• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Toxoplasma gondii

2.1.1 Epidemiologi Toxoplasma gondii

Toksoplasmosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa yang disebut T. gondii. penyakit ini bersifat zoonosis, yaitu penyakit hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Di Indonesia prevalensi zat anti T.gondii yang positif pada manusia berkisar antara 2%-63%. Pada orang Eskimo prevalensinya 1%, sedangkan di El Savador, Amerika Tengah prevalensinya 90% (Gandahusada et al. 2003). Suatu survei serologis yang dilakukan pada berbagai jenis hewan di Amerika memberikan gambaran penyebaran penyakit toksoplasmosis dengan prevalensi yaitu pada anjing (34%-59%), kucing (34%), sapi (47%), babi (30%), dan kambing (48%) (Soeharsono, 2002). Sedangkan, prevalensi T. gondii pada binatang di Indonesia, yaitu pada kucing 35-73%, babi 11-36%, kambing 11-61%, anjing 75% dan pada ternak lain kurang dari 10% (Gandahusada et al. 2003).

Pada umumnya, prevalensi T.gondii akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tetapi tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan (Gandahusada et al. 2003). Di Amerika Serikat, individu dengan umur 10-19 tahun memiliki prevalensi toksoplasmosis sebesar 5-30%, sedangkan individu dengan umur lebih dari 50 tahun memiliki prevalensi toksoplasmosis sebesar 10-67% (Kasper & Fauci, 2010). Penelitian yang dilakukan di India juga menunjukkan bahwa prevalensi

T.gondii pada usia 18-25 tahun sebesar 18,1% dan meningkat menjadi 40,5% pada

(2)

8

Namun, penelitian yang dilakukan di Iran menunjukkan bahwa tidak ditemukan korelasi antara infeksi T.gondii dengan umur, karena infeksi T.gondii yang tinggi terjadi pada anak-anak dan remaja (Babaie et al. 2013). Tingkat infeksi yang tinggi terjadi pada anak-anak kemungkinan disebabkan karena tingginya jumlah kucing liar dan kebiasaan bermain anak, seperti kontak dengan tanah (Ghorbani

et.al., 1978 dalam Babaie et al. 2013). Selain itu, prevalensi T.gondii yang

meningkat seiring bertambahnya umur tidak hanya terjadi pada manusia, tetapi juga pada hewan. Penelitian yang dilakukan di Skotlandia pada 825 domba menunjukkan bahwa terjadi peningkatan seropositif T.gondii dari 37,7% pada usia 1 tahun menjadi 73,8% pada usia 6 tahun (Katzer et al., 2011).

Menurut Gandahusada (2003) dalam Yaudza (2010), T.gondii pertama kali ditemukan oleh Nicole dan Splendore pada tahun 1908 pada limfa dan hati hewan pengerat Ctenodactylus gundii di Tunisia Afrika dan pada seekor kelinci di Brazil. Sejak saat itu, infeksi T.gondii telah ditemukan pada lebih dari 200 spesies mamalia dan burung (Wijayanti, 2013).

Kejadian toksoplasmosis di suatu wilayah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti faktor iklim, kebiasaan mengonsumsi daging mentah atau setengah matang, kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan memelihara kucing, kualitas air yang dikonsumsi, sanitasi lingkungan (adanya vektor seperti lipas dan lalat yang dapat memindahkan ookista dari feses kucing ke makanan), dan tingkat sosial ekonomi (Robert-Gangneux & Marie-Laure Dardé, 2012)

(3)

9 2.1.2 Morfologi Toxoplasma gondii

T.gondii merupakan protozoa obligat intraseluler yang memiliki tiga bentuk,

yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit) (Hiswani, 2005 dalam Yaudza (2010). Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing dan ujung lain agak membulat. Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes perantara seperti burung dan mamalia termasuk manusia dan kucing sebagai hospes definitif. Takizoit ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh (Yaudza, 2010).

Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil yang hanya berisi beberapa bradizoit dan ada pula yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit (Yaudza, 2010).

Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 µm. Ookista mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan selanjutnya kedua sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2 µm dan sebuah benda residu (Yaudza, 2010).

2.1.3 Siklus hidup Toxoplasma gondii

Daur hidup T.gondii melalui dua siklus yaitu siklus enteroepitel dan siklus ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di dalam tubuh hospes definitif seperti kucing. Siklus ekstraintestinal pula di dalam tubuh hospes perantara seperti manusia, kambing dan domba. Pada siklus ekstraintestinal, ookista yang keluar bersama tinja kucing belum bersifat infektif. Setelah mengalami sporulasi, ookista akan berisi sporozoit dan menjadi bentuk yang infektif (Yaudza, 2010).

(4)

10

Ookista T.gondii yang telah bersporulasi dapat bertahan di lingkungan tergantug selama 1,5 tahun (Frenkel et.al., 1975 dalam Lindsay et al., 2002) dan selama 4,5 tahun pada temperatur 40C (Dubey, 1998 dalam Lindsay et al., 2002). Ookista T.gondii juga dapat menjadi resisten di lingkungan tergantung dari tingkat sporulasi ookista. Contohnya, paparan secara terus-menerus yang diberikan pada ookista dalam terperatur 370C selama 24 jam dapat mematikan ookista yang belum bersporulasi, tetapi ookista yang telah bersporulasi dapat bertahan setidaknya 32 hari pada temperatur 350C dan 9 hari pada temperatur 400C (Dubey et al., 1970 dalam Lindsay et al., 2002). Lingkungan merupakan salah satu tempat ookista berkembang dengan baik menjadi bentuk yang infektif. Manusia dan hospes perantara lainnya akan terinfeksi jika tertelan bentuk ookista yang berada di lingkungan tersebut (Yaudza, 2010).

Gambar 2.1 Siklus Hidup Toxoplasma gondii Sumber : CDC, 2013.

(5)

11 2.1.4 Penularan Toxoplasma gondii

Penularan penyakit toksoplasmosis dan terjadi melalui berbagai cara, yaitu kepemilikan kucing, konsumsi daging mentah/setengah matang, berkebun, kontak dengan tanah, konsumsi sayur atau buah mentah yang tidak dicuci, jarang membersihkan pisau dapur setelah digunakan, kebiasaan mencuci tangan yang kurang baik, minum air yang tidak dimasak, kondisi sanitasi kurang, dan bepergian ke wilayah Eropa, Amerika, dan Kanada (Baril et al. 1999; Kapperud et al. 1996; Weigel et al. 1999; Cook et al. 2000; Jones et al. 2001; Avelino et al. 2014; Hammond-Aryee et al. 2014)

Pada toksoplasmosis kongenital, penularan toksoplasma kepada janin terjadi melalui plasenta bila ibunya mendapat infeksi primer saat hamil. Pada toksoplasmosis akuisita, infeksi dapat terjadi bila mengonsumsi daging mentah atau kurang matang ketika daging tersebut mengandung kista atau trofozoit T.gondii. Di Australia pernah terjadi outbreak toksoplasmosis akut dan kongenital yang terjadi karena mengonsumsi daging kanguru dan sate kambing yang masih setengah matang (Robson et.al., 1995 dalam Tenter et al. (2000).

Penularan juga dapat terjadi bila meminum air yang tercemar ookista T.gondii (Yaudza, 2010). Outbreak toksoplasmosis pertama terjadi di Panama tahun 1979 yang menginfeksi 39 tentara yang menggunakan tiga sumber air untuk dikonsumsi (Benenson et.al., 1982 dalam Aubert & Villena 2009). Selain itu, outbreak toksoplasmosis terbesar pernah terjadi di Brazil yang menginfeksi 290 penduduk yang mengonsumsi air tanpa difilter (Keenihan et.al., 2002 dalam Aubert & Villena 2009). Susu yang tidak dipasteurisasi juga dapat menjadi sumber penularan infeksi

T.gondii. Outbreak toksoplasmosis yang pernah terjadi di Amerika Serikat dan

(6)

12

(Riemann et.al., 1975, Sacks et.al., 1982, De Andrade et.al., 1984, Skinner et.al., 1990 dalam Tenter, 2009).

Kontak dengan tanah yang mengandung ookista juga dapat menjadi sumber penularan infeksi T.gondii. Penelitian yang dilakukan oleh Cook et.al. (2002) dalam (Robert-Gangneux & Marie-Laure Dardé, 2012) menyebutkan bahwa 6-17% dari faktor risiko infeksi T.gondii disebabkan oleh kontak dengan tanah yang mengandung ookista. Penelitian terkait tanah yang terkontaminasi ookista T.gondii pernah dilakukan di Pakistan oleh Ajmal et al. (2013) yang memberikan hasil bahwa tanah yang digunakan untuk berkebun di daerah perkotaan sebanyak 20% mengandung ookista T.gondii sedangkan di daerah pedesaan menunjukkan 13.3% sampel tanah untuk berkebun tersebut mengandung ookista T.gondii. Selain itu, kontaminasi T.gondii pada air dan tanah dapat mengontaminasi buah dan sayur yang dikonsumsi manusia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa mengonsumsi sayur mentah atau buah yang tidak dicuci dapat meningkatkan risiko terinfeksi T.gondii (Tenter, 2009). Penelitian yang dilakukan di Pakistan terhadap 250 sampel buah dan sayur menunjukkan bahwa sebanyak 4% buah dan 5.6% sayuran telah terinfeksi

