• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Independensi merupakan sesuatu yang mendesak di era reformasi ini.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Independensi merupakan sesuatu yang mendesak di era reformasi ini."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Independensi merupakan sesuatu yang mendesak di era reformasi ini. Independensi menjadi ciri khas dalam ekonomi negara demokrasi. Ketika independensi dicederai oleh muatan-muatan politik, maka laju pembangunan program-program pemerintah, cenderung akan didominasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu sedangkan pihak lainnya akan dimarginalkan atau dipinggirkan.1

Bergulirnya reformasi tahun 1998, sebagai bukti nyata besarnya dominasi pemerintah absolut dengan mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan negara. Melalui reformasi pada waktu itu, rakyat Indonesia mulai bersikeras menyatakan sikap perlunya pihak independen untuk turut campur dalam mengurusi negara ini. Tuntutan demikian sebagai bukti nyata, bahwa rakyat sudah tidak percaya seutuhnya kepada para pejabat publik untuk mengelola dan mengurusi aset-aset Independensi merupakan sikap untuk mempertahankan hak publik dalam pencapaian tujuan bersama yakni negara yang berdaulat, adil, dan makmur.

1

Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, (London: Penguin Book, 1979), hal. 397. Lihat juga: James A. Caporaso, Theories of Political Economy, (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 221. Lihat juga: Yunus Husein, Rahasia Bank Privasi Versus Kepentingan Bank, (Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003), hal. 65. Smith mengatakan kaitan antara ekonomi dan politik mempunyai hubungan yang erat dengan istilah ekonomi-politik (political economy). Salah satu tujuan ekonomi-politik menurutnya adalah menyediakan sejumlah daya bagi negara atau pemerintah agar mampu menjalankan berbagai tugas atau fungsinya dengan baik, dimana ekonomi-politik berusaha untuk merumuskan bagaimana memakmurkan rakyat dan pemerintah sekaligus.

(2)

negara, memberikan pelayanan, mengayomi, melindungi, menjalankan program-program pembangunan.

Ketika instrumen hukum didominasi oleh pemerintah melalui kebijakan politik, maka tujuannya cenderung akan berpola dan berpihak kepada pemerintah itu sendiri. Akan tetapi ketika hukum sekalipun dijalankan oleh pihak independen, bukan pula secara otomatis dapat mencapai tujuan bersama yakni negara yang berdaulat, sejahtera, adil, dan makmur. Karena yang lebih penting dari itu adalah sejauh mana implementasi independensi dibarengi dengan perilaku yang menjunjung tinggi etika norma moral yang baik agar terhindar dari kepraktisan hukum.

Berkenaan dengan kepraktisan hukum, Peter Mahmud Marzuki mengatakan, ”betapa pun praktik harus didasarkan pada teori dan prinsip yang berlaku, bukan praktik menyimpangi dari teori”. Anggapan yang menyatakan praktik tidak harus sama dengan teori merupakan suatu anggapan yang sangat naif. Penerapan suatu ilmu akademis harus didasarkan pada teori yang melandasinya sebab jika tidak demikian, penerapan itu akan gagal.2

Demikian pula dalam hal norma pengaturan independensi didasarkan pada teori dan prinsip dalam konteks negara kesejahteraan. Untuk menciptakan rakyat yang sejahtera, independensi mutlak diperlukan. Apabila norma independensi diterapkan dengan perilaku praktis misalnya perilaku penyimpangan dari teori,

2

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 38.

(3)

norma, dan prinsip yang melandasi independensi, maka penerapan independensi itu akan gagal.

Independensi akan dapat meminimalisir peran pemerintah absolut dalam meregulasi dan mengawasi sektor ekonomi khususnya perbankan. Sebagaimana dikatakan oleh Didik J. Rachbini, memandang pentingnya peran negara atau pemerintah dalam sistem demokrasi ekonomi pada prinsipnya hanya sebatas fungsinya sebagai penonton (in partial spectator).3 Dengan demikian Negara atau Pemerintah hanya boleh atau dapat mengintervensi pasar gagal untuk menyeimbangkan (stabilisator) pasar ketika sistem pasar keuangan terganggu, sebab bila tidak ada intervensi pemerintah akan menimbulkan distorsi.4

Misalnya dalam hal terjadinya praktik monopoli alamiah (natural monopoly)

5

maka terbuka peluang dua pilihan yang mungkin akan terjadi misalnya monopoli dilakukan oleh pihak swasta dan monopoli dilakukan oleh pihak pemerintah, baik pada saat merancang regulasi maupun ketika penerapan regulasi.6

3

Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik Paradigma dan Teori Pilihan Publik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 106.

Oleh sebabnya, untuk menghindari monopoli tersebut, maka pihak-pihak independen perlu ditempatkan untuk mengatur dan mengawasi kegiatan perekonomian perbankan.

4

Ibid.

5

Monopoli alamiah dalam konteks ini diartikan sebagai tindakan-tindakan penguasaan terhadap pasar ekonomi yang dilakukan oleh satu pihak baik penguasaan pangsa pasar dengan cara-cara sendiri dan membuat aturan sendiri-sendiri atau kelompok.

6

Bismar Nasution, ”Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, Pidato (Makalah berbentuk teks) yang Disampaikan pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa USU, Medan, Sabtu, Tanggal 17 April 2004, hal. 3.

(4)

Setidaknya melalui pendekatan koordinasi yang baik dalam hal mengeluarkan pengaturan dan melakukan pengawasan yang melekat pada suatu lembaga yang independen, akan menjadi stabilisator dalam membuat kebijakan di pasar finansial misalnya perbankan.

Lembaga yang independen dimaksud adalah Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat OJK). Lembaga OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan7

Lembaga OJK dibentuk untuk memenuhi amanat dari Pasal 34 UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disingkat UU BI)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat UU OJK). Berdasarkan ketentuan ini, salah satu amanat UU OJK adalah independensi dari lembaga OJK itu sendiri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya mengatur dan mengawasi perbankan.

8

7

Lihat: Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (disngkat UU OJK).

yang tugas pokoknya untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap bank-bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun,

8

Istilah awalnya dikenal dengan Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan (LPJK) sebagaimana Pasal 34 UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, menentukan:

a. Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.

b. Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.

(5)

sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Oleh karena lembaga ini bersifat independen, maka dalam menjalankan tugas, kedudukannya berada di luar institusi pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kendatipun Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah lembaga yang independen tetapi keindependensiannya tidak berlaku secara absolut (mutlak), demikian pula dengan lembaga OJK tidak mutlak sebagai lembaga yang independen. Sebab dalam Pasal 4 ayat (2) UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU No.3 Tahun 2004 sebagaimana diubah melalui UU No.6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia (UU BI) ditentukan pengecualian. Sehingga dengan pengecualian ini, keindependensian BI tidak murni berlaku.9 Ketentuan pengecualian itu ditentukan, ”Jika diatur secara tegas dalam UU BI”. Dalam Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) UU OJK juga terdapat ketentuan pengecualian yang menentukan, ”Jika diatur secara tegas menurut UU OJK”.10

9 Pasal 4 UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, menentukan:

a. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia.

b. Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.

c. Bank Indonesia adalah badan hukum berdasarkan undang-undang ini.

