1153
ANALISIS PENAMBAHAN EKSTRAK BAWANG PUTIH
(ALLIUM SATIVUM L.) TERHADAP MUTU PRODUK MIE BASAH MATANG
Wirasti1), Eko Mugiyanto2)1,2
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Pekajangan Pekalongan email: wirasti.kharis@gmail.com
Abstrak
Mie basah yang beredar di pasaran dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu mie basah mentah (kering) dan mie basah matang. Mie basah mentah tidak dimasak terlebih dahulu sebelum dijual dan memiliki kadar air kurang dari 30%, sedangkan mie basah matang melalui perlakuan terlebih dahulu sehingga mengandung kadar air sekitar 50%. Inilah yang menyebabkan mie basah matang dengan cepat mengalami kerusakan walaupun disimpan pada lemari pendingin. Salah satu usaha yang dilakukan untuk mempertahankan keawetannya yaitu dengan mencampurkan bahan kimia pengawet non pangan yang dilarang penggunaannya oleh pemerintah Indonesia, seperti formalin dan boraks. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan alternative larutan pengawet mie basah matang yang efektif, murah, dan aman dalam penelitian ini digunakan larutan Ekstrak bawang putih yang dikombinasikan dengan cuka yang beredar dipasaran. Hasil orientasi, larutan biang yang diperoleh yaitu campuran cuka pasar dan ekstrak bawang putih hasil maserasi pelarut air (larutan biang A) dan maserasi pelarut etanol (larutan biang E) dengan perbandingan cuka pasar:ekstrak bawang putih 7:3. Larutan pengawet yang digunakan pada perlakuan utama merupakan hasil pengenceran 5% (larutan A1, E1), 10% (larutan A2, E2), dan 15% (larutan A3, E3) dari masing-masing larutan biang. Hasil penelitian utama menunjukkan bahwa larutan pengawet A dan E mampu mempertahankan umur simpan mie basah matang hingga penyimpanan 4 hari. Larutan pengawet A2 yang memiliki kandungan asam asetat sebesar 1.75% merupakan larutan pengawet terbaik untuk mempertahankan mutu mie basah matang selama penyimpanan.
Keywords: Bawang putih, Allium sativum, mie basah, mutu
1. PENDAHULUAN
Menurut
Badan
Standardisasi
Nasional (1992), mie basah didefinisikan
sebagai produk makanan yang dibuat
dari tepung terigu dengan atau
tanpa penambahan bahan makanan lain
dan bahan tambahan makanan yang
diizinkan, serta berbentuk khas mie yang
tidak dikeringkan.
Ditinjau
dari
proses
pembuatannya, mie basah yang beredar
di pasaran dapat digolongkan menjadi
dua jenis, yaitu mie basah mentah dan
mie basah matang. Mie basah mentah
tidak melalui proses pematangan lebih
dahulu sebelum dijual dan memiliki
kadar air sekitar 35%, sedangkan mie
basah
matang
dilakukan
perebusan
terlebih
dahulu
serta
penambahan
minyak, sehingga kadar airnya menjadi
sekitar 52% (Astawan 2005). Karena
kadar air yang tinggi inilah yang
menyebabkan
mie
basah
matang
mengalami kerusakan yang lebih cepat
walaupun
disimpan
pada
lemari
pendingin, selama 24 jam (Yuniar 2004).
Berbagai bisa usaha dilakukan untuk
mempertahankan keawetan mie basah
matang,
salah
satunya
dengan
menambahkan bahan kimia pengawet
yang ternyata banyak digunakan bahan
pengawet non pangan yang dilarang
penggunaannya
oleh
pemerintah
Indonesia, seperti formalin ataupun
boraks. Disebutkan dalam National
Toxicology Program bahwa formalin
1154
dapat bersifat karsinogen pada manusia.
Oleh karena formalin yang bersifat racun
tersebut sehingga tidak termasuk dalam
daftar
bahan
tambahan
makanan
(additive) pada Codex Alimentarius
ataupun
yang
dikeluarkan
oleh
Departemen Kesehatan RI (Winarno et
al. 1994). Food Standard Committee
(FSC) pada tahun 1959 dinyatakan
bahwa
oraks
bersifat
kumulatif
(terjadinya penimbunan) yang dapat
membahayakan tubuh manusia. Menurut
Astawan (2005), boraks dengan kadar
yang mencapai 5 gram atau lebih pada
anak kecil dan bayi dapat menyebabkan
kematian. Kandungan boraks pada orang
dewasa
yang
dapat
menyebabkan
kematian yaitu 10-20 gram ataulebih.