T.gondii (Ajmal et al. 2013). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Kapperud et al. (1996) di Norwegia menunjukkan bahwa konsumsi sayuran mentah yang tidak

dicuci dapat meningkatkan risiko terinfeksi T.gondii sebesar 5,7 kali (OR=5.7). Kontak yang sering terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya dapat dihubungkan dengan adanya prevalensi yang lebih tinggi untuk terinfeksi

T.gondii di antara dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah

potong hewan, dan orang yang menangani daging mentah seperti juru masak dan penjual daging (Chahaya, 2003 dalam Yaudza, 2010).

(7)

13 2.1.5 Pencegahan toksoplasmosis

Keberadaan kucing sebagai hospes definitif menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit toksoplasmosis. Untuk mencegah infeksi T.gondii pada kucing peliharaan, sebaiknya kucing dirawat dengan baik dan beri makanan yang matang pada kucing sehingga kucing tidak berburu tikus atau burung.

Lalat dan lipas dapat menjadi vektor mekanik yang dapat memindahkan ookista dari tanah atau lantai ke makanan (Gandahusada et al. 2003). Untuk mencegah terjadinya infeksi dengan ookista yang berada di dalam tanah, dapat diusahakan mematikan ookista dengan bahan kimia seperti formalin, amonia dan iodin dalam bentuk larutan serta air panas 70oC yang disiramkan pada tinja kucing (Gandahusada, 2003 dalam Yaudza, 2010).

Sayur-mayur yang dimakan sebagai lalapan harus dicuci bersih, karena ada kemungkinan ookista melekat pada sayuran. Pada makanan yang matang sebaiknya ditutup supaya tidak dihinggapi lalat atau kecoa yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan tersebut. Hindari mengonsumsi air yang tidak melalui proses filtrasi terutama pada daerah yang menggunakan air permukaan sebagai sumber air minum utama (Robert-Gangneux & Marie-Laure Dardé, 2012).

Kista jaringan dalam hospes perantara (kambing, sapi, babi, dan ayam) sebagai sumber infeksi dapat dimatikan dengan memasaknya minimal pada temperatur 670C (Dubey et al., 1990) atau dengan membekukannya pada temperatur -130C (Kotula et al., 1991). Selain itu, hindari pula mencicipi daging yang masih setengah matang saat memasak karena kemungkinan kista jaringan dapat berpindah pada saat mencicipi daging. Daging yang hanya diberi garam dan diasapi tidak dapat membunuh T.gondii secara konsisten (Uttah et al., 2013) Pada tukang potong daging, penjual daging, dan juru masak, setelah memegang daging mentah sebaiknya

(8)

14

cuci tangan dengan sabun hingga bersih. Selain itu, peralatan memasak yang bersentuhan langsung dengan daging mentah sebaiknya dicuci bersih menggunakan sabun kemudian dibilas menggunakan air hangat sehingga dapat membunuh T.gondii yang berbentuk bradizoit/takizoit (Uttah et al., 2013).

Yang paling penting dicegah adalah terjadinya toksoplasmosis kongenital, yaitu infeksi T.gondii pada janin saat masa kehamilan yang akan memberikan dampak berupa anak yang lahir cacat dengan retardasi mental dan gangguan motorik, yang merupakan beban masyarakat. Pencegahan dengan tindakan abortus artefisial yang dilakukan selambatnya sampai kehamilan 21-24 minggu, mengurangi kejadian toksoplasmosis kongenital kurang dari 50 %, karena lebih dari 50 % toksoplasmosis kongenital diakibatkan infeksi primer pada trimester terakhir kehamilan (Chahaya, 2003 dalam Yaudza, 2010).

2.2 Air

2.2.1 Kontaminasi Toxoplasma gondii pada air

Air merupakan salah satu bagian terpenting dalam hidup manusia karena berbagai aktivitas yang dilakukan manusia sebagian besar membutuhkan air, seperti minum, memasak, mencuci, dan sebagainya.

Adanya kandungan bakteri di dalam air menunjukkan bahwa air tersebut tidak layak dikonsumsi. Bakteri yang seringkali digunakan sebagai indikator kualitas air adalah bakteri E.coli dan Coliform. Namun, ada pula parasit yang dapat digunakan sebagai indikator kualitas air minum, yaitu T.gondii. Di Indonesia hingga saat ini belum ada penelitian terkait keberadaan T.gondii pada sumber air yang ada di masyarakat. Namun, di beberapa negara pernah terjadi outbreak akibat mengonsumsi air yang mengandung ookista T.gondii. Kontaminasi T.gondii pada air bermula dari

(9)

15

adanya feses kucing pada sumber air tersebut yang selanjutnya hanyut oleh hujan dan aliran air yang ada di sekitarnya sehingga mencemari lebih banyak sumber air. Sumber air yang telah terkontaminasi oleh ookista T.gondii jika tertelan dapat menyebabkan penyakit toksoplasmosis. Berikut merupakan data outbreak T.gondii pada air yang terjadi di beberapa negara.

Tabel Error! No text of specified style in document..1 Outbreak Toksoplasmosis Akibat Konsumsi Air

Negara Tahun Total Kasus Penyebab Pustaka

Panama 1979 39 Prajurit menggunakan

3 sumber air untuk diminum Benenson et.al., (1982) dalam Aubert & Villena, (2009) British Colombia, Canada

1995 100 Konsumsi air yang

terkontaminasi

T.gondii

Bowie et al., (1997)

Brazil 2001-2002 294 Anak kucing yang menetap di atas tangki sumber air dan ookista masuk ke dalam sumber air

de Moura

et.al., (2006)

Dampak positif yang ditimbulkan akibat terjadinya outbreak toksoplasmosis tersebut adalah berbagai negara mulai melakukan penelitian terkait prevalensi keberadaan T.gondii pada sumber-sumber air yang digunakan masyarakat. Berikut merupakan hasil penelitian terkait prevalensi T.gondii pada sumber air.

(10)

16

Tabel Error! No text of specified style in document..2 Prevalensi Toxoplasma

gondii pada Sumber Air

Jenis Sampel Lokasi Prevalensi Pustaka

Air di lingkungan Perancis 7,7% Aubert & Villena (2009) Underground water

(UW), public drinking water (PDW)

Perancis 8% Villena et al. (2004)

Air minum perkotaan Danau dan kolam Penampungan air Air irigasi sawah Air sumur Pakistan Pakistan Pakistan Pakistan Pakistan 6% 9% 7% 13% 6% Ajmal et al. (2013) Ajmal et al. (2013) Ajmal et al. (2013) Ajmal et al. (2013) Ajmal et al. (2013)

Ookista T.gondii yang terdapat pada air dapat hidup dalam waktu yang lama dan dapat bertahan pada kondisi beku maupun pada suhu air yang cukup hangat (Robert-Gangneux & Marie-Laure Dardé, 2012). Ookista pada air tersebut tidak mati hanya karena melalui proses kimia dan fisika seperti klorinasi maupun menggunakan ozon (Dumètre et al., 2008). Proses klorinasi yang biasa dilakukan dilakukan untuk menghilangkan bakteri/parasit pada air ternyata tidak mampu untuk mematikan ookista T.gondii. Selain klorinasi, efek dari metode desinfeksi air lainnya seperti radiasi sinar ultraviolet (UV) dan ozonasi terhadap ookista T.gondii belum diketahui (Wainwright et al., 2007).

Meskipun demikian, mendeteksi ookista T.gondii pada sampel yang terdapat di lingkungan, seperti tanah, air, dan makanan sangat sulit. Tidak ada metode pemeriksaan yang cepat untuk mendeteksi ookista T.gondii pada air atau sampel lingkungan lainnya (Jones & Dubey, 2010).

(11)

17 2.3 Perilaku Pedagang Daging

2.3.1 Definisi Perilaku

Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2007) di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku diartikan sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Menurut Skinner dalam Murti (2008), perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a. Perilaku Tertutup (covert behavior)

Perilaku tertutup terjadi jika respon terhadap stimulus masih belum dapat diamati secara langsung dari luar. Respon tersebut masih terbatas dalam bentuk perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.

b. Perilaku Terbuka (overt behavior)

Perilaku terbuka terjadi jika respon terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain.

2.3.2 Perilaku sehat

Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2005) dalam Silalahi (2010) adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat sakit (kesehatan), seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan.

Perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati, yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan (Silalahi, 2010). Menurut Sarafino (2006) dalam Silalahi (2010), perilaku kesehatan adalah

(12)

18

setiap aktivitas individu yang dilakukan untuk mempertahankan atau meningkatkan kondisi kesehatan tanpa memperhatikan status kesehatan.

2.3.3 Higiene Pedagang Daging

Praktik higiene merupakan suatu tindakan yang dilakukan dalam upaya memelihara dan melindungi kebersihan individu dan subyeknya. Sedangkan menurut Menteri Kesehatan (2003c) dalam Kepmenkes RI No. 1098 tahun 2003, pengertian penjamah makanan adalah orang yang secara langsung berhubungan dengan makanan dan peralatannya mulai dari dari tahap persiapan, pembersihan, pengolahan, pengangkutan sampai dengan penyajian. Penjamah makanan yang menangani bahan makanan sering menyebabkan kontaminasi mikrobiologis. Kebersihan penjamah makanan merupakan kunci kebersihan dalam pengolahan makanan yang aman dan sehat. Dengan demikian, penjamah makanan harus mengikuti prosedur yang memadai untuk mencegah kontaminasi pada makanan yang ditanganinya. Prosedur yang penting bagi pekerja pengolahan makanan adalah mencuci tangan serta menjaga kebersihan dan kesehatan diri (Purnawijayanti, 2001)

2.3.3.1 Mencuci tangan

Menurut Purnawijayanti (2001), frekuensi mencuci tangan disesuaikan dengan kebutuhan. Pada prinsipnya mencuci tangan dilakukan setiap saat, setelah tangan menyentuh benda-benda yang dapat menjadi sumber kontaminasi atau cemaran. Berikut ini merupakan beberapa kegiatan yang sebaiknya diikuti dengan kegiatan mencuci tangan.

1. Sebelum memulai pekerjaan dan pada waktu menangani kebersihan tangan harus tetap dijaga.

(13)

19

2. Sesudah melakukan kegiatan-kegiatan pribadi, seperti merokok, makan, minum, bersin, batuk, dan setelah menggunakan toilet (buang air kecil atau besar)

3. Setelah menyentuh benda-benda yang dapat menjadi sumber kontaminan, seperti telepon, uang kain, atau baju kotor, bahan makanan mentah ataupun segar, daging, cangkang telur, dan peralatan kotor

Mencuci tangan merupakan salah satu upaya untuk mencegah penyakit

T.gondii. Bagian terpenting saat mencuci tangan adalah air yang cukup dan adanya

sabun. Penggunaan sabun sangat penting untuk menghilangkan kotoran dan kuman yang terdapat di tangan. Saat mencuci tangan, bagian sela-sela jari dan kuku jari juga harus dibersihkan. Membersihkan sela jari dan kuku jari sebaiknya dilakukan setidaknya selama 20 detik sehingga kotoran dan kuman dapat dibersihkan secara lebih maksimal (Medeiros et al., 2000).

2.3.3.2 Kebersihan dan kesehatan diri

Menurut Menteri Kesehatan (2008) dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat, adapun persyaratan perilaku hidup bersih dan sehat pedagang, antara lain:

1. Bagi pedagang karkas daging/unggas, ikan, dan pemotongan unggas menggunakan alat pelindung diri sesuai dengan pekerjaannya (sarung tangan, celemek, dan lain-lain).

2. Berpola hidup bersih dan sehat (cuci tangan dengan sabun, tidak merokok, mandi sebelum pulang terutama pada pedagang dan pemotong unggas, tidak buang sampah sembarangan, tidak meludah dan buang dahak sembarangan).

3. Dilakukan pemeriksaan kesehatan bagi pedagang secara berkala, minimal 6 bulan sekali.

(14)

20

4. Pedagang makanan siap saji tidak sedang menderita penyakit menular langsung, seperti diare, hepatitis, TBC, kudis, ISPA, dan lain-lain.

2.3.4 Perilaku berisiko pedagang daging terinfeksi Toxoplasma gondii

Penularan toksoplasmosis yang cukup cepat menjadi salah satu penyebab tingginya prevalensi toksoplasmosis di Indonesia maupun di berbagai negara. Secara umum, penularan toksoplasmosis disebabkan oleh perilaku mengonsumsi daging mentah, kontak dengan kucing, tidak mencuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan daging mentah, tidak mencuci buah maupun sayur sebelum dimakan, dan kontak dengan lingkungan yang terdapat ookista T.gondii (Dharmana, 2007 dalam Indrayanthi, 2014). Begitu pula menurut Sukaryawati (2011) dalam Indrayanthi, 2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku konsumsi daging mentah atau belum matang sempurna, konsumsi lawar, dan keberadaan kucing di lingkungan rumah ibu hamil terhadap kejadian toksoplasmosis di Kecamatan Mengwi.

Berbagai perilaku berisiko terinfeksi T.gondii tidak terlepas dari budaya masyarakat setempat. Salah satu perilaku berisiko terinfeksi T.gondii adalah mengonsumsi daging mentah atau setengah matang. Budaya di Bali dalam mengolah lawar menggunakan darah segar menjadi salah satu sumber penularan penyakit toksoplasmosis. Selain itu, salah satu perilaku masyarakat yang berisiko tertular toksoplasmosis di Korea adalah mengonsumsi hati babi mentah karena diyakini hati mentah memiliki nilai gizi yang bagus (Choi et al., 1997). Para pedagang daging di pasar tradisional dapat terinfeksi T.gondii jika tidak menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Kebersihan diri tersebut dapat berupa kebiasaan mencuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan daging mentah dan menjaga kebersihan kuku,

(15)

21

sehingga kotoran pada tangan dan kuku tidak berpindah pada makanan yang dikonsumsi oleh pedagang. Selain itu, kebersihan lingkungan sekitar tempat berdagang juga perlu diperhatikan, seperti sanitasi air bersih yang digunakan untuk mencuci tangan dan daging, sanitasi peralatan berdagang, dan sanitasi tempat berjualan.

2.4 Pasar Tradisional

2.4.1 Definisi Pasar Tradisional

Yang dimaksud dengan pasar tradisional adalah pasar yang ada pada masa kini, yang masih memiliki karakter atau ciri-ciri pada masa lalu, salah satunya adalah adanya interaksi sosial langsung antara penjual dan pembeli yang sifatnya tawar-menawar harga barang dan jasa (Mayasari, 2011).

Selain itu, menurut Siregar (2011) pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi, dengan organisasi pasar yang masih sangat sederhana, tingkat efisiensi dan spesialisasi yang rendah, lingkungan fisik yang kotor dan pola bangunan yang sempit (Agustiar, dalam Fitri, 1999). Menurut Menteri Perdagangan (2013) dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 70/M-DAG/PER/12/2013 tentang pedoman penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern, mendefinisikan pasar tradisional sebagai pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar-menawar.

(16)

22 2.4.2 Ciri-ciri pasar tradisional

Menurut Siregar (2011), beberapa potensi dan ciri pasar tradisional, yaitu: a. Kemampuan pasar tradisional dalam menyerap komoditi lokal dari kawasan

sekitarnya.

b. Berfungsi sebagai supplier untuk berbagai input pertanian, perumahan, serta kebutuhan pokok masyarakat secara luas.

c. Pasar tradisional memiliki segmentasi pasar tersendiri, yang membedakannya dari pasar modern.

d. Para pedagang yang beroperasi di pasar umumnya kaum wanita sehingga sangat bermanfaat bagi peningkatan kesempatan berusaha untuk kaum wanita, dalam arti wanita umumnya memiliki keunggulan dibandingkan dengan pria dalam melayani konsumen.

e. Potensi pasar akan semakin penting karena market turn over yang cukup cepat dengan sistem pembayaran tunai.

Kelebihan pasar tradisional dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya harganya yang lebih murah dan bisa ditawar, dekat dengan permukiman, dan memberikan banyak pilihan produk yang segar. Akan tetapi dengan adanya hal tersebut bukan berarti pasar tradisional tidak memiliki kelemahan. Selama ini justru pasar tradisional lebih dikenal kelemahannya. Kelemahan itu antara lain adalah kesan bahwa pasar terlihat becek, kotor, bau, dan terlalu padat lalu lintas pembelinya (Esther dan Didik, 2003 dalam Siregar, 2011).

(17)

23

2.4.3 Persyaratan kesehatan lingkungan pasar tradisional

Menurut Menteri Kesehatan (2008) dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat, adapun syarat-syarat kesehatan lingkungan pasar, antara lain:

a. Tempat Penjualan Bahan Pangan Basah

1. Mempunyai meja tempat penjualan dengan permukaan yang rata dengan kemiringan yang cukup sehingga tidak menimbulkan genangan air dan tersedia lubang pembuangan air, setiap sisi memiliki sekat pembatas dan mudah dibersihkan, dengan tinggi minimal 60 cm dari lantai dan terbuat dari bahan tahan karat dan bukan dari kayu.

2. Alat pemotong tidak terbuat dari bahan kayu, tidak mengandung bahan beracun, kedap air, dan mudah dibersihkan.

3. Pisau untuk memotong bahan mentah harus berbeda dan tidak berkarat.

4. Tersedia tempat penyimpanan bahan pangan, seperti ikan dan daging menggunakan cold chain atau bersuhu rendah (4-100C).

5. Tersedia tempat untuk pencucian bahan pangan dan peralatan.

6. Tersedia tempat cuci tangan yang dilengkapi dengan sabun dan air yang mengalir.

7. Saluran pembuangan limbah tertutup, dengan kemiringan sesuai ketentuan yang berlaku sehingga memudahkan aliran limbah, serta tidak melewati areal penjualan.

8. Tersedia tempat sampah kering dan basah, kedap air, tertutup, dan mudah diangkat.

9. Tempat penjualan bebas vektor penular penyakit dan tempat perindukannya, seperti lalat, kecoa, tikus, dan nyamuk.

(18)

24 b. Sanitasi Air Bersih

Adapun syarat sanitasi air bersih di pasar tradisional, antara lain:

1. Tersedia air bersih dengan jumlah yang cukup setiap hari secara berkesinambungan, minimal 40 liter per pedagang.

2. Kualitas air bersih yang tersedia memenuhi persyaratan.

3. Tersedia tandon air yang menjamin kesinambungan ketersediaan air dan dilengkapi dengan kran air yang tidak bocor.

4. Jarak sumber air bersih dengan pembuangan limbah minimal 10 meter. 5. Kualitas air bersih diperiksa setiap 6 (enam) bulan sekali.

2.4.4 Sanitasi makanan pada pedagang di pasar tradisional

Pengertian sanitasi diartikan sebagai usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor – faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit (Mulyono, 2001 dalam Setyorini, 2013). Sanitasi pada makanan

dibatasi yang berhubungan dengan pengolahan makanan yang meliputi sanitasi air bersih, sanitasi peralatan, dan sanitasi tempat penjualan.

Menurut Menteri Kesehatan (2003a) dalam Kepmenkes RI No.715 tahun 2003, kondisi sanitasi yang dapat mempengaruhi keberadaan mikroorganisme pada makanan, antara lain:

a. Sanitasi Air Bersih

Air yang dapat digunakan dalam pengolahan makanan minimal harus memenuhi syarat air dapat diminum. Adapun syarat – syarat air yang dapat diminum menurut Purnawijayanti (2001), antara lain:

(19)

25 2. Bersih dan jernih

3. Tidak berwarna dan berbau

4. Tidak mengandung bahan tersuspensi (penyebab keruh)

Secara fisik air yang dapat digunakan untuk pengolahan makanan adalah air tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau dan jernih dengan suhu baik dibawah suhu udara sehingga menimbulkan rasa nyaman. Bila salah satu syarat fisik tidak terpenuhi, maka kemungkinan besar air tersebut tidak sehat (zat kimia, zat organik dapat merubah warna, bau, rasa dan kejernihan air). Sebaliknya jika semua syarat terpenuhi belum tentu baik untuk diminum, kemungkinan mengandung zat atau bibit penyakit yang membahayakan. Mikroorganisme yang paling umum digunakan sebagai petunjuk atau indicator adanya pencemaran tinja dalam air adalah bakteri dengan kelompok Coliform dan Escherichia coli.

b. Sanitasi Peralatan

Peralatan yang digunakan untuk mengolah makanan dan minuman selalu dijaga dalam kondisi yang baik dan sering kali dibersihkan serta didesinfeksi. Menurut Menteri Kesehatan (2003a), peralatan yang digunakan untuk mengolah dan menyajikan makanan harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak terkontaminasi. Kontaminasi pada peralatan makan dapat disebabkan karena : 1. Alat –alat makan dipergunakan oleh orang yang terinfeksi kuman

2. Proses pencucian yang kurang baik. Terutama pada metode pencucian yang kurang sempurna dan belum menggunakan desinfektan dalam pencuciannya. 3. Penggunaan alat makan yang kurang baik setelah dicuci.

