus diingat oleh jemaatnya. Selain itu, alasan yang muncul mengapa jemaat GKJ khususnya jemaat GKJ Argomulyo Salatiga dan GKJ Yeremia Depok adalah pengalaman ketika ada pendeta yang ditanggalkan karena kasus-kasus yang dialaminya.

Oleh sebab itu, penulis mendefinisikan pendeta jemaat adalah pendeta yang menjadi sahabat bagi jemaat yang dilayani. Menjadi sahabat berarti mau menaruh

4

Lih. Haggai, John, Lead On, Leadership That Endures in a Changing World, Dallas : Word Publishing, 1986, 13,23.

(4)

120 pikiran, perasaannya terhadap jemaat, selalu memiliki kerendahan hati, ramah tidak pilih kasih, bisa mengayomi jemaat.5

Pendeta adalah seorang pemimpin, dimana seorang pemimpin harus memiliki karakter seorang pemimpin. Seorang pendeta yang memiliki karakter seorang pemimpin dapat dilihat dari kejelasan tujuan/visi untuk melihat bagaimana organisasi di masa mendatang.

Visi yang diambil bisa dikaitkan dengan visi GKJ yang ada, atau bisa juga visi yang dimilikinya adalah harapan ke depannya terhadap gereja yang dilayaninya, atau bisa juga dengan melihat masalah yang muncul di dalam jemaat saat ini.

Oleh sebab itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa kriteria pendeta ideal adalah pendeta yang mau menjadi sahabat bagi jemaatnya, dimana baik pendeta maupun jemaat dapat saling memberikan pertumbuhan iman.

5.2

SARAN

Adapun beberapa saran yang hendak penulis berikan. Saran tersebut adalah : a. Gereja Kristen Jawa, hendaknya berkewajiban membuka diri dengan terus

menerus melakukan penjemaatan pemahaman tentang persamaan gender, sesuai akta sinode GKJ 1964 yang memberikan kebebasan perempuan untuk menduduki jabatan di gereja, sehingga pada saatnya akan muncul pendeta perempuan secara seimbang dengan pendeta laki-laki;

b. Bagi Sinode Gereja Kristen Jawa, perlu melakukan survei ke gereja-gereja yang membutuhkan pendeta. Survei ini bertujuan untuk mengetahui kriteria pendeta ideal di jemaat tersebut, supaya tidak ada bakal calon pendeta yang merasa disakiti dengan diberi pengharapan palsu;

c. Bagi calon pendeta khususnya di GKJ Argomulyo Salatiga dan GKJ Yeremia Depok, diharapkan bisa menjadi pendeta yang ideal bagi jemaatnya, serta merasakan bahwa panggilan sebagai pendeta adalah suatu anugerah yang Tuhan berikan;

d. Bagi program studi Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya

5

Mengayomi yang dimaksudkan adalah memiliki kesediaan berkorban, mengab di, dan melindungi, dan selalu melibatkan diri dalam usaha memecahkan masalah perseorangan atau kelompok.

(5)

121 Wacana Salatiga, dan keterkaitan dengan mata kuliah pastoral masyarakat agar dapat meningkatkan pengkajian-pengkajiannya karena sangat membantu calon-calon pendeta maupun para pendeta untuk dapat bisa menyelesaikan masalah di jemaat dengan cara konseling pastoral.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melakukan studi pendahuluan berupa studi pustaka (mengaji ruang lingkup bahan ajar, prosedur dan prinsip penyusunan modul, ruang lingkup pendidikan kecakapan hidup

Pada pengujian dengan objek defleksi ini dilakukan empat jenis percobaan pada sebuah batang prismatik dengan tumpuan pada kedua ujung divariasikan dimana

Justifikasi Produk furniture yang diproduksi CV Noble Gallery Indonesia tidak termasuk dalam produk yang yang berasal dari bahan baku yang dibatasi

Kami memahami kebimbangan anda dan kami prihatin dan sedia membantu dengan pelan bantuan yang bersesuaian dengan keperluan kewangan anda. Sekiranya kami tidak

e-speaking terdiri dari perintah suara membuka program, menutup program, dan perintah suara mendikte kata dalam microsoft word, yang dapat dilakukan pada menu command, menu

PEMBUATAN SISTEM BATANG KENDALl RSG-GAS. Telall dibuat delapan set bagian sistem mekanik batang kendali RSG-GAS. Bagian mekanik batang kendali RSG-GAS itu berupa pipa

Hasil wawancara yang dilakukan dengan guru kelas di Sekolah Dasar Negeri Banyuanyar III antara lain : menurut Sri Suryani, adanya peningkatan prestasi belajar pada

Pengelompokan Berdasarkan Nilai Investasi (NI) Pengelompokan berdasarkan nilai investasi dengan menghitung jumlah pemakaian dikalikan harga rata-rata obat selama periode