• Tidak ada hasil yang ditemukan

POPULASI MIKROBA DI KAWASAN LAHAN GAMBUT YANG DIALIH FUNGSI MENJADI HUTAN TANAMAN INDUSTRI YANG DITANAMI Acacia crassicarpa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POPULASI MIKROBA DI KAWASAN LAHAN GAMBUT YANG DIALIH FUNGSI MENJADI HUTAN TANAMAN INDUSTRI YANG DITANAMI Acacia crassicarpa"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

POPULASI MIKROBA DI KAWASAN LAHAN GAMBUT

YANG DIALIH FUNGSI MENJADI HUTAN TANAMAN

INDUSTRI YANG DITANAMI Acacia crassicarpa

Wardatul Hidayah1, Delita Zul2, Bernadeta Leni Fibriarti2 1Mahasiswa Program Studi S1 Biologi FMIPA-UR 2Dosen Bidang Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA-UR

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Kampus Bina Widya Pekanbaru 28293, Indonesia

Wardatulhidayah08@gmail.com ABSTRACT

Conversion of peatland into agricultural land or timber plantations (TP) has been known to influence the soil microhabitat and in the next step it influences microbial activity and population. The activity and population of microbes are very sensitive againts environmental stres, so that can be used to monitor soil quality. This research aimed to analyze the impact of peatland conversion into TP that was planted by Acacia crassicarpa on soil physicochemical characteristic and microbial cells number. Soil physicochemical was determined using standard method, while the cell number of copiotrophic bacteria, oligotrophic bacteria, and fungi was quantified using Total Plate Count (TPC) method. Soil samples were taken from 3 different locations, namely conservation area as a control, TP rotation III, and TP rotation IV. The results showed that pH, soil temperature, soil dry weight, water content, and soil bulk density, ranged from 5,08-6,11, 28,54-300C, 0,62-0,7 g, 28-38%, and 0,39-0,42 g/cm3, respectively. The cell number of copiotrophic bacteria ranged from 0,90-4,20x109 CFU/g soil, which the highest was found in TP rotation III area and the lowest was in location of conservation area. The cell number of oligotrophic bacteria ranged from 0,74-4,53x109 CFU/g soil, which the highest was found in TP rotation III area and the lowest was in conservation area.The cell number of fungi ranged from 0,41-1,17x104 CFU/g soil. The highest cell number of fungi was found in conservation area and the lowest was in TP rotation IV area. The results showed that land conversion influenced the cell number of copiotrophic bacteria, oligotrophic bacteria, and fungi.

Keywords: Land conversion, copiotrophic bacteria, oligotrophic bacteria, fungi, peatland.

ABSTRAK

Alih fungsi lahan gambut menjadi lahan pertanian atau hutan tanaman industri (HTI), mengakibatkan terganggunya mikrohabitat tanah dan pada akhirnya akan berdampak terhadap populasi dan aktivitas mikroba tanah. Aktivitas dan populasi merupakan indikator sensitif terhadap stres lahan, sehingga dapat digunakan untuk memantau kualitas dari ekosistem tanah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak dari alih fungsi lahan gambut menjadi HTI yang ditanami Acacia crassicarpa melalui karakterisasi fisika-kimia tanah dengan metode standar dan penghitungan total populasi bakteri kopiotrof, oligotrof, dan jamur dengan metode Total Plate Count (TPC). Sampel tanah diambil dari 3 lokasi yang

(2)

2 berbeda yaitu area konservasi sebagai kontrol, akasia rotasi III, dan akasia rotasi IV. Hasil penelitian untuk pH, temperatur tanah, berat kering tanah, kandungan air, dan berat volume tanah berturut-turut berkisar antara 5,08-6,11, 28,54-300C, 0,62-0,72 g, 28-38%, dan 0,39-0,42 g/cm3. Total populasi bakteri kopiotrof berkisar antara 0,90-4,20 x109 CFU/g tanah. Total populasi tertinggi bakteri kopiotrof terdapat di lokasi HTI rotasi III, dan terendah terdapat di area konservasi. Total populasi bakteri oligotrof berkisar antara 0,74-4,53x109 CFU/g tanah. Total populasi bakteri oligotrof tertinggi terdapat di lokasi HTI rotasi III, dan terendah terdapat di area konservasi. Total populasi jamur berkisar antara antara 0,41-1,17x104 CFU/g tanah. Total populasi jamur tertinggi terdapat di area konservasi, dan terendah terdapat di HTI rotasi IV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak alih fungsi lahan berpengaruh terhadap total populasi bakteri kopiotrof, oligotrof, dan jamur.

Kata kunci : Alih fungsi lahan, bakteri kopiotrof, bakteri oligotrof, jamur, lahan gambut.

PENDAHULUAN

Sekitar 1,83 juta ha (57%) dari luas total lahan gambut yang ada di Provinsi Riau telah dialih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri (HTI), dan sebagiannya masih beru-pa hutan alam dan lahan terlantar setelah hasil kayu hutan alamnya diambil (WWF 2008). Alih fungsi la-han seperti HTI mengakibatkan ter-ganggunya kondisi lingkungan yang selanjutnya akan mempengaruhi po-pulasi, keanekaragaman dan aktivitas mikroba tanah (Bahig et al. 2008). Aktivitas mikroba tanah dapat di-gunakan untuk memantau kualitas dari ekosistem tanah. Salah satu parameter yang dapat digunakan ada-lah penghitungan populasi mikroba tanah (Kaur et al. 2006).

Penelitian yang dilakukan Fitria (2014) dari sampel tanah gam-but di Cagar Biosfer GSK-BB menunjukkan bahwa populasi bakteri kopiotrof tertinggi terdapat pada lo-kasi kebun sawit yang berumur 7-8 tahun dan populasi terendah terdapat pada lokasi hutan primer. Hal ini menunjukkan bahwa alih fungsi la-han gambut juga berdampak

terha-dap peningkatan total populasi roba. Oleh karena itu, populasi mik-roba merupakan indikator sensitif terhadap perubahan kualitas tanah dan stres lahan (Aceves et al. 1999; Karlen et al. 1994).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak alih fung-si lahan gambut di HTI terhadap fluktuasi total populasi dan aktivitas mikroba tanah yang ditinjau melalui karakterisasi sifat fisika-kimia tanah (meliputi: pH, temperatur, kelemba-ban, berat volume, berat kering ta-nah, kandungan air, tingkat dekom-posisi gambut), dan penghitungan to-tal populasi mikroba. Hasil penelitian ini diharapkan dapat tersedianya in-formasi tentang dampak alih fungsi la-han gambut di HTI terhadap total populasi mikroba dan aktivitas mik-roba tanah.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada bulan Februari-Mei 2016 di Labo-ratorium Mikrobiologi Jurusan Bio-logi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Uni-versitas Riau. Lokasi pengambilan sampel tanah gambut berada di HTI PT. Sinar Mas Forestry Kabupaten

(3)

3 Siak, Provinsi Riau. Sampel tanah

di-ambil dari lokasi di Kelurahan Tua-lang, Kecamatan Tualang Kabupaten Siak Provinsi Riau yang merupakan hutan tanaman industri yang ditana-mi A. crassicarpa yang dilakukan pemanenan setelah tanaman berumur 4 tahun. Lahan gambut yang berada di sekitar HTI ini tidak semua dibuka untuk dijadikan hutan industri, kare-na masih memiliki hutan yang dija-dikan sebagai area konservasi. Sam-pel tanah diambil dengan metode purposive sampling dan sampel di-ambil dari tiga lokasi yaitu area kon-servasi sebagai kontrol, HTI A. cras-sicarpa rotasi III (umur 3 tahun), dan HTI A. crassicarpa rotasi IV (umur 1 tahun). Area konservasi secara geog-rafis terletak pada 102º15’11,4”LS dan 00º49’12,7” LU, dengan vegetasi kelapa sawit yang berada di pinggir area konservasi, senduduk, pohon-pohon besar namun tidak banyak, yang dibiarkan tumbuh alami setelah kayu alamnya diambil. Area konser-vasi dalam perspektif HTI PT. Sinar Mas Forestry adalah lokasi yang dijadikan area konservasi tidak selalu harus dilarang untuk pembangunan. Sebaliknya, konsep area konservasi mengharuskan pembangunan dilaku-kan dengan cara yang menjamin pe-meliharaan dan perbaikan di area konservasi. Lokasi HTI rotasi III se-cara geog-rafis berada pada 102º 12’ 54,3” LS 00º 50’ 31,9” LU. Lokasi HTI rotasi III telah dilakukan pena-naman akasia sebanyak 3 kali dengan masa pemanenan 1 kali dalam 4 ta-hun. Lokasi HTI rotasi IV secara ge-ografis berada di 102º08’-37,4” LS dan 00º49’ 05,5” LU. Lokasi HTI rotasi IV telah dibuka menjadi HTI dan penanaman akasia sebanyak 4 kali dengan masa pemanenan 1 kali dalam 4 tahun. Sampel tanah diambil pada kedalaman antara 0-20 cm

de-ngan cara membersihkan serasah-serasah terlebih dahulu. Pada setiap lokasi diambil 3 sampel tanah se-bagai ulangan sehingga diperoleh 9 sampel (3 lokasi x 3 ulangan). Seki-tar 250 g sampel tanah diambil dan dimasukkan ke dalam plastik, serta disimpan pada suhu 4˚C setelah pro-ses pengambilan dan selama trans-portasi ke laboratorium.

pH dan Kelembaban Tanah

pH dan kelembaban tanah di-ukur menggunakan soil tester. Soil tester dimasukkan ke dalam tanah pada tiap-tiap lokasi sehingga diper-oleh data pH dan kelembaban sampel tanah.

Temperatur Tanah

Temperatur tanah saat pengam-bilan sampel diukur dengan menggu-nakan soil thermometer. Soil thermo-meter di masukkan ke dalam tanah pada tiap-tiap lokasi dan dicatat tem-peratur tanah tersebut.

Berat Volume Tanah (Bulk

Den-sity)

Paralon dengan diameter 4 cm dan tinggi 20 cm ditancapkan ke dalam tanah. Paralon kemudian diangkat dan tanah dikeluarkan serta dile-takkan di aluminium foil yang telah diketahui beratnya (W3) lalu ditim-bang (W1). Tanah dikeringkan pada suhu 105˚C hingga beratnya konstan (W2). Berat volume tanah dihitung dengan menggunakan rumus (Ander-son & Ingram 1992):

BV= (W1-W2)- W3 V Keterangan:

BV= Berat volume tanah (g/cm3) W1 = Berat awal(g)

W2 = Berat akhir(g)

W3 = Berat alumunium foil (g) V = Volume tanah (cm3)

(4)

4 Berat Kering Tanah

Sampel tanah sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam aluminium foil yang telah diketahui beratnya (W3) berbentuk kotak lalu ditimbang be-ratnya (W1). Sampel tanah dikering-kan menggunadikering-kan oven pada su-hu 105°C sampai beratnya konstan. Se-telah pengeringan, aluminium foil yang berbentuk kotak ditimbang tan-pa berat aluminium penutupnya (W2) (Anderson & Ingram 1992). Berat kering tanah dihitung dengan meng-gunakan rumus:

BK= (W1-W2) – W3

Berdasarkan berat kering ta-nah, maka kandungan air tanah gam-but dapat ditentukan dengan rumus:

KA = (1- BK) x 100% Keterangan:

BK = Berat Kering (g) W1 = Berat awal (g) W = Berat akhir (g)

W3 = Berat alumunium foil (g) KA = Kandungan air (%) BK= Berat kering (g)

Penentuan Tingkat Dekomposisi Gambut

Tingkat dekomposisi tanah gambut ditentukan berdasarkan Soil Survey Staff 1999 cit Dengiz et al. 2009) menggunakan data yang dida-pat dari hasil pengukuran berat volume tanah.

