• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKTIVITAS TIGA BANGSA KELINCI DI PETERNAKAN RAKYAT DESA PAKUNDEN KECAMATAN NGLUWAR KABUPATEN MAGELANG JAWA TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKTIVITAS TIGA BANGSA KELINCI DI PETERNAKAN RAKYAT DESA PAKUNDEN KECAMATAN NGLUWAR KABUPATEN MAGELANG JAWA TENGAH"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS TIGA BANGSA KELINCI DI PETERNAKAN

RAKYAT DESA PAKUNDEN KECAMATAN NGLUWAR

KABUPATEN MAGELANG JAWA TENGAH

SKRIPSI

ROHMAH KUSUMA DEWI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

(2)

RINGKASAN

ROHMAH KUSUMA DEWI. D14102001. 2006. Produktivitas Tiga Bangsa Kelinci di Peternakan Rakyat Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Pembimbing Anggota : Ir. Maman Duldjaman, MS.

Kelinci merupakan salah satu ternak potensial penghasil daging. Selain itu kelinci cepat berkembangbiak, mudah dipelihara, dan dapat hidup dengan lingkungan sederhana. Meskipun demikian, pada umumnya usaha kelinci masih menjadi peternakan keluarga dengan kapasitas kepemilikan yang tidak banyak. Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan kelinci meliputi sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, rendahnya ketrampilan peternak, terbatasnya ketersediaan bibit dan pasar yang masih sangat terbatas.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi produksi dan reproduksi kelinci Flemish Giant, English Spot dan New Zealand White di Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM) Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai April 2006. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 147 ekor kelinci Flemish Giant, 112 ekor English Spot dan 66 ekor kelinci New Zealand White. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA). Apabila bangsa berpengaruh nyata terhadap peubah yang diamati dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan menggunakan dengan program SAS 6.12.

Hasil analisis statistik pada bobot hidup ketiga bangsa kelinci menunjukkan adanya perbedaan yang disebabkan pengaruh bangsa, kelinci Flemish Giant memiliki bobot hidup lebih besar dibanding kedua bangsa kelinci yang lain. Koefisien keragaman yang tinggi pada bobot hidup kelinci muda dan jumlah anak sepelahiran dapat dijadikan dasar seleksi untuk bibit kelinci pedaging.

Rerata jumlah anak sepelahiran yang banyak terjadi adalah 6,23±2,39 ekor pada kelinci Flemish Giant, 5,12±1,14 ekor pada kelinci English Spot dan 5,50±3,27 ekor pada kelinci New Zealand White. Salah satu kendala dalam pengembangan ternak kelinci adalah tingkat mortalitas pada anak. Mortalitas anak yang terjadi umumnya karena penyakit. Penyakit yang sering terjadi yaitu diare, kembung dan kudis, oleh karena itu perlu adanya perbaikan manajemen pada pemeliharaan anak. Dengan perbaikan manajemen beternak melalui perkawinan dan pengaturan jarak beranak diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kelinci terutama pada kualitas ternak, dan jumlah anak yang dihasilkan.

(3)

ABSTRACT

Productivity of Three Breed Rabbits on Rural Husbandry at Pakunden Village, of Ngluwar Subdistrict, Magelang Regency Centra Java

Dewi, R.K., Mansjoer, S.S., Maman, D.

Rabbit is one of the non-ruminant meat producer which has a good potential from production and reproduction point of view. But not as good as in the real case where rabbit cultivation activity and management were not to anthusiasm, so it could influence on the productivity by lower it value. This research has been conducted at Pakunden village, of Ngluwar subdistrict, Magelang regency from March up to the end April 2006. The purpose of this research is to collect information about productivity (body weight, first mating age, gestation periode, litter size, mating periode and mortality) of Flemish Giant, English Spot and New Zealand White rabbits.

The data colletion method was by conducting interviews, using quistionnaire to twenty four farmers in Pakunden village. The primary data taken covered native rabbits population, per family ownership, body weight, first mating age, gestation periode, litter size, mating periode and mortality of Flemish Giant, English Spot and New Zealand White rabbits. Data was collected from 147 head Flemish Giants, 112 head English Spots and 66 head New Zealand White. Secondary data were obtained from the Village monography data. The result showed that Flemish Giant have a higer body weight and litter size than English Spot and New Zealand White. So Flemish Giant have a potential value to be developed as a meat producer. On this three breeds showed highest mortality rate (%) on kids, young and mature rabbits be sick by disease.

Development of native rabbits in villages could be done early. Government and related institution could plan a cooperative program with villagers and make their village as cultivation village, provide them financial capital and develop husbandry management including improvement of feeding business management, disease prevention, and improvement of genetical quality at the next step and continuos husbandry extension.

(4)

PRODUKTIVITAS TIGA BANGSA KELINCI DI PETERNAKAN

RAKYAT DESA PAKUNDEN KECAMATAN NGLUWAR

KABUPATEN MAGELANG JAWA TENGAH

ROHMAH KUSUMA DEWI D14102001

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

(5)

PRODUKTIVITAS TIGA BANGSA KELINCI DI PETERNAKAN

RAKYAT DESA PAKUNDEN KECAMATAN NGLUWAR

KABUPATEN MAGELANG JAWA TENGAH

Oleh

ROHMAH KUSUMA DEWI D14102001

Skripsi ini telah disetujui dan akan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 21 September 2006

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Ir. Maman Duldjaman, MS. NIP. 130 354 159 NIP. 130 422 709

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ronny R. Noor, MRur.Sc NIP. 131 624 188

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lamongan, Jawa Timur pada tanggal 3 November 1984 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Ir. Supeni Adi Wiyono dan Maslichah.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SD Negeri Plumpang I Tuban, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di MTs Negeri Babat, dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMU 2 Darul Ulum Jombang.

Tahun 2002 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor me-lalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti pendidikan, penulis masuk dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER) 2003 dan 2004, Animal Breeding Club (ABC) 2004, IKALUM (Ikatan Keluarga Alumni Darul Ulum), UKM Tenis 2002 dan 2003, selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan yang ada.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Produktivitas Tiga Bangsa Kelinci Di Peternakan Rakyat Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang Jawa Tengah” di bawah bimbingan Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer dan Ir. Maman Duldjaman, MS.

Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan pada bulan Maret sampai akhir April 2006 di Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM) Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar Kabuaten Magelang Jawa tengah. Penelitian ini dilakukan atas dasar potensi ternak kelinci sebagai penghasil daging cukup tinggi. Meskipun demikian, pada umumnya usaha kelinci masih menjadi peternakan keluarga yang bersifat sambilan dengan kapasitas kepemilikan yang tidak banyak. Kegiatan budidaya dan manajemennya masih sangat sederhana, sehingga produktivitasnya masih rendah. Dengan terbentuknya suatu kelompok peternak kelinci diharapkan perkembangan ternak kelinci lebih maju dan peternak mampu menghadapi permasalahan yang dihadapi. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi produktivitas ternak kelinci di KPKM. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan bibit kelinci di Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar, sehingga desa penelitian mampu menjadi salah satu daerah sentra pembibitan.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis selalu berusaha untuk melakukan perubahan dan dengan lapang menerima semua saran dan kritik, karena itu merupakan salah satu jalan menuju kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai sebuah referensi bagi dunia peternakan khususnya paternakan kelinci di Indonesia.

Bogor, Agustus 2006

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Peumusan Masalah ... 2 Tujuan ... 2 Manfaat ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Kelinci ... 3 Bangsa kelinci... 3 Lingkungan ... 6 Pakan... 6 Kadang ... 7 Produktivitas ... ... 8 Bobot Badan ... 8 Dewasa Kelamin ... 9

Perkawinan dan Kebuntingan ... 10

Jumlah Anak Sepelahiran (Litter size)... 11

Mortalitas ... 12

Selang Beranak ... 12

Penyapihan... 13

Pengembangan Ternak Kelinci ... 14

METODE... 15

Waktu dan Lokasi ... 15

Materi dan Alat ... 15

Rancangan Penelitian... 16

Peubah Produksi dan Reproduksi ... 16

Peubah Populasi ... 17

(9)

Prosedur Penelitian ... 17

Persiapan Penelitian... 17

Pelaksanaan Penelitian... 17

Analisis Data... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

Keadaan Umum lokasi... 19

Kependudukan ... 20

Karekteristik Peternak Kelinci... 22

Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM)... 22

Identitas Peternak Kelinci ... 22

Populasi dan Kepadatan Ternak ... 24

Populasi Kelinci... 25

Penjualan, Pembelian dan Pemotongan Kelinci ... 26

Mortalitas Kelinci ... 27

Pemeliharaan Kelinci ... 28

Perkandangan... 28

Pakan Kelinci ... 31

Produktivitas Kelinci ... 33

Kaakteristik Tiga Bangsa Kelinci di Peternakan Rakyat Desa Pakunden... 33

Bobot Hidup... 34

Reproduksi ... 37

Umur Pertama Ternak Dikawinkan ... 37

Lama Bunting ... 38

Jumlah Anak Sepelahiran ... 38

Penyapihan... 39

Bobot Sapih... 40

Jaak Waktu Pengawinan Kembali Setelah Beanak... Prospek, Kendala dan strategi Pengembangan Ternak Kelinci ... 41

SIMPULAN DAN SARAN... 44

Simpulan ... 44

Saran ... 44

UCAPAN TERIMA KASIH ... 45

DAFTAR PUSTAKA... ... 46

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Persentase Komposisi Pakan Kelinci ...….. 6

2. Jumlah Anak Sepelahiran Beberapa Bangsa Kelinci ………... 11

3. Kondisi Geografis Desa Pakunden ... 19

4. Penggunaan Lahan di desa Pakunden ...…………..……….. 20

5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Mata Pencaharian dan Tingkat Pendidikan ...……..…………... 21

6. Identitas Responden Anggota KPKM ...…..……….. 23

7. Jenis dan Jumlah Ternak di Desa Penelitian...…………... 24

8. Struktur Populasi Ternak Kelinci ...………..……... 25

9. Faktor Penyebab Kematian pada Anak Kelinci ... 27

10. Jenis Bahan, Model dan Letak Kandang ... 29

11. Frekuensi Pembersihan Kandang ... 30

12. Jenis Pakan dan Frekuensi Pemberian Pakan ... 32

13. Rerata dan Koefisien Keragaman Bobot Hidup Tiga Bangsa Kelinci ... 35

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bangsa Kelinci Flemish Giant, English Spot dan New Zealand

White... 5 2. (a) timbangan kapasitas 2,5 kg, (b) timbangan pegas,

(c) keranjang kelinci, (d) pita ukur ... 15 3. Disain Kandang Battery Bertingkat yang Banyak Terdapat

di Peternakan Rakyat ... 30 4. Grafik Rerata Bobot Hidup Tiga Bangsa Kelinci (Jantan) ... 36 5. Grafik Rerata Bobot Hidup Tiga Bangsa Kelinci (Betina)... 36

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Kabupaten Magelang ...………... 53

2. Peta Kabupaten magelang ...………. 54

3. Jumlah Panjualan, Pembelian dan Pemotongan tiga Bangsa Kelinci Berdasarkan Tingkat Umur dan jenis Kelamin ...………. 55

4. Persentase Jumlah Anak Sepelahiran pada Induk ...……….. 56

5. Keragaman Pola dan Warna Rambut ... 56

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Potensi ternak kelinci sebagai penghasil daging cukup tinggi, mengingat kelinci cepat berkembangbiak, mudah dipelihara, dan dapat hidup dengan pakan sederhana. Kelinci merupakan ternak yang cocok dijadikan sumber pangan karena memiliki keunggulan, diantaranya yaitu memiliki ukuran tubuh yang kecil sehingga efisien dalam penggunaan tempat dan kandang, mampu memanfaatkan pakan dari berbagai jenis hijauan, sisa dapur dan hasil sampingan produk pertanian. Selain itu daging kelinci mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan daging dari ternak lain. Hal ini terlihat pada komposisi karkasnya yang rendah lemak, kholesterol dan garam.

Kelinci dengan berbagai ragamnya menghasilkan lima jenis produk (4F+L) yang dapat dimanfaatkan, yaitu daging (food), kulit bulu (fur), pupuk (fertilizer), hewan kesayangan (fancy) dan hewan percobaan (laboratory animal). Kemampuan biologis kelinci sangat tinggi, mampu melahirkan 10 kali per tahun dengan jumlah anak enam ekor per kelahiran dan mencapai berat 2-3 kg pada umur 4,5-6,0 bulan (Raharjo, 2005). Meskipun demikian, pada umumnya usaha kelinci masih menjadi peternakan keluarga yang bersifat sambilan dengan kapasitas kepemilikan yang tidak banyak. Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan kelinci meliputi sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional, rendahnya ketrampilan peternak, belum adanya seleksi yang terarah untuk meningkatkan mutu genetik, terbatasnya ketersediaan bibit dan pasar yang masih sangat terbatas.

Terbentuknya suatu kelompok peternak kelinci diharapkan perkembangan ternak kelinci lebih maju dan peternak mampu menghadapi permasalahan yang ada dalam budidaya. Salah satu kelompok peternak kelinci di Magelang adalah Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM). Kelompok ini berada di Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang yang telah berdiri sejak Oktober 2002, dan pada saat ini beranggotakan 24 peternak. Jenis kelinci pedaging yang banyak dikembangkan adalah Flemish Giant, English Spot dan New Zealand White. Masih berkembangnya usaha peternakan kelinci di Jawa Tengah dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan pemetaan wilayah pengembangan

(14)

peternakan. Oleh karena itu perlu digali faktor-faktor yang mempunyai potensi untuk dikembangkan dan masalah- masalah yang harus segera dipecahkan.

Perumusan Masalah

Belum adanya data produktivitas untuk dijadikan patokan kualitas dan masih rendahnya produktivitas serta mutu hasil ternak kelinci, terutama pada pemeliharaan skala kecil, yang diakibatkan kurangnya pengetahuan manajemen pemeliharaan merupakan suatu hambatan berkembangnya ternak kelinci. Informasi produktivitas ternak kelinci di peternakan rakyat diharapkan dapat digunakan sebagai dasar peningkatan budidaya kelinci.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi produksi dan reproduksi kelinci Flemish Giant, English Spot dan New Zealand White yang dipelihara oleh anggota Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM) Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang Jawa Tengah.

Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dalam upaya pengembangan bibit kelinci di Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar dan sekitarnya, sehingga desa penelitian mampu menjadi salah satu daerah sentra pembibitan kelinci.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci (Orictologus Cuniculus)

Kelinci piaraan mula-mula digunakan di Afrika dan dimanfaatkan untuk bahan makanan di Asia kira-kira 300 tahun lalu, sedangkan di Eropa kelinci telah dikonsumsi lebih dari 1000 tahun dan kelinci dibawa ke Amerika dan Eropa awal tahun 1800-an (Blakely dan Bade, 1985). Dahulu kelinci (Oryctologus cuniculus) dimasukkan ke dalam golongan rodensia, namun sekarang digolongkan ke dalam ordo tersendiri yaitu Logomorpha (Chapman dan Flux, 1990). Diperkirakan kelinci sudah dijinakkan pada abad pertama Sebelum Masehi dan peternakan kelinci dimulai pada abad enam belas di Perancis. Pada awalnya terdapat dikawasan Eropa kemudian menyebar ke Amerika, Australia dan Selandia Baru (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Kelinci termasuk hewan yang sudah didomestikasi dan banyak dimanfaatkan oleh manusia untuk produksi fur, daging, hewan percobaan atau binatang kesayangan. Kelebihan ternak kelinci antara lain laju pertumbuhan yang cepat, potensi reproduksi tinggi, dan memiliki kemampuan dalam mencerna pakan hijauan. Kelinci mempunyai kemampuan untuk hidup dalam habitat yang bervariasi mulai dari padang pasir hingga daerah subtropis. Kelinci mempunyai kebiasaan memakan kotorannya sendiri (coprohagy), kotoran yang dimakan tersebut dimanfaatkan sebagai sumber protein (Cheeke et al., 1982). Menurut Farrel et al. (1984), kelinci merupakan ternak yang cocok dijadikan sumber pangan karena memiliki keunggulan, diantaranya yaitu memiliki ukuran tubuh yang kecil sehingga efisien dalam penggunaan tempat dan kandang, mampu memanfaatkan pakan dari berbagai jenis hijauan, sisa dapur dan hasil sampingan produk pertanian. Selain itu daging kelinci mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan daging dari ternak lain. Hal ini terlihat pada komposisi karkasnya yang rendah lemak, kholesterol dan garam.

Bangsa Kelinci

Menurut Gillespie (1992), sebagian besar bangsa kelinci dikenal sebagai sumber daging dengan keragaman produksi yang besar. Bangsa kelinci yang populer untuk produksi daging adalah New Zeland White dan California. Kedua bangsa ini

(16)

sering disilangkan untuk memperoleh produksi yang tinggi. Bangsa kelinci lainnya adalah Angora sebagai penghasil woll dan Rex sebagai penghasil kulit bulu (fur) yang mempunyai harga mahal.

Bangsa-bangsa kelinci dapat dihasilkan dengan tiga cara. Pertama, dengan mengendalikan sifat-sifat yang diwariskan untuk menghasilkan warna tipe kulit-bulu (fur). Timbulnya proses mutasi merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan bangsa baru. Kedua, menghasilkan sifat-sifat yang tampak pada dua atau lebih bangsa kelinci. Ketiga, adalah sistem seleksi untuk sifat-sifat khusus yang dilakukan sampai derajat tertentu, sehingga strain yang diperoleh mempunyai sifat yang berbeda dari bangsa aslinya. Semua cara ini dan keragaman sifat yang tampak telah dimanipulasi untuk menghasilkan bangsa baru dalam varietasnya (Gillespie, 1992). Flemish Giant. Kelinci Flemish Giant diduga merupakan keturunan dari kelinci Patagonian di Argentina. Kelinci Patagonian ini dibawa ke Eropa pada abad ke-16 dan 17 oleh pedagang dari Belanda dan dikembangkan sebagai penghasil daging. Pertama kali tercatat mengenai Flemish Giant sekitar tahun 1860, kelinci ini diimpor ke Amerika pada awal tahun 1880. Flemish Giant merupakan kelinci terbesar yang diperkenalkan oleh American Rabbit Breeders Association dengan bobot senior (umur lebih dari 8 bulan) untuk betina sebesar 7,0 kg dan 6,5 kg untuk jantan (Horn Rapids Rabbitry, 2004). Kelinci Flemish Giant mempunyai tipe bulu pendek yang biasanya berwarna kelabu, disamping warna lainnya seperti kecoklatan, putih, fawn, kebiruan dan hitam (NFFGRB, 2005).

Kelinci Flemish Giant memiliki panjang usia mencapai lima tahun bahkan lebih. Bobot badannya minimal 5 kg dan tercatat dapat mencapai bobot badan 9,5 kg. Umur mulai dikawinkan sekitar sembilan bulan dan anak-anak kelinci harus sudah dilahirkan sebelum induknya mencapai umur satu tahun karena apabila induk beranak pada umur lebih dari satu tahun tulang pelvisnya akan menyempit sehingga sulit untuk beranak secara alamiah dan induk-induk tersebut tidak mampu lagi beranak setelah berumur tiga tahun. Kelinci ini beranak cukup banyak, yaitu antara 5-12 ekor/litter (Petplanet.co.uk., 2004).

(17)

English Spot. Kelinci English Spot berwarna putih dengan tutul-tutul hitam, coklat atau kuning emas pada daerah perut dan sekitar mata, telinga berwarna hitam. Sepanjang punggung ada garis hitam sampai ke ujung ekor. Hidung diliputi bulu hitam berbentuk kupu-kupu. Rerata bobot dewasa kelinci ini 3 kg dan memiliki panjang usia mencapai lima tahun bahkan lebih. Idialnya kelinci betina mulai dikawinkan sekitar 5-6 bulan dan anak-anak kelinci harus sudah dilahirkan sebelum induknya mencapai umur satu tahun karena apabila induk beranak pada umur lebih dari satu tahun tulang pelvisnya akan menyempit sehingga sulit untuk beranak secara alamiah dan induk-induk tersebut tidak mampu lagi beranak setelah berumur tiga tahun. Jumlah anak sepelahiran antara 3-5 ekor (Petplanet.co.uk., 2004).

New Zealand White (NZW). Menurut McNitt (2002), kelinci New Zealand White merupakan kelinci untuk produksi daging komersial yang bangsanya berasal dari U.S.A dan termasuk dalam spesies O. Cuniculus dari genus Orictolagus. Kelinci tersebut memiliki ciri yang dibutuhkan antara lain memiliki laju pertumbuhan yang cepat, kualitas karkas yang baik, keturunan yang banyak, dan sifat keindukan yang baik. Kelinci ini paling banyak digunakan sebagai hewan paramedis, karena sifat produksinya yang tinggi dan tidak dibutuhkan banyak biaya dalam pemeliharaan, memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, siklus hidup yang pendek, dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.

New Zealand White merupakan kelinci albino, tidak mempunyai bulu yang mengandung pigmen. Bulunya putih mulus, padat, tebal, agak kasar kalau diraba dan mata merah (Petplanet.co.uk., 2004). Menurut Lebas et al. (1986), kelinci NZW termasuk bangsa medium yang memiliki bobot hidup antara 3,5-4,0 kg. Gambar kelinci Flemish Giant, English Spot dan New Zealand White dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bangsa Kelinci Flemish Giant, English Spot dan New Zealand White

(18)

Lingkungan

Performa reproduksi kelinci erat kaitannya dengan pengaruh lingkungan, selain itu yang mempengaruhi lainnya adalah nutrisi, genetik dan manajemen (Lukefahr dan Mcnitt, 1983). Kelinci sangat peka terhadap suhu lingkungan yang tinggi dan kelembaban yang tinggi. Suhu ideal untuk kelinci tergolong sejuk yakni berkisar 15-20o C. Apabila suhu kandang lebih tinggi dari 27o C dapat menurunkan produktivitas dan kemampuan berkembangbiaknya (Smith and Mangkoewidjojo, 1988), keseimbangan panas dalam tubuh terganggu karena suhu udara lebih tinggi dari suhu yang dibutuhkan, sehingga menyebabkan panas tubuh meningkat dan mengganggu metabolisme (Suarjaya, 1985).

Pakan

Pakan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pemeliharaan ternak, selain faktor pemilihan bibit dan tata laksana pemeliharaan yang baik, sehingga keberhasilan usaha peternakan banyak ditentukan oleh pakan yang diberikan. Pemberian pakan dalam usaha peternakan perlu memperhatikan pemilihan bahan pakan sebagai penyusun ransum yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan frisiologis pencernaan (Lestari, 2005).

Menurut Blakely dan Bade (1992), kelinci membutuhkan karbohidrat, lemak, protein, mineral, vitamin, dan air. Jumlah kebutuhannya tergantung pada umur, tujuan produksi, serta laju atau kecepatan pertumbuhannya. Data mengenai kebutuhan nutrisi kelinci tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase Komposisi Pakan Kelinci

Jenis Kelinci Protein Lemak Serat Abu ---(%)--- Pejantan aktif kawin, betina bunting,

betina menyusui, anak-anak tumbuh 14-18 3-6 15-20 5-6 Betina kering, pejantan tak aktif, anak-

anak mulai dewasa 12-14 2-4 20-28 5- 6 Sumber: James Blakely-David H. Bade (1992)

Kualitas pakan kelinci merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, pembiakan, panjang umur, dan lain-lain. Makanan penguat dengan serat kasar rendah cenderung memberi pengaruh yang lebih baik terhadap

(19)

kemampuan produksi ternak kelinci (Pudjiarti et al., 1984). Penambahan konsentrat pada pakan hijauan kelinci dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian (Basuki, 1985).

Penambahan ransum penguat pada kelinci New Zealand White sebanyak 40, 60 dan 80 g dengan kandungan protein kasar 19% dapat menghasilkan pertambahan bobot badan 13,45±5,64 g; 13,66±2,77 g dan 14,01±2,71 g (Ismiyati, 1997). Menurut Yurmiaty (1991) perbedaan tingkat pakan 20% cukup berarti terhadap pertumbuhan bobot hidup. Tingkat pemberian pakan berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan. Khotijah (1999) menyatakan bahwa dengan panambahan vitamin E dalam ransum memberikan pengaruh positif terhadap palatabilitas yang lebih baik dan pertambahan bobot hidup. Dalam hal ini disarankan penambahan vitamin E dalam ransum adalah 100 mg/kg ransum.

Menurut Templeton (1955) dalam Suarjaya (1985), induk dengan bobot 4,5-5,5 kg bersama tujuh anaknya menghabiskan 3,79 l air dalam 24 jam pada musim panas. Kelinci New Zealand White membutuhkan air minum 280 ml/hari dan saat menjelang beranak 560 ml/hari.

Kandang

Kandang didesain agar mudah dipakai, mudah untuk pengawasan (supervisi) dan hewan merasa cocok serta mudah untuk mengeluarkan kotoran. Jenis kandang dapat dikenal berdasarkan bentuknya.

1. Kandang segi empat, mempunyai rangka dari kayu dengan semua dindingnya dari kawat ram berukuran 1cm2. Kandang ini dapat ditata di dalam ruangan atau bangunan, sehingga diperoleh keefisienan tempat dan memudahkan cara mengelola, membersihkan dan mengerjakan pemeliharaan pada ternak. Kelemahan kandang dari kayu adalah seringnya digigit-gigit kelinci.

2. Kandang ”quonset” (quonset style cage), dasar kandang mempunyai bentuk segi empat dengan luas sama seperti kandang persegi yang sesuai dengan kebutuhan kelinci dewasa. Bagian atasnya tidak rata, yaitu dibuat cembung setengah lingkaran. Jenis kandang ini seluruhnya terbuat dari kawat dengan ukuran yang lebih besar (Herman, 2002).

Kotak sarang diperlukan untuk menyediakan tempat yang nyaman bagi induk yang melahirkan, sekaligus tempat berlindung bagi anak-anak kelinci yang baru

(20)

lahir. Kotak sarang mempunyai berbagai bentuk, dari yang terbuka sampai yang tertutup. Ukurannya tergantung pada ukuran tubuh kelinci berdasarkan bangsanya. Penempatan kotak sarang bisa di dalam kandang atau dibawah lantai kandang (Lebas et al., 1986).

Produktivitas

Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Suhu, kelembaban udara dan curah hujan merupakan faktor penting karena berhubungan erat dengan iklim yang berpengaruh terhadap produktivitas ternak baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung terlihat pada saat suhu tubuh meningkat dan menurunkan konsumsi makanan. Suhu tubuh yang naik karena cekaman menyebabkan depresi dan reproduksi yang dapat mengakibatkan kelahiran dan perkembangan anak prenatal menurun. Pengaruh secara tidak langsung meliputi kuantitas dan kualitas makanan yang tersedia, perkandangan, penyakit dan manajemen. Bila ternak sulit beradaptasi terhadap lingkungannya maka produktivitas akan rendah (Williamson dan Payne, 1993).

Menurut Adjisoedarmo et al. (1985) produtivitas yang berasal dari ternak dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu faktor genetik, lingkungan dan interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Untuk memperoleh produksi yang optimal, kemampuan genetik populasi ternak harus diketahui dan mengusahakan faktor lingkungan yang optimal.

Bobot Badan

Pembagian bangsa kelinci menurut tipenya digolongkan menjadi empat golongan yaitu kelinci tipe berat, kelinci tipe medium, kelinci tipe ringan dan kelinci tipe kecil.

1. Bobot dewasa kelinci bangsa berat dapat mencapai lebih dari 5,0 kg. Potensi pertumbuhan yang cepat dari bangsa ini dapat dimanfaatkan terutama dalam proses persilangan. Bangsa kelinci yang termasuk ke dalam bangsa berat dapat dijadikan bibit untuk meningkatkan laju pertumbuhan bangsa-bangsa kelinci lainnya. Contoh dari bangsa berat ini adalah Boscant Giant White, French Lop, Flemish Giant dan French Giant Papillon. Warna bulunya dapat bervariasi, bisa putih, agouti, kelabu dan hitam.

(21)

2. Bangsa kelinci sedang mempunyai bobot dewasa antara 3,5-4,5 kg. Kelompok ini merupakan kelompok bangsa yang biasa digunakan sebagai bibit dasar dalam produksi kelinci daging. Contoh bangsa kelinci yang termasuk dalam bangsa ini adalah Campagne d’Argent, New Zealand Red, New Zealand White, English Spot, Tan dan California.

3. Bangsa kelinci ringan mempunyai bobot dewasa antara 2,5-3,0 kg. Kelinci yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya: Himalayan, Chinchilla kecil, Dutch dan French Havana.

4. Bangsa kelinci kecil mempunyai bobot dewasa sekitar 1,0 kg. Contoh bangsa kelinci ini adalah Polish Rabbit dengan pola warna yang beragam. Seleksi untuk ukuran kecil menyebabkan penurunan dalam hal laju pertumbuhan dan tingkat fertilitas yang sangat rendah. Bangsa ini tidak dapat digunakan untuk produksi daging, tetapi lebih cocok digunakan sebagai binatang peliharaan (Lebas et al., 1986).

Menurut Adjisoedarmo et al. (1985), kelinci lokal Indonesia bertubuh kecil, bobot dewasa hanya mencapai 1,8-2,3 kg. Warna bulu tidak spesifik, berwarna hitam, coklat, putih, abu-abu polos atau berkombinasi diantara warna tersebut. Kelinci lokal yang ada di Indonesia ada yang berasal dari Belanda (Dutch belted rabbit) tetapi sudah beradaptasi lama di Indonesia dan lebih terkenal dengan nama kelinci Jawa. Kelinci lokal mampu menghasilkan anak 1-9 ekor dalam satu kali kelahiran.

Dewasa Kelamin

Kelinci mencapai dewasa kelamin pada umur 4-8 bulan tergantung pada bangsa, makanan dan kesehatan. Kelinci yang mendapat makanan dengan kualitas baik dapat mencapai dewasa kelamin yang lebih dini. Kelinci betina tipe ringan mencapai dewasa kelamin pada umur enam bulan, tipe sedang 5-6 bulan dan untuk tipe berat 7-8 bulan (Herman, 1995). Menurut Lebas et al. (1986) timbulnya pubertas sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh bangsa dan perkembangan tubuh. Bangsa kelinci kecil atau medium, mencapai dewasa kelamin pada umur 4-6 bulan lebih cepat daripada bangsa kelinci besar yang baru pubertas pada umur 5-8 bulan. Perkembangan tubuh erat kaitannya dengan faktor nutrisi, sehingga betina yang

(22)

diberikan pakan ad libitum, dewasa kelamin tiga minggu lebih cepat daripada betina yang diberikan pakan yang dibatasi.

Umumnya dewasa kelamin pada betina dicapai ketika pertumbuhan tubuhnya mencapai 70-75% dari dewasa tubuhnya, akan tetapi biasanya perkawinan ditunda sampai bobot hidupnya mencapai 80% dari bobot hidup dewasa. Kelinci jantan lebih lambat mencapai dewasa kelamin meskipun telah memperlihatkan aktivitas seksual pada umur dini, perkawinan yang fertil tidak tercapai sebelum berumur 8 sampai 10 minggu (Herman, 1995).

Perkawinan dan Kebuntingan

Cheeke et al. (1982) menyatakan, bahwa untuk mengetahui secara pasti siklus estrus pada kelinci relatif lebih sulit dibandingkan pada hewan lain. Kelinci tidak memiliki siklus estrus yang tetap seperti yang dialami oleh kebanyakan hewan lain. Menurut Blakely dan Bade (1985), siklus estrus kelinci berbeda dari ternak lain, pada saat selama 15-16 hari siklus estrusnya hanya satu atau dua hari terakhir betina tidak siap kawin dan selebihnya siap menerima pejantan. Kebalikan dari siklus berbagai ternak lainnya betina siap dikawini hanya beberapa hari selama estrus. Kelinci jantan dapat melayani betina 10-15 ekor dan untuk keadaan normal tidak seharusnya digunakan lebih dari 3-4 kali kawin seminggu, meskipun menurut penelitian mengindikasikan lebih banyak frekuensi kawin lebih baik (Cheeke et al., 1982).

Balfas (2002) menyatakan bahwa banyak induk yang mengalami abortus pada minggu ketiga dan ada pula yang terjadi pada mingu pertama pada program intensif. Diduga hal itu terjadi karena kurangnya nutrisi yang diberikan induk pada fetus. Nutrisi yang diperoleh induk harus dibagi dua baik untuk fetus, maupun untuk produksi susu. Kematian anak yang terjadi pada program ini mencapai 54,84%.

Lama bunting untuk kelinci secara normal berkisar antara 30-32 hari dengan litter size yang beragam berdasarkan keturunan dan strainnya. Kebuntingan dapat diketahui setelah perkawinan dengan cara palpasi (Gillespie, 1992). Menurut Herman (1995), lama bunting beragam dengan bangsa dan strain, umumnya antara 30-33 hari setelah fertilisasi. Sebagian besar induk beranak pada hari ke 31 setelah fertilisasi, tetapi terdapat juga anak yang lahir pada hari ke 28 dan kadang-kadang setelah hari ke 35. Kebuntingan yang lebih dari 35 hari tidak umum, kecuali terjadi kesulitan

(23)

pada induk. Terdapat korelasi negatif antara lama bunting dan jumlah anak yang dilahirkan. Jumlah anak yang banyak menyebabkan masa bunting menjadi singkat dan sebaliknya jumlah anak yang rendah menyebabkan masa bunting lebih lama. Jumlah Anak Sepelahiran (Litter Size)

Jumlah anak per kelahiran, tidak hanya berpengaruh terhadap lama bunting, akan tetapi juga mempengaruhi rata-rata bobot lahirnya. Jumlah anak sepelahiran yang dihasilkan induk kelinci berbeda-beda, menurut Fielding (1991) umumnya 8-10 ekor. Menurut Adjisoedarmo (1985), kelinci lokal mampu menghasilkan anak 1-9 ekor dalam satu kali kelahiran, tetapi rataan litter size sebesar empat ekor dengan berat lahir 49,78 g. Kelinci lokal ini lebih toleran terhadap lingkungan panas

Litter size ini bervariasi karena faktor genetik, musim, umur induk, periode beranak dan ras. Perkawinan antara kelinci pejantan NZW dengan betina Grey Giant menghasilkan litter size tertinggi, sedangkan perkawinan antara pejantan Grey Giant dengan betina NZW menghasilkan litter size yang paling rendah. Musim dingin menghasilkan litter size lebih banyak dan bobot hidup yang lebih berat, sedangkan musim panas induk kelinci menghasilkan litter size lebih rendah. Induk pada periode beranak partama menghasilkan litter size yang rendah (Rathor et al., 2000). Litter size dipengaruhi oleh parameter yang sangat umum, diantaranya rata-rata ovulasi, fertilisasi, dan ketahanan embrio (Fortune, 1998).

Tabel 2. Jumlah Anak Sepelahiran Beberapa Bangsa Kelinci

Bangsa Kelinci Jumlah Anak Sepelahiran (ekor)

Polish 4

Angora, Beveren, Havana, Herlequin 4-5 Beaver, Belgian, Dutch, Lilac, Rex, Sable,

Vienna White 6-7

Chinchilla, Frenc Lo, Flemish Giant, New

Zealand White 8-10

Sumber: Hafez (1970)

Pada studi program produksi anak intensif dan semi intensif kelinci persilangan di peternakan Swa Desa Tapos 1 Ciampea Bogor (Meilinda, 2002) menyatakan bahwa litter size program produksi anak semi intensif pada kelahiran

(24)

pertama diperoleh sebesar 4-6 ekor dan 4-8 ekor pada kelahiran kedua. Untuk induk yang dikawinkan dalam waktu 24 jam setelah beranak (program intensif) litter size yang diperoleh sebesar 4-9 ekor dengan bobot lahir jauh lebih rendah dibanding program semi intensif.

Hasil studi litter size pada kelinci dengan perbaikan manajemen Soeparman (1996) menunjukkan bahwa kelinci persilangan yang diberi pakan 25, 50 dan 75 g konsentrat dengan rumput lapang (ad libitum), rataan jumlah anak yang dilahirkan berkisar antara 4,50±1,91 sampai 5,50±1,29 ekor. Bobot sapih yang dicapai dengan penambahan konsentrat 25 g adalah 506,6±157,3 g; 521,3±138,0 g dengan penambahan 50 g konsentrat dan 531,85±59,5 pada penambahan konsentrat 75 g. Mortalitas

Menurut hasil penelitian Szendro et al. (1996) litter size dan bobot badan berpengaruh pada kematian dan kematian meningkat seiring dengan peningkatan litter size dan penurunan bobot lahir. Masa paling kritis pemeliharaan anak kelinci adalah pada periode umur 0-1 minggu, dimana angka mortalitas yang paling tinggi ditemukan dibandingkan pada umur 0-3 minggu (Gultom dan Aritonang, 1988). Biasanya mortalitas anak kelinci sampai umur sapih cukup tinggi yaitu 26-59% (Raharjo et al., 1993).

Dengan mortalitas yang rendah, total produksi yang dihasilkan untuk satu kali periode beranak sampai umur sapih dapat mencapai 4,9-5,1 kg (Sartika dan Zimmermann, 1994). Biasanya yang menyebabkan kematian tersebut antara lain anak mati sejak dilahirkan, terjepit kandang, jatuh ke lantai, dimakan predator, persaingan dalam menyusu, produksi susu induk yang kurang, terkena penyakit dan pemeliharaan yang kurang baik (Sastrodihardjo, 1985).

Selang Beranak

Kelinci merupakan hewan yang unik yang dapat menerima perkawinan kembali segera setelah melahirkan. Waktu yang terburuk dalam mengawinkan induk kembali adalah 14-28 hari. Pada masa ini induk mengalami masa laktasi yang berat dan bobot hidupnya menurun karena tubuhnya harus menyediakan susu untuk anak-anaknya, laju konsepsi menurun dan dapat meningkatkan kematian serta anak yang terlahir lemah (Patton and Grobner, 1988). Kondisi tubuh induk yang baik sangat dibutuhkan sebelum induk tersebut kawin kemudian bunting dan menyusui anaknya.

(25)

Waktu yang dibutuhkan untuