• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

56 BAB 5

ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN 5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan

Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai sejak tahun 1970-an, ketika hak pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani. Saat itu terjadi tumpang tindih antara hutan-hutan milik Perhutani dan hutan adat milik Kasepuhan. Pada tahun 1974, kawasan Kasepuhan dengan dipimpin oleh Ki Ardjo berpindah ke daerah Ciganas, Desa Sirna Rasa. Akan tetapi kawasan ini sudah termasuk dalam kawasan Perhutani. Persoalan mulai terjadi saat aparat keamanan melihat incu putu (masyarakat adat) Kasepuhan mulai membuka huma dengan membabat bukit-bukit di daerah penyangga. Namun hal ini tidak menjadi persoalan yang berkepanjangan, mengingat saat itu, hubungan antara pihak Kasepuhan dengan Perhutani dan pemerintah daerah setempat terjalin dengan baik.

Keributan mengenai pemukiman dan perladangan yang berpindah-pindah dimulai sejak Kasepuhan dipimpin oleh Abah Anom pada tahun 1983 yang memindahkan Kasepuhan ke Cipta Rasa yang termasuk dalam blok Datar Putat. Abah Anom dianggap telah menyerobot lahan milik Perhutani tanpa izin dan membuka areal yang tadinya merupakan hutan utuh. Permasalahan diselesaikan dengan menyelenggarakan musyawarah yang mempertemukan pihak Kasepuhan dengan Perhutani. Hasilnya, masyarakat Kasepuhan masih diperbolehkan untuk tetap tinggal di wilayah adatnya sesuai dengan wangsit dari karuhun yang belum ‘memerintahkan’ untuk pindah. Namun, Abah Anom harus menukarkan tanahnya seluas hampir 16.000 m2 di Ciarca untuk mengganti wilayah Perhutani di Cipta Rasa (blok Datar Putat). Tapi pihak kehutanan mengizinkan incu putu untuk menggarap wilayah di Ciarca tersebut dengan sistem tumpang sari.

Permasalahan yang terjadi dengan Perhutani tidak hanya mengenai persoalan lahan. Ada permasalahan lain yang terjadi. Menurut Wa UGS, permasalahan muncul ketika Perhutani menjadikan kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai kawasan hutan produksi. Padahal menurut peraturan adat Kasepuhan, di dalam kawasan hutan titipan (leuweung titipan) tidak boleh ada

(2)

57 kegiatan ekonomi termasuk untuk produksi massal, bertentangan dengan fungsi hutan produksi Perhutani yang memfungsikan kawasan hutan tersebut untuk kegiatan ekonomi. Namun, permasalahan ini tidak sampai menimbulkan konflik yang keras, karena bisa diselesaikan dengan baik, dan Perhutani memindahkan lokasi hutan produksinya ke luar wilayah hutan titipan. Selain itu, pihak Perhutani juga masih mengizinkan incu putu (masyarakat adat Kasepuhan) untuk menggarap hutan produksi dengan sistem tumpang sari. Seperti yang dituturkan oleh Wa UGS (64 tahun) Tokoh Adat Kasepuhan.

“Konflik terjadi dengan Perhutani, ketika Perhutani mengklaim kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai hutan produksi. Namun, konflik tidak terlalu keras, karena Perhutani melepas klaimnya atas hutan titipan, dan menggantinya dengan hutan diluar hutan titipan dan masyarakat masih diizinkan untuk menggarap lahan dengan sistem tumpang sari.”

Pemerintah mengeluarkan SK. Menteri Kehutanan No.282 tahun 1992 yang mengacu pada UU pokok Kehutanan No.5/1967 dan UU Konservasi dan Sumberdaya Hayati No.5/1990 yang menetapkan kawasan Gunung Halimun seluas 40.000 hektar sebagai kawasan taman nasional di bawah pengelolaan sementara Balai Taman Nasional (BTN) Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun, seperti yang dipaparkan dalam www.tnhalimun.go.id. Sejak berlakunya surat keputusan tersebut, pihak balai taman nasional mulai membatasi segala kegiatan pendayagunaan oleh manusia, termasuk di dalamnya pelarangan pengambilan kayu bakar, tanaman untuk obat-obatan, dan hasil hutan lainnya oleh masyarakat sekitar kawasan. Selain itu, pengusiran secara halus pun dilakukan kepada masyarakat yang wilayah pemukimannya masuk dalam zona-zona taman nasional. Hal ini dialami oleh masyarakat adat Kasepuhan Cipta Gelar, di mana seluruh kawasan adat masuk ke dalam kawasan taman nasional. Lain halnya dengan Kasepuhan Cipta Gelar, yang seluruh kawasan adatnya masuk ke dalam kawasan taman nasional, kawasan Kasepuhan Sinar Resmi yang masuk dalam kawasan taman nasional, zona rimba dan zona rehabilitasi, ’hanya’ kawasan lahan garapan warga saja, termasuk di dalamnya talun, huma dan sawah.

(3)

58 Keadaan bertambah parah saat pemerintah mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/kpts-II/ 2003, tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi 113.357 hektar. Banyak lahan garapan maupun pemukiman masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang akhirnya masuk dalam kawasan konservasi sehingga kegiatan pertanian pun menjadi terbatas. Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-Ii/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, dilarang adanya kegiatan penebangan oleh siapapun di wilayah inti taman nasional. Pembagian zonasi taman nasional bedasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-Ii/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional adalah sebagai berikut:

1. Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.

2. Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.

3. Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.

4. Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.

5. Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.

6. Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasionai yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan

(4)

59 atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.

7. Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindari telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.

Berdasarkan pembagian zonasi, masyarakat tidak diperbolehkan mengambil kayu maupun memanfaatkan lahan untuk pertanian. Ditambah dengan tidak adanya sosialisasi terhadap masyarakat sehingga tidak terdapat kejelasan mengenai batas-batas zonasi di lapangan, membuat masyarakat yang mengambil kayu yang biasanya dilakukan di hutan titipan sesuai dengan izin ketua adat untuk pembangunan pemukiman karena hutan tersebut masuk dalam kawasana inti maka kegiatan masyarakat dianggap sebagai illegal logging.

Masyarakat adat sendiri menganggap bahwa sistem zonasi yang dibuat oleh taman nasional sama artinya dengan sistem pengelolaan hutan secara adat, terutama untuk zona inti dan hutan tutupan Kasepuhan. Namun, permasalahannya adalah ketika kebun, ladang, sawah dan pemukiman masyarakat dijadikan zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Masyarakat adat tidak boleh tinggal dan berada di kawasan zona rimba dan zona rehabilitasi karena zona rimba berfungsi sebagai kawasan yang mendukung zona inti dan zona rehabilitasi berfungsi untuk pemulihan ekosistem hutan. Pentingnya kawasan kebun, sawah, dan ladang masyarakat adat dalam memenuhi kebutuhan hidup, memaksa masyarakat tetap berada di lahan garapan dan mengolah lahan seperti biasanya walaupun harus dengan cara ”sembunyi-sembunyi” karena takut ditangkap.

Sejak ratusan tahun lalu, masyarakat adat Kasepuhan telah melakukan pengelolaan hutan yang diklaim sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Bentuk pemanfaatan yang dilakukan masyarakat adat Kasepuhan antara lain; pemanfaatan kayu bangunan, kayu bakar, tumbuhan obat, tanaman makanan, keperluan budaya (seren taun), pakan ternak, tanaman hias, satwa (burung dan babi hutan), kerajinan tangan, dan penambangan emas secara tradisional. Secara

(5)

60 tiba-tiba, pemerintah mengklaim hutan milik masyarakat sebagai bagian dari taman nasional, dan dilakukan secara sepihak tanpa sepengetahuan masyarakat Kasepuhan dan mengancam kehidupan masyarakat. Selain itu, konflik pemanfaatan lahan pun terjadi karena sempitnya lahan garapan masyarakat Kasepuhan akibat pengklaiman lahan sebagai taman nasional. Namun, terdesak oleh kebutuhan hidup yang harus tetap berlanjut, masyarakat tetap mengelola lahan tersebut, seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi yang tinggal di Kampung Cimapag. Masyarakat adat Kasepuhan di Kampung Cimapag masih diperbolehkan mengelola lahan, namun dengan persyaratan harus menanam tanaman pohon-pohon kayu keras, seperi rasalama dan mahoni. Walaupun masyarakat masih diperbolehkan mengelola lahan, hasil pertanian yang didapatkan banyak yang gagal. Menurut masyarakat hasil pertanian yang gagal, seperti panen pisang, terjadi karena diserang oleh babi hutan yang diduga masyarakat sengaja dikembangbiakan oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di dalam hutan Halimun, karena sebelum adanya taman nasional babi hutan tidak ada di hutan Halimun. Seperi yang diungkapkan oleh Bapak RDI (55 tahun) yang bekerja sebagai petani.