Penggunaan
formalin
sangat
lazim digunakan oleh masyarakat sebagai
pengawet
dikarenakan
dapat
mengawetkan mie basah matang hingga
14 hari dengan biaya sekitar Rp 22.43/kg
sehingga banyak digunakan oleh penjual
mie basah matang. Menurut Ferdiani
(2008), diketahui bahwa mie basah
matang dapat diawetkan hingga 4 hari
melalui coating asam asetat 2%. Namun
dari sisi produknya masih memiliki rasa
dan bau asam yang berasal dari asam
asetat,
sehingga
menyebabkan
mie
kurang bisa diterima secara sensori
sehingga diperlukan bahan tambahan lain
yang dapat menutupi rasa asam. Berdasar
permasalahan
diatas
perlu
dicari
pengawet
alami
yang
dapat
mempertahankan umur simpan mie
basah matang serta bersifat aman dan
ekonomis untuk mengurangi maraknya
penggunaan formalin dan boraks di
masyarakat.
Penggunaan
campuran
asam
asetat dari cuka yang beredar dipasaran
dan ekstrak bawang putih pada produk
mie
basah
matang
sebagai
bahan
pengawet
diharapkan
dapat
menggantikan formalin dan boraks serta
dapat
diterima
secara
organoleptik.
Penggunaan
ekstrak
bawang
putih
digunakan untuk menutupi rasa dan bau
asam pada produk akibat adanya asam
asetat
yang
dapat
mempengaruhi
penerimaan produk secara organoleptik.
2. METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan baku yang digunakan
dalam penelitian ini adalah bawang putih
(Allium sativum L.), asam asetat berupa
cuka pasar dengan merek Dixie, dan mie
basah
matang.
Bahan-bahan
yang
digunakan untuk uji mikrobiologi yaitu
PCA
(Plate
Count
Agar),
larutan
pengencer, dan alkohol 70%. Bahan–
bahan yang digunakan untuk analisis
total asam tertitrasi adalah NaOH 0.1 ml,
asam potasium phtalate (KHP), dan
indikator phenoftalein (PP). Aquades dan
etanol 70% digunakan sebagai pelarut
dalam ekstraksi bawang putih
Alat
Alat-alat yang digunakan diantaranya gelas piala, labu takar, gelas ukur, pipet, sudip, baskom, penyaring, pisau, pengaduk, dan plastik HDPE. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah Ph meter, bunsen, buret, erlenmeyer, Chromameter, Rheoner, cawan petri, mikro pipet, dan tabung pengencer.
Orientasi formula
Orientasi formula bertujuan untuk memperoleh formulasi campuran cuka pasar yang mengandung asam asetat dengan ekstrak bawang putih yang memiliki Ph3 serta rasa yang tidak asam. Pada penelitian
pendahuluan dilakukan tahapan
pendahuluan pada bawang putih, ekstraksi
bawang putih menggunakan metode
perebusan dan maserasi, pencampuran
(mixing) ekstrak bawang putih dengan asam asetat, pengukuran Ph larutan, pencicipan rasa larutan, dan pemilihan larutan terbaik.
1155
Preparasi Ekstraksi Bawang Putih
Bawang putih yang digunakan pada penelitian ini berumur 4 bulan. Bawang putih yang akan diekstraksi sebelumnya diberi perlakuan pendahuluan yang bertujuan untuk memperoleh proses
ekstraksi yang efisien. Perlakuan
pendahuluan ini juga dapat mempermudah pengeluaran senyawa aktif dari bawang putih selama proses ekstraksi. Terdapat beberapa perbedaan perlakuan pendahuluan antara bawang putih yang diekstraksi dengan perebusan dan bawang putih yang diekstraksi dengan maserasi.