Selain itu, Menteri Kesehatan (2003b) dalam Kepmenkes RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang pedoman persyaratan hygiene sanitasi makanan jajanan juga mengatur tentang sanitasi peralatan, antara lain:

(20)

26

1. Peralatan yang sudah dipakai dicuci dengan air bersih dan dengan sabun 2. Kemudian dikeringkan menggunakan alat pengering/lap kering

3. Kemudian peralatan yang sudah bersih tersebut disimpan di tempat yang bebas pencemaran.

c. Sanitasi Tempat Penjualan

Sanitasi tempat penjualan adalah keadaan lokasi tempat penjualan yang terhindar dari pencemaran yang diakibatkan oleh debu atau asap, tidak ada lalat disekitarnya, terdapat tempat sampah yang memenuhi syarat, yaitu dibuat dari bahan kedap air, tidak mudah berkarat, mempunyai tutup sehingga tidak dapat dihinggapi lalat. Tempat penjualan yang bersih dan dipelihara dengan baik akan menjadi tempat yang higienis dan menyenangkan sebagai tempat kerja. Kebersihan tempat penjualan sangat menentukan mutu dan keamanan makanan yang dihasilkan. Sebaliknya, mikroorganisme tumbuh dengan baik pada lingkungan yang lembab dan hangat, mengandung zat gizi yang baik seperti pada bahan makanan dan lingkungan yang kotor (Menteri Kesehatan, 2003a).

2.5 Pasar Tradisional, Perilaku Pedagang, dan Kaitannya dengan Penularan Penyakit

Menurut Toya (2012), selama ini pasar tradisional identik dengan tempat yang kumuh, dan kotor terutama pada bagian pasar yang menjual daging dengan banyak lalat yang beterbangan sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit. Penelitian yang dilakukan Arnia dan Efrida Warganegara (2013) pada daging sapi di pasar tradisional di Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa dari 7 sampel daging sapi yang digunakan, 5 sampel di antaranya telah terkontaminasi bakteri

(21)

27

tradisional di Kota Gorontalo menunjukkan bahwa dari 13 sampel daging sapi, 9 sampel di antaranya tidak memenuhi syarat karena telah melebihi batas maksimum cemaran mikroba yang ditetapkan oleh badan standar nasional Indonesia (SNI) 7388 tahun 2009 (batas maksimum E. coli 1 x 101 koloni/gram) (Ngabito, 2013). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Suwanti et.al (2006) pada ayam di beberapa pasar di Surabaya menunjukkan bahwa sebanyak 30% ayam telah terinfeksi T.gondii.

Kontaminasi bakteri pada daging yang dijual di pasar tradisional dapat melalui tangan penjual, pemotongan yang tidak higienis sehingga bakteri dari alat pemotong dapat berpindah ke daging, dari kemasan yang kurang steril, dari air yang digunakan untuk membersihkan daging atau alat pemotong yang kemungkinan sudah tercemar bakteri (Arnia & Warganegara 2013).

Sebagian besar outbreaks yang terjadi pada penyakit yang bersumber dari makanan disebabkan karena praktik higiene yang buruk terutama dalam mengolah makanan (Mudey et al., 2010). Toksoplasmosis merupakan salah satu penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya penularan melalui makanan (foodborne disease). Kontaminasi pada makanan dapat terjadi karena kondisi kesehatan penjamah makanan, kebersihan diri, serta pengetahuan dan perilaku terkait keamanan makanan (Mead et al., 1999). Selain itu, kontaminasi juga dapat terjadi karena tidak mencuci tangan, keberadaan serangga, dan melalui udara jika cuaca panas (Isara & Isah, 2009).

Gambar

Gambar 2.1 Siklus Hidup Toxoplasma gondii  Sumber : CDC, 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Jadi hasil belajar filsafat islam mahasiswa PAI adalah suatu pencapaian yang harus dicapai oleh mahasiswa PAI angkatan 2014 yang mengambil mata kuliah filsafat islam

Selanjutnya Standar Akuntansi Keuangan dalam PSAK (2012 : 23.11) menerangkan bahwa bila barang atau jasa dipertukarkan (barter) untuk barang atau jasa dengan sifat dan

Tabel 5.3 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Minahasa Menurut Jenis Pendapatan (juta rupiah), 2012-2015. Sumber: Kabupaten Minahasa Dalam Angka

¾ Determinasi/identifikasi Æ cabang ilmu taksonomi yang mempelajari tentang penetapan suatu jenis tumbuhan yang sama atau segolongan dengan tumbuh- tumbuhan yang telah diketahui

Analisis genetik dengan menggunakan AP PCR atau RAPD sebagaimana analisis profil protein, kandungan asam lemak, iso- zyme, PCR, AFLP dan RFLP, merupakan salah satu

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

Tulisan ini mencoba memberikan nuansa baru yang mencoba menggunakan ICM sebagai pendekatan analisis hubungan manusia dengan Tuhannya yang dipengaruhi oleh Manusia

yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian pupuk anorganik, organik dan mulsa jerami padi tidak berpengaruh terhadap pengamatan komponen pertumbuhan yakni