“Setiap kami menanam pisang, hasil panen selalu gagal. Hasil panen dimakan oleh Babi Hutan. Padahal, dahulu di dalam kebun tidak ada Babi Hutan. Babi Hutan itu adalah hasil ternak taman nasional. Secara sengaja, Babi Hutan tersebut diternak untuk merusak tanaman warga”

Dalam perjalanannya, kemudian pihak taman nasional mulai memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk ke dalam kawasan konservasi di berbagai titik, termasuk di depan rumah warga dan di kebun masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menakuti-nakuti masyarakat bahwa sewaktu-waktu masyarakat dapat diusir dari tempat hidupnya karena pemukimannya masuk dalam wilayah taman nasional.

Pada tahun 2007 terjadi juga penangkapan terhadap warga Kasepuhan yang tinggal di Kampung Cibalandongan karena mengambil kayu dari kebun miliknya sendiri, karena dianggap telah merusak kawasan taman nasional. Warga tersebut ditahan selama 10 bulan penjara. Setelah itu, ada pula warga Kampung Lebak Nangka pada tahun 2008 juga ditangkap karena mengambil kayu di kebun

(6)

61 sendiri. Padahal sebelum adanya taman nasional, lahan kebun termasuk pohon yang di dalamnya adalah milik warga, karena sejak wilayah tersebut masih dimiliki oleh Perhutani, warga boleh menggarap lahan tersebut dan menanam pohon kayu-kayuan dengan sistem tumpang sari. Seperti yang dinyatakan oleh Tokoh Adat, Wa UGS (64 tahun).

“Kami seperti pencuri di tanah milik sendiri, seperti tamu di rumah sendiri. Padahal kami telah tinggal di sini sebelum ada taman nasional, bahkan sebelum Indonesia merdeka, kami sudah tinggal di sini. Tapi mengapa mengambil hasil yang kami tanam sendiri membuat kami ditangkap?”

Sudah ada empat kasus penangkapan yang dikarenakan mengambil kayu di kebunnya sendiri, dan hingga saat ini (tahun 2010) masih ada warga yang ditahan oleh kepolisian, yaitu satu orang warga Kasepuhan Cipta Gelar di Kampung Lebak Nangka. Seperti yang diutarakan oleh Bapak PPN (53 tahun) Tokoh Masyarakat dari Kampung Lebak Nangka, dalam dialog interaktif kader lingkungan hidup di Kasepuhan Cipta Gelar pada tanggal 31 Agustus 2010.

“Lahan garapan masyarakat dirampas oleh taman nasional. Jika itu merupakan hak taman nasional, maka akan kami beri, tetapi tidak untuk lahan garapan. Tolong diselesaikan dengan baik. Ditakutkan, jika hak masyarakat dirampas, maka akan terjadi keributan. Bapak Dirjen pernah berkata, silahkan mengambil pohon yang ditanam di kebun sendiri. Namun, kenyataannya sudah ada empat kasus penangkapan karena menebang pohon yang ditanam di kebun sendiri.”

Menurut Bapak PPN (53 tahun) Tokoh Masyarakat, penetapan kawasan taman nasional tersebut tidak dikompromikan dengan masyarakat dan tata batas wilayahnya juga tidak jelas. Hal ini dapat memicu keributan, karena tidak sedikit lahan garapan masyarakat yang masuk dalam kawasan taman nasional.

Sebenarnya masyarakat tidak menolak dengan adanya kawasan konservasi di wilayah adat mereka. Bahkan mereka sangat mendukung dan merasa satu tujuan dengan balai taman nasional karena ingin melindungi kawasan Gunung Halimun. Namun, masyarakat menolak, jika lahan garapan mereka dan pemukiman mereka diklaim sebagai kawasan taman nasional dan mereka ditangkap ketika mengambil kayu yang mereka tanam sendiri. Masyarakat merasa bahwa lahan garapan dan pemukiman mereka adalah hak mereka karena mereka

(7)

62 telah mendiami kawasan tersebut sejak lama. Ketika ada kasus penangkapan orang yang dituduh melakukan illegal logging, masyarakat merasa takut untuk kembali mengambil kayu di lahan mereka, namun lama kelamaan mereka melawan karena mereka tidak merasa bersalah dan merasa dengan melawan atau tidak akan tetap ditangkap oleh polisi kehutanan. Setidaknya mereka puas telah mempertahankan hak mereka walaupun pada akhirnya mereka tetap ditangkap ketika melakukan pengambilan kayu.

(8)

63 Tabel-6 Peta Sejarah Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Waktu Kejadian Pihak yang Berkonflik Kronologis Keterangan

Tahun 1970-an Perhutani dan

Masyarakat Adat Kasepuhan

Konflik terjadi ketika hak pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani. Terjadi tumpang tindih antara hutan-hutan milik Perhutani dan hutan adat milik masyarakat adat.

Tahun 1974 Kawasan Kasepuhan pindah ke daerah Ciganas, dan masyarakat Kasepuhan membuka areal perbukitan untuk huma, serta dianggap menyerobot lahan milik Perhutani.

Hal ini tidak menjadi persoalan yang berkepanjangan, mengingat saat itu, hubungan antara pihak Kasepuhan dengan Perhutani dan pemerintah daerah setempat terjalin dengan baik

Tahun 1983 Permasalahan terjadi ketika wilayah Kasepuhan yang dipimpin oleh Abah Anom kembali berpindah ke Cipta Rasa. Masyarakat membuka areal hutan utuh milik Perhutani untuk pemukiman dan ladang baru.

Permasalahan diselesaikan dengan menyelenggarakan musyawarah yang mempertemukan pihak Kasepuhan dengan Perhutani. Hasilnya, masyarakat an masih diperbolehkan untuk tetap tinggal di wilayah adatnya sesuai dengan wangsit

dari karuhun yang belum

‘memerintahkan’ untuk pindah. Namun, Abah Anom harus menukarkan tanahnya seluas hampir 16.000 m2 di Ciarca untuk mengganti wilayah Perhutani di Cipta Rasa (blok Datar Putat). Tapi pihak kehutanan mengizinkan incu putu untuk menggarap wilayah di Ciarca tersebut dengan sistem tumpang sari.

Tahun 1992 Taman Nasional Gunung Halimun dengan

Masyarakat Adat Kasepuhan

Pemerintah mengeluarkan SK.Menhut No. 282 Tahun 1992yang menetapkan kawasan Halimun seluas 40.000 ha sebagai kawasan taman nasional di bawah pengelolaan sementara Balai Taman Nasional

(9)

64 (BTN) Gunung Gede Pangrango dengan nama

Taman Nasional Gunung Halimun.

Sejak berlakunya surat keputusan tersebut, pihak BTN mulai membatasi segala kegiatan pendayagunaan oleh manusia, termasuk di dalamnya pelarangan pengambilan kayu bakar, tanaman untuk obat-obatan, dan hasil hutan lainnya oleh masyarakat sekitar kawasan.

Selain itu, pengusiran secara halus pun dilakukan kepada masyarakat yang wilayah pemukimannya masuk dalam zona rehabilitasi taman nasional. Hal ini dialami oleh masyarakat adat Kasepuhan Cipta Gelar, di mana seluruh kawasan adat masuk ke dalam kawasan taman nasional.

Lain halnya dengan Kasepuhan Cipta Gelar, yang seluruh kawasan adatnya masuk ke dalam kawasan taman nasional, kawasan Kasepuhan Sinar Resmi yang masuk dalam kawasan taman nasional ’hanya’ kawasan lahan garapan warga saja, termasuk di dalamnya talun, huma dan sawah.

Tahun 2003 Pemerintah mengeluarkan SK Menhut No. 175

Tahun 2003 tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi 113.357 ha. Banyak lahan garapan maupun pemukiman masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang akhirnya masuk dalam kawasan konservasi sehingga kegiatan pertanian pun menjadi terbatas.

kemudian pihak taman nasional mulai memasang plang pelarangan masuk kawasan konservasi di

(10)

65 berbagai titik, termasuk di depan rumah warga dan di

kebun masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menakuti-nakuti warga bahwa sewaktu-waktu warga dapat diusir dari tempat hidupnya karena pemukimannya masuk dalam wilayah taman nasional.

Tahun 2007 Terjadi penangkapan warga Cibalandongan karena

diduga melakukan illegal logging, warga tersebut ditahan selama 10 bulan.

Tahun 2008 Terjadi kembali penangkapan warga Lebak Nangka,

diduga pula melakukan illegal logging di kawasan taman nasional.

Tahun 2010 Masih ada warga Kasepuhan di dusun Lebak Nangka

yang ditahan oleh kepolisian, dan belum dibebaskan. Selain itu, masyarakat adat Kasepuhan di Kampung Cimapag menduga taman nasional mengembang-biakan babi hutan di hutan untuk mengganggu tanaman masyarakat sehingga gagal panen.