10

Pasal 1 angka 1 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan: “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Pasal 2 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan:

(6)

Ketentuan pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 4 UU BI dan Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) UU OJK tersebut membuka peluang selebar-lebarnya kepada pemerintah untuk melakukan intervensi misalnya mengambil keputusan bisnis perbankan. Kecenderungan itu dapat terjadi misalnya ketika dalam melakukan pencegahan dan penanganan krisis dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (selanjutnya disingkat FKSSK) yang dikoordinatori oleh Kemenkeu sementara pihak Kemenkeu itu sendiri bukan pihak yang independen melainkan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor keuangan. Peluang seperti ini perlu diwaspadai karena independensi akan bisa diatur dan disesuaikan dengan kondisi di luar daripada ketentuan undang-undang atau anggota FKSSK bisa berkoordinasi karena kepentingan politik tertentu di luar ketentuan undang-undang.

Melemahnya independensi sebagaimana yang diilustrasikan dalam FKSSK tersebut di atas, berkorelasi logis dengan pernyataan Robert W. Gordon, sebagaimana yang dikutip oleh David Kairys, yang kemudian dikutip oleh Bismar Nasution dalam Pidato Pengukuhan Guru Besarnya, disebutkan bahwa ”kegagalan pasar sebagai alasan utama pemerintah untuk mengintervensi ekonomi, sekaligus harus membuat hukum untuk mengarahkan kegiatan ekonomi itu sendiri”.11

b. OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.

11

Bismar Nasution, ”Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Makalah yang Disampaikan pada Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pengawasan Industri Jasa Keuangan Yang Terintegrasi, Dilakasanakan Oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan

(7)

Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan dalam UU OJK mengamanatkan pengawasan dari Lembaga Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat LJK)12

1. Pengawasan dalam rangka mendorong lembaga-lembaga ikut menyokong, menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter (macro

economic supervision).

pada prinsipnya dibagi dalam dua jenis:

2. Pengawasan yang mendorong agar LJK secara individual tetap sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (prudential

supervision).13

Oleh karena itu, melemahnya sikap independen pada tataran praktik, juga besar kemungkinan bisa terjadi ketika misalnya sistim ekonomi akan berurusan dengan penyehatan perbankan seperti persoalan ekonomi makro (macro economic

supervision) sebagaimana ditentukan di Pasal 39 UU OJK14

Lembaga Jasa Kuangan bekerjasama dengan Universitas Medan Area, di Hotel Santika Medan, Tanggal 19 Juni 2012, hal. 7-8. Lihat juga: Bismar Nasution, ”Mengkaji Ulang Hukum...”, Loc. cit. Lihat juga: Robert W. Gordon, dalam David Kairys, ed, The Politics of Law A Progressive Critique, (New York: Pantheon Books, 1990), hal. 418. Hal ini pernah diamati Robert W. Gordon, dan menyimpulkan bahwa hukum adalah salah satu di antara berbagai sistem yang berarti bagi rakyat dalam rangka pembangunan.

, di mana Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat DK OJK) akan

12

LJK misalnya BI dan OJK.

13

Bismar Nasution, “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan: Kajian Terhadap Independensi dan pengintegrasian Pengawasan Lembaga Keuangan”, Makalah Disampaikan pada Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Dilaksanakan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Medan, Tanggal 8 Juni 2011, hal. 7.

14

Pasal 39 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan:

Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:

a. Kewajiban pemenuhan modal minimum bank; b. Sistem informasi perbankan yang terpadu;

c. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;

d. Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;

e. Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan f. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.

(8)

berkoordinasi dalam FKSSK sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (2) UU OJK.15

Dalam kaitannya dengan Pasal 2 ayat (2) UU OJK, ketika kondisi tidak normal misalnya bank akan berdampak sistemik (vide Pasal 39 huruf e) yang penanganannya harus melalui FKSSK sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 45 ayat (2) UU OJK,

16

Pelemahan sikap independensi itu bisa pula terjadi pada sektor anggaran, misalnya jika anggaran operasional OJK dipungut dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, maka akan sulit bagi anggota DK OJK untuk memerankan independensi itu. Sebab jika anggarannya di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),

berpeluang bagi pemerintah (Kemenkeu) untuk mengintervensi melalui rapat dalam FKSSK tersebut. Sehingga dengan masuknya Kemenkeu ke dalam FKSSK di sini, keindependensian OJK termasuk juga BI dan LPS bisa atau cenderung melemah. Inilah yang mungkin bisa terjadi sebagai bentuk penyimpangan dari Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 39 huruf e, dan Pasal 45 ayat (2) UU OJK.

17

15

Lufti Zen Fuadi, “Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Makalah Disampaikan pada Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, di Tiara Medan Hotel & Convention Center, Medan, Tanggal 8 Juni 2012. Ada dua ruang lingkup pembagian kewenangan pengaturan dan pengawasan dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yakni: masalah macro economic supervision, micro economic supervision atau prudential supervision.

maka dikhawatirkan adanya campur tangan dari pihak-pihak tertentu khususnya pihak-pihak yang turut menyokong anggaran

16

Pasal 45 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, menentukan: ”Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis”.

17

(9)

operasional OJK tersebut. Sehingga keindependensian dari para anggota DK OJK bisa melemah dan tidak akuntabel serta tidak transparan18

Secara ilmu hukum tata negara, BI sebagai Bank Sentral terlepas dari ketiga kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif,

ketika membuat suatu kebijakan. Padahal ciri khas dari sikap independensi pada hakikatnya harus otonom (berdiri sendiri), bebas dari pengaruh kepentingan-kepentingan lainnya, partai politik, pihak swasta, lembaga lain sebagai penyandang dana, sektor bisnis dan siapapun.

19

Dalam perjalanan pembentukan DK OJK, diketahui pula bahwa Ketua DK OJK terpilih adalah Muliaman Darmasyah Hadad dari Deputi Gubernur BI dan salah satu pejabat ex officio

bahkan posisi BI diatur dan dilegalitaskan tersendiri dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Sementara bagi lembaga OJK tidak diatur dalam konstitusi negara Indonesia. Tentu perbedaan ini akan menjadi bagian dari persoalan ketika masing-masing lembaga berada pada satu forum yang disebut FKSSK.

20

18

Bandingkan dengan pendapat: Bismar Nasution, ”Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Menurut....Op. cit., hal. 3.

yang menjadi anggota DK OJK dari perwakilan BI adalah

19

Moh. Kusnardi dan Hermailiy Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dab CV. Sinar Bakti, 1983), hal. 181-182. UUD 1945 menganut sistem pemisahan kekuasaan (Trias Politica) sebagaimana diajarkan oleh Montesquieu. Berarti secara politik Bank Indonesia berada di luar ketiga kekuasaan di atas (di luar campur tangan eksekutif, yudikatif, dan legislatif).