Ekstraksi bawang putih dengan perebusan dilakukan terhadap bawang putih segar dan bawang putih yang telah dikeringkan. Tahapan pendahuluan pada bawang putih segar yaitu pengupasan, pengecilan ukuran, dan pememaran. Bawang putih dikupas dari kulit tipis berwarna putih yang menjadi pemisah antar siungnya. Tahapan pendahuluan pada bawang putih kering tidak berbeda jauh dengan bawang putih segar. Pengeringan bawang putih dilakukan dengan menjemur bawang putih di bawah sinar matahari selama 20 menit, disebut juga proses pelayuan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penetrasi pelarut ke dalam bawang putih Bawang putih yang dijemur akan mengalami kerusakan pada jaringannya, sehingga pelarut yang dikontakkan ke bawang putih akan lebih
mudah berpenetrasi dan mengekstrak
komponen aktif. Bawang putih yang
diekstraksi dengan maserasi bertingkat dan maserasi pelarut air diberi perlakuan pendahuluan yang sama.
Ekstraksi dengan Perebusan
Ekstraksi bawang putih dengan
metode perebusan dilakukan terhadap
bawang putih segar dan bawang putih yang telah dikeringkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perlakuan pendahuluan bawang putih yang dapat menghasilkan ekstrak terbaik. Pengekstrakan dilakukan dengan perebusan agar diperoleh ekstrak bawang putih yang mengandung komponen aktif larut air dan bisa dicampurkan dengan asam
asetat yang merupakan asam organik dan bersifat larut air. Metode perebusan bawang putih diperoleh berdasarkan penelitian Yohana (2007) yang melakukan ekstraksi pada bawang putih menggunakan metode perebusan dengan perlakuan perbandingan konsentrasi bawang putih : pelarut dan waktu perebusan. Hasilnya yaitu bawang putih yang direbus selama5 menit dengan perbandingan bawang putih : pelarut sebanyak 1 : 5 menggunakan suhu 100Oc menghasilkan rendemen sebesar 45.44%.
Ekstrak ini memiliki kemampuan
antimikroba terbaik dibandingkan perlakuan lainnya.
Tahapan persiapan terhadap bawang putih yang diekstrak yaitu pengupasan bawang putih dan pememaran. Ekstraksi
perebusan bawang putih dilakukan
menggunakan pelarut air dengan
perbandingan bawang putih dan pelarut yaitu 1:5. Ekstraksidilakukan selama 5 menit pada suhu 100Oc. Sebanyak100 grbawang putih segar yang telah mengalami perlakuan pendahuluan direbus dalam 500 ml air mendidih (100 Oc). Waktu perebusan selama 5 menit dihitung sejak air mencapai suhu 100Oc.
Ekstrak bawang putih yang diperoleh selanjutnya dicampurkan dengan asam asetat 25% dengan perbandingan asam asetat : ekstrak (0:10);(3:7);(5:5);(7:3) dan (10:0).
Ekstraksi dengan Maserasi
Proses ekstraksi bawang putih dengan metode maserasi dilakukan dengan maserasi bertingkat dan maserasi pelarut air. Perbandingan antara bahan dan pelarut adalah 1:4 (w/v) dan proses ekstraksi dilakukan selama 24 jam dengan alat shaker (Nuraini 2007).
Ekstraksi maserasi bertingkat pada bawang putih menggunakan tiga macam pelarut, yaitu heksan, etil asetat, dan etanol. Ekstraksi bertingkat ini bertujuan untuk
memperoleh komponen bawang putih
sebagai hasil akhir yang bersifat polar, komponen aktif yang bersifat polar dapat bercampur dengan asam asetat (cuka pasar)
1156
yang juga bersifat polar pada proses pencampuran.
Metode ekstraksi maserasi air
dilakukan untuk mendapatkan ekstrak
bawang putih yang mengandung komponen aktif yang bersifat larut air. Pelarut air yang bersifat polar akan mengekstrak komponen aktif pada bawang putih yang bersifat polar. Air yang digunakan berasal dari aqua destilata (aquades).
Ekstrak bawang putih yang diperoleh dari maserasi bertingkat maupun maserasi pelarut air masing-masing dicampurkan dengan asam asetat 25% dengan perbandingan
konsentrasi cuka pasar dan ekstrak
(8:2);(7:3);(6:4) dan (5:5).