(11)

66 Konflik kehutanan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah terjadi sejak pemerintah turut campur dalam pengelolaan hutan. Berbedanya sistem pengelolaan hutan yang diterapkan oleh pemerintah dalam hal ini Perhutani dan Balai Taman Nasional dengan Masyarakat Adat Kasepuhan, khususnya dalam zona rehabilitasi atau hutan bukaan Kasepuhan menjadi salah satu penyebab konflik. Selain itu, ada pula perbedaan penafsiran dan penggunaan istilah dalam peraturan yang tercantum dalam peraturan pemerintah dan peraturan adat.

2.4 Peta Konflik Sumberdaya Hutan

Analisa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dalam dilakukan dengan pendekatan pemetaan konflik. Fisher et al. (2001) menyatakan bahwa pemetaan konflik memiliki tujuan untuk memahami situasi yang baik, melihat hubungan diantara berbagai pihak secara jelas, menjelaskan letak kekuasaan, memeriksa keseimbangan masing-masing kegiatan atau reaksi, melihat para sekutu yang potensial berada dimana, mengidentifikasi mulainya intervensi atau tindakan dan untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan.

2.4.1 Pihak-pihak yang Terlibat dalam Konflik

Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dimulai sejak tahun 1954 hingga tahun 2010 dengan pihak-pihak yang selalu berganti di setiap masanya. pihak tersebut memiliki kepentingan yang pasti berbeda. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun adalah sebagai berikut:

1. Perhutani

Perhutani Sebagai Badan Usaha Milik Negara, berbentuk Perusahaan Umum pengelola sumberdaya hutan di pulau Jawa dan Madura yang berperan mendukung sistem kelestarian lingkungan, sistem sosial budaya dan sistem perekonomian masyarakat perhutanan di Jawa dan Madura. Wilayah kerja Perhutani adalah kawasan hutan negara di Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Jawa Barat dan Banten seluas 2.426.206 hektar. Luas hutan yang dikelola Perhutani tidak termasuk kawasan hutan suaka alam dan hutan wisata yang dikelola oleh Kementrian Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Pelestarian Alam (PHPA)

(12)

67 (www.perumperhutani.com). Dasar hukum yang digunakan dalam mengelola hutan di pulau Jawa adalah Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani). Sifat usaha merupakan dua misi yaitu mengusahakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

Perhutani mulai mengelola kawasan Gunung Halimun sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1983, masyarakat dianggap telah menyerobot lahan milik Perhutani tanpa izin dan membuka areal yang sebelumnya merupakan hutan utuh. Namun, permasalahan diselesaikan dengan musyawarah yang mempertemukan keduanya dan menghasilkan kesepakatan bahwa masyarakat adat masih diperbolehkan untuk menggarap lahan dengan sistem tumpang sari. Selain itu, ada permasalahan lain yang muncul, ketika Perhutani menjadikan hutan titipan masyarakat sebagai hutan produksi. Padahal menurut adat Kasepuhan hutan titipan adalah hutan yang tidak memperbolehkan adanya kegiatan ekonomi di dalamnya, bertentangan dengan fungsi hutan produksi Perhutani yang dikhususkan untuk kegiatan ekonomi. Namun pada tahun 1992, pemerintah mengalihkan pengelolaan Gunung Halimun kepada Balai Taman Nasional Gunung Pangrango, dan menjadikan kawasan yang sebelumnya adalah wilayah kerja Perhutani di kawasan Gunung Halimun sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Halimun melalui SK Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992.

2. Masyarakat Adat

Definisi masyarakat adat menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara merupakan kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Secara lebih sederhana, masyarakat adat dapat disebut sebagai masyarakat yang terikat secara oleh hukum adat, keturunan, dan tempat tinggal (CIFOR, 2002).

Masyarakat adat Kasepuhan yang berada di kawasan Gunung Halimun tergabung dalam Komunitas Masyarakat Adat Banten Kidul, karena berasal dari keturunan leluhur yang sama. Masyarakat adat Banten Kidul adalah suatu

(13)

68 komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., 2004). Hasil studi literatur sejarah yang dilakukan Hanafi et al. (2004), diketahui bahwa nenek moyang masyarakat adat Banten Kidul yang berada di kawasan Gunung Halimun terdiri atas tiga komunitas, yaitu komunitas sisa pasukan Kerajaan Sunda Padjajaran yang lari bersembunyi, komunitas sisa pasukan Kerajaan Mataram, dan komunitas yang nerasal dari dinamika konflik yang terjadi di Kesultanan Banten (termasuk para buruh perkebunan yang didatangkan oleh VOC dari seluruh nusantara). Komunitas sisa pasukan Kerajaan Sunda Padjajaran inilah yang diyakini sebagai moyang masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi.

Masyarakat Adat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Kasepuhan, khususnya masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi yang secara administratif termasuk dalam masyarakat Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, dan tinggal menetap di sana. Masyarakat Kasepuhan atau disebut dengan incu putu umumnya memiliki ketergantungan tinggi pada sektor kehutanan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aturan adat dan tradisi masyarakat masih mengikat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan pengelolaan sawah dan huma (ladang).

3. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Taman nasional adalah salah satu bentuk dari Kawasan Pelestarian Alam, yang memiliki fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan , pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya. Pengelolaan taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata, dan rekreasi.

Taman nasional merupakan unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, memiliki wewenang yang berasal dari Pemerintah Pusat yaitu Kementerian Kehutanan. Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992 yang mengacu pada UU pokok

(14)

69 Kehutanan No.5/1967 dan UU Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, pemerintah menetapkan kawasan Gunung Halimun seluas 40.000 hektar sebagai kawasan taman nasional di bawah pengelolaan sementara Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun, seperti yang tercantum dalam www.tnhalimun.go.id. Kemudian dengan mempertimbangkan kawasan hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak yang merupakan kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air bagi kepentingan kehidupan masyarakat disekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan, maka pemerintah pada tanggal 10 Juni 2003 mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi 113.357 hektar. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak secara administratif terletak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Menindaklanjuti SK Menteri Kehutanan tersebut, pihak Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak mempunyai kepentingan dan wewenang dalam penetapan dan penataan batas kawasan taman nasional. Penataan batas kawasan merupakan tahapan awal sebelum mengukuhkan kawasan menjadi taman nasional. Pada tahap ini, Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seharusnya melibatkan berbagai pihak baik pemerintah daerah, organisasi non pemerintah dan masyarakat setempat.

Keberadaan taman nasional telah meresahkan masyarakat. Demi menegakkan konservasi, balai taman nasional mensterilkan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dari aktivitas pertanian masyarakat adat dan masyarakat lokal yang telah lama mendiami kawasan Gunung Halimun. Mulai dari pengusiran secara halus, pemasangan papan pengumuman, hingga penangkapan masyarakat yang sedang melakukan aktivitas di dalam hutan, yang dianggap masyarakat sebagai hutan adat. Perlakukan-perlakuan seperti ini menimbulkan perlawanan dari masyarakat adat Kasepuhan, khususnya masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi, Kasepuhan Cipta Gelar, dan

(15)

70 Kasepuhan Cipta Mulya, dengan menuntut dibentuknya Peraturan Daerah Sukabumi mengenai pengakuan hak-hak atas wilayah adat.

5.2.2 Kepentingan Masing-masing Pihak yang Berkonflik

Konflik kehutanan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terjadi karena ada pihak-pihak yang memiliki banyak kepentingan atas hutan. Pihak-pihak yang terlibat merasa bahwa kepentingan mereka harus didahulukan dibanding yang lain. Namun, dalam kasus yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kepentingan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dan kepentingan masyarakat adat Kasepuhan harus sama-sama didahulukan. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Gunung Halimun merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Sehingga hal inilah yang menjadi sumber konflik pada akhirnya. Ketika kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak belum ditetapkan, wilayah Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani. Perhutani pun memiliki kepentingan yang berbeda pula dengan masyarakat, yaitu berusaha mendukung sistem kelestarian lingkungan, sistem sosial budaya dan sistem perekonomian masyarakat perhutanan di Jawa dan Madura, Selain itu, melalui hutan produksinya, Perhutani memperoleh keuntungan ekonomi dari pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan serta sebagai pendukung bisnis yang berkelanjutan. Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan Perhutani maupun antara masyarakat dengan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, memiliki kesamaan dalam hal pengklaim-an wilayah hutan. Dengan kepentingan yang berbeda-beda, memungkinkan untuk terjadinya konflik karena masing-masing pihak menginginkan kepentingannya terlebih dulu yang harus didahulukan.