20

Pasal 1 angka 20 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Ex officio adalah jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain. Bandingkan juga dengan: Muslimin Anwar (Dosen Pascasarjana FE UI), ”Peran Otoritas Jasa Keuangan Negara G-20”, Artikel Berita Kolom Probis Rakyat Indonesia, Tanggal 7 April 2009, hal. 1. Gubernur Bank Sentral Italia, Mario Draghi, diangkat menjadi Ketua Forum Stabilitas Finansial (FSF) yang saat ini berubah nama menjadi Pengawas Sistem Keuangan Global. FSF ini bertugas meningkatkan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan global.

(10)

Halim Alamsyah yang sebelumnya juga menjabat sebagai Deputi Gubernur BI,21 sehingga dengan demikian dalam mengatasi masalah macro economic supervision melalui FKSSK untuk menentukan institusi bank yang masuk kategori systemically

important bank, dikhawatirkan independensi OJK akan melemah.22

Pelemahan itu misalnya pemerintah turut campur dalam urusan menentukan kebijakan ekonomi makro sebagaimana yang terjadi pada kasus Bank Century, sebab dalam FKSSK Menteri Keuangan berada pada posisi nilai tawar yang tinggi sebagai koordinator dan salah satu anggota ex officio DK OJK terpilih, Anny Ratnawati berasal dari Kementerian Keuangan yang sebelumnya menjabat sebagai Dirjen Anggaran Kemenkeu.23

Amanat UU OJK yang menentukan suatu forum yang disebut dengan FKSSK terdiri dari: Menteri Keuangan selaku koordinator, dan Gubernur BI, DK OJK, DK LPS (sebagai anggota). Sehingga konsekuensi logis dalam forum tersebut tercantum satu pokok pikiran yakni ”hubungan kelembagaan”.24

21

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/06/19/121758/Muliaman-Hadad-Terpilih-Jadi-Ketua-DK-OJK, diakses tanggal 7 Agustus 2012.

Untuk dapat mewujudkan hubungan kelembagaan dimaksud, OJK harus melakukannya melalui koordinasi lintas lembaga.

22

Muslimin Anwar, Loc. cit. Gubernur Bank Sentral Italia, Mario Draghi, juga diangkat menjadi Ketua Forum Stabilitas Finansial (FSF) yang telah berubah nama menjadi Pengawas Sistem Keuangan Global dan bertugas meningkatkan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan global.

23

Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, ditentukan anggota DK OJK dibentuk terdiri dari 9 (sembilan) orang, 2 (dua) orang dari ex efficio (wakil dari BI dan Kemenkeu) dan 7 (tujuh) orang dari independen.

24

(11)

Koordinasi merupakan kunci untuk menciptakan perbankan nasional yang sehat dan aman. Tetapi disadari atau tidak, koordinasi merupakan barang mewah di negeri ini. Walaupun demikian, setidaknya melalui koordinasi dapat meminimalisir kendala-kendala yang membuat terhambatnya sistem perbankan. Apalagi koordinasi antar lintas instansi di negeri ini, meski sudah dirasakan membaik masih lebih banyak yang merupakan mimpi.25

Koordinasi dapat membawa dampak yang baik, pencitraan terhadap profil suatu lembaga, jika orang-orang yang terikat didalamnya akan mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara arif, bijak, dan profesional. Sebaliknya, koordinasi juga dapat memperburuk citra suatu lembaga jika para wakil-wakilnya atau para pengemban tugas dan tanggung jawab tersebut cenderung berperilaku mengabaikan hukum, etika, dan moral. Persoalan koordinasi mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk diterapkan. Melalui koordinasi dapat merusak citra lembaga-lembaga dan melalui koordinasi juga dapat mencapai tujuan yang hakiki.

Dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan, DK OJK melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan pihak BI sebagai Bank Sentral. Lembaga OJK berwenang membuat peraturan yang berkaitan dengan bank dan berwenang pula melakukan pengawasan terhadap bank tersebut secara berkoordinasi dengan BI misalnya untuk meminta penjelasan atau keterangan dari pihak BI mengenai data makro yang diperlukan. Sementara pihak BI juga berwenang

25

Priyanto B. Nugroho, “OJK dan Skandal Korupsinya di Korea Selatan”, http://luar-negeri.kompasiana.com/2011/08/02/ojk-dan-skandal-korupsinya-di-korea-selatan/, diakses tanggal 15 Juni 2012.

(12)

membuat pengaturan dan melakukan pengawasannya terhadap bank-bank. Kedua lembaga ini dimaksud oleh UU OJK harus berkoordinasi secara independen dalam koridor-koridor tertentu sesuai yang ditentukan dalam undang-undang.

Mengawasi perbankan memang bukan perkara mudah. Otoritas dituntut menciptakan sistem perbankan menjadi sehat, sekaligus melindungi kepentingan masyarakat khususnya nasabah dan konsumen. Intervensi dari pihak pemerintah dan lembaga-lembaga pengawas dari BI untuk mencampuri tugas dan wewenang yang telah diamanatkan kepada OJK, misalnya arogansi, dinilai sebagai faktor kondusif kegagalan. Oleh sebab itu, tanpa mengurangi keindependensian kedua lembaga BI dan OJK, dapat dipertemukan melalui koordinasi dalam batas-batas hubungan kelembagaan yang ditentukan dalam undang-undang.

Sebagaimana diketahui bahwa tujuan utama dari sistem pengawasan perbankan yang diamanatkan oleh UU OJK adalah untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang sehat. Jika independensi BI dan OJK dicampuri oleh pemerintah atau lembaga-lembaga lainnya dalam menjalankan tugas dan wewenang OJK, niscaya tujuan untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang sehat tidak akan bisa tercapai. Demikian pula koordinasi yang baik antar BI dengan OJK dan lembaga-lembaga lainnya juga sebagai faktor penentu keberhasilan pengawasan sistem perbankan nasional.

Independensi dan koordinasi antara BI dengan OJK merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar pada era pasar finansial yang semakin memburuk saat ini. Koordinasi yang baik antar lintas sektoral dalam hubungan kelembagaan BI dengan

(13)

OJK dan lembaga-lembaga lainnya sebagai kunci kesuksesan untuk mencapai tujuan amanat dari UU OJK agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan khususnya sektor perbankan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan (sustainable

develompment) dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan nasabah/konsumen

dan masyarakat. Dengan demikian dirasa penting untuk dilakukan penelitian tentang, ”Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia” sebagai judul dalam tesis ini.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagaimana berikut ini:

1. Bagaimanakah independensi Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi sistem perbankan?

2. Bagaimanakah hubungan koordinasi antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia?

3. Bagaimanakah pengaturan tugas pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia terhadap bank?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam rangka melakukan penelitian terhadap kedua permasalahan di atas, adalah sebagai berikut:

(14)

1. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis independensi Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi sistem perbankan.

2. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis hubungan koordinasi antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis pengaturan tugas pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia terhadap bank.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis:

1. Secara teoritis bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan bermanfaat bagi masyarakat umum khususnya nasabah atau konsumen perbankan.

2. Secara praktis bermanfaat bagi struktur/fungsional lembaga-lembaga dalam kaitannya dengan perbankan seperti Dewan Gubernur Bank Indonesia, DK OJK, DK LPS, Lembaga Jasa Keuangan lainnya, struktural Kemenkeu, bagi bank-bank konvensional dan non konvensional, serta bagi pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

(15)

E. Keaslian Penelitian

Sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan terhadap judul dan permasalahan yang sama di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Studi Magister Ilmu Hukum maupun dilakukan penelusuran (searching) di situs-situs resmi perguruan tinggi melalui media internet dan diperoleh bahwa tidak ada judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini.

Berdasarkan penelusuran diperoleh judul tesis dengan judul:

1. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mencegah Kejahatan Insider

Trading di Pasar Modal, diteliti oleh: Leo Chandra Jaya Bona Parti

Tampubolon, NIM: 107005050. Fokus kajian dalam penelitian ini bertumpu pada kewenangan OJK di Pasar Modal yang dikhususkan pada pencegahan praktik-praktik perdagangan orang dalam (insider trading).

2. Analisis Yuridis Kedudukan Bapepam Setelah Berlakunya UU No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, diteliti oleh: Susi Muliyanti, NIM: 107005085. Fokus kajian dalam penelitian ini bertumpu pada:

a. Apakah latar belakang berdirinya OJK?

b. Bagaimanakah kewenangan Bapepam di Pasar Modal sebelum OJK? c. Bagaimanakah transformasi kewenangan Bapepam kepada OJK

setelah berlakunya UU OJK?

3. Analisis Terhadap Fungsi Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Sistem Perbankan, diteliti oleh Ramsul Nababan, NIM: 107005002. Tetapi sejak

(16)

penelitian ini berlangsung belum diajukan draft permasalahan terhadap judul di atas.

Penelitian ini baru pertama kali dilakukan, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif, terbuka, dan sesuai pula dengan implikasi etis dari prosedur menemukan kebenaran ilmiah secara bertanggung jawab. Oleh sebab itu, penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian (original) dan tidak plagiat (duplikat) dari hasil karya penelitian pihak lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Teori menempati kedudukan yang penting sebagai pisau analisis untuk merangkum dan memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori memberikan penjelasan melalui cara mengorganisasikan dan mensistematiskan masalah yang dibicarakan.26

Krisis otoritas cenderung terjadi dalam suatu lembaga khususnya lembaga perbankan. Philippe Nonet dan Philip Selznick mengatakan, banyak perhatian dan kontroversi seputar ilmu hukum kontemporer yang berakar pada krisis otoritas dan telah mengguncang institusi-institusi publik.27

26

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 253.

Krisis otoritas bisa terjadi dalam tataran regulasi (misalnya tidak memadainya hukum dan perundang-undangan

27

Philippe Nonet dan Philip Selznick, diterjemahkan oleh: Raisul Muttaqien, Hukum Responsif, (Bandung: Nusamedia, 2008), hal. 4-5.

(17)

sebagai sarana perubahan dan sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan) dan juga bisa terjadi menyangkut krisis legitimasi, terkikisnya otoritas, penyalahgunaan aktivisme hukum, dan macetnya hukum dan ketertiban serta korupsi di kalangan tertib hukum. Kesewenang-wenangan yang menonjolkan pelayanan kekuasaan sehingga menyebabkan bobroknya ketertiban sosial.28

Dalam karya Philippe Nonet dan Philip Selznick disebutkan, meskipun sumber-sumber kontrol yang lainnya penting, namun sumber-sumber kontrol tersebut tidak bisa bersifat tunggal diandalkan untuk menyelamatkan masyarakat dari kesewenang-wenangan, intimidasi atau hal-hal yang lebih buruk. Melainkan juga dibutuhkan penghormatan yang tertinggi terhadap otoritas dimaksud misalnya menjunjung tinggi penerapan moral dalam hukum, pemisahan hukum dari politik harus secara tegas serta penyimpangan dari hukum harus ditindak tegas serta adanya kontrol sosial.29

Philippe Nonet dan Philip Selznick juga memandang akan pentingnya diterapkan fleksibilitas dan keterbukaan institusi-institusi pada koridor-koridor tertentu.

30

Ketika melemahnya otoritas, maka patut dipertanyakan validitas moral yang dianut. Dalam kondisi otoritas yang terancam, maka alternatif-alternatif menjadi pilihan nyata yang menegaskan karakter moral individu.31

28

Ibid.

Kekacauan tidak mungkin diciptakan oleh hukum substantif melainkan diciptakan oleh struktur hukum yang

29 Ibid, hal. 5-7. 30 Ibid.7-8. 31 Ibid, hal. 10-11.

(18)

tidak menjunjung tinggi hukum moral. Hukum menjadi alat kepentingan kekuasaan kelompok-kelompok yang mengendalikan negara. Inilah yang disebut dengan pemisahan negara dengan masyarakat.32

Satjipto Rahadjo dengan hukum progresifnya menolak dan ingin mematahkan status quo karena dinilainya hampir tidak ada usaha untuk melakukan perbaikan, yang ada hanya menjalankan aturan hukum seperti apa adanya dan secara biasa-biasa saja (business as usual).33 Kiranya apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahadjo tersebut merupakan suatu gejala yang jika dikaitkan dengan status quo secara kasat mata tampak pada masa sebelum tahun 1998. Namun walaupun status quo itu sudah direformasi pasca tahun 1998 muncul status quo jenis baru yang tidak tampak di mana status itu terselubung melalui muatan-muatan politik campur tangan pihak-pihak tertentu seperti misalnya menonjolkan kepentingan pemerintah.34

Independensi merupakan salah satu cara menempatkan sistem kontrol dari kesewenang-wenangan pelayan publik dan koordinasi adalah kuncinya. Tujuan UU Perbankan mustahil akan tercapai jika tidak dilakukan berdasarkan independensi, tujuan sistem pengawasan perbankan akan pincang ketika tidak dilakukan melalui koordinasi yang baik antar sesama otoritas dengan pihak lainnya yang memiliki

32

Roberto M. Urger, diterjemahkan oleh: Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, Teori Hukum Kritis, Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, (Bandung: Nusamedia, 2008), hal. 74 dan hal. 82.

33

Satjipto Rahadjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), hal. 114.