Larutan yang terpilih untuk
penelitian utama yaitu larutan yang memiliki Ph3 serta rasa yang tidak asam. Untuk selanjutnya larutan terpilih ini disebut
sebagai larutan biang. “A” hasil
pencampuran asam asetat dengan ekstrak bawang putih yang dimaserasi menggunakan pelarut air; “E” hasil pencampuran asam asetat dengan ekstrak bawang putih yang dimaserasi menggunakan pelarut etanol; “K” Mie basah matang control; “A1, A2 dan A3” Larutan pengawet asam asetat : ekstrak bawang putih maserasi air yang diencerkan 5%, 10% dan 15% dari larutan biang; “E1, E2 dan E3” Larutan pengawet asam asetat : ekstrak bawang putih maserasi etanol yang diencerkan 5%, 10% dan 15% dari larutan biang.
Perlakukan Utama
Pada penelitian utama dilakukan
pengenceran larutan biang, optimasi
pengenceran larutan biang, dan penyimpanan mie basah matang yang telah dicelup larutan biang hasil optimasi. Larutan biang yang diperoleh dari masing-masing tahap ekstraksi diencerkan, besar pengencerannya 10%;20% dan 30%. Selanjutnya, dilakukan pencelupan mie basah matang ke masing- masing larutan tersebut dan penyimpanan. Pengamatan secara visual terhadap mie basah matang dilakukan untuk mengetahui larutan yang dapat mempertahankan mutu mie selama
penyimpanan hingga mie mengalami
kerusakan. Larutan yang memiliki
kemampuan mempertahankan mutu mie
basah matang paling lama kemudian
dijadikan patokan/titik tengah untuk proses optimasi pengenceran. Pada proses optimasi, dilakukan pengenceran kembali terhadap larutan biang yang besar pengencerannya (x-5);x dan (x+5) dimana “x” menunjukkan besar pengenceran larutan biang terbaik yang mampu mempertahankan mutu mie basah matang secara visual. (x-5) dan (x+5) menunjukkan optimasi pengenceran dari larutan biang. Selanjutnya dilakukan pencelupan mie basah matang ke dalam larutan hasil optimasi tersebut.
Pencelupan Mie
Sampel mie basah matang yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari industri rumah tangga. Larutan terpilih dari masing-masing jenis ekstraksi (larutan biang) diencerkan sebanyak 10%, 20%, dan 30%. Mie basah matang lalu dicelupkan ke larutan tersebut. Besar pengenceran yang dapat mengawetkan mie basah matang minimal 4 hari lalu dioptimalisasi menjadi tiga perlakuan konsentrasi, yaitu 5%, 10%, dan 15% dari larutan biang, kemudian mie basah matang dicelup ke larutan tersebut. Penggunaan metode pencelupan bertujuan untuk mengetahui efektifitas larutan pengawet dalam menghambat pertumbuhan
mikroba selama mie basah matang
mengalami penyimpanan.
Penilaian
Beberapa parameter yang digunakan dalam penilaian ini adalah Total Mikroba (Fardiaz 1992), pH, Total asam tertitrasi, Intensitas warna, tekstur, Organoleptik, analisis biaya dan penyimpanan. Pengolahan data menggunakan bantuan statistic.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Orientasi formula dilakukan
ekstraksi bawang putih dengan metode perebusan dan maserasi. Kedua metode ini dilakukan untuk menemukan metode terbaik dan terekonomis sehingga dapat diperoleh ekstrak bawang putih yang dapat membuat larutan pengawet memiliki pH 3 serta rasa
1157
tidak asam. Larutan pengawet pada
penelitian ini merupakan campuran dari cuka pasar dan ekstrak bawang putih. Cuka pasar yang digunakan mengandung 25% asam asetat. Hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ferdiani (2008) yang menyebutkan bahwa mie basah matang yang dicelup ke dalam asam cuka 2% yang berasal dari cuka pasar mampu mempertahankan umur simpan selama 4 hari dengan biaya pengawetan yang efisien, yaitu Rp0.027/kg mie basah matang atau sebesar Rp27/gr mie basah matang. Namun asam cuka 2% belum dapat diaplikasikan ke masyarakat karena masih meninggalkan rasa dan aroma asam pada mie basah matang. Pencampuran dengan ekstrak bawang putih diharapkan dapat menutupi rasa dan aroma asam yang dimiliki cuka pasar.