(16)

71 Tabel-7 Peta Kepentingan atas Hutan bagi Pihak-pihak yang Terlibat Konflik

Pihak-pihak yang Terlibat Konflik Kepentingan atas hutan

Perhutani Sebagai Badan Usaha Milik Negara, yang

berperan mendukung sistem kelestarian lingkungan, sistem sosial budaya dan sistem perekonomian masyarakat perhutanan di Jawa dan Madura, Selain itu, melalui hutan produksinya, Perhutani memperoleh keuntungan ekonomi dari pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan serta sebagai pendukung bisnis yang berkelanjutan. Masyarakat Adat Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, hutan pun memiliki nilai spiritual yang tinggi. Kawasan hutan titipan yang merupakan hutan titipan leluhur dipercaya menyimpan benda-benda pusaka milik leluhur yang harus dijaga. Selain itu, kawasan hutan titipan juga merupakan daerah resapan air (leuweung sirah cai), dimana air merupakan kebutuhan pokok manusia.

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak kawasan hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak merupakan kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air bagi kepentingan kehidupan masyarakat disekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan, melalui upaya konservasi.

Sumber: diolah dari data primer, 2010, www.perumperhutani.com dan www.tnhalimun.go.id

Masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda atas obyek yang sama yaitu hutan. Perhutani saat mengelola kawasan Gunung Halimun, memiliki peran untuk mendukung sistem kelestarian lingkungan dan memperoleh keuntungan ekonomi dari pengelolaan hutannya. Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga mustahil bagi mereka untuk meninggalkan dan lepas dari hutan. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, beranggapan Gunung Halimun dan Gunung Salak perlu untuk di konservasi karena memiliki keanekaragaman yang tinggi dan perlu dilestarikan. Kepentingan-kepentingan yang berbeda dan masing-masing pihak merasa bahwa kepentingannya yang harus didahulukan

(17)

72 membuat pihak-pihak tersebut bentrok, karena tidak ada yang mau mengorbankan kepentingannya.

5.3 Tahapan Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting diketahui untuk membantu menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik (Fisher et al., 2001). Analisis dasar tahapan konflik terdiri dari lima tahap, yaitu; prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pasca konflik. Analisis tahapan konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, adalah sebagai berikut:

Prakonflik: merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih hingga timbul konflik. Dalam kasus Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, muncul ketidaksesuain persepsi antar pihak dalam memBapak/Ibung hutan. Pihak-pihak memiliki kepentingan yang berbeda atas hutan, muncul ketidaksesuaian pendapat mengenai kepemilikan Gunung Halimun.

Ketidak sesuaian persepsi antar pihak dalam memBapak/Ibung hutan terjadi ketika kawasan Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani. Pihak Perhutani menjadikan hutan titipan Kasepuhan sebagai hutan produksi untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari penjualan kayu-kayu keras. Pihak Kasepuhan sendiri mempersepsikan hutan titipan sebagai hutan yang tidak diperkenankan kegiatan perekonomian dengan tujuan memperoleh keuntungan, misalnya untuk menjual kayu-kayuan. Ketika pengelolaan Gunung Halimun beraliih kepada Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, perbedaan persepsi kembali tejadi antara pihak balai taman nasional dengan masyarakat adat Kasepuhan. Pihak balai taman nasioal menganggap kawasan Pegunungan Halimun-Salak merupakan kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air bagi kepentingan kehidupan masyarakat disekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan, sehingga perlu diadakan upaya konservasi dan mensterilkan kawasan tersebut dari aktivitas pertanian oleh masyarakat. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sendiri diklaim pemerintah sebagai milik Negara, karena

(18)

73 berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Masyarakat adat Kasepuhan sendiri, karena menganggap telah lama ada sebelum balai taman nasional mengelola Gunung Halimun, masyarakat menganggap kawasan Gunung Halimun adalah ruang hidup mereka untuk menjalankan kehidupan mereka, yang diwariskan dari leluhur untuk kesejahteraan anak-cucu mereka nantinya, sehingga mereka tidak dapat dipisahkan hidupnya dari Gunung Halimun. Kawasan Gunung Halimun, menurut masyarakat adat Kasepuhan adalah milik adat karena merupakan warisan para leluhur mereka di masa lalu.

Konfrontasi: Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, petugas balai taman nasional memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk ke kawasan konservasi di area perkebunan dan pemukiman warga. Pihak taman nasional pun mulai mengusir warga secara halus, namun masyarakat tetap tidak mau pindah dari pemukimannya, karena belum mendapatkan perintah dari ketua adat.

Krisis: merupakan puncak konflik ketika ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, tidak sampai terjadi pertumpahan darah antara pihak-pihak yang berkonflik. Hanya terjadi penangkapan terhadap masyarakat adat yang dianggap telah melakukan illegal logging di kawasan taman nasional. Hingga bulan Oktober 2010 masih ada masyarakat yang ditahan di kepolisisan karena dituduh melakukan illegal logging. Padahal yang dilakukan masyarakat di dalam hutan hanya memungut ranting dan kayu kering untuk kayu bakar, mengambil tanaman untuk obat-obatan dan menebang kayu untuk membangun sarana dan prasarana, dan dilakukan di kebun masyarakat serta hutan titipan atas izin ketua adat. Namun, karena kebun dan kawasan hutan titipan masyarakat diklaim sebagai zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional, maka masyarakat yang melakukan aktivitas sehari-hari di dalam hutan dianggap telah merambah hutan.

Akibat: Akibat adanya penangkapan serta penuduhan illegal logging terhadap masyarakat, membuat pihak Kasepuhan, khususnya Kasepuhan Sinar

(19)

74 Resmi, Kasepuhan Cipta Gelar dan Kasepuhan Cipta Mulya, mulai menyusun agenda dan menuntut Pemerintah Daerah Sukabumi untuk membuat Peraturan Daerah Sukabumi mengenai pengakuan hak-hak adat masyarakat adat Kasepuhan. Hingga bulan Oktober 2010, berkas Peraturan Daerah tersebut masih di proses di Badan Legislatif Daerah Kabupaten Sukabumi, karena belum adanya peta wilayah adat Kasepuhan.

Pasca Konflik: Hingga bulan Desember 2010, konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak masih belum selesai. Tata batas yang masih belum jelas membuat berkas Peraturan Daerah mengenai pengakuan hak adat masih tertunda di Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Perlu diadakan pemetaan oleh pihak Kasepuhan untuk melengkapi berkas Peraturan Daerah agar bisa ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Jika permasalahan konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak belum diselesaikan dan terus berlarut, maka ada kemungkinan konflik kembali pada tahap prakonflik.

5.4 Sumber-sumber Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Sumber konflik adalah perbedaan dan perbedaan bersifat multak. Namun, menurut Tadjudin (2000) perbedaan tersebut hanya berada pada tingkat persepsi. Pihak lain dapat mempersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda dan pihak lain dicurigai sebagai berbeda, meski secara obyektif sama sekali tidak terdapat perbedaan. Seperti yang terjadi antara masyarakat Kasepuhan dan taman nasional. Masyarakat menebang kayu untuk keperluan memasak merasa bahwa hal itu bukan merupakan kesalahan karena mereka menebang pohonnya di kebun mereka sendiri. Namun menurut pihak taman nasional, menebang pohon di wilayah kawasan konservasi adalah hal yang dilarang dan masuk ke dalam kategori illegal logging dan penebangnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, kawasan yang dianggap kebun masyarakat, sejak diterbitkannya SK. Menteri Kehutanan No.175 Tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rehabilitasi oleh taman nasional. Tata batas yang kurang jelas antara kawasan taman nasional dan kawasan adat Kasepuhan menyebabkan banyak lahan yang saling tumpang tindih. Seperti kawasan adat Kasepuhan Sinar Resmi, di mana huma, sawah,

(20)

75 kebun, hutan tutupan dan hutan titipan, diklaim telah masuk dalam kawasan taman nasional.

Pada tataran perundang-undangan, terjadi pula perbedaan dalam menginterpretasikan maknanya. Misalnya dalam UU No. 41 Tahun 1999 pasal 1 tertulis bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat. Berdasarkan pernyataan tersebut tersirat jelas bahwa hutan adat adalah hutan negara, yang pengaturan dan pengelolaannya dilakukan oleh negara karena berada dalam penguasaan negara. Berdasarkan pernyataan itu pula, tersirat juga bahwa tidak ada pengakuan hak ulayat untuk masyarakat adat, sehingga dianggap tidak memiliki hak atas hutan. Seperti yang diungkapkan Tokoh Adat Kasepuhan, Wa UGS (64 tahun).

“Pemerintah menggunakan UU No. 41 Tahun 1990 sebagai acuan, yang menganggap hutan adat sebagai hutan negara, maka hutan adat yang kami miliki tidak diakui sebagai milik adat.”

Tidak adanya pengakuan hak atas hutan adat di kawasan Gunung Halimun juga menjadi penyebab munculnya konflik di sana.

Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2008)2 di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menunjukkan ada empat penyebab konflik yang terjadi di kawasan taman nasional ini, mulai dari perbedaan sistem nilai yang berimplikasi pada konflik ketidaksepakatan status lahan dan tata batas hingga konflik ketidakpastian akses. Menurut penelitian ini, konflik di taman nasional itu adalah persoalan hak dan akses. Berbagai konflik di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun membuktikan, institusi yang ada tidak berhasil menyelesaikan konflik. Ini disebabkan kegagalan para pihak untuk memahami akar persoalan dan menyepakati rezim properti yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kendala pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan perundangan, keterbatasan sumber daya, serta persoalan sistem administrasi dan birokrasi juga menjadi persoalan pelik yang tak mudah diatasi.

2 Rusdayanto, Pauk. Villa di Taman Nasional. 2010. http://bataviase.co.id diakses 26 Oktober 2010 pukul 12.59 WIB

(21)

76 5.4.1 Perbedaan Persepsi sebagai Sumber Konflik

Perbedaan persepsi tentang makna sumberdaya hutan terjadi ketika ada pihak-pihak yang memiliki hak atas hutan memiliki persepsi yang berbeda dalam mempersepsikan hutan. Dalam kasus di Kasepuhan Sinar Resmi, perbedaan persepsi terjadi ketika hak pengelolaan Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani. Menurut Wa UGS (64 tahun) tokoh Adat Kasepuhan, permasalahan muncul ketika Perhutani menjadikan kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai kawasan hutan produksi. Padahal menurut adat Kasepuhan, di dalam kawasan hutan titipan (leuweung titipan) tidak boleh ada kegiatan ekonomi termasuk untuk produksi massal, bertentangan dengan fungsi hutan produksi Perhutani yang memfungsikan kawasan hutan tersebut untuk kegiatan ekonomi. Namun, permasalahan ini tidak sampai menimbulkan konflik yang keras, karena bisa diselesaikan dengan baik, dan Perhutani memindahkan lokasi hutan produksinya ke luar wilayah hutan titipan. Selain itu, pihak Perhutani juga masih mengizinkan incu putu untuk menggarap hutan produksi dengan sistem tumpang sari. Berikut pernyataan Wa UGS (64 tahun) tokoh Adat Kasepuhan.

“Konflik pernah terjadi dengan Perhutani, ketika Perhutani mengklaim kawasan hutan titipan Kasepuhan sebagai hutan produksi. Namun, konflik tidak terlalu keras, karena Perhutani melepas klaimnya atas hutan titipan, dan menggantinya dengan hutan diluar hutan titipan dan masyarakat masih diizinkan untuk menggarap lahan dengan sistem tumpang sari.”

Ada perbedaan dalam mempersepsikan hutan terhadap hutan yang sama oleh dua pihak. Pihak Perhutani menganggap kawasan hutan yang disebut hutan titipan oleh pihak Kasepuhan adalah kawasan hutan produksi, sehingga wajar apabila di dalam hutan tersebut dilakukan kegiatan ekonomi dan difungsikan sebagai hutan untuk memproduksi hasil hutan, khususnya kayu, dalam jumlah besar. Namun, bagi adat Kasepuhan hutan yang dianggap hutan produksi oleh pihak Perhutani adalah hutan titipan yang dialokasikan untuk pemukiman di masa mendatang dan tidak boleh dilakukan kegiatan ekonomi termasuk memproduksi hasil hutan secara besar-besaran. Tidak adanya kesamaan dalam mempersepsikan hutan, kerap menimbulkan konflik antara keduanya. Namun, konflik yang terjadi

(22)

77 hanya berupa ketegangan antara kedua pihak yang berkonflik dan bersifat tertutup, serta berada pada tahap prakonflik.

Selain itu, perbedaan persepsi atas hutan terjadi pula antara masyarakat dan pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Masyarakat menebang dan memungut ranting dan kayu untuk keperluan memasak merasa bahwa hal itu bukan merupakan kesalahan karena mereka menebang pohon di kebun mereka sendiri. Namun menurut pihak taman nasional, menebang pohon di wilayah konservasi adalah hal yang dilarang dan penebangnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Taman nasional pun menganggap kegiatan masyarakat tersebut sebagai kegiatan illegal logging dan masyarakat pun disebut sebagai pelaku perambah hutan. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak KHR (47 tahun) Polisi Kehutanan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

“Masyarakat adat telah dilarang untuk menggarap lahan bekas Perhutani secara tumpang sari, tetapi masih tetap digarap oleh masyarakat. Masyarakat juga melakukan illegal logging dan merambah hutan. Jadi pelaku illegal logging adalah masyarakat adat. Lahan garapan masyarakat adat Sinar Resmi berada pada zona rehabilitasi taman nasional.”

Selain itu, kawasan yang dianggap kebun masyarakat, sejak diterbitkannya SK. Menhut No.175 Tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rehabilitasi oleh taman nasional.. Seperti yang dituturkan oleh Bapak KHR (47 tahun), Polisi Kehutanan.

“Saya meragukan ke-adat-an masyarakat Kasepuhan, karena mereka terlihat seperti masyarakat pada umumnya. Perbedaan hanya terletak pada ritual-ritual yang mereka lakukan, dan saya tidak mengerti ritual tersebut memiliki arti apa. Lagipula, mereka pasti akan menebang hutan ketika terdesak oleh kebutuhan ekonomi, walau peraturan adat melarangnya.”

Selain itu, pihak taman nasional pun meragukan ke-adat-an masyarakat adat Kasepuhan. Karena mereka melihat masyarakat adat Kasepuhan tidak berbeda dengan masyarakat di sekitar hutan pada umumnya, yang akan melakukan apa saja, termasuk menebang pohon di dalam hutan ketika terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Maka, sudah selayaknya masyarakat adat Kasepuhan dianggap sebagai perambah hutan dan pelaku illegal logging.

(23)

78 Tabel-8 Peta Persepsi Pihak-pihak yang Berkonflik

Perhutani Masyarakat Adat Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Perhutani - Perhutani menganggap masyarakat

menyerobot lahan milik perhutani tanpa izin dan membuka areal yang sebelumnya merupakan areal hutan utuh untuk dijadikan huma.

-

Masyarakat Adat Masyarakat menganggap bahwa Perhutani telah menyerobot hutan adat dan menjadikannya sebagai hutan produksi.

- Masyarakat menganggap taman nasional

telah mengklaim kawasan hutan adat sebagai kawasan konservasi dan melarang masyarakat untuk melakukan aktivitas di dalam hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, pihak taman nasional pun telah mengancam akan mengusir masyarakat karena wilayahnya masuk dalam kawasan taman nasional

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

- Masyarakat dianggap sebagai perambah hutan dan kegiatan mereka dianggap sebagai illegal logging, karena menebang dan mengambil kayu di wilayah zona rehabilitasi.

-

(24)

79 Pihak-pihak yang berkonflik memiliki persepsi yang berbeda terhadap hutan. Perbedaan inilah yang kerap menjadi penyebab konflik. Persepsi setiap pihak terhadap pihak lainnnya yang berkegiatan di dalam hutan cenderung pada persepsi negatif. Misalnya ketika pihak taman nasional mempersepsikan masyarakat adat sebagai perambah hutan dan kegiatan mereka di anggap sebagai illegal logging karena menebang dan mengambil kayu di wilayah yang menurut taman nasional adalah wilayah zona rehabilitasi.

5.4.2 Perbedaan Tatanilai sebagai Sumber Konflik

Perbedaan tatanilai tentang peran dan fungsi hutan dalam kehidupan masyarakat terjadi ketika ada perbedaan dalam menilainya. Kasepuhan menganggap bahwa hutan adalah sumber kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidup serta sebagai tempat spiritual. Pemerintah menganggap hutan sebagai sebuah aset masa depan yang wajib dijaga dan dilestarikan (konsep konservasi).

Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat Kasepuhan adalah hutan titipan. Hasil yang dimanfaatkan berupa kayu-kayuan dan bambu untuk membuat rumah, leuit, sarana ibadah, dan lainnya, nipah dan kirai untuk membuat atap rumah, buah-buahan, madu hutan, rotan untuk membuat kerajinan-kerajinan dan peralatan rumah tangga, dan tanaman obat-obatan.

Mengingat kebutuhan yang tinggi terhadap hasil hutan, masyarakat Kasepuhan tidak dapat terpisahkan kehidupannya dari hutan. Karena mereka terikat adat yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaataannya. Ada nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Kawasan leuwueng tutupan merupakan warisan atau titipan para leluhur adat dan Allah (Gusti Nu Kuasa) yang harus terjaga keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena manusia tidak termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Hutan ini hanya boleh dimasuki oleh petugas pengawasan hutan (kemit leuweung) yang telah diamanatkan oleh Abah untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada di dalam hutan tutupan. Selain itu, mengingat hutan tutupan sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai), dan air merupakan kebutuhan utama masyarakat, maka

(25)

80 sudah pasti keutuhannya mesti terjaga dan menjadi hal yang penting dalam kehidupannya. Seperti yang dituturkan oleh Ketua Adat Abah ASN (44 tahun).