34

Dimisalkan sebagai contoh dalam hal pengambilan keputusan untuk penanganan kasus-kasus perbankan seperi: Bank Likuiditas Bank Indonesia, Bank Century, dan lain-lain sampai saat ini tidak jelas arahnya kemana.

(19)

kewenangan dan tanggung jawab dalam sistem perbankan untuk menciptakan perbankan yang sehat.

Berangkat dari persoalan di atas, berdasarkan teori tujuan, pada prinsipnya hukum dibentuk bertujuan untuk mewujudkan ketertiban (order) dan ketertiban merupakan syarat mendasar dan benar-benar merupakan kebutuhan masyarakat manusia yang nyata dan objektif.35 Para penganut paradigma hukum alam memandang tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan.36 Namun keadilan bukan satu-satunya tujuan hukum melainkan juga bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare state).37

Ketertiban dalam pandangan Kusumaatmadja merupakan tujuan utama dari hukum (termasuk dalam konteks hukum perbankan). Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda ukurannya bergantung pada bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di lingkungan masyarakat temapat ia hidup38

35

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun), hal. 2-3.

(hukum perbankan bertujuan untuk membuat adil

36

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975), hal. 20, Menurut teori etis (etische theory), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya Ethica Nicomachea dan Rhetorika, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas suci, yaitu memberi kepada setiap oarang yang ia berhak menerimanya.

37

Mochtar Kusumaatmadja, Loc. cit. Menurut teori utilities (utilities theory), hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya. Teori ini diajarkan oleh Jeremy Bentham tahun 1748-1832, seorang ahli hukum dari Inggris.

38

(20)

bagi nasabah dan konsumen bank). Tujuan hukum di Indonesia termaktub dalam Pancasila dan pada alinea IV Pembukaan UUD 1945.39

Ketiga tujuan hukum tersebut (keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan), masing-masing ditempatkan ke dalam ajaran hukum sebagai pandangan legalisme (logische geschlossenheit) yang menitikberatkan pada keadilan, pandangan fungsionil (functionele rechtsleer) yang menitikberatkan pada kemanfaatan dan pandangan yang kritis (gesellschatsgebunden) yang menitikberatkan pada kepastian hukum.

Keadilan menurut Plato adalah nilai kebijakan yang paling tertinggi.40 Keadilan menurut H.L.A. Hart adalah nilai kebajikan yang paling legal atau atribut pribadi (habitus animi).41 Para filosof Yunani memandang bahwa keadilan sebagai suatu kebijakan individual.42 Makna keadilan yang dikemukakan tersebut pada prinsipnya bertujuan sama bergantung pada sudut pandang masing-masing. Namun menjadi persoalan adalah ketika terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam kehidupan, maka sektor hukum jugalah yang berperan untuk menemukan dan mengembalikan keadilan yang telah hilang (the lost justice) inilah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan korektif.43

John Rawls mengolaborasi keadilan dengan mencampur unsur-unsur keadilan menurut Aristoteles dan keadilan yang hilang itu mesti dikembalikan oleh hukum.

39

B. Arief Sidharta, ”Cita Hukum Pancasila”, Lembaran Diktat Kuliah Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2003, hal. 1-2.

40

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 92.

41 Ibid. 42 Ibid, hal. 93. 43 Ibid.

(21)

Hasil kolaborasinya diperoleh secara tajam jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Terpenuhinya hak yang sama terhadap dasar;

2. Perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu:

a. Terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap yang lemah;

b. Terciptanya kesempatan bagi semua orang.44

Pandangan John Rawls tersebut sejalan dengan keadilan yang ingin dicapai oleh aliran utilitarian yang menitikberatkan pada kemanfaatan. Jika mesin diukur dari manfaatnya (utility), maka institusi sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur dari manfaatnya. Karena itu, unsur manfaat sebagai kriteria bagi manusia dalam mematuhi hukum.45

Teori manfaat yang paling terkenal dikemukakan dari Jeremy Bentham dalam karyanya berjudul “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation”.

46 44 Ibid, hal. 94. 45 Ibid, hal. 95. 46

Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia yang bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakart dan Fredom Institusi, 2006), hal. 13, Jeremy Bentham (1748-1832 ), Karyanya Introduction to the Priciples of Morals and Legislation, pertama kali diterbitkan tahun 1789 adalah karya klasik yang menjadi rujukan (locus classicus) tradisi utilitarian. Utilitarisme berasal dari kata latin utilis yang berarti “manfaat”. Diktum Bentham yang selalu dikenang, yakni bahwa mereka diharapkan mampu memaksimalkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Menurut Bentham: Alam telah menempatkan umat manusia di bawah kendali dua kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita lakukan. Standar benar dan salah di satu sisi, maupun rantai sebab akibat pada sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam sumua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan : setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata-kata seorang manusia mungkin akan berpura-pura menolak kekuasaan mereka tapi pada kenyataannya ia akan tetap berada dibawah kekuasaan mereka. Asas manfaat (utilitas) mengakui ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem tersebut, dengan tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan nalar dan hukum. Sistem yang mencoba

(22)

Asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri. Sehingga tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan akan tercapai.47

Teori utilitiarisme berpandangan bahwa kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan kesejahteraan bersama. Perbuatan yang baik diukur dari hasil yang bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka tidak pantas disebut baik.48 Pengambilan keputusan berdasarkan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya yang dikenal dengan istilah the greatest good for the greatest number. Semakin bermanfaat akan semakin banyak orang dan perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan adalah manfaat terbesar sehingga sering disebut dengan aliran konsekuensialisme karena sangat berorientasi pada hasil perbuatan.49

Teori utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik atau buruk. Baik buruknya kualitas moral suatu perbuatan bergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan oleh mereka sebagai

untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan kata-kata ketimbang maknanya, dengan dorongan sesaat ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang terang.

47

Ibid., hal. 14. Lihat juga: Johannes Ibrahim, ”Penerapan Single Presence Policy dan Dampaknya Bagi Perbankan Nasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27 No.2, hal. 14. Menyebutkan teori keutamaan moral yang dikemukakan oleh Adam Smith, keadaan batin yang waspada, jeli, dan sangat hati-hati, selalu penuh perhatian terhadap konsekuensi-konsekuensi yang paling jauh dari setiap tindakan untuk memperoleh kebaikan yang paling besar dan untuk menghindari kejahatan yang paling besar. Keutamaan ini menyangkut kebijakan yang ditempuh hendaknya tidak saja memperhatikan kepentingan untuk masa kini, melainkan juga konsekuensi-konsekuensi jangka panjang dari tindakan yang ditempuh.

48

K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), hal. 67.

49

(23)

pengemban amanah atau orang-orang yang dipercaya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaatnya, maka perbuatan itu dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan di sini menentukan seluruh kualitas moral.50

Prinsip utilitarian menganggap suatu tindakan menjadi benar jika jumlah total manfaat yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah manfaat total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan. Penelantaran para penyandang cacat, eksploitasi kaum minoritas yang rentan, ketidakotentikan, dan hilangnya otonomi adalah bahaya-bahaya yang ditentang utilitarianisme ini.