Pembuatan Medium Nutrient Agar (NA)

Medium NA konsentrat dibuat dengan cara mencampur nutrient broth sebanyak 8 g dan agar 16 g kemudian dilarutkan dengan 1000 ml akuades dan dipanaskan sampai ho-mogen. Selanjutnya disterilkan de-ngan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 15 psi se-lama 15 menit. Pembuatan medium

NA yang diencerkan 10x dilakukan dengan cara mengencerkan medium NA dengan perbandingan 0,8 g nut-rient broth dan 16 g agar kemudian dilarutkan dalam 1000 ml akuades. Medium NA konsentrat digunakan untuk menumbuhkan bakteri kopiot-rof dan medium NA yang diencerkan 10x digunakan untuk menumbuhkan bakteri oligotrof.

Pembuatan Medium Potato

Dex-trosa Agar (PDA)

Sebanyak 200 g kentang dipotong kecil-kecil dimasukkan ke dalam 500 ml akuades dan selan-jutnya direbus selama 1-2 jam. Ken-tang tersebut disaring dengan kain kasa, sehingga diperoleh cairan eks-trak kentang yang jernih. Kemudian dicukupkan volumenya hingga 1 li-ter, lalu dipanaskan sambil diaduk. Dimasukkan 20 g dextrosa dan 17 g agar, dan diaduk hingga homogen. Selanjutnya medium disterilisasi pa-da suhu 121oC selama 15 menit de-ngan tekanan 15 psi (Hadioetomo 1993).

Pembuatan Garam Fisiologis Natrium Klorida (NaCl) 0,85 g dilarutkan dalam 100 ml akuades, se-hingga menghasilkan larutan garam fisiologis 0,85%.

Penghitungan Total Populasi Mik-roba

1. Total Populasi Bakteri Kopiot-rof dan OligotKopiot-rof

Sebanyak 1 g sampel tanah di-timbang kemudian dilarutkan dalam 9 ml 0,85% larutan NaCl dan diho-mogenkan. Aliquot larutan tanah se-banyak 100 µl dengan faktor pe-ngenceran antara 10-7-10-8 dituang ke dalam cawan petri dan selanjutnya dilakukan penuangan medium NA ke dalam cawan petri tersebut.

(5)

Dilaku-5 kan inkubasi pada suhu kamar

se-lama 2 hari dan dihitung jumlah ko-loni yang tampak pada hari pertama dan kedua. Hal yang sama dilakukan paralel, untuk menghitung populasi bakteri oligotrof dengan menggu-nakan medium NA yang telah dien-cerkan sepuluh kali. Koloni yang tumbuh dihitung dan diamati setiap hari. Rumus penghitungan total po-pulasi bakteri adalah sebagai berikut (Enriquez et al. 1995):

TPB= Jumlah koloni/cawan petri

1 g tanah x

1 Fp Keterangan:

TPB = Total populasi bakteri (CFU/ml)

CFU= Colony Forming Unit (CFU/g tanah)

Fp = Faktor pengenceran

2. Total Populasi Jamur

Isolasi jamur tanah dilakukan dengan metode pour plate. Tanah ditimbang 1 g, kemudian dimasuk-kan kedalam 9 ml larutan garam fisi-ologis steril dan dihomogenkan se-hingga diperoleh pengenceran 10-1. Suspensi diencerkan dengan me-ngambil 1 ml suspensi, di masukkan kedalam 9 ml larutan garam fisio-logis steril yang disebut pengenceran 10-2. Seri pengenceran dibuat sam-pai 10-3. Pada pengenceran 10-2 dan 10-3 diambil 0,1 ml kemudian

dima-sukkan ke dalam cawan petri dan selanjutnya dituang medium PDA ke dalam cawan petri tersebut. Di-lakukan inkubasi selama 3-5 hari. Koloni yang tumbuh dihitung ber-dasarkan metode Total Plate Count (TPC) (Suciatmih 2006). Rumus perhitungan total populasi jamur ada-lah sebagai berikut (Enriquez et al. 1995):

TPJ= Jumlah jamur/cawan petri

1 g tanah x

1 Fp Keterangan :

TPJ =Total populasi jamur (CFU/ml) Fp = Faktor pengenceran

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan One-Way ANOVA dan diuji lanjut menggunakan LSD pada taraf nyata 5% dalam program SPSS. Selain itu juga dilakukan ana-lisis secara deskriptif dalam bentuk tabel dan grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter Fisika dan Kimia Tanah

Karakter sifat fisika kimia lahan gambut yang ditanami A. crassicarpa disajikan pada Tabel 1 Karakter tersebut meliputi pH, tem-peratur, kelembaban, berat kering, kandungan air, berat volume, porosi-tas dan tingkat dekomposisi gambut.

