• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Kecurangan (Fraud) Menurut Sawyer et al. (2006: 339) kecurangan merupakan sebuah representasi yang salah atau penyembunyian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Kecurangan (Fraud) Menurut Sawyer et al. (2006: 339) kecurangan merupakan sebuah representasi yang salah atau penyembunyian"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 TINJAUAN PUSTAKA

Kecurangan (Fraud)

Menurut Sawyer et al. (2006: 339) kecurangan merupakan sebuah representasi yang salah atau penyembunyian fakta-fakta yang material untuk mempengaruhi seseorang agar mau mengambil bagian dalam suatu hal yang berharga. Institute of

Internal Auditors (IIA), menyebutkan kecurangan adalah meliputi

serangkaian tindakan-tindakan tidak wajar dan illegal yang sengaja dilakukan untuk menipu. Tindakan tersebut dapat dilakukan untuk keuntungan ataupun kerugian organisasi dan oleh orang-orang diluar maupun di dalam organisasi.

Menurut Arens et al. (2008: 430) sebagai konsep legal yang luas, kecurangan mengambarkan setiap upaya penipuan yang disengaja, yang dimaksud untuk mengambil harta atau hak orang atau pihak lain. Dalam konteks audit atas laporan keuangan, kecurangan didefinisikan sebagai salah saji laporan keuangan yang disengaja. Dua kategori yang utama adalah pelaporan keuangan yang curang dan penyalahgunaan aktiva.

Dari beberapa pengertian kecurangan (fraud) di atas, maka dapat diketahui bahwa pengertian fraud sangat luas dan dapat dilihat pada beberapa kategori kecurangan. Menurut BPK (2008) dalam Kurniawati (2012) secara umum, unsur-unsur dari kecurangan adalah: (1) harus terdapat salah pernyataan (misrepresentation); (2) dari suatu masa lampau (past) atau sekarang (present); (3) fakta bersifat material (material fact); (4) dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan (make-knowingly or recklessly); (5) dengan maksud

(2)

2

(intent) untuk menyebabkan suatu pihak beraksi; (6) pihak yang dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah pernyataan tersebut (misrepresentation); (7) yang merugikannya (detriment).

Klasifikasi Fraud

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE),

membagi kecurangan (Fraud) dalam 3 (tiga) jenis atau tipologi berdasarkan perbuatan yang dikenal dengan “fraud tree” dalam Tuanakotta (2010: 195) antara lain Corruption, Asset

Missapropriation, and Fraudulent Statements.

Korupsi (Corruption), jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (symbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities) dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).

Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation), meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value).

(3)

3

Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent

Statement), meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau

eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.

Fraud Triangle Theory

Penelitian ini menggunakan fraud triangle theory sebagai dasar teori utamanya. Berdasarkan teori ini ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kecurangan. Ketiga faktor tersebut pressure, opportunity and rationalization yang digambarkan dalam segitiga kecurangan (fraud triangle). Konsep segitiga kecurangan pertama kali diperkenalkan oleh Cressey (1953) dalam Tuanakotta (2010: 207). Melalui serangkaian wawancara dengan 113 orang melakukan penggelapan uang perusahaan yang disebutnya “trust

violators” atau “pelanggar kepercayaan”, Cressey

menyimpulkan bahwa:

“Orang yang dipercaya menjadi pelanggar kepercayaan ketika ia melihat dirinya sendiri sebagai orang yang mempunyai masalah keuangan yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain, sadar bahwa masalah ini secara diam-diam dapat diatasinya dengan menyalahgunakan kewenangannya sebagai pemegang kepercayaan di bidang keuangan, dan tindak-tanduk sehari-hari memungkinkan menyesuaikan pandangan mengenai dirinya sebagai seseorang yang bisa dipercaya dalam menggunakan dana atau kekayaan yang dipercayakan.”

Cressey (1953) dalam Tuanakotta (2010: 207) menyimpulkan bahwa kecurangan secara umum mempunyai tiga sifat umum. Fraud triangle terdiri dari tiga kondisi yang

(4)

4

umumnya hadir pada saat fraud terjadi yaitu pressure,

opportunity, dan rationalization. Pressure

Opportunity Rationalization

Sumber : Fraud Triangle Theory oleh Cressey (1953) Dalam Tuanakotta (2010: 207)

Gambar: 1 Fraud Triangle

Pressure (tekanan) yaitu insentif yang mendorong orang

melakukan kecurangan karena tuntutan gaya hidup, ketidakberdayaan dalam soal keuangan, perilaku gambling, mencoba-coba untuk mengalahkan sistem dan ketidakpuasan kerja (Kurniawati 2012). Montgomery et al. (2002) dalam Kurniawati (2012) mengatakan tekanan ini sesungguhnya mempunyai dua bentuk yaitu nyata (direct) dan bentuk persepsi (indirect). Bentuk direct merupakan tekanan yang nyata disebabkan oleh kondisi-kondisi kehidupan yang nyata yang dihadapi oleh pelaku yang mendorong untuk melakukan kecurangan. Kondisi tersebut dapat berupa kebiasaan sering berjudi, kecanduan obat terlarang, atau menghadapi persoalan keuangan. Tekanan dalam bentuk persepsi merupakan opini yang dibangun oleh pelaku yang mendorong untuk melakukan kecurangan seperti misalnya executive need. Dalam SAS No.

(5)

5

99, terdapat empat jenis kondisi yang umum terjadi pada

pressure yang dapat mengakibatkan kecurangan. Kondisi

tersebut adalah financial stability, external pressure, personal

financial need dan financial targets. Penelitian ini pressure

diproksikan dengan keadilan distributif dan keadilan prosedural.

Opportunity (kesempatan) yaitu peluang yang menyebabkan pelaku secara leluasa menjalankan aksinya yang disebabkan oleh pengendalian internal yang lemah, ketidakdisiplinan, kelemahan dalam mengakses informasi, tidak ada mekanisme audit dan sikap apatis (Kurniawati 2012). Hal yang paling menonjol di sini adalah dalam hal pengendalian internal. Pengendalian internal yang tidak baik akan memberi peluang orang untuk melakukan kecurangan, SAS no. 99 menyebutkan bahwa peluang pada financial statements fraud dapat terjadi pada tiga kategori. Kondisi tersebut adalah nature

of industry, ineffective monitoring, and organizational structure. Rationalization (rasionalisasi) merupakan sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis yang memperbolehkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan kecurangan, atau orang-orang yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan fraud (Norbarani 2012). Rasionalisasi adalah komponen penting dalam banyak kecurangan. Rasionalisasi menyebabkan pelaku kecurangan mencari pembenaran atas perbuatannya. Rasionalisasi merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit diukur (Skousen

(6)

6

et al 2009 dalam Norbarani 2012). Dalam penelitian ini rationalization diproksikan dengan budaya etis organisasi.

Fraud pada Sektor Pemerintahan

Menurut Pristiyanti (2012) semua jenis fraud dapat terjadi pada sektor pemerintahan, akan tetapi yang paling sering terjadi adalah korupsi. Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Secara harfiah korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi ataupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Keadilan Distributif

Menurut Robbins dan Judge (2013: 145) keadilan distributif (distributive justice) memusatkan perhatian pada kewajaran hasil, gaji dan pengakuan, yang diterima oleh para pekerja. Hasil dapat dialokasikan dalam mendistribusikan kenaikan yang sama di antara para pekerja, atau dapat menetapkan dasar pada mereka yang mana sangat memerlukan uang. Namun, para pekerja cenderung untuk menganggap hasil mereka paling adil ketika mereka didistribusikan secara adil. Keadilan distributif merupakan keadilan yang berasal dari hasil-hasil (outcomes) yang diterima seseorang. Keadilan distributif bila adil menurut karyawan jika hasil yang mereka terima sama dibandingkan dengan hasil yang diterima orang lain.

(7)

7

Keadilan ini menunjuk pada keadilan yang diterima karyawan dalam hal hasil (Hwei dan Santosa 2012).

Pandangan lain mengenai keadilan distribusi mengacu pada kewajaran terhadap aktual outcome seperti beban kerja, penghasilan dan lain-lain yang diterima oleh seorang pekerja (Gilliland 1993 dalam Yusnaini 2007). Para karyawan mempertimbangkan keputusan keadilan distributif ketika menerima penghargaan financial (misalnya gaji atau bonus yang diterima dari rencana pembagian keuntungan) dalam pertukaran pekerjaan yang mereka lakukan, yang pada gilirannya mempengaruhi sikap mereka terhadap organisasi (Hwei dan Santosa 2012). Jika di dalam suatu lingkungan pemerintahan terdapat keadilan distributif yang bisa teraplikasikan secara baik maka akan bisa mengurangi kecurangan pegawai dalam pemerintahan.

Keadilan Prosedural

Keadilan prosedural merupakan pertimbangan yang dibuat oleh karyawan mengenai proses dan prosedur organisasi yang digunakan untuk membuat keputusan alokasi dan sumber daya ( Mustikasari 2013). Keadilan prosedural menunjuk pada keadilan yang diterima dari prosedur yang digunakan untuk membuat keputusan-keputusan (Margaretha dan Santosa 2012). Lebih lanjut dijelaskan bahwa keadilan prosedural menunjuk pada tingkat formal proses pengambilan keputusan yang dihubungkan dengan hasil, termasuk di dalamnya ketetapan dari beberapa sistem keluhan karyawan atau permohonan yang

(8)

8

berkenaan dengan konsekuensi-konsekuensi pada tahap awal pengambilan keputusan.

Para pekerja memandang bahwa prosedur akan lebih adil ketika para pengambil keputusan mengikuti beberapa “aturan”, Robbins dan Judge (2013: 146) hal ini meliputi: (1) mengambil keputusan secara konsisten: prosedur yang adil harus konsisten baik dari orang satu kepada orang lain maupun dari waktu ke waktu. Setiap orang memiliki hak dan diperlakukan sama dalam satu prosedur yang sama; (2) menghindari bias: dalam upaya meminimalisasi bias ini, baik kepentingan individu maupun pemihakan harus dihindarkan; (3) dengan menggunakan informasi yang akurat: informasi yang dibutuhkan untuk menentukan agar penilaian keadilan akurat harus mendasarkan pada fakta. Kalau opini sebagai dasar, hal itu harus disampaikan oleh orang yang benar-benar mengetahui permasalahan, dan informasi yang disampaikan lengkap; (4) mempertimbangkan kelompok atau orang yang akan terpengaruh oleh keputusan mereka; (5) bertindak dengan etis: prosedur yang adil harus berdasarkan pada standar etika dan moral; (6) tetap terbuka bagi keberatan atau perbaikan: upaya untuk memperbaiki kesalahan merupakan salah satu tujuan penting perlu ditegakkannya keadilan. Oleh karena itu, prosedur yang adil juga mengandung aturan yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang mungkin akan muncul.

(9)

9 Keefektifan Pengendalian Internal

Menurut Arens et al. (2008: 370) sistem pengendalian intern terdiri atas kebijakan dan prosedur yang dirancang untuk memberikan manajemen kepastian yang layak bahwa perusahan telah mencapai tujuan dan sasarannya. Kebijakan dan prosedur ini sering kali disebut pengendalian, dan secara kolektif membentuk pengendalian internal entitas tersebut. Menurut (COSO) pengendalian intern adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan komisaris, manajemen dan personel lainnya untuk memberikan keyakinan memadai guna mencapai keandalan pelaporan keuangan, menjaga kekayaan dan catatan organisasi, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan dan efektivitas dan efisiensi operasi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pengendalian intern adalah suatu proses yang berkaitan dengan prosedur-prosedur yang harus dipatuhi dalam proses operasional organisasi atau perusahaan agar tujuan dari organisasi atau perusahaan dapat tercapai.