51

Utilitarisme ini tidak bisa dimengerti dengan cara egoistis. Sebab kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar atau perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Masalahnya adalah mengapa dalam pengambilan keputusan bisnis dari otoritas suatu lembaga misalkan otoritas pengawas perbankan merupakan tanggung jawab moral induvidu dari orang-orang yang dipercaya? Jika dijawab melalui teori utilitarisme, karena hal itu membawa manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai keseluruhan (masyarakat) khususnya nasabah atau konsumen bank. Jawaban ini dapat diterima untuk menciptakan suatu

50

K. Bertens, Loc. cit.

51

Ian Saphiro, Op.cit., hal. 24. Lihat juga: W. Stark, (ed), Jeremy Bentham’s Economic Writings, (London : George Allen & Unwin, 1954), hal. 113.

(24)

konsep yang sering disebut sebagai upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable

development).52 Prinsip keadilan utilitarisme adalah menekankan kebijaksanaan yang masuk akal untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama.53

Mudah dipahami bahwa utilitarisme sebagai teori etika sesuai dengan pemikiran ekonomis. Misalnya, teori ini cukup dekat dengan analisis biaya manfaat (cost benefit analysis) yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat yang dimaksudkan utilitarisme seperti menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis.54

John Stuart Mill melakukan revisi dan mengembangkan lebih lanjut teori ini. Dalam bukunya Utilitarianism yang diterbitkan pada tahun 1861, John Stuart Mill mengasumsikan bahwa pengejaran manfaat bagi masyarakat adalah sasaran aktivitas moral individual. John Stuart Mill mempostulatkan suatu nilai tertinggi kebahagiaan yakni kesenangan heterogin dalam berbagai bidang kehidupan. Semua pilihan dapat dievaluasi dengan mereduksi kepentingan yang dipertaruhkan sehubungan dengan kontribusinya bagi kebahagiaan individual yang tahan lama. Kriteria utilitas

Ukuran utilitarisme menambahkan kuantitas keuntungan yang dihasilkan oleh suatu tindakan dan menguranginya dengan jumlah kerugian dari tindakan, selanjutnya menentukan tindakan mana yang menghasilkan keuntungan paling besar atau biaya yang paling kecil. Teori utilitarisme tentang hukum moral berbanding terbalik atau suatu bentuk penolakan keras terhadap tindakan aji mumpung (moral hazard) dari pengemban amanah.

52

K. Bertens, Op. cit, hal. 66.

53

John Rawls, A theory of Justice, (London: Harvard University Press, 1971), hal. 23-24.

54

(25)

menurutnya harus mampu menunjukkan keadaan sejahtera individual yang lebih awet atau resisten sebagai hasil yang diinginkan yakni kebahagiaan.55 Tindakan harus menciptakan manfaat yang positif untuk bisnis. Baik bermanfaat untuk pelaku bisnis maupun kepada masyarakat konsumen.56

Penggunaan teori tujuan hukum sebagaimana dimaksud di atas untuk mencapai keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang pada prinsipnya untuk menjadikan manfaat terbesar bagi masyarakat Indonesia khususnya nasabah dan konsumen bank terkait dengan masalah independensi dan koordinasi antar lembaga-lembaga perbankan dalam menciptakan perbankan yang sehat semata-mata untuk mencapai tujuan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 4 UU OJK. OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Tujuan itu dimaksudkan karena bisnis bank merupakan bisnis penuh dengan risiko. Risiko-risiko usaha bank misalnya: risiko kredit (credit risk), risiko investasi

55

Gunawan Prasetio, Etika Bisnis, (Yogyakarta: Simon & Schuster, 1997), hal. 190-192. James Mill (1773-1836) adalah ayah John Stuart Mill seangkatan dan menjadi pengikut Bentham yang antusias, membesarkan anaknya, John Stuart Mill (1806-1873) dengan mendoktrinnya paham utilitarianisme. Teori Utiliarianisme eudaemonistik yang dipopulerkan oleh John Stuart Mill memiliki kriteria tindakan utilitarianisme yang berbeda dengan teori utilitarianisme hedonistic yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham yang mempertahankan hasil terakhir haruslah kesenangan individual atau ketiadaan sakit. Kriteria utilitas hedonistik adalah kesenangan.

56

O.P. Simorangkir, Etika: Bisnis, Jabatan dan Perbankan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal, 55.

(26)

(investment risk), risiko likuiditas (liquidty risk), risiko operasional (operating risk), risiko penyelewengan (fraud risk), risiko fidusia (fiduciary risk), risiko tingkat bunga (interest rate risk), risiko solvensi (solvency risk), risiko valuta asing (foreign

currency risk), dan risiko persaingan (competitive risk).57

Risiko-risiko itu muncul karena posisi bank sebagai perantara finansial yang dijalankan oleh orang-orang yang dipercaya atau sebagai pengemban amanah, di mana bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

58

57

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 299-302. Risiko kredit (credit risk) adalah risiko akibat ketidakmampuan nasabah debitor mengembalikan pinjaman yang diterimanya dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan atau dijadwalkan. Risiko investasi (investment risk) adalah risiko yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya kerugian akibat penurunan nilai pokok portofolio surat-surat berharga yang dimiliki bank misalnya obligasi atau surat berharga lainnya. Risiko likuiditas (liquidty risk) adalah risiko yang mungkin dihadapi oleh bank untuk memenuhi kebuhutan likuiditasnya dalam rangka memenuhi permohonan kredit dan semua penarikan dana oleh nasabah penyimpan pada suatu waktu. Risiko operasional (operating risk) adalah risiko berkenaan dengan ketidakpastian mengenai kegiatan usaha bank disebabkan karena penurunan keuntungan yang dipengaruhi oleh struktur biaya operasional bank dan kegagalan atas jasa serta produk baru yang diperkenalkan. Risiko penyelewengan (fraud risk) adalah risiko yang berkaitan dengan kerugian yang mungkin terjadi akibat ketidakjujuran, penipuan, kebejatan moral, perilaku tidak terpuji dari pejabat, karyawan, dan nasabah bank. Risiko fidusia (fiduciary risk) adalah risiko yang mungkin timbul apabila bank memberikan jasa dengan bertindak sebagai wali amanat, baik untuk pribadi maupun badan usaha. Risiko tingkat bunga (interest rate risk) adalah risiko yang kemungkinan timbul akibat berubahnya tingkat bunga sehingga akan menurunkan nilai pasar surat-surat berharga yang terjadi pada saat bank membutuhkan likuiditas. Risiko solvensi (solvency risk) adalah risiko yang terjadi disebabkan oleh ruginya beberapa aset yang pada gilirannya menurunkan posisi modal bank. Risiko valuta asing (foreign currency risk) adalah risiko yang dihadapi oleh bank devisa yang melakukan transaksi berkaitan dengan valuta asing, baik dari sisi aktiva maupun dari sisi pasiva. Risiko persaingan (competitive risk) adalah risiko yang berkemungkinan timbul disebabkan karena jenis produk-produk yang ditawarkan bank seluruhnya berisfat homogen sehingga persaingan antar bank lebih berfokus pada kemampuan bank memberikan pelayanan kepada nasabah secara proporsional dan paling baik.

