• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STRUKTUR KALIMAT BAHASA JEPANG, FRASA ISHIKEI + TO OMOU DAN JISHOKEI + TSUMORI, SEMANTIK DAN SINONIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STRUKTUR KALIMAT BAHASA JEPANG, FRASA ISHIKEI + TO OMOU DAN JISHOKEI + TSUMORI, SEMANTIK DAN SINONIM"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG STRUKTUR KALIMAT BAHASA JEPANG, FRASA “ISHIKEI + TO OMOU” DAN “JISHOKEI + TSUMORI”, SEMANTIK

DAN SINONIM

2.1 Struktur Kalimat Bahasa Jepang

Setiap bahasa mempunyai aturan-aturannya sendiri yang menguasai hal-hal bunyi dan urutan-urutannya, hal-hal kata dan bentuk-bentuknya, hal-hal kalimat dan susunan-susunannya. Dapat diketahui bahwa bahasa itu merupakan kumpulan aturan-aturan, kumpulan pola-pola, kumpulan kaidah-kaidah atau dengan singkat merupakan sistem (Samsuri, 1983:10).

Untuk dapat menggunakan kalimat dengan baik dan benar, perlu kita pahami terlebih dahulu struktur dasar suatu kalimat. Kalimat adalah bagian ujaran yang memiliki sturktur minimal subjek (S) dan predikat (P) dan intonasinya menunjukkan kalimat itu sudah lengkap dengan makna. Penetapan struktur minimal subjek dan predikat dalam hal ini menunjukkan bahwa kalimat bukanlah semata-mata gabungan atau rangkaian kata-kata yang tidak mempunyai kesatuan bentuk. Kalimat harus mendukung pokok pikiran yang lengkap sebagai pengungkap maksud penuturnya.

Ditinjau dari struktur kalimat dan otografinya (bentuk tulisannya) bahasa Jepang memiliki ciri tersendiri dibandingkan dengan bahasa lain. Susunan struktur kalimat bahasa Jepang adalah subjek-objek-predikat (SOP). Tidak seperti struktur kalimat bahasa Indonesia yang susunannya adalah subjek-predikat-objek (SPO).

(2)

Contoh:

Watashi wa hon wo yomimasu Saya membaca buku

S O P S P O Anata wa mizu wo nomimasu Anda minum air S O P S P O

Dalam contoh kalimat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa struktur kalimat bahasa Jepang berbeda dengan bahasa Indonesia. Partikel yang terdapat dalam bahasa Jepang berfungsi untuk menjelaskan kata yang mengikutinya, seperti partikel “wa” menjelaskan subjek dan partikel “wo” menjelaskan objek dalam kalimat.

Dalam bahasa Jepang, tata bahasa baku kata diklasifikasikan menjadi sepuluh kelas kata. Murakami dalam Dahidi (2004:147) menjelaskan bahwa terdapat sepuluh kelas kata bahasa Jepang, yaitu:

1. Kata benda (meishi = 名詞) 2. Kata kerja (doushi = 動詞)

3. Kata sifat I (I keiyoushi / keiyoushi = い~形容詞) 4. Kata sifat II (na keiyoushi / keiyoudoushi = な~形容詞) 5. Kata keterangan (fukushi = 副詞)

6. Kata petunjuk (rentaishi = 連体詞)

(3)

8. Kata seru (kandoushi = 感動詞) 9. Kata kerja bantu (jodoshi = 助動詞) 10. Kata bantu / partikel (joshi = 助詞)

Menurut Sutedi (2004:48) verba bahasa Jepang dalam bentuk kamus (jishokei) berdasarkan perubahannya digolongkan ke dalam tiga kelompok, yakni: a. Kelompok I

Kelompok ini disebut dengan godan-doushi (五段 動詞) karena mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang yaitu A-I-U-E-O ( あ - い - う -

え - お ). Cirinya yaitu verba yang berakhiran gobi U, TSU, RU, MU, NU, BU, KU, GU, SU ( う, つ, る, む, ぬ, ぶ, く, ぐ, す ). Contoh : - 買う ka-u membeli - 待つ ma-tsu menunggu - 売る u-ru menjual - 書く ka-ku menulis - 泳ぐ oyo-gu berenang - 読む yo-mu membaca - 死ぬ shi-nu mati - 遊ぶ aso-bu bermain

(4)

- 話す hana-su bicara b. Kelompok II

Kelompok ini disebut ichidan-doushi (一 段動 詞) karena perubahannya terjadi hanya dalam satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini yaitu yang berakhiran suara e-ru (e-る) disebut kami ichidan doushi atau berakhiran i-ru (i-る) disebut shimo ichidan doushi.

Contoh: - 食べる tabe-ru makan - 浴びる abi-ru mandi - 寝る ne-ru tidur - 見る mi-ru melihat c. Kelompok III

Verba kelompok III merupakan verba yang perubahannya tidak beraturan sehingga disebut henkaku-doushi (変革 動詞) dan hanya terdiri dari dua verba berikut:

- 来る ku-ru datang - する su-ru melakukan

(5)

2.2 Pemaknaan dan Fungsi Frasa “Ishikei + To Omou” dan “Jishokei + Tsumori”

Keistimewaan lain dari bahasa Jepang adalah banyaknya kata yang mempunyai makna yang hampir sama dengan kata lainnya. Salah satu contoh adalah ishikei + to omou dan jishokei + tsumori yang berarti ‘maksud, niat, rencana, kehendak’. Tetapi apabila kata tersebut digunakan dalam kalimat maka akan terlihat perbedaan-perbedaan yang menonjol, salah satunya adalah perubahan kata kerja atau kata benda yang mengiringi bentuk ishikei + to omou dan jishokei + tsumori.

Perbedaan kedua bentuk maksud ini akan lebih jelas saat digunakan dalam kalimat.

Contoh:

夏休みに日本へ行こうと思っています。

Bermaksud pergi ke Jepang liburan musim panas. 夏休みに日本へ行くつもりです。

Liburan musim panas bermaksud pergi ke Jepang.

Kedua kalimat memiliki makna yang hampir sama yaitu untuk menyampaikan suatu maksud atau berencana, namun terdapat perbedaan terhadap perubahan kata yang mengiringi bentuk to omou dan tsumori.

Kalimat pertama mengandung makna bahwa si pembicara ingin pergi ke Jepang namun bukanlah hal yang mudah karena harus membeli tiket, memesan hotel

(6)

dan lain-lain namun tetap berencana akan pergi di lain waktu, sedangkan kalimat kedua memiliki arti dan pembicara terkesan lebih yakin karena sudah direncanakan dan persiapan pun telah dilakukan seperti membeli tiket, menyewa hotel, dan rute perjalanan (Yoshikawa, 2003:179). Dari kedua kalimat tersebut dapat terlihat perbedaan kandungan makna meskipun ishikei + to omou dan jishokei + tsumori adalah bersinonim.

2.2.1 Makna dan Fungsi “Ishikei + To Omou”

Dalam bahasa Jepang ada bentuk-bentuk frasa yang digunakan untuk menyampaikan keinginan, niat, dan maksud (ishi), dan biasanya tidak dapat berdiri sendiri, seperti yang akan penulis bahas dalam skripsi ini. Frasa ini biasanya tidak digunakan sendirian tetapi berkonjugasi dengan –to omou dan omou merupakan golongan doushi. Dalam buku A Dictionary Of Basic Japaneses Grammar, Seiishimakino dan Tsutsui dalam Simanjuntak (2010:17) meegklasifikasikan verba secara semantik menjadi beberapa jenis, antara lain:

1. Verba stative (menyatakan diam / tetap)

Verba ini menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersamaan dengan verba bantu –iru.

Contoh:

- いる iru (ada)

- できる dekiru (dapat)

(7)

2. Verba Contional (menyatakan selalu, terus menerus)

Verba ini berkonjugasi dengan verba bantu –iru untuk menunjukkan aspek pergerakan.

Contoh:

- 食べるtaberu (makan)  食べている tabete iru (sedang makan)

- 飲むnomu (minum)  飲んでいるnonde iru (sedang minum)

3. Verba Punctual (menyatakan tepat pada waktunya)

Verba ini berkonjugasi dengan verba bantu –iru untuk menunjukkan tindakan atau perbuatan yang berulang-ulang atau suatu tingkatan / posisi setelah melakukan suatu tindakan atau penempatan suatu benda.

Contoh:

- 知るshiru (tahu)  知っている shitte iru (mengetahui)

- 打つutsu (memukul)  打っている utte iru (memukuli)

4. Verba Volitional (menyatakan kemauan / keinginan)

Verba ini digunakan untuk menyatakan niat, kemauan, rencana, maksud dan berkonjugasi dengan –to omou dan terjadi perubahan bentuk dari verba yang mengikutinya.

(8)

Contoh:

- 行くiku (pergi)  行こうと思うikou to omou (berniat pergi)

- 入るhairu (masuk)  入ろうと思うhairou to omou (berniat masuk)

5. Verba Movemen (menyatakan pergerakan)

Verba ini menunjukkan pergerakan. Contoh:

- 走る hashiru (berlari) - 行く iku (pergi) 2.2.2 Makna dan Fungsi “Jishokei + Tsumori”

Kata ungkapan tsumori termasuk dalam golongan keshiki meishi yang berada dalam kelas kata meishi. Sakakura dalam Cahjadi (2009:14) membagi meishi menjadi empat jenis. Pembagian tersebut yaitu:

1. Futsuu meishi (普通名詞) yaitu nomina yang menyatakan nama-nama benda, barang, peristiwa, dan sebagainya yang bersifat umum, misalnya: Hon, kutsu, tsukue, isu.

2. Keishiki meishi (形式名詞), yaitu nomina yang menerangkan fungsinya secara formalitas tanpa memiliki hakekat atau arti yang sebenarnya sebagai nomina, misalnya:

(9)

3. Suushi ( 数 詞 ), yaitu nomina yang menyatakan bilangan, jumlah, kuantitas, dan urutan, misalnya:

Hitotsu, ni, yotsu, rokko, sangoo, daiichi.

4. Daimeishi (代名詞), yaitu kata-kata yang dipakai sebagai pengganti nama orang, barang, benda, perkara, arah, tempat dan sebagainya. Misalnya: Watakushi, anata, kore, koko, kare.

Berdasarkan pengelompokkan verba tersebut, Yoshikawa (2003:2) berpendapat bahwa tsumori merupakan salah satu dari keishiki meishi (形式名詞). Keishiki meishi yaitu nomina yang menerangkan fungsinya secara formalitas tanpa memiliki hakekat atau arti yang sebenarnya sebagai nomina, misalnya :

Koto, mono, wake, bakari, hodo, gurai

Izumi dalam Yoshikawa (2003:1) menjelaskan definisi keshiki meishi adalah sebagai berikut:

“Kata yang kehilangan makna sebenarnya dan menjadi kata benda yang hanya memiliki peranan secara formalitas dengan syarat, jika dipadukan dengan kata lain maka akan memiliki fungsi yang sangat penting dalam tata bahasa.”

Selain itu, Terada dalam Sudjianto dan Dahidi ( 2004:160) juga mendefinisikan keishiki meishi sebagai berikut:

(10)

“Keishiki meishi adalah nomina yang menerangkan fungsinya secara formalitas tanpa memiliki hakekat atau arti sebenarnya sebagai nomina.”

Yoshikawa (2003:177) menyebutkan bahwa tsumori pada tahap awal mengeskpresikan keinginan pembicaranya. Fungsi hyougen ini mirip dengan bentuk kalimat to omou. Contohnya, frase iku tsumori desu mengekspresikan keinginan pembicaranya untuk pergi, yang mana memiliki kegunaan yang mirip dengan ikou to omou. Kemiripan inilah yang akan dibahas oleh penulis dalam skripsi ini.

2.2.3 Konsep Hyougen

Pola kalimat yang berkaitan dengan hyougen (ungkapan) biasanya digunakan dalam kalimat, maka yang disebut dengan kalimat adalah struktur ekspresi bahasa atau gengo hyougen no kata (言語表現の型). Metode dalam pengajaran bahasa pada pendidikan bahasa Jepang , berbagai macam ekspresi bahasa disusun dalam tipe yang sederhana dalam jumlah yang terbatas, dengan mempertimbangkan ekspresi dan tingkat kesulitannya dan memperkenalkannya dalam urutan yang sudah ditentukan, mengubahnya dan secara berurutan mendekati hyougen yang rumit. (Takamizawa, 1997:112)

Berdasarkan pada sudut pandang bahasa, pola kalimat diatur dalam jenis sebagai berikut: kelas kata atau hinshi (品 詞), konjugasi atau katsuyo (活 用), partikel atau joshi (助 詞), dan kata kerja bantu atau jodoushi (助 動 詞). Dikelompokkan dari struktur kalimat yang dasar dan sederhana hingga menjadi struktur kalimat majemuk dan rumit.

(11)

2.3 Studi Semantik

2.3.1 Pengertian Semantik

Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics, dari bahasa Yunani sema (nomina) ‘tanda’: atau dari verba samaino ‘menandai’, ‘berarti’. Istilah tersebut digunakan para pakar bahasa untuk menyebut bagian ilmu bahasa yang mempelajari makna. (Djajasudarma, 2008:1)

Menurut Sutedi (2004:111), semantik (imiron / 意味論) merupakan salah satu cabang linguistik (gengogaku / 言 語 学) yang mengkaji tentang makna. Semantik memegang peranan penting dalam berkomunikasi, karena bahasa yang digunakan dalam komunikasi tiada lain untuk menyampaikan suatu makna.

Objek kajian semantik antara lain makna kata (go no imi), relasi makna antar satu kata dengan kata lainnya (go no imi kankei) , makna frase (ku no imi) dan makna kalimat (bun no imi).

2.3.2 Jenis-jenis Makna Dalam Semantik

Ada banyak jenis atau tipe makna menurut beberapa ahli linguistik, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Makna leksikal dalam bahasa Jepang disebut jishoteki imi (辞書的意味) atau goiteki imi (語彙的意味). Pengertian makna leksikal (lexical meaning, semantic

(12)

meaning, external meaning) adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain; makna leksikal ini memiliki unsur-unsur bahasa secara tersendiri, lepas dari konteks (Djajasudarma, 1999:13). Ada juga yang mengatakan bahwa makna leksikal adalah makna kamus. Misalnya kata hon (本) dan gakusei (学生) memiliki makna leksikal ‘buku’ dan ‘pelajar’.

Makna gramatikal dalam bahasa Jepang disebut juga dengan bunpouteki imi (

文法的意味). Menurut Djajasudarma (1999:13) makna gramatikal (bhs. Inggris – grammatical meaning, functional meaning, structural meaning, internal meaning) adalah makna yang menyangkut ubungan intra bahasa, atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat.

Menurut Sutedi (2004:115), dalam bahasa Jepang partikel atau joshi (助詞) dan kopula atau jodoushi (助動詞) tidak memiliki makna leksikal, tetapi memiliki makna gramatikal, sebab baru jelas maknanya jika digunakan dalam kalimat. Misalkan partikal atau joshi [と to] secara leksikal tidak jelas artinya, namun pada saat digunakan dalam kalimat sebagai berikut:

私は先生と話します。

Watashi wa Sensei to hanashimasu.

Saya berbicara dengan guru.

Verba dan adjektiva memiliki dua jenis makna tersebut, misalnya pada kata atsui (暑い) dan aruku (歩), bagian gokan : [atsu] dan [aru] bermakna leksikal

(13)

‘panas’ dan ‘berjalan’, sedangkan gobi-nya yaitu [い i] dan [くku] sebagai makna gramatikalnya.

2. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Dalam bahasa Jepang, makna denotatif adalah meijiteki imi (明示的意味) atau gaien (外縁). Makna denonatif adalah makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa (objek atau gagasan), dan dapat dijelaskan oleh analisis komponen (Kridalaksana, 2008:149).

Sedangkan makna konotatif dalam bahasa Jepang adalah anjiteki imi (暗示

的 意 味) tau naihou (内 包). Makna konotatif yaitu makna yang ditimbulkan perasaan atau pikiran pembicara dan lawan bicara. Perbedaan makna denotatif dan konotatif dapat kita lihat dari contoh berikut ini:

- Ureshii (うれしい) dan tanoshii (楽しい)

Makna denotatif dari kedua kata tersebut sama, karena memiliki referen yang sama yaitu ‘senang’, tetapi nilai rasa berbeda. Kata ureshii merujuk pada rasa gembira yang biasanya disertai rasa terharu, tanoshii lebih kepada rasa senang yang ada prosesnya.

(14)

Makna denotatif kedua kata tersebut sama yaitu ‘ayah’, tetapi nilai rasa berbeda. Kata chichi digunakan lebih formal dan halus, oyaji terkesan lebih akrab dan dekat.

3. Makna Dasar dan Makna Perluasan

Makna dasar disebut dengan kihon-gi (基本義) merupakan makna asli yang dimiliki oleh suatu kata. Makna asli yang dimaksud adalah makna bahasa yang digunakan pada masa sekarang ini. Hal ini perlu ditegaskan karena berbeda dengan gen-gi (原義) atau makna asal. Dalam bahasa Jepang modern banyak sekali makna asal suatu kata yang sudah berubah dan tidak digunakan lagi. (Sutedi, 2004:116)

Makna perluasan atau disebut juga dengan ten-gi ( 義 ) merupakan makna yang muncul sebagai hasil perluasan dari makna dasar, diantaranya akibat penggunaan secara kiasan atau majas (hiyu).

4. Makna Kontekstual

Makna kontekstual (contextual meaning, situational meaning) adalah hubungan antar ujaran dan situasi di mana ujaran itu dipakai (Kridalaksana, 2008:149). Sehubungan dengan hal itu Parera (2004:47) berpendapat bahwa makna sebuah kata terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu.

Lebih lanjut, Parera mengatakan teori kontekstual mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks.

(15)

Dalam skripsinya Roma Tiodolores (2012:36-37) menulis, konteks yang dimaksud adalah (a) konteks perorangan, dalam hal ini berkaitan dengan jenis kelamin, kedudukan pembicara, usia pendengar/pembicara, latar belakang social ekonomi pendengar/pembicara; (b) konteks situasi, misalnya situasi aman, situasi ribut, dan lain-lain; (c) konteks tujuan, seperti meminta, mengahrapkan sesuatu; (d) konteks formal/tidaknya pembicara; (e) konteks suasana hati pembicara /pendengar, misalnya, takut, gembira, jengkel; (f) konteks waktu misalnya malam, pagi; (g) konteks tempat, apakah tempatnya di pasar, di sekolah atau di luar bioskop; (h) konteks objek, maksudnya apa yang menjadi fokus pembicaraan; (i) konteks alat kelengkapan pembicara/pendengar pada pembicara/pendengar; (j) konteks kebahasaan, maksudnya apakah memenui kaidah bahasa yang digunakan kedua belah pihak; dan (k) konteks bahasa, bahasa apa yang digunakan. (Pateda, 2001:116) 5. Makna Tekstual

Menurut Pateda (2001:129), makna tekstual (textual meaning) adalah makna yang timbul setelah membaca teks secara keseluruhan. Makna tekstual tidak diperolah hanya melalui makna setiap kata atau pun setiap kalimat, tetapi makna tekstual dapat ditemukan setelah sesorang membaca keseluruhan teks. Dengan demikian makna tekstual lebih berhubungan dengan bahasa tertulis. Orang harus membaca teks secara keseluruhan, setelah itulah baru maknanya dapat ditentukan. Makna tekstual lebih berhubungan dengan amanat, pesan, atau boleh juga tema yang ingin disampaikan melalui teks.

(16)

Salah satu hubungan antara satu makna dan makna lain secara leksikal adalah sinonim. Secara etimologi, sinonim atau dalam bahasa Inggris synonym berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma atau ‘nama’ dan syn ‘dengan’. Secara harafiah, kata sinonim berarti nama lain untuk benda atau hal yang sama. (Chaer, 1995:82)

Dalam bahasa Jepang sinonim disebut dengan ruigigo. Pengertian ruigigo menurut Shirou (1984:969) adalah:

“katachi wa chigau ga, arawasu imi ga daitai nikayotteiru tango. Tatoeba jikan to jikoku ….nado.”

Artinya, yang dimaksud dengan sinonim adalah kata yang memiliki bentuk berbeda tetapi mengandung pengertian atau makna yang hampir sama. Misalnya kata jikan, jikoku, dan lain-lain.

Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian sinonim (ruigigo) adalah beberapa kata yang memiliki makna yang hampir sama. Berbicara mengenai kesamaan makna, ada prinsip semantik yang mengatakan bahwa apabila bentuk berbeda maka makna pun berbeda, walaupun perbedaan hanya sedikit. Begitu pun dengan kata yang bersinonim (ruigigo) karena setiap kata yang mempunyai bentuk yang berbeda maka maknanya pun tidak persis sama.

Referensi

Dokumen terkait

bertujuan untuk meningkatkan kreatifitas anak-anak Dusun Salakan. Selama pelaksanaan kegiatan berjalan dengan lancar yang dilaksanakan. pada beberapa waktu yang

Penentuan ciri adjektiva yang dikemukakan oleh Keraf (1982) tidak terlalu jauh berbeda dengan uraian di atas. Pada dasarnya dalam bahasa Indonesiaa ciri adjektiva ini dapat

Tahap ini berupa studi dokumen tentang hasil belajar siswa, wawancara dengan siswa mengenai permasalahan yang mereka hadapi dalam pembelajaran AQIDAH AKHLAK di

Sesuai UU No.23 tahun 2011 BAZNAS mengumpulkan zakat, infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya. Dalam pengumpulan dana BAZNAS melakukan sosialisasi zakat ke

Pada perusahaan dagang yang merupakan pendapatan adalah hasil penjualan barang dagangan yang dilakukan perusahaan baik tunai maupun kredit selama periode tertentu.. Ada dua (2)

Gambaran Kadar Asam Urat Pada Pasien Tuberkulosis Dengan Terapi Obat Anti Tuberkulosis (Oat) Di Puskesmas Cempaka Maret 2017.. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien

Anketni upitnik pokazao je kako učenici prvog i trećeg razreda vole nastavu glazbene kulture te je svim učenicima na održanim satima bilo zanimljivo što je i potvrđeno

Hasil penelitian Soetjininerit, (2A0q menunjukan bahwa faktor-faktor yang rnempengaruhi perilaku seks pranikah remaja adalah hubungan orang tua-remaja, tekanan negatif