“Para Leluhur memerintahkan untuk mendirikan rumah dan lumbung padi dengan menggunakan kayu-kayuan dan bambu untuk bagian dinding dan rangka rumah, serta menggunakan daun nipah dan kirai untuk bagian atap. Peraturan adat melarang kami untuk menggunakan bahan tanah dalam membangun rumah, karena makhluk hidup tidak patut untuk tinggal di bawah tanah. Ketika memasak nasi, masyarakat harus menggunakan tungku dan kayu bakar, karena sudah diatur oleh adat.”

Namun, pemerintah sendiri pun memiliki penilaian berbeda dalam memaknai hutan. Undang-undang No.41 tahun 1999 sendiri dirumuskan dengan mempertimbangkan hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, yang merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, yang dapat memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Jelas terlihat bahwa pemerintah sendiri memaknai hutan sebagai kekayaan yang dikuasai oleh Negara dan merupakan karunia dari Tuhan yang wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya. Untuk itu, pemerintah mengupayakan usaha konservasi dalam melindungi kawasan Gunung Halimun yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan sebagai sumber mata air bagi kehidupan bagi masyarakat disekitarnya. Namun, fakta di lapangan, dalam penerapan konservasi sendiri justru terjadi bentrokan antara pemerintah (balai taman nasional) dengan masyarakat adat Kasepuhan. Konsep konservasi sendiri adalah dengan meniadakan segala bentuk pendayagunaan hutan oleh manusia di kawasan atau zona-zona tertentu seperi zona inti, zona rimba, zona penyangga dan zona rehabilitasi. Sedangkan dengan tingkat ketergantungan yang tinggi masyarakat adat Kasepuhan akan hutan maka dapat terjadi bentrokan antara keduanya.

(26)

81 5.4.3 Perbedaaan Kepentingan sebagai Sumber Konflik

Pemerintah atas dasar adanya desakan dan harapan dari berbagai pihak untuk melakukan upaya penyelamatan kawasan konservasi Gunung Halimun-Salak, kemudian menetapkan SK Menhut No.175/Kpts-II/2003 mengenai Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak seluas ± 113.357 hektar di Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Penunjukan ini dengan mempertimbangkan kelompok kesatuan Gunung Halimun dan Gunung Salak sebagai kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman yang tinggi, sumber mata air bagi penghidupan bagi masyarakat sekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Adanya kepentingan akan konservasi inilah yang menjadi kepentingan pemerintah atas Gunung Halimun.

Masyarakat adat Kasepuhan telah mendiami kawasan Gunung Halimun sejak lama. Mereka menggantungkan kehidupannya pada hutan. Mulai dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan kayu bakar untuk memasak, kayu untuk pemukiman, tanaman obat-obatan, serta pemanfaatan lahan untuk pertanian. Kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup inilah yang menjadikan kawasan Gunung Halimun sangat penting keberadaannya bagi masyarakat. Seperti yang dituturkan oleh Bapak RDI (55 tahun) Petani warga Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag.

“Kami hidup dari pertanian, karena sudah diatur oleh adat. Kami menanam padi di ladang dan sawah, menanam buah-buahan untuk dijual, dan menanam kayu-kayuan keras untuk mendirikan rumah dan lumbung padi. Kami juga harus masuk ke dalam hutan untuk mencari kayu-kayu kering untuk memasak di tungku sebagai kayu bakar. Semua berada di hutan. Tetapi, saat ini hutan menjadi milik taman nasional. Kami dilarang masuk secara sembarangan, harus sembunyi-sembunyi, takut ditangkap. Ladang, sawah dan kebun kami, menjadi milik taman nasional. Kami hidup darimana jika lahan garapan kami dirampas?.”

Terdapat perbedaan kepentingan antara masyarakat adat Kasepuhan dengan pemerintah terhadap nilai ekonomi yang terkandung di dalam Taman

(27)

82 Nasional Gunung Halimun-Salak. Masyarakat adat Kasepuhan memiliki kepentingan atas hutan di dalam Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sebagai ruang hidup. Sementara pemerintah (balai taman nasional) memiliki kepentingan untuk menegakkan wibawa atas pengelolaan sumberdaya alam di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Perbedaan ini memicu konflik yang tidak pernah selesai hingga saat ini (tahun 2010).

Adanya persaingan kepentingan antara keduanya, salah satu pihak harus berkorban agar pihak lainnya terpenuhi kepentingannya. Namun, dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kedua kepentingan ini harus didahulukan. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Sehingga hal inilah yang menjadi sumber konflik pada akhirnya.

(28)

83 Tabel-9 Peta Kepentingan Tiap Pihak atas Hutan

Hutan Tutupan/Zona Inti/Hutan Lindung

Hutan Titipan/Zona Rimba/Hutan Produksi

Hutan Bukaan/Zona Rehabilitasi/Hutan Produksi

Perhutani Merupakan kawasan penyimpan cadangan air dan menjaga keseimbangan ekosistem.

Sebagai kawasan hutan yang dikelola untuk menghasilkan keuntungan bagi Negara

Sebagai kawasan hutan yang dikelola untuk menghasilkan keuntungan bagi Negara Masyarakat Adat Merupakan hutan titipan para

leluhur yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Sebagai leuweung sirah cai (penyimpan cadangan air). Dan sebagai tempat spiritual masyarakat.

Merupakan hutan yang dialokasikan untuk pemukiman di masa mendatang (awisan) dan untuk lahan garapan nantinya. Hutan tutupan hanya boleh dimasuki atas izin abah dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu.

Hutan yang telah dibuka untuk lahan garapan, guna memenuhi kebutuhan pangan dan papan (kayu) masyarakat.

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Merupakan bagian dalam taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota maupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia, yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlidungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.

Bagian dalam taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.

Bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.

(29)

84 Konflik kehutanan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terjadi karena ada pihak-pihak yang memiliki banyak kepentingan atas hutan. Pihak-pihak yang terlibat merasa bahwa kepentingan mereka harus didahulukan dibanding yang lain. Misalnya kepentingan masyarakat adat atas hutan bukaan yang dalam zonasi taman nasional disebut zona rehabilitasi. Kepentingan masyarakat adat terhadap hutan bukaan adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan karena fungsinya sebagai lahan garapan. Namun, taman nasional yang menganggap hutan bukaan sebagai zona rehabilitasi, berkepentingan untuk melakukan upaya pemulihan ekosistem hutan yang rusak, yang sebelumnya merupakan hutan produksi Perhutani.

5.4.4 Perbedaan Akuan Hak Kepemilikan terhadap Sumberdaya Hutan sebagai Sumber Konflik

Kepemilikan hutan oleh negara atau pemerintah, menurut Tadjudin (2000) muncul ketika negara memakai rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya hutan di Indonesia yang berlBapak/Ibus kepada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam UUD tersebut sudah jelas tersurat bahwa sumberdaya alam hanya dikuasai oleh negara bukan dimiliki, dan secara tersirat jelas pula bahwa sumberdaya alam adalah sumberdaya publik. Namun, karena konsep sumberdaya publiklah, maka negara mengklaim bahwa sumberdaya alam adalah milik negara, yang pengelolaannya diatur oleh negara. Peran negara sangat dominan, selain klaim kepemilikan, aspek pengelolaan dan pengawasan sumber daya hutan juga diatur oleh pemerintah. Fuad et al. (2002) merepresentasikan rejim kepemilikian hutan oleh negara melalui badan usaha negara. Kawasan konservasi taman nasional berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 pasal 4 (1) dan (2) disebutkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara dan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk, (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selain itu, pengaturan

(30)

85 pengelolaan hutan Halimun secara konservasi dilakukan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam berdasarkan pada SK. Menhut No. 175 tahun 2003. Hutan adalah milik Taman Nasional diperkuat dengan SK Menhut No.175 tahun 2003.

Sumberdaya hutan yang berada di kawasan Halimun, oleh masyarakat adat Kasepuhan dianggap sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan titipan dari para leluhur mereka. Oleh karena itu, mereka wajib untuk menjaga keutuhan dan mempergunakan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saat ini hingga generasi mendatang. Sebagai lahan titipan para leluhur, seluruh sumberdaya hutan diklaim sebagai milik adat dan bersifat komunal. Sumberdaya hutan hanya boleh dipergunakan dan dimanfaatkan untuk hidup, namun tidak boleh untuk dijual dan dimiliki secara individual. Pengaturan penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam di Kasepuhan, diatur oleh seorang Abah sebagai pemimpin adat. Seperti yang dungkapkan oleh Bapak BHR (62 tahun), Sekretaris Desa Sirna Resmi dan Tokoh Adat Kasepuhan.