Tabel 1. Karakter fisika-kimia tanah di lokasi HTI yang ditanami A. crassicarpa

Parameter Area Konservasi HTI Rotasi III HTI Rotasi IV

pH 6,11± 0,34 5,84 ± 0,24 5,08 ± 0,14 Temperatur (°C) 30,00 ± 0,00 28,33 ± 0,58 29,33 ± 0,58 Kelembaban (%) 40,00 ± 0,10 65,33 ± 0,17 61,66 ± 0,08 Berat Kering (%) 0,62 ± 5,00 0,72 ± 5,00 0,67± 5,00 Kandungan Air (%) 38,00± 5,00 28,00 ± 4,00 33,00 ± 4,00 Berat Volume (g/cm3) 0,26 ± 0,03 0,26 ± 0,04 0,27 ± 0,04

Tingkat Dekomposisi1) Saprik Saprik Saprik

Keterangan: 1) Tingkat dekomposisi material organik tanah gambut berdasarkan berdasarkan Soil Survey Staff (1999) dalam Dengiz et al. (2009).

(6)

6 Secara umum, hasil

pengu-kuran pH menunjukkan bahwa lahan gambut yang terdapat di lokasi pengambilan sampel memiliki nilai pH >5,00 yang berarti tanah tersebut relatif kurang bersifat masam. pH tanah tertinggi terdapat pada area konservasi yaitu 6,11±0,348 dan pH terendah terdapat pada lokasi HTI rotasi IV yaitu 5,08±0,144. Area konservasi memiliki nilai pH yang paling tinggi karena area konservasi pada penelitian ini adalah area kon-servasi yang mengalami gangguan akibat pembukaan lahan yang dikukan sebelumnya. Pembukaan la-han dilakukan dengan cara mene-bangi vegetasi yang ada dan hasil kayunya kemudian diambil. Lahan tersebut kemudian dibiarkan terlantar karena tidak dilakukan penanaman A. crassicarpa, sehingga kemudian muncul kebijakan untuk menjadikan lokasi tersebut sebagai area konser-vasi. Aktivitas tersebut diperkirakan berdampak terhadap peningkatan pH tanah. Alih fungsi lahan gambut menjadi HTI juga berdampak terha-dap peningkatan pH tanah. Hasil pengukuran pH yang diperoleh pada HTI rotasi III lebih tinggi diban-dingkan dengan HTI rotasi IV me-nunjukkan bahwa semakin lama la-han gambut ditanami akasia (pening-katan rotasi), pH gambut justru berubah menjadi lebih masam dan mendekati pH gambut alami.

Hasil pH yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan hasil yang di-peroleh Michael et al. (2012) di lahan gambut Kanada di mana pH yang diperoleh pada hutan alam ada-lah 3,4 dan pH pada hutan yang dialih fungsi adalah 5,8.

Hasil pengukuran temperatur tanah gambut menunjukkan hasil yang bervariasi, di mana temperatur

tertinggi diperoleh pada area kon-servasi yaitu 30oC dan temperatur terendah terdapat pada lokasi HTI rotasi III yaitu 28,33oC. Variasi nilai temperatur tanah disebabkan oleh perbedaan kerapatan tutupan kanopi pada setiap lokasi pengambilan sam-pel. Area konservasi memiliki tem-peratur tertinggi disebabkan oleh kerapatan kanopi yang relatif jarang, sehingga menyebabkan paparan sinar matahari langsung mencapai tanah dan menaikkan temperatur tanah gambut pada lapisan permukaan.

Lokasi HTI rotasi III memiliki temperatur yang lebih rendah dari-pada lokasi HTI rotasi IV, karena HTI rotasi III ditanami oleh akasia yang telah berumur 3 tahun, sehing-ga memiliki kanopi yang lebih rapat dibanding HTI rotasi IV yang dita-nami oleh akasia berumur 1 tahun. Hasil temperatur yang diperoleh pada penelitian ini sama dengan hasil pengukuran temperatur tanah gambut oleh Afni (2013) di Cagar Biosfer GSK-BB yang berkisar antara 28,25-31,25oC.

Kelembaban tanah di lokasi pengambilan sampel bervariasi. Ke-lembaban tanah tertinggi terdapat di lokasi HTI rotasi III yaitu 65,33% dan kelembaban terendah terdapat di area konservasi yaitu 40%. Variasi nilai kelembaban tanah juga disebab-kan oleh perbedaan kerapatan tutu-pan kanopi pada setiap lokasi pe-ngambilan sampel, sebagaimana te-lah dijelaskan sebelumnya. Tutupan kanopi yang rapat berperan dalam mengurangi evaporasi dan memper-tahankan kadar air tanah, sehing-ga semakin rapat tutupan kanopi sema-kin tinggi kelembaban tanah pada lokasi tersebut (Ludang et al. 2007). Hasil kelembaban yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Firmanda (2013) di

(7)

gam-7 but semenanjung Kampar yang

ber-kisar antara 29,63-55,88%. Kelem-baban tertinggi terdapat pada lo-kasi hutan primer dan kelembaban teren-dah terdapat pada lokasi ladang ja-gung.

Berat kering tanah gambut pa-da 3 lokasi pengambilan sampel ter-tinggi diperoleh pada lokasi HTI rotasi III yaitu 0,72 g dan berat ke-ring terendah terdapat pada area kon-servasi yaitu 0,62 g. Tingginya berat kering tanah di lokasi tersebut akibat pengolahan lahan seperti terjadinya pengurangan kandungan air melalui pembentukan kanal yang menyebab-kan pengeringan lahan gambut. (Na-jiyati et al. 2005). Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama de-ngan Halimah (2012) dimana pada lokasi hutan primer memiliki berat kering yang lebih rendah jika diban-dingkan dengan lokasi yang dialih fungsi, seperti perkebunan kelapa sa-wit.