58

Pasal 1 angka 2 UU No.7 Tahun 1992 junto UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan).

(27)

Sehingga fungsi bank dikategorikan sebagai perantara (intermediation) dan fungsi sebagai penyalur (transmission).59

Dalam dunia perbankan, termasuk di dalamnya OJK, pihak pengelola sistem tersebut adalah pemegang amanah (fiduciary) harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Gubernur Bank Sentral, Dewan Komisioner OJK dan LPS, Kemenkeu, Komisaris, dan Direksi menempati posisi sebagai fiducia dalam pengelolaan sistem perbankan di Indonesia dan mekanisme hubungannya harus secara fair. Perundang-undangan di bidang perbankan harus diterapkan untuk mencapai tujuan hukum yang semata-mata untuk mencapai ketertiban, keadilan, kesejahteraan berdasarkan manfaat yang terbesar bagi semua orang.

Fiduciary duty adalah suatu teori tentang penerapan kewajiban yang telah

ditetapkan dalam undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan orang lain berkenaan dengan kepentingan pribadi orang lain yang diurus oleh pribadi lainnya sifatnya hanya hubungan atasan dan bawahan untuk sesaat. Posisi orang-orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakan amanah berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dinyatakan oleh hukum. Seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) harus didasarkan pada kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Hubungan dalam fiduciary seperti pengurus atau pengelola,

59

Ketut Rindjin, Pengantar Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 15.

(28)

pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian), termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya.60

Orang yang memegang kepercayaan secara natural memiliki potensi untuk menyalahgunakan wewenangnya. Hubungan pemegang kepercayaan tersebut harus didasarkan kepada standar perilaku yang tinggi.61

Menurut Benyamin N. Cardoza, seseorang yang memiliki tugas kepercayaan manakala seseorang itu memiliki kapasitas. Bisnis yang ditransaksikannya atau uang/dana yang dikelolanya bukan miliknya atau bukan untuk kepentingannya, melainkan milik dan untuk kepentingan orang banyak dan orang banyak tersebut memiliki kepercayaan yang besar (great trust) kepadanya.

Hal ini mengingat bahwa bank adalah lembaga yang menyimpan dana yang dipercayakan masyarakat kepadanya, sehingga perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya kepercayaan masyarakat kepada bank, pada dasarnya juga akan merugikan bank maupun masyarakat khususnya nasabah atau konsumen bank.

62

Hubungan antara orang yang dipercaya dengan orang yang mempercayai dalam mengelola segala sesuatu yang berhubungan dengan bisnis terjalin dalam suatu

60

Bismar Nasution, “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Dalam Pengelolaan Perseroan Terbatas Bank”, Makalah yang Disampaikan pada Seminar Sehari: Tanggung Jawab Pengurus Bank dalam Penegakan dan Penanganan Penyimpanan di Bidang Perbankan Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Perbankan, diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan, Surabaya, tanggal 21 Februari 2008, hal. 4-5.

61

Ibid, hal. 5.

62

Benyamin N. Cardoza, dalam Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 31 dan hal 32.

(29)

hubungan fiducia.63 Teori trust lebih utuh dari teori fiduciary duty sebab trust memfokuskan kepercayaan segala-galanya atau semuanya sedangkan fiduciary duty ada pembatasan kepercayaan misalnya Direksi secara hukum dapat terlepas dari segala tuntutan sebab berkaitan dengan tanggung jawab di luar kewenangannya yang disebut dengan (judgment rule) sedangkan dalam trust, kepercayaan dibebankan sepenuhnya tanpa dibatasi. Teori kepercayaan awalnya dari model trust yang kemudian trust ini dibatasi dalam model fiducairy duty, sehingga kedua teori ini sebagai dasar dalam menerapkan prinsip kepercayaan. Walaupun keduanya berbeda namun keduanya tetap dibebankan kepedulian (care), loyal (loyality), itikad baik (good faith), kejujuran (honesty), keterampilan (skill) dalam derajat atau standar yang tinggi.64

Sehingga dapat disebut bahwa pihak-pihak seperti Kemenkeu Republik Indonesia, Dewan Gubernur Bank Indonesia, Dewan Komisioner OJK, dan Dewan Komisioner LPS termasuk dalam kategori orang atau pihak yang dipercaya dan yang paling tertinggi kepercayaan itu dipegang olehnya (trustee) sedangkan masyarakat yang menyimpan dana melalui bank masuk dalam kategori sebagai beneficiary atau orang yang mempercayai kepengurusan atau pengelolaan dana tersebut.

Teori fiduciary duty penting untuk diterapkan dalam dunia perbankan. Tanpa adanya kepercayaan masyarakat, mustahil suatu bank mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Tidaklah berlebihan apabila di dunia perbankan harus

63

Ibid, hal. 33.

64

(30)

sedemikian rupa menjaga kepercayaan masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah dari bank yang bersangkutan melalui penerapan independensi dan koordinasi antar lembaga berlandaskan teori-teori yang dikemukakan di atas. Dalam menghindari terjadinya ketidakpercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan, maka perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan terhadap kemungkinan terjadinya kerugian, mutlak diperlukan regulasi dan atau melakukan pengawasan terhadap sistem perbankan agar tercita sistem perbankan yang sehat. Teori-teori di atas digunakan berkenaan dengan permasalahan menyangkut krisis otoritas dalam dunia perbankan.

Perbankan adalah suatu sistem kelembagaan yang tidak terpisahkan dari sistem pengawasan. Sebab dana-dana yang dikelola dalam sistem perbankan adalah dana-dana yang bersumber dari masyarakat. Tanpa adanya kepercayaan masyarakat, mustahil suatu bank mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Tidaklah berlebihan apabila di dunia perbankan harus sedemikian rupa dijaga kepercayaan masyarakat itu dengan memberikan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat khususnya nasabah dan konsumen bank yang bersangkutan.65

Perlindungan bagi masayarakat khususnya nasabah dan konsumen bank untuk mewaspadai kerugian terhadap perekonomian nasional dapat dilakukan melalui sistem pengawasan sebagaimana yang diperankan oleh Lembaga OJK menurut UU OJK. Tujuan dibentuknya Lembaga OJK agar keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan khususnya sektor perbankan terselenggara secara teratur, adil, transparan,

65

(31)

akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan nasabah/konsumen dan masyarakat.

2. Landasan Konsepsional

Landasan konsepsional digunakan untuk mendapat konseptual berdasarkan tinjauan kepustakaan dan untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru serta memberikan pedoman yang sama, diantaranya adalah:

a. Independensi OJK adalah bebas dari campur tangan pihak lain termasuk dari pihak pemerintah, swasta, dan pihak internasional. Bebas yang dimaksud tidak berarti OJK bebas menjalankan pengaturan dan pengawasan yang diinginkan melainkan berdasarkan tugas dan kewenangan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan menyangkut OJK.

b. Koordinasi adalah kerja sama dalam hal memberi, menerima, dan mengolah informasi, pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan baik yang diperoleh dari lembaga OJK, BI, LPS, dan Kemenkeu. Koordinasi dimaksud di sini dapat dilakukan dalam kondisi normal (sebelum terjadi krisis) maupun dalam kondisi tidak normal (misalnya dalam kondisi pencegahan dan penanganan krisis) dalam menjalankan tugas dan kewenangan pengaturan dan pengawasan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terkait.

c. Hubungan kelembagaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hubungan antara lembaga OJK, BI, LPS, dan Kemenkeu (sebagai koordinator)

(32)

menyangkut pelaksanakan tugas dan wewenang dalam menciptakan perbankan yang sehat.

d. Otoritas Jasa Keuangan yang dimaksud dalam penelitian ini disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU OJK.

e. Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) adalah pimpinan tertinggi OJK yang bersifat kolektif dan kolegial.

f. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank dalam suatu sistem yang tidak terpisahkan, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya baik secara konvensional maupun syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang. g. Lembaga Jasa Keuangan yang dimaksud dalam peneltian ini disingkat LJK

adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

h. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan

(33)

ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan.

i. Bank Indonesia yang dimaksud dalam penelitian ini disingkat BI adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini dan berbentuk badan hukum.

j. Lembaga Penjamin Simpanan yang dimaksud dalam penelitian ini disingkat LPS adalah suatu lembaga berbentuk badan hukum yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya serta bertanggung jawab kepada Presiden.

k. Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan adalah organ tertinggi dalam LPS.

l. Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang dimaksud dalam peneltian ini disingkat Kemenkeu RI adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

(34)

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.66 Sedangkan penelitian adalah sebagai bagian dari proses pengembangan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode tertentu yang bertujuan untuk mengetahui apa yang telah dan sedang terjadi serta memecahkan masalahnya atau suatu kegiatan pencarian kembali pada kebenaran.67

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dengan demikian metode penelitian hukum adalah suatu cara kerja atau upaya ilmiah untuk memahami, menganalisis, memecahkan, dan mengungkapkan suatu permasalahan hukum berdasarkan metode tertentu.

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebutnya sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is

decided by the judge through judicial process.68

66

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

Sifat penelitiannya adalah deskriptif

67

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 19.

68

Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1. Yuridis normatif atau penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebut metode penelitian tersebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.

(35)

analitis melalui pendekatan perundang-undangan (statute aproach).69

2. Sumber Data

Alasan penggunaan yuridis normatif karena didasarkan pada perolehan data yang tidak memungkinkan untuk dapat memperoleh data empiris, berhubung saat dilakukan penelitian ini, lembaga OJK masih dalam pembentukan struktur Dewan Komisioner. Deskriptif analitis dilakukan melalui pendekatan UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK yakni menggambarkan permasalahan berdasarkan analisis terhadap pasal-pasal yang berkenaan dengan independensi, koordinasi, dan pengaturan tentang pengawasan lembaga OJK terhadap perbankan.

Sebagai data dalam penelitian ini digunakan data sekunder yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, yaitu UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU No.3 Tahun 2004 sebagaimana diubah melalui UU No.6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia (UU BI), UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), dan UU No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS).

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasan-ulasan terhadap bahan hukum primer, seperti: buku-buku, makalah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, dan surat kabar, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

69

(36)

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum serta Kamus Bahasa Inggris.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka (library

research) terhadap dokumen-dokumen atau bahan-bahan hukum tertulis yang relevan

dengan permasalahan yang sedang ditelaah untuk mendapatkan peraturan perundang-undangan, teori-teori, konsepsi, dan doktrin, pendapat atau pemikiran dari peneliti terdahulu yang relevan dengan objek yang ditelaah. Baik terhadap bahan hukum primer, sekunder, maupun tertier, dan bahan non hukum semuanya diperoleh melalui membaca referensi, melihat, mendengar melalui seminar dan materi kuliah serta mendownload (searching) melalui media internet. Data yang diperoleh dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal, kaidah-kaidah, norma-norma dalam perundang-undangan (BI, OJK, dan LPS) serta doktrin-doktrin atau pemikiran dari penelitia terdahulu yang menyangkut masalah independensi dan koordinasi dalam hubungannya dengan kelembagaan perbankan.70

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni menjelaskan dan menguraikan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK yang terpenting dan relevan dengan masalah independensi

70

(37)

dan koordinasi dalam sistem perbankan. Berdasarkan kerangka teori yang digunakan akan dihubungkan dengan permasalahan yang diteliti melalui analisis yang tajam dan mendalam.

5. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif (penalaran logika dari umum ke khusus)71 dalam bentuk uraian secara sistematis, menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, memberikan argumentasi-argumentasi yuridis (perskriptif)72 terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan dengan penilaian apa dan bagaimana yang semestinya menurut kaidah, asas, norma-norma hukum, dan doktrin terhadap substansi dalam UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK, sehingga permasalahan akan dapat dijawab.

71

Ibid, hal. 109.

72

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kajian terhadap kenaikan muka laut, kenaikan per tahun untuk wilayah Bali adalah 3 mm sehingga kenaikan ini belum menjadi penyebab pemutihan pada karang, sedangkan dalam

 Penyuluhan kesehatan di dalam gedung adalah pendidikan kesehatan kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang dilakukan di dalam

Hasil analisis matriks IE menunjukkan bisnis buah semangka CV SA berada pada kuadran IV, yaitu berada pada posisi kemampuan internal kuat dan eksternal yang sedang.Perusahaan

Aplikasi Lapisan Tipis Titanium Dioksida (TiO 2 ) sebagai Agen Pembersih Mandiri pada Panel Kaca Bangunan.. Teknik Metalurgi

[r]

LKPD berbasis Eclipse Crossword semakin sempurna dilengkapi dengan fitur “Kamu Harus Tahu” yang berisi informasi-informasi menarik seputar topic yang sedang

Hal tersebut menjadi lebih menarik apabila keberhasilan PKS dalam menerapkan rekrutmen dengan berbagai kendala yang ada dikaitkan dengan kinerja partai, maka akan timbul

pelaksanaan aktivitas tugas dan pekerjaan inilah sarat dengan birokrasi, oleh karena itu birokrasi pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sukabumi juga terkait dengan sikap