“Tanah kami adalah tanah milik adat. Semuanya adalah warisan dari leluhur kami. Cara pengelolaan dan pemanfaatannya juga diatur oleh adat.”

Abah ASN (44 tahun), Ketua Adat pun menambahkan.

“Sebelum Negara Indonesia berdiri, adat telah ada. Negara terbentuk dari adat. Asal muasal negara berasal dari adat istiadat. Peraturan adat pun sudah ada sejak dulu, hutan tutupan, hutan titipan, lahan garapan, dan hutan awisan, sama dengan hutan taman nasional, seperti zona inti, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, dan zona lainnya. Hutan tutupan tidak boleh dirusak, hutan titipan hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan, lahan garapan untuk pertanian, dan hutan awisan untuk pemukiman masa mendatang. Jadi, tanah dan hutan ini adalah milik adat.”

Adanya perbedaan klaim pengakuan kepemilikan atas hutan yang sama, menimbulkan ketegangan antar keduanya. Pihak taman nasional menganggap kawasan Gunung Halimun sebagai milik negara karena berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Namun, masyarakat adat Kasepuhan menganggap bahwa seluruh kawasan hutan Halimun adalah milik adat yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur.

(31)

86 5.5 Basis Konflik dan Kedalaman Konflik

Konflik yang terjadi antara masyarakat Kasepuhan dengan pihak taman nasional terjadi pada basis kehutanan dan lahan. Masyarakat menebang kayu untuk keperluan memasak merasa bahwa hal itu bukan merupakan kesalahan karena mereka menebang pohonnya di kebun mereka sendiri. Namun menurut pihak taman nasional, menebang pohon di wilayah kawasan konservasi adalah hal yang dilarang dan masuk ke dalam kategori illegal logging dan penebangnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, kawasan yang dianggap kebun masyarakat, sejak diterbitkannya SK. Menteri Kehutanan No.175 Tahun 2003 telah menjadi kawasan zona rehabilitasi oleh taman nasional. Tata batas yang kurang jelas antara kawasan taman nasional dan kawasan adat Kasepuhan menyebabkan banyak lahan yang saling tumpang tindih. Wilayah adat Kampung Gede Kasepuhan Sinar Resmi diklaim oleh pemerintah sebagai zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional.

Konflik yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak antara balai taman nasional dan masyarakat adat tidak sampai pada pertumpahan darah. Namun, telah terjadi penangkapan terhadap masyarakat Kasepuhan ketika sedang mengambil kayu di kebunnya sendiri. Setelah itu, warga menjadi ketakutan jika ingin ke kebun, karena takut ditangkap oleh polisi kehutanan. Penangkapan ini telah menimbulkan ketegangan dan ketakutan warga yang akan melakukan kegiatan di dalam kebun yang dianggap zona rehabilitasi oleh balai taman nasional, baik untuk memungut ranting dan kayu kering, maupun untuk menebang kayu yang dianggap masyarakat sebagai milik masyarakat. Walaupun timbul ketakutan, pada akhirnya warga memiliki keberanian untuk melawan dan memperjuangkan haknya, karena menurutnya melawan tidak melawan akan tetap ditangkap jika kepergok berada pada kebun yang masuk dalam kawasan taman nasional. Taman nasional pun bertindak menakut-nakuti akan mengusir dan menggusur pemukiman warga dengan memasang papan pengumuman mengenai perlarangan masuk kawasan konservasi di kebun dan di depan pemukiman.

Selain itu, terjadi pula saling tuduh secara tidak langsung antara masyarakat dengan pihak balai taman nasional. Pihak taman nasional, yang

(32)

87 diwakilkan oleh Polisi Kehutanan Bapak KHR (47 tahun) menganggap masyarakat Kasepuhan bukan masyarakat adat yang masih memiliki nilai-nilai adat dan budaya yang kuat.

“Saya meragukan ke-adat-an masyarakat Kasepuhan, karena mereka terlihat seperti masyarakat pada umumnya. Perbedaan hanya terletak pada ritual-ritual yang mereka lakukan, dan saya tidak mengerti ritual tersebut memiliki arti apa. Lagipula, mereka pasti akan menebang hutan ketika terdesak oleh kebutuhan ekonomi, walau peraturan adat melarangnya.”

Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag masih diperbolehkan mengelola lahan, namun dengan persyaratan harus menanam tanaman pohon-pohon kayu keras, seperi rasalama dan mahoni. Walaupun masyarakat masih diperbolehkan mengelola lahan, hasil pertanian yang didapatkan banyak yang gagal. Menurut masyarakat hasil pertanian yang gagal, seperti panen pisang, terjadi karena diserang oleh babi hutan yang diduga masyarakat sengaja dikembangbiakan oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di dalam Gunung Halimun, karena sebelum adanya taman nasional babi hutan tidak ada di Gunung Halimun. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak RDI (55 tahun) yang bekerja sebagai petani.

“Setiap kami menanam pisang, hasil panen selalu gagal. Hasil panen dimakan oleh Babi Hutan. Padahal, dahulu di dalam kebun tidak ada Babi Hutan. Babi Hutan itu adalah hasil ternak taman nasional. Secara sengaja, Babi Hutan tersebut diternak untuk merusak tanaman warga”

Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi sulit diselesaikan ketika kedua pihak yang berkonflik saling menyerang tanpa pernah bertemu dan berusaha untuk menyelesaikan konflik dengan damai.

Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sudah sampai tahap melakukan serangan fisik secara agresif menurut penggolongan berdasarkan intensitasnya Robbins dalam Tadjudin (2000). Pihak-pihak yang terlibat konflik, dalam hal ini pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah melakukan penangkapan terhadap masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi, yang ketahuan sedang berada di kebun yang dianggap sebagai kawasan taman nasional.

(33)

88 5.6 Ruang-Ruang Konflik

Kebanyakan konflik memiliki penyebab gBapak/Ibu sebagi kombinasi dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik yang terbuka (Fuad dan Maskanah, 2000). Untuk itu Fuad dan Maskanah (2000) melakukan pemetaan konflik, yakni mengelompokkannya dalam ruang-ruang konflik, yaitu : a) Konflik data; b) Konflik kepentingan; c) Konflik hubungan antar manusia; d) Konflik nilai; dan e) Konflik struktural. Dalam kasus konflik yang terjadi antara pihak Kasepuhan dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, konflik terjadi pada ruang konflik kepentingan, konflik nilai dan konflik struktural.

Konflik kepentingan terjadi karena adanya persaingan kepentingan, di mana ketika suatu pihak atau lebih, meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain harus berkorban. Pemerintah atas dasar adanya desakan dan harapan dari berbagai pihak untuk melakukan upaya penyelamatan kawasan konservasi Halimun dan salak, kemudian menetapkan SK Menhut No.175/Kpts-II/2003 mengenai Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Salak seluas ± 113.357 hektar di Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Penunjukan ini dengan mempertimbangkan kelompok kesatuan Gunung Halimun dan Gunung Salak sebagai kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman yang tinggi, sumber mata air bagi penghidupan bagi masyarakat sekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan.

Masyarakat adat Kasepuhan telah mendiami kawasan Gunung Halimun sejak lama. Mereka menggantungkan kehidupannya pada hutan. Mulai dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan kayu bakar, kayu untuk pemukiman, tanaman obat-obatan, serta pemanfaatan lahan untuk pertanian. Kepentingan dalam memenuhi kebutuhan hidup inilah yang menjadikan hutan Halimun sangat penting keberadaannya bagi masyarakat.

(34)

89 Adanya persaingan kepentingan antara keduanya, salah satu pihak harus berkorban agar pihak lainnya terpenuhi kepentingannya. Namun, dalam kasus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kedua kepentingan ini harus didahulukan. Pemerintah harus melakukan upaya konservasi mengingat kawasan Gunung Halimun merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki sumber mata air namun kebutuhan hidup masyarakat pun harus terdesak untuk dipenuhi. Sehingga hal inilah yang menjadi sumber konflik pada akhirnya.

Konflik struktural terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan formal. Pemerintah menerapkan konsep konservasi pada kawasan Gunung Halimun dengan harapan dapat menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati dan sumber mata air yang ada di sana. Untuk melakukan hal itu, pemerintah harus mengurangi dan membatasi intensitas masuknya manusia ke dalam hutan dan pemanfaatan hasil hutan oleh manusia. Karena kawasan konservasi terutama zona inti, zona rimba, zona penyangga dan zona rehabilitasi adalah kawasan yang tidak boleh ada kegiatan pendayagunaan oleh manusia seperti mengambil kayu bakar, mengambil kayu untuk membangun sarana dan prasarana, dan memanfaatkan tumbuhan untuk obat-obatan tradisional. Karean alasan inilah yang membuat pemerintah membatasi akses masyarakat ke dalam hutan.

Konflik nilai terjadi ketika ada perbedaan dalam menilai peran dan fungsi hutan. Kasepuhan menganggap bahwa hutan adalah sumber kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidup serta sebagai tempat spiritual. Pemerintah menganggap hutan sebagai sebuah aset masa depan yang wajib dijaga dan dilestarikan (konsep konservasi). Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kawasan leuwueng tutupan merupakan warisan atau titipan para leluhur adat dan Allah (Gusti Nu Kuasa) yang harus terjaga keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena manusia tidak termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Hutan ini hanya boleh dimasuki oleh petugas pengawasan hutan (kemit leuweung) yang telah

(35)

90 diamanatkan oleh Abah untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada di dalam hutan titipan. Selain itu, mengingat hutan tutupan sebagai daerah resapan air (leuweung sirah cai), dan air merupakan kebutuhan utama masyarakat, maka sudah pasti keutuhannya mesti terjaga dan menjadi hal yang penting dalam kehidupannya.

Pemerintah sendiri memaknai hutan sebagai kekayaan yang dikuasai oleh Negara dan merupakan karunia dari Tuhan yang wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya. Untuk itu, pemerintah mengupayakan usaha konservasi dalam melindungi Gunung Halimun yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan sebagai sumber mata air bagi kehidupan bagi masyarakat disekitarnya.

Namun, fakta di lapangan, dalam penerapan konservasi sendiri justru terjadi bentrokan antara pemerintah (Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak) dengan masyarakat Kasepuhan. Konsep konservasi sendiri adalah dengan meniadakan segala bentuk pendayagunaan hutan oleh manusia di kawasan atau zona-zona tertentu seperti zona inti, zona rimba, zona penyangga dan zona rehabilitasi, sedangkan dengan tingkat ketergantungan yang tinggi masyarakat Kasepuhan akan hutan maka dapat terjadi bentrokan antara keduanya.

5.7 Penyelesaian Konflik Kehutanan yang Telah Dilakukan dan Perkembangannya

Konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penyelesaian (Condliffe, 1991 sebagaimana dikutip Sardjono, 2004), yaitu: (1) langsung antar pihak yang bersengketa (one-to-one), dimana masing-masing pihak yang bersengketa bertindak untuk menyelesaikannya sendiri; (2) mewakilkan kepada pihak lain (representational), dimana pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak lain seperti pengacara, teman kolega, dan asosiasi resmi; dan (3) menggunakan pihak ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas pemintaan kedua belah pihak yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya. Condliffe (1991) sebagaimana dikutip Sardjono (2004), juga mengajukan delapan prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik, yaitu: Lumping it, Avoidance or exit, Coersion, Negotiation, Conciliation, Mediaton, Arbitration, dan Adjudication. Dari kedelapan prosedur umum penyelesaian konflik di atas, hanya butir

(36)

91 negoisasi, konsiliasi dan mediasi yang merupakan penyelesaian konflik di luar pengadilan yang dipBapak/Ibung kondusif. Hal ini dikarenakan ketiganya mengadung unsur win-win solution yang sifatnya lebih langgeng.

Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak bukan tidak pernah berusaha untuk diselesaikan. Telah ada upaya-upaya yang dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun pihak Kasepuhan sendiri untuk meredam konflik yang terjadi. Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik kehutanan Halimun adalah sebagai berikut:

1. pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menawarkan kepada Kasepuhan untuk menjadikan wilayah adat Kasepuhan, khususnya Kasepuhan Cipta Gelar yang wilayah berada pada enclave taman nasional, untuk dijadikan zona khusus budaya,

2. pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak juga pernah mengajukan berkas pengelolaan Gunung Halimun kepada Kasepuhan, namun pihak Kasepuhan menolak, karena seharusnya usulan pengelolaan hutan harus berasal dari pihak Kasepuhan yang lebih mengetahui kebutuhan masyarakatnya.

3. saat ini, masyarakat Kasepuhan Adat Banten Kidul khususnya yang berada di Kabupaten Sukabumi (Kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Gelar dan Cipta Mulya) sedang mengajukan peraturan daerah mengenai pengakuan hak tanah adat kepada Pemerintah Daerah. Berkasnya sudah sampai pada tingkat Badan Legislatif Daerah pada bulan September 2010, namun masih dalam proses karena pemetaan wilayah adat untuk ketiga Kasepuhan tersebut belum dilaksanakan. Seperti yang dipaparkan oleh Tokoh Adat Kasepuhan, Wa UGS (64 tahun).

“Saat ini, kami sedang memperjuangkan kembali hak-hak kami dengan mengajukan peraturan daerah kepada Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Dengan berpegang pada UU No.32 Pasal 67. Kami pun telah berafiliasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup untuk memetakan wilayah adat kami. Kasepuhan Citorek, Cisitu, Cibedug, dan Cirompak sudah memiliki SK dari Bupati mengenai pengakuan hak adat mereka. Kami pun akan memperjuangkan Perda tersebut agar bisa seperti ke-empat kasepuhan tadi.”

(37)

92 Penyelesaian konflik yang telah dilakukan oleh kedua pihak yang berkonflik belum mendapatkan titik terang. Kedua pihak sama-sama menawarkan ’perdamaian’ melalui negosiasi namun dengan cara dan tidak disetujui pihak lainnya. Kedua pihak membutuhkan mediator yang dapat mengakomodir semua keinginan masing-masing pihak yang berkonflik agar dapat menemukan penyelesaian yang mengandung unsur win-win solution untuk kedua belah pihak. 5. 8 Ikhtisar

Konflik kehutanan dimulai ketika kawasan Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani pada tahun 1970-an. Saat itu, pihak Kasepuhan dianggap telah menyerobot lahan Perhutani dengan membuka hutan utuh untuk ladang dan sawah warga. Namun, permasalahan dapat diselesaikan dengan baik, dengan menggantikan lahan yang terlah dibuka dengan tanah milik Abah Anom. Selain itu, warga pun diizinkan untuk menanam dengan sistem tumpang sari di lahan Perhutani. Selain masalah penyerobotan lahan, konflik dengan Perhutani pun terjadi ketika ada tumpang tindih antara hutan adat dan hutan produksi Perhutani.

Konflik semakin parah ketika pengelolaan Gunung Halimun dialihkan ke Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Wilayah pemukiman dan pertanian warga diklaim sebagai zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Pihak taman nasional menakuti-nakuti akan mengusir warga dari tempat tinggalnya. Selain itu, terjadi penangkapan terhadap warga yang sedang berada di kebunnya, dan dituduh sebagai perambah hutan dan melakukan illegal logging. Pihak taman nasional pun memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk kawasan konservasi di kebun dan di depan rumah warga.

Penyebab konflik kehutanan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak disebabkan oleh empat sumber perbedaan, yaitu: perbedaan persepsi, kepentingan, tatanilai, dan akuan hak kepemilikan.

Perbedaan Persepsi terjadi ketika adanya pihak-pihak yang memiliki hak atas hutan memiliki perbedaan dalam mempersepsikan hutan. Masyarakat menebang kayu untuk keperluan memasak merasa bahwa hal itu bukan merupakan kesalahan karena mereka menebang pohonnya di kebun mereka sendiri. Namun menurut pihak taman nasional, menebang pohon di wilayah

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan teknologi yang bersifat intern merupakan penerapan teknologi untuk menunjang kinerja pegawai kejaksaan RI baik itu Jaksa maupun pegawai tata usaha dalam

Hails pengukuran yang dilakukan dalam ruangan percetakan UT diperoleh bahwa diperoleh beberapa titik pengukuran kelembaban udara masih berada diatas nilai

Radioisotop 198Au yang dihasilkan dikarakterisasi dengan mengukur aktivitas, waktu paruh, energi, yield, kemurnian radionuklida dan kemurnian radiokimia serta ukuran

Teman-teman seperjuangan Diploma III Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta Angkatan 2013 yang selalu mendukung Penulis dan banyak membantu penulis memberi

Penggunaan teori tujuan hukum sebagaimana dimaksud di atas untuk mencapai keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang pada prinsipnya untuk menjadikan manfaat terbesar

2/2008 tersebut tidak didasarkan pada kajian akademis, namun lebih bersifat dinamis Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral menyebutkan hal yang sama, dan

H4 = = T Terd erdapa apat per t perbed bedaan li aan likui kuidit ditas sa as saham p ham perus erusaha ahaan y an yang me ang melak lakuka ukan sto n stock  ck 

Penggunaaan etnomatematika pada pertemuan pertama sudah terlaksana sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran yang ada di RPP, kendalanya terdapat pada saat pemotongan