Metode perebusan dilakukan sebagai salah satu metode ekstraksi bawang putih berdasarkan alasan ekonomis. Apabila
metode perebusan dapat menghasilkan
ekstrak bawang putih yang mampu menutupi rasa asam dari cuka pasar saat proses pencampuran, maka metode ini dapat lebih mudah diaplikasikan ke masyarakat.
Jumlah ekstrak bawang putih segar yang diperoleh (370 ml) lebih banyak dibandingkan perolehan ekstrak bawang putih yang telah dijemur (320 ml). Proses
pengeringan atau pelayuan dengan
penjemuran mampu menguapkan air yang terkandung dalam bawang putih, sehingga bawang putih menjadi layu dan jumlah air
dalam ekstrak menjadi berkurang.
Ekstrakbawang putihsegar maupun kering masing-masing merupakan cairan berwarna putih yang memiliki bau bawang putih yang pekat. pH kedua ekstrak tersebut yaitu 6.15 untuk ekstrak segar dan 6.13 untuk ekstrak kering. Komponen aktif yang terekstrak dari bawang putih ini merupakan komponen yang bersifat larut air. Menurut Nagpurkar et al. (2000), komponen-komponen tersebut diantaranya senyawa turunan alisin yang larut air dan merupakan senyawa dari turunan sistein, yaitu S-alilsistein, S-alil
merkaptosistein, dan S-metil sistein. Komponen larut air dari alisin lebih stabil dibandingkan komponen larut minyaknya. Ekstraksi maserasi bertingkat pada bawang putih menggunakan tiga macam pelarut, yaitu heksan, etil asetat, dan etanol.Hasil maserasi dengan heksandan etil astat berupa kerak yang lengket, berwarna coklat, dan menempel pada wadah ekstraksi.
Sementara itu, maserasi menggunakan
pelarut etanol menghasilkan ekstrak sebesar 97.5 ml. Ekstrak ini berwujud cairan agak kental berwarna kuning pekat yang memiliki bau bawang putih yang cukup kuat. Ekstrak ini terdiri dari komponen polar bawang putih seperti alisin dan senyawa turunannya, ajoene, dan dithiin (Block 1985). Ekstrak bawang putih dengan pelarut etanol memiliki pH sebesar 5.86.
Metode ekstraksi maserasi air
dilakukan untuk mendapatkan ekstrak
bawang putih yang mengandung komponen aktif yang bersifat larut air. Pelarut air yang bersifat polar akan mengekstrak komponen aktif pada bawang putih yang bersifat polar.
Ekstrak bawang putih yang
dihasilkan memiliki warna kuning pekat, tekstur agak kental, dan berbau bawang. Ekstrak bawang putih ini mengandung komponen bawang putih yang larut air, seperti S-alilsistein, S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein. Komponen bawang putih larut air ini diharapkan dapat larut saat pencampuran dengan asam asetat yang merupakan asam organik bersifat polar. pH ekstrak yang diperoleh yaitu sebesar 5.59.
Ekstrak dari bawang putih yang
direbus menggunakan air dicampurkan
dengan cuka pasar. Kandungan asam asetat dalam cuka pasar yaitu 25%. Pengukuran pH dan pencicipan rasa larutan campuran secara subjektif menghasilkan data yang dapat dilihat pada Tabel 1.
1158
Maserasi bawang putih
menggunakan pelarut air maupun etanol menghasilkan ekstrak bawang putih yang mengandung komponen polar. Komponen tersebut bertindak sebagai komponen citarasa dari bawang putih, diantaranya alisin, senyawa turunan sistein (S- alilsistein, S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein) (Nagpurkar et al. 2000), serta senyawa sulfida hasil dekomposisi dari alisin (ajoene dan dithiin) (Block 1985).
Pada pencampuran cuka pasar
dengan ekstrak bawang putih metode maserasi (air maupun etanol) digunakan konsentrasi ekstrak bawang putih yang lebih rendah. Hal ini dilakukan
berdasarkan alasan ekonomis. Proses
ekstraksi bawang putih metode maserasi
menggunakan pelarut dan peralatan
laboratorium yang lebih besar dari segi biaya jika dibandingkan dengan ekstraksi bawang
putih metode perebusan. Penggunaan
konsentrasi ekstrak bawang putih yang lebih rendah ini dilakukan untuk menekan biaya pengawetan, sehingga larutan pengawet yang dihasilkan tetap dapat terjangkau oleh
produsan dan pedagang mie basah
matang.Hasil pengukuran pH dan pencicipan rasa dari larutan campuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih maserasi air dapat dilihat pada Tabel 2.
Pada perlakuan utama, larutan biang A dan E diencerkan menjadi 10%,20%, dan 30%. Kandungan asam asetat yang terkandung
pada masing-masing konsentrasi
pengenceran 1,75;3,5 dan 5,25. Mie basah matang tanpa pencelupan (kontrol) memiliki warna, bau, dan tekstur yang normal pada penyimpanan hari ke-0. Hal ini menunjukkan mie basah matang berada dalam keadaan baik dan layak konsumsi. Perubahan terjadi pada penyimpanan hari ke 1 dan 2. Bau mie
basah matang kontrol berkurang
intensitasnya bila dibandingkan dengan bau mie basah matang normal. Selain itu, tekstur mie basah matang yang normalnya licin menjadi agak kesat. Pada penyimpanan hari ke 3 dan 4, bau mie basah matang
kontrol menjadi lebih berkurang
intensitasnya bila dibandingkan dengan bau mie basah matang hari ke-2. Mie basah matang tersebut menjadi berbau agak tengik. Hal ini disebabkan oleh reaksi oksidasi yang terjadi pada minyak kelapa yang melapisi permukaan mie. Warna mie pun menjadi lebih pucat. Selain itu, timbul tanda-tanda kerusakan mie basah matang yang lain, yaitu adanya lendir akibat aktivitas mikroba. Perkiraan umur simpan mie basah matang tanpa pencelupan yaitu selama 2 hari. Hal ini disebabkan memasuki penyimpanan hari ke-3 dan ke-4 telah tampak tanda-tanda kerusakan pada mie basah matang, meliputi
1159
perubahan warna menjadi lebih pucat, adanya lendir, dan bau tengik.
Mie basah matang yang dicelup larutan biang A dan E yang diencerkan10% memiliki bau, warna, dan tekstur yang normal selama penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, dan 4. Hal ini menunjukkan larutan 10% biang dapat mempertahankan mutu mie basah matang secara visual hingga 4 hari. Mie basah matang yang dicelup larutan hasil pengenceran biang A dan E sebesar 20% memiliki warna yang normal selama penyimpanan hari ke-0 hingga ke-4. Mie basah matang ini memiliki bau asam dari cuka yang telah tercium sejak penyimpanan hari ke-0. Bau asam cuka tetap tertinggal pada mie hingga penyimpanan hari ke-4. Tekstur mie basah matang tetap normal hingga penyimpanan hari ke-2 dan menjadi agak kesat (berkurang kelicinannya) di hari ke-3 dan ke-4. Larutan 20% biang ini dapat
menghambat pertumbuhan mikroba
penyebab timbulnya lendir pada mie, sehingga mie memiliki tekstur yang tidak
berlendir. Larutan 20% biang dapat
mempertahankan mutu mie basah matang secara visual hingga hari ke-4. Namun, bau asam dari cuka yang tetap tertinggal membuat mie basah matang kurang disukai secara organoleptik.
Pencelupan mie basah matang dengan larutan
30% biang A maupun E mampu
mempertahankan warna mie basah matang tetap normal hingga penyimpanan hari ke-4. Pada penyimpanan hari ke-0, mie basah matang telah memiliki bau asam dari cuka yang cukup menyengat. Pada penyimpanan hari ke-1 hingga ke-4, bau asam cuka bertambah kuat. Tekstur mie basah matang yang normal dapat dipertahankan hingga penyimpanan hari ke-2. Pada hari ke-
3 dan ke-4, mie basah matang menjadi agak kesat. Seperti halnya larutan biang 20%,
larutan biang 30% pun dapat
mempertahankan mutu mie basah matang secara visual hingga hari ke-4. Bau asam dari cuka yang tercium lebih kuat membuat mie
basah matang ini tidak disukai secara organoleptik.
Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, diketahui bahwa larutan biang A dan E yang diencerkan sebesar 10% mampu mempertahankan mutu mie basah matang dari segi warna, bau, dan tekstur selama 4 hari. Hal ini menyebabkan pengenceran larutan biang A dan E dengan perbandingan 7:3 sebesar 10% menjadi batas tengah dari optimasi larutan biang. Optimasi larutan biang yang dilakukan yaitu dengan mengencerkan larutan biang 7:3 menjadi 5%, 10%, dan 15%. Tabel 3 menunjukkan besar optimasi pengenceran larutan biang beserta jumlah asam asetat yang dikandungnya.Selanjutnya dilakukan pencelupan mie basah matang ke larutan biang yang dioptimasi dan penyimpanan mie hingga mengalami kerusakan. Analisis fisik, kimia, dan mikrobiologi pada mie basah matang yang diawetkan dilakukan setiap hari hingga terjadi kerusakan.
Hasil analisis total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan A1, A2, dan A3 dapat dilihat pada Gambar 1.
Hasil analisis total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan 5%, 10%, dan 15% dari larutan biang E dapat dilihat pada Gambar 2
1160
Derajat keasaman (pH) menunjukkan kuantitas ion H+ yang terbentuk akibat
penguraian molekul asam asetat dan
pengaruhnya terhadap kualitas mie basah
matang. Nilai pH juga menunjukkan
pengaruh ion H+ dalam mie basah matang
terhadap kemampuan mikroba untuk
bertahan hidup didalamnya. pH mie basah matang selama penyimpanan yang dicelup dengan larutan pengawet hasil maserasi menggunakan pelarut air dapat dilihat pada Gambar 3
Nilai pH mie basah matang selama penyimpanan yang dicelup dengan larutan
pengawet hasil maserasi menggunakan
pelarut etanol (larutan E) dapat dilihat pada Gambar 4
4.KESIMPULAN
Larutan pengawet pada penelitian ini dibuat dengan mencampurkan cuka pasar yang mengandung asam asetat 25% dan ekstrak bawang putih. Pencampuran bertujuan untuk
memperoleh larutan pengawet yang memiliki pH 3 serta rasa yang tidak asam. Maserasi menggunakan pelarut air serta maserasi pelarut etanol merupakan metode ekstraksi yang tepat untuk mendapatkan ekstrak bawang putih yang dapat menghambat rasa asam dari asam asetat. Larutan pengawet yang menjadi larutan biang yaitu campuran asam asetat 25% dengan ekstrak bawang putih maserasi air perbandingan 7:3 (larutan A) dan asam asetat 25% dengan ekstrak bawang putih maserasi etanol perbandingan 7:3 (larutan E).
Pada penelitian utama, digunakan larutan A dan E dengan konsentrasi 5% (Larutan A1, E1), 10% (larutan A2, E2), dan 15% (larutan A3, E3). Larutan terbaik yang dapat mempertahankan mutu mie basah matang selama penyimpanan yaitu larutan A2.
Berdasarkan analisis total mikroba, larutan A2 mampu mempertahankan mutu mikrobiologi mie basah matang hingga penyimpanan hari ke-4, yaitu sebesar 2.5 x 105 koloni/g. Jumlah total mikroba mie basah matang ini tidakmelebihi syarat angka lempeng total berdasarkan SNI, yaitu sebesar 1.0 x 106koloni/g. Mie basah matang dengan pencelupan larutan A2 memiliki pH sebesar 4.20 serta nilai total asam sebesar 4.79% pada penyimpanan hari ke-4.
Daftar pustaka
Astawan, M. dan A.L. Kasih. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
BSN (Badan Standar isasi Nasional) (2004). SNI 01-6993-2004 Tentang Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan–Persyaratan Penggunaan dalam
Produk Pangan. Jakarta: Badan
Standarisasi Nasional.
Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT. Gramedia, Jakarta.
Nuraini A.D., 2007. Ekstraksi Komponen Antibakteri dan Antioksidan Dari Biji Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D.
Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta
1161
Yuniar, Kiki. 2004. Kondisi Industri Rumah Tangga Pangan serta Aplikasi Penggunaan Pewarna dan Pengawet Pada Mie Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian - IPB, Bogor.