Kandungan air pada lokasi pe-nelitian berkisar antara 28-38%, di mana kandungan air tertinggi terda-pat pada area konservasi dan kan-dungan air terendah terdapat pada HTI rotasi III. Komposisi bahan or-ganik yang dominan menyebabkan gambut mampu menyerap air dalam jumlah yang relatif tinggi dibanding tanah mineral (Elon et al. 2011). Ha-sil penelitian ini memiliki perbedaan bila dibandingkan dengan kandungan air di lahan gambut Kalimantan pada hutan gambut sekunder yaitu 71% dan pada lahan pertanian padi sebesar 63% (Hadi et al. 2001).

Berat volume tanah menun-jukkan hasil yang tidak jauh berbeda yaitu antara 0,26-0,27 gr/cm3. Berat volume tertinggi terdapat pada lokasi HTI rotasi IV dan berat volume te-rendah terdapat pada area konservasi dan HTI rotasi III. Berat volume

yang diperoleh pada penelitian ini le-bih tinggi dibandingakan dengan ha-sil yang diperoleh Firmanda (2013) di kawasan lahan gambut Semenan-jung Kampar yang berkisar antara 0,15-0,39 g/cm3, di mana berat vo-lume terendah diperoleh pada lokasi ladang ubi kayu dan berat volume tertinggi diperoleh pada lokasi hutan primer. Nilai berat volume pada area konservasi relatif sama dengan lokasi HTI disebabkan oleh area konserva-si yang sebelumnya diperkirakan pernah dibuka, namun tidak ditanami dan dibiarkan terlantar sehingga ke-mudian terjadi suksesi dan menye-babkan berat volume menjadi tinggi. Pengolahan lahan gambut dapat me-ningkatkan berat volume tanah dan menurunkan porositas tanah gambut sehingga berat volume dapat dijadi-kan sebagai indikator kualitas tanah (Radjagukguk 2000; Agus & Subiksa 2008).

Berdasarkan pengukuran berat volume tanah, tingkat dekomposisi material organik tanah gambut dapat ditentukan. Tingkat dekomposisi saprik mendominasi pada lokasi pe-ngambilan sampel (Tabel 1). Gambut saprik adalah gambut yang tingkat pelapukannya sudah matang, dan ta-nah gambut yang sebagian besar te-lah mengalami dekomposisi (saprik) memiliki berat volume lebih dari >0,2 g/cm3 (Bintang et al. 2005). Ha-sil tingkat dekomposisi material or-ganik ini sama dengan hasil yang di-peroleh pada tanah gambut di Kali-mantan yang berada pada tingkat de-komposisi jenis saprik (Maas et al. 2000). Namun, Suwondo (2002) memperoleh tingkat dekomposisi material organik tanah gambut di Desa Rimbo Panjang hanya jenis hemik. Perbedaan tingkat dekompo-sisi material organik pada masing-masing lokasi ini kemungkinan

(8)

dipe-8 ngaruhi oleh jenis pengolahan dan

cara penggunan lahan yang berbeda-beda.

Total Populasi Mikroba Tanah Gambut

1. Total Populasi Bakteri

Bakteri kopiotrof adalah ke-lompok bakteri yang mampu hidup dan berkembang pada kondisi yang kaya nutrisi (Gambar 2.A), sedang-kan bakteri oligotrof merupasedang-kan ke-lompok bakteri yang mampu hidup pada kondisi yang miskin nutrisi (Gambar 2.B) (Langer et al. 2004; Yoshida et al. 2007).

Total populasi bakteri kopiot-rof dan oligotkopiot-rof dari 3 lokasi pe-ngambilan sampel bervariasi. Total populasi bakteri kopiotrof berkisar antara 0,90-4,20x109 CFU/g tanah (Gambar 1). Total populasi bakteri kopiotrof tertinggi diperoleh pada HTI akasia rotasi III dan total po-pulasi bakteri kopiotrof terendah

di-peroleh pada area konservasi. Ting-ginya populasi bakteri kopiotrof pada HTI rotasi III maupun pada HTI ro-tasi IV disebabkan oleh alih fungsi lahan gambut yang merubah kondisi lingkungan yang anaerob menjadi aerob yang menjadi salah satu faktor pendukung aktivitas mikroorganisme untuk melakukan dekomposisi bahan organik berjalan cepat. Dekomposisi ini akan berpengaruh terhadap keter-sediaan nutrisi bagi mikroba tanah (Najiyati et al. 2005; Saegiman 2007).

Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkakan dengan penelitian Af-ni (2013) tentang alih fungsi lahan gambut di GSK-BB yang memperoleh total populasi bakteri kopiotrof ber-kisar 3,0-5,4x105 CFU/g tanah. Total populasi bakteri kopiotrof tertinggi terdapat pada lokasi kebun sawit umur 12 tahun dan total populasi bakteri kopiotrof terendah diperoleh pada lokasi hutan primer.

Gambar 1. Total populasi bakteri kopiotrof dan oligotrof di 3 lokasi pengambilan sampel: AK (Area Konservasi), A3 (HTI Rotasi III), A4 (HTI Rotasi IV).