Menurut Arens et al. (2008: 376) agar tujuan pengendalian dapat terpenuhi, maka di dalamnya harus terdapat beberapa unsur yang merupakan bagian dari struktur pengendalian intern yang baik. Unsusr-unsur dari sistem pengendalian intern adalah sebagai berikut: (1) lingkungan pengendalian terdiri dari tindakan, kebijakan dan prosedur yang mencerminkan sikap menyeluruh manajemen puncak, direktur pelaksana dan komisaris serta pemilik suatu satuan usaha terhadap pentingnya pengendalian oleh satuan usaha tersebut; (2) prosedur pengendalian adalah kebijakan dan

(10)

10

prosedur yang diterapkan oleh manajemen di dalam lingkungan pengendalian untuk memberikan cukup kepastian bahwa sasaran perusahaan dapat tercapai; (3) aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan prosedur yang membantu memastikan bahwa arahan manajemen dilaksanakan; (4) informasi dan komunikasi yaitu sistem informasi yang relevan dengan tujuan pelaporan keuangan; (5) pemantauan adalah proses penentuan kualitas kinerja pengendalian intern sepanjang waktu.

Budaya Etis Organisasi

Menurut Robbins dan Judge (2013: 355) budaya organisasi adalah suatu sistem berbagi arti yang dilakukan oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi lainnya. Perilaku etis harus menjadi budaya dalam organisasi yang berarti harus merupakan perilaku sehari-hari semua anggota organisasi baik dalam sikap, tingkah laku anggota maupun dalam keputusan manajemen/organisasi. Menurut Pristiyanti (2012) budaya etis organisasi adalah persepsi karyawan mengenai suatu pola tingkah laku, kepercayaan yang telah menjadi suatu panutan bagi semua anggota organisasi. Tingkah laku disini merupakan seluruh tingkah laku yang dapat diterima oleh moral dan dapat diterima secara hukum. Berdasarkan definisi mengenai budaya organisasi, dapat diambil kesimpulan bahwa budaya organisasi adalah suatu pola yang dianut bersama dalam suatu organisasi/instansi yang tidak tertulis agar dapat dipatuhi oleh semua orang atau individu yang terlibat dalam organisasi tersebut.

(11)

11

Robert dan Kinichi (2000) dalam Najahningrum (2013) menyarankan tindakan-tindakan berikut ini untuk mengembangkan iklim etika dalam organisasi: (1) bertingkah laku etis, manajer hendaknya berlaku etis, karena manajer merupakan model peran yang jelas; (2) penyaringan karyawan yang potensial, untuk mengembangkan perilaku etis harus dilakukan sejak awal yaitu sejak seleksi karyawan dilakukan. Penyaringan yang lebih teliti di bidang ini dapat menyaring mereka untuk tidak berbuat kesalahan di kemudian hari. Mengembangkan kode etik yang lebih berarti. Kode etik dapat menghasilkan dampak yang positif bila mereka memenuhi empat kriteria: (a) kode etik harus mencakup atau berlaku kepada setiap karyawan; (b) kode etik sungguh-sungguh didukung oleh top manajemen; (c) kode etik harus mengacu kepada praktik spesifik; (d) mereka (karyawan) hendaknya didorong dengan penghargaan atas prestasinya dan hukuman yang berat bagi ketidakpatuhan; (3) menyediakan pelatihan etika, para karyawan dapat dilatih untuk mengidentifikasikan dan berhadapan dengan isu etis selama masa orientasi dan melalui sesi seminar dan pelatihan menggunakan video; (4) meningkatkan perilaku etis, perilaku etis harus didukung, dibiasakan, diulangi kembali, sedangkan perilaku yang tidak etis harus diberikan hukuman sementara perilaku etis hendaknya dihargai; (5) membentuk posisi, unit, dan mekanisme struktural lain yang menggunakan etika.

(12)

12 PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Hubungan Keadilan Distributif dengan Kecenderungan Kecurangan

Menurut Robbins dan Judge (2013: 145) keadilan distributif (distributive justice) memusatkan perhatian pada kewajaran hasil, gaji dan pengakuan, yang diterima oleh para pekerja. Pandangan lain mengenai keadilan distribusi mengacu pada kewajaran terhadap aktual outcome seperti beban kerja, penghasilan dan lain-lain yang diterima oleh seorang pekerja (Gilliland 1993 dalam Yusnaini 2007). Para karyawan mempertimbangkan keputusan keadilan distributif ketika menerima penghargaan financial (misalnya gaji atau bonus yang diterima dari rencana pembagian keuntungan) dalam pertukaran pekerjaan yang mereka lakukan, yang pada gilirannya mempengaruhi sikap mereka terhadap organisasi (Hwei dan Santosa 2012).

Penelitian Hwei dan Santosa (2012) menyimpulkan bahwa keadilan distributif merupakan penentu signifikan dalam komitmen organisasi. Penelitian Najahningrum (2013) dengan hasil penelitian bahwa keadilan distributif berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan (fraud).

Semakin tinggi keadilan distributif yang dirasakan oleh pegawai maka akan meminimalisir kecenderungan kecurangan (fraud). Tekanan seseorang berkaitan dengan ketidakadilan pada keadilan distributif yang dirasakan akan mendorong orang untuk melakukan tindakan-tindakan kecurangan. Berdasarkan

(13)

13

argumentasi dan hasil penelitian terdahulu maka hipotesis penelitian ini adalah:

H1: Keadilan distributif berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan

Hubungan keadilan prosedural dengan kecenderungan kecurangan

Keadilan prosedural merupakan pertimbangan yang dibuat oleh karyawan mengenai proses dan prosedur organisasi yang digunakan untuk membuat keputusan alokasi dan sumber daya (Mustikasari 2013). Keadilan prosedural menunjuk pada keadilan yang diterima dari prosedur yang digunakan untuk membuat keputusan-keputusan (Margaretha dan Santosa 2012). Lebih lanjut dijelaskan bahwa keadilan prosedural menunjuk pada tingkat formal proses pengambilan keputusan yang dihubungkan dengan hasil. Di dalam suatu pemerintahan adanya ketidakadilan pada keadilan prosedur yang dirasakan dalam organisasi dapat menjadi pemicu seseorang untuk cenderung melakukan kecurangan.

Penelitian Hwei dan Santosa (2012) menyimpulkan bahwa keadilan prosedural merupakan penentu signifikan dalam komitmen organisasi. Komitmen organisasi yang tinggi dapat menurunkan kecenderungan kecurangan. Keadilan prosedural berkaitan dengan pembuatan dan implementasi keputusan yang mengacu pada proses yang adil. Penelitian Najahningrum (2013) dengan hasil penelitian bahwa keadilan prosedural berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan, artinya semakin

(14)

14

adil keadilan prosedural dalam suatu instansi, maka akan semakin rendah kecenderungan kecurangan (fraud) yang mungkin terjadi. Ketidakadilan yang dirasakan oleh karyawan tentang proses dan prosedur organisasi untuk membuat keputusan alokasi dan sumber daya, maka akan menjadi tekanan bagi karyawan yang pada akhirnya melakukan kecurangan (fraud). Berdasarkan argumentasi dan hasil penelitian terdahulu maka hipotesis kedua penelitian ini dinyatakan sebagai berikut:

H2: Keadilan prosedural berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan

Hubungan keefektifan pengendalian internal dengan kecenderungan kecurangan

Tujuan dari pengendalian internal adalah agar kegiatan operasional perusahaan berjalan secara efektif dan efisien sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Menurut Kusumastuti (2012) sistem pengendalian internal diharapkan mampu mengurangi adanya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh manajemen. Manajemen cenderung melakukan tindakan menyimpang untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Salah satu tindakan menyimpang tersebut yaitu kecenderungan melakukan kecurangan.

Salah satu contoh pengendalian internal adalah adanya beberapa prosedur yang harus dilalui ketika akan melakukan transaksi seperti otorisasi dari pihak yang berwenang. Jika pengendalian tidak berjalan dengan baik, prosedur tidak dilakukan sebagaimana mestinya, maka akan membuka

(15)

15

kesempatan bagi pegawai yang terlibat dalam kegiatan operasional organisasi untuk melakukan kecurangan.

Hasil penelitian Pristiyanti (2012) dan Najahningrum (2013) menemukan terdapat pengaruh negatif antara keefektifan pengendalian internal dengan kecenderungan kecurangan di sektor pemerintahan. Penelitian Wilopo (2006) menunjukkan bahwa keefektifan pengendalian internal berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi. Jadi, dengan sistem pengendalian internal yang baik, akan meminimalisir kecurangan yang dilakukan oleh pegawai. Namun lemahnya pengendalian internal akan membuka peluang terjadinya kecurangan. Berdasarkan argumentasi dan penelitian terdahulu maka hipotesis penelitian adalah:

H3: Keefektifan pengendalian internal berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan

Hubungan budaya etis organisasi dengan kecenderungan kecurangan

Menurut Robbins dan Judge (2013: 355) budaya organisasi adalah suatu sistem berbagi arti yang dilakukan oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi lainnya. Perilaku etis harus menjadi budaya dalam organisasi yang berarti harus merupakan perilaku sehari-hari semua anggota organisasi baik dalam sikap, tingkah laku anggota maupun dalam keputusan manajemen/organisasi. Menurut Najahningrum (2013) budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah,

(16)

16

membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi.

Penelitian Sulistyowati (2007) menyimpulkan bahwa kultur organisasi berpengaruh terhadap persepsi aparatur pemerintah daerah tentang tindak korupsi. Penelitian Pristiyanti (2012) menunjukkan bahwa budaya etis organisasi berpengaruh negatif terhadap kecurangan di sektor pemerintahan. Penelitian Pramudita (2013) menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh negatif antara budaya etis organisasi terhadap

fraud. Dengan demikian, semakin baik iklim budaya etis yang

dapat diciptakan dalam lingkungan pemerintahan akan meminimalisir kecenderungan kecurangan (fraud). Sedangkan bila organisasi dengan standar etika yang rendah akan memiliki resiko kecurangan yang tinggi. Berdasarkan argumentasi dan hasil penelitian terdahulu maka hipotesis keempat penelitian ini adalah:

H4: Terdapat pengaruh negatif antara budaya etis organisasi dengan kecenderungan kecurangan

Referensi

Dokumen terkait

Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi terus menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat,

Dari seluruh alternatif yang memungkinkan tersebut kemudian terpilih alternatif membangun pusat jajanan serba ada dan taman kota sebagai pemanfaatan yang terbaik pada

Refrigerasi dapat dikatakan juga sebagai proses pemindahan panas dari suatu bahan atau ruangan ke bahan atau ruangan lainnya (Ilyas, 1993), sedangkan menurut Hartanto (1985)

Korelasi positif antara nilai AgNOR dan indeks MIB-1 secara umum pada semua ke- lompok derajat diferensiasi (G1, G2, antara ke G2 dan G3) disebabkan oleh aktivitas fase G1, S dan

Satu Basis Set adalah seperangkat persamaan matematika yang digunakan untuk mewakili bentuk ruang (orbital) yang ditempati oleh elektron dan energi mereka. Basis Set yang

ISLAM JAKARTA UTARA ( SUKAPURA ) JL. DUTA INDAH JL. GRAND FAMILY JL. GADING PLUIT JL. BOULEVARD TIMUR RAYA, KELAPA GADING. RAYA PLUMPANG SEMPER NO. PURI MEDIKA JL. MITRA KELUARGA

Model pengambilan keputusan adalah memahami bagaimana pemilih memperoleh informasi dan menggunakan informasi tersebut dalam membuat keputusan, dimana proses yang dilakukan

Setiap Green Tire yang di buat di Building memiliki kode tersendiri yang disebut dengan istilah size. Total size yang dibuat di Building per harinya rata-rata mencapai