Hasil analisis One-Way ANO-VA menunjukkan bahwa total popu-lasi bakteri kopiotrof berbeda secara signifikan dengan nilai 0,000 (p<0, 05). Oleh karena itu, kemudian dila-kukan analisis lanjut menggunakan uji LSD pada taraf 5%. Hasil dari uji lanjut LSD (Tabel 2) menunjukkan bahwa populasi bakteri kopiotrof pada area konservasi berbeda nyata

dengan lokasi HTI rotasi III HTI rotasi IV, dan lokasi HTI rotasi III berbeda nyata dengan lokasi HTI rotasi IV. Artinya terdapat perbedaan kondisi lingkungan antara area kon-servasi dengan lokasi yang telah mengalami alih fungsi lahan se-hingga mempengaruhi total populasi bakteri kopiotrof. 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 AK A3 A4 T o ta l P o pu la si ( 1 0 9 CF U/m l) Lokasi Bakteri Kopiotrof Bakteri Oligotrof

(9)

9

Tabel 2. Hasil analisis total populasi bakteri kopiotrof menggunakan uji LSD pada taraf 5%

Lokasi Area Konservasi HTI Rotasi III HTI Rotasi IV

Area Konservasi - 0,000* 0,005*

HTI Rotasi III - 0,000*

HTI Rotasi IV -

Keterangan : * = Signifikan

Total populasi bakteri oli-gotrof berkisar antara 0,74-4,53x109 CFU/g tanah. Populasi bakteri oligot-rof tertinggi terdapat pada HTI rotasi III, sedangkan terendah pada area konservasi. Tingginya populasi bak-teri oligotrof pada lokasi yang telah dialih fungsi dikarenakan bakteri me-ngembangkan adaptasinya untuk ber-tahan hidup pada lokasi yang telah terganggu stabilitas ekosistemnya. Rendahnya total populasi bakteri oli-gotrof pada area konservasi disebab-kkan oleh kondisi yang anaerob pada area konservasi dibandingkan dengan lokasi yang mengalami alih fungsi, sehingga total populasi bakteri aerob yang terdapat pada area konservasi juga sedikit. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Fitria (2014) yang berkisar antara 0,5–1,4x105 CFU/g tanah, dimana populasi bakteri oligotrof tertinggi terdapat pada lokasi kebun sawit dan terendah pada hutan primer.

Hasil analisis One-Way ANO-VA menunjukkan bahwa total popu-lasi bakteri oligotrof di 3 lokasi pe-ngambilan sampel berbeda secara signifikan dengan nilai 0,000

(p<0,05). Oleh karena itu, kemudian dilakukan analisis lanjut menggu-nakan uji LSD pada taraf 5%. Hasil dari uji lanjut LSD (Tabel 3) menun-jukkan bahwa pada HTI rotasi III dan HTI rotasi IV berbeda nyata apa-bila dibandingkan dengan area kon-servasi. Lokasi HTI rotasi III juga berbeda nyata dengan lokasi HTI ro-tasi IV. Artinya terdapat perbedaan antara lokasi area konservasi dengan lokasi yang telah mengalami alih fungsi lahan sehingga mempengaruhi total populasi bakteri oligotrof.

Gambar 2. Populasi bakteri pada pe- ngamatan 48 jam, A. Bak- teri kopiotrof; B. Bakteri oligotrof

Tabel 3. Hasil analisis total populasi bakteri oligotrof menggunakan uji LSD pada taraf 5%

Lokasi Area Konservasi HTI Rotasi III HTI Rotasi IV

Area Konservasi - 0,000* 0,013*

HTI Rotasi III - 0,002*

HTI Rotasi IV -

Keterangan : * = Signifikan

A

(10)

10 Total populasi bakteri yang

meningkat pada lokasi yang telah mengalami alih fungsi juga dapat disebabkan oleh adanya proses adap-tasi yang sedang berlangsung pada bakteri terhadap gangguan stabilitas ekosistemnya. Terganggunya stabili-tas ekosistem ini dapat menyebabkan perubahan aktivitas metabolisme mikroba tanah, sehingga untuk mem-pertahankan keberadaannya bakteri melakukan adaptasi. Berdasarkan ke-mampuan beradaptasi terhadap peru-bahan lingkungan, bakteri dikelom-pokkan menjadi bakteri yang ber-adaptasi dengan strategi r dan bakteri beradaptasi dengan strategi k. Strategi r digunakan bakteri ketika terjadi gang-guan staabilitas ekosistem dengan me-ningkatkan laju pertumbuhan, se-dangkan strategi k digunakan bakteri

ketika sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan baru yang ditan-dai dengan laju pertumbuhan yang lambat (Langer et al. 2004). Hasil penelitian ini kemungkinan populasi bakteri beradaptasi menggunakan st-rategi r sehingga pertumbuhan bak-teri yang diperoleh tinggi.

2. Total Populasi Jamur

Total populasi jamur pada 3 lo-kasi pengambilan sampel menunjuk-kan hasil yang bervariasi. Total po-pulasi jamur yang diper-oleh berkisar antara 0,41- 1,17x104 CFU/g tanah (Gambar 3). Total populasi jamur ter-tinggi terdapat pada lokasi area konser-vasi dan total populasi jamur terendah terdapat pada lokasi HTI rotasi IV.

Gambar 3. Total populasi jamur di 3 lokasi pengambilan sampel: AK (Area Konservasi), A3 (HTI Rotasi III), A4 (HTI Rotasi IV).

Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan Fitria (2014) di Teluk Meranti yang berkisar antara 0,4–1,0x105 CFU/g tanah. Total populasi jamur tertinggi terdapat pada lokasi ladang jagung dan lokasi terendah terdapat pada lokasi hutan primer. Namun dari ha-sil yang diperoleh pada penelitian ini area konservasi justru memiliki populasi jamur tertinggi. Hal ini di-sebabkan oleh lokasi area konservasi yang pernah mengalami sistem pem-bukaan lahan, namun dibiarkan

ter-lantar dan kemudian baru dijadikan sebagai area konservasi. Tingginya populasi jamur di area konservasi dapat disebabkan oleh lingkungan yang ada pada area konservasi yang mendukung keberadaan jamur untuk tumbuh.

Gambar 4. Koloni jamur di medium PDA pada inkubasi 72 jam

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 AK A3 A4 T o ta l P o pu la si J a m ur (1 0 4CFU/m l) Lokasi

(11)

11 Hasil analisis One-Way

ANO-VA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap total populasi jamur dari lokasi pengambilan sampel dengan nilai signifikan 0,000 (p<0,05). Hasil uji lanjut LSD pada taraf 5% (Tabel 4) menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara area konservasi dengan

lahan yang dialih fungsi (HTI rotasi III dan HTI rotasi IV). Sementara itu, lokasi HTI rotasi III tidak berbeda nyata dengan HTI rotasi IV. Hal ini disebabkan oleh faktor fisika-kimia pada lokasi HTI rotasi III dan HTI rotasi IV yang relatif tidak jauh berbeda.

Tabel 4. Hasil analisis total populasi jamur menggunakan uji LSD pada taraf 5%

Lokasi Hutan Konservasi HTI Rotasi III HTI Rotasi IV

AreaKonservasi - 0,000* 0,000*

HTI Rotasi III - 0,099NS

HTI Rotasi IV -

Keterangan : * = Signifikan NS= Non Signifikan

Total populasi jamur (Gambar 4) yang menurun pada lokasi yang telah mengalami alih fungsi juga da-pat disebabkan karena ketidakmam-puan untuk beradaptasi terhadap gangguan ekosistemnya. Terganggu-nya stabilitas ekosistem ini dapat me-nyebabkan perubahan aktivitas meta-bolisme mikroba tanah, sehingga un-tuk mempertahankan keberadaannya jamur melakukan adaptasi. Berdasar-kan kemampuan beradaptasi terha-dap perubahan lingkungan, jamur di-kelompokkan menjadi jamur yang beradaptasi dengan strategi r dan ja-mur yang beradaptasi dengan stra-tegi k. Strastra-tegi r digunakan jamur ke-tika terjadi gangguan stabilitas eko-sistem dengan meningkatkan laju pertumbuhan, sedangkan strategi k digunakan jamur ketika sudah mam-pu beradaptasi dengan lingkungan baru yang ditandai dengan laju per-tumbuhan yang lambat (Langer et al. 2004).

KESIMPULAN

Karakter fisika-kimia tanah ber-variasi disetiap lokasi pengambilan sampel dimana pH tanah berkisar antara 5,08-6,11, temperatur berkisar

antara 28,33-30ºC, kelembaban ber-kisar antara 61,66-40%, berat kering tanah berkisar antara 0,62-0,72%, kan-dungan air berkisar antara 28-38%, dan berat volume tanah berkisar antara 0,26-0,27g/cm3. Total populasi bakte-ri kopiotrof berkisar antara 0,90-4,20 x109 CFU/g tanah, total popu-lasi tertinggi diperoleh pada lokasi HTI rotasi III dan terendah diperoleh pada area konservasi. Total populasi bakteri oligotrof berkisar antara 0,74-4,53x109 CFU/g tanah, tertinggi di-peroleh pada lokasi HTI rotasi III dan terendah pada area konservasi. Total populasi jamur berkisar antara 0,41-1,17x104 CFU/g tanah, tertinggi diperoleh pada area konservasi dan terendah diperoleh pada lokasi HTI rotasi IV. Alih fungsi lahan gambut berpengaruh terhadap total populasi bakteri kopiotrof, oligotrof, dan ja-mur.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala dan Laboran Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Riau atas izin dan fasilitas yang diberikan selama penelitian. Terima kasih juga

(12)

12 penulis ucapkan kepada semua pihak

terkait yang telah mendukung dan membantu baik secara moril maupun materil sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA

Aceves MB, Grace C, Ansorena J, Dendooven L, Brookes PC. 1999. Soil Microbial Biomass and Organic C in a Gradient of Zinc Concentrations in Soils Around a Mine Spoil Tip. Soil Biology and Biochemistry 31: 867-876.

Afni RN. 2013. Laju Respirasi Tanah dan Aktivitas Dehidrogenase di Kawasan Lahan Gambut Cagar Biosfer Giam Siak Kecil–Bukit Batu [skripsi]. Pekanbaru. Fa-kultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau.

Agus F, Subiksa IGM. 2008. Lahan Gambut: Potensi Untuk Per-tanian dan Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian.

Anderson JM, Ingram JSI. 1992. Tropical Soil Biology and Fer-tility a Handbook of Methods. University of Oxford: CAB In-ternational.

Bahig AE, Aly EA, Khaled AA, Amel KA. 2008. Isolation, cha-racterization and application of bacterial population from agri-cultural soil at Sohag province Egypt. Malaysian Journal of Microbiology 4(2): 42-50. Bintang, Rusman B, Harahap EM.

2005. Kajian subsidensi pada lahan gambut di Labuhan Batu Sumatera Utara. Jurnal Ilmiah

Ilmu-Ilmu Pertanian Agrisol 4(1):35-41.

Elon et al. 2011. Physical Properties of Organic Soils. Helsinki: Taylor and Francis Group, LLC.

Enriquez GL, Saniel LS, Matias RR, Garibay G. 1995. General Microbiology Laboratory Manual. Diliman: University of The Philippines Press. Firmanda RF. 2013. Biomassa

Kar-bon Mikroba dan Aktivitas Enzim Selulolitik di Seme-nanjung Kampar: Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Status Hara Karbon [skripsi]. Pekanbaru. Fakultas Matematika dan Ilmu Penge-tahuan Alam, Universitas Ri-au.

Fitria R. 2014. Enumerasi Total Po-pulasi dan Aktivitas Mikroba Tanah Gambut di Teluk Me-ranti [skripsi]. Pekanbaru. Fa-kultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Univer-sitas Riau.

Hadi A, Haridi M, Inubishi K, Purnomo E, Raie F, Tsuruta H. 2001. Effect on land-use change in tropical peat soil on the microbial population and emmision of greenhouse gas. Microbes and Environment 16(2): 79-86.

Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta: Gramedia.

Halimah S. 2012. Biomasa Fosfor (P) Mikroba dan Aktivitas Fosfatase Asam di Cagar Bi-osfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu: Sebagai Status Hara Fosfor [skripsi]. Pekanbaru.

(13)

13 Fakultas Matematika dan

Il-mu Pengetahuan Alam Uni-versitas Riau.

Karlen DL, Mausbach MJ, Doran JW, Cline RG, Harris RF, Schuman GE. 1994. Soil Qua-lity: Concept, Rationale and Research Needs. Soil Science American Journal 60: 33-43. Kaur K, Rajesh KJ, David JM. 2006.

Impact of temperature and defoliation (simulated gra-zing) on soil respiration of pasture grass (Cenchrus ci-liaris L) in a controlled ex-periment. Agricultural Jour-nal 1(4): 291-302.

Langer U, Livia B, Frank B. 2004. Classification of Soil Micro-organism Based on Grow-th Properties: a Critical View of Some Commonlyused Ter-ms. Journal Plant Nutr Soil Science 167:267-269.

Ludang Y, Jaya A, Inoue T. 2007. Geohydrological Condition of the Developed Peatland in Central Kalimantan. World Applied Science Journals 2(3): 198-203.

Maas M, Kabirun S, Nuryani S. 2000. Laju dekomposisi gam-but dan dampaknya pada status harapada berbagai tingkat pelindian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2 (1): 23-32.

Michael D et al. 2012. Peatland Mic-robial Communities and De-composition Processes In The James Bay Low Lands, Cana-da. Journal List Front Micro-biology. DOI: 10.3389/fmicb. 2012.00070

Najiyati S, Muslihat L, Suryadiputra INN. 2005. Panduan Penge-lolaan Lahan Gambut Untuk Pertanian Berkelanjutan. Pro-yek Climate Change. Forest and Peatland in Indonesia. Bo-gor. Wetlands international-Indonesia Programmed an Wildlife Habitat Canada. Radjagukguk B. 2000. Perubahan

sifat-sifat fisik dan kimia tanah gambut akibat rek-lamasi lahan gambut untuk pertanian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 1(2) :1-15. Saegiman S. 2007. Pemanfaatan

Lahan Gambut dengan Pers-pektif Pertanian Berkelanju-tan. (Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah). Fakultas Pertanian. Universi-tas Tanjung-pura.

Suciatmih. 2006. Mikoflora Tanah Tanaman Pisang dan Ubi Kayu pada Lahan Gambut dan Tanah Aluvial di Bengkulu. Pusat Pe-nelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002.

Suwondo. 2002. Komposisi dan keanekaragaman mikroarto-poda tanah sebagai bioindi-kator karakteristik biologi pa-da tanah gambut. www. unri.ac.id/jurnal/jurnal

natur/vol4(2)/suwondo.pdf (Diakses pada tanggal: 18 Juli 2015).

WWF. 2008. Deforestation, forest degradation, biodiversity loss and CO2 emision in Riau,

Sumatera, Indonesia: one Indonesian propinve’s forest and peat soil carbon loss over a quarter century and it’s

(14)

14 plans for the future. WWF

Indonesia Tecnical Report. www.wwf.or.id.

Yoshida N, Ohhata N, Yoshino Y, Katsuragi T. 2007. Screening of Carbon Dioxide-Requiring Extreme Oligothrops from Soil. Biotechnology 71(11), 2830-2832.

Gambar

Gambar 1.  Total  populasi  bakteri  kopiotrof  dan  oligotrof  di  3  lokasi  pengambilan  sampel: AK (Area Konservasi), A3 (HTI Rotasi III), A4 (HTI Rotasi IV)

Referensi

Dokumen terkait

Variabel kualitas lingkungan fisik digunakan sebagai variabel pengukur untuk mengetahui sampai sejauh mana faktor lingkungan fisik berpengaruh terhadap kualitas

Karena fungsi manajemen risiko sangat luas dan kegiatan Puskesmas yang sangat beragam, maka untuk keberhasilan program manajemen risiko, Puskesmas

Sesuai Undang-Undang Dasar 1945 presiden Republik Indonesia bertugas: (a) Menjalankan Undang- Undang Dasar 1945, (b) Menjalankan garis-garis besar haluan Negara, dan

 Melakukan pendataan atau pengecekan kembali terhadap berkas rekam medis yang telah selesai digunakan untuk berobat dengan menggunakan laporan pasien harian

Desiminasi hasil melalui ”Country Report” dalam International Training on Assessing Volcanic Hazardz and Monitoring Actives Volcanoes” dengan judul Seismicity at

Sehingga dapat disimpulkan bahwa umbi gembili layak dijadikan beras analog karena memiliki kandungan karbohidrat yang hampir sama dengan karbohidrat pada beras yang berasal

Tetapi dalam hal – hal yang lain dapat timbul kewajiban pada pihak lain, misalnya Perjanjian memberi kuasa ( latsgeving ) tanpa upah.. Perjanjian cuma – cuma adalah

(Timbangan Indonesia, 2013) Pengukuran massa biasanya dilakukan secara manual yaitu dengan menggunakan timbangan manual. Devinisi Timbangan itu sendiri adalah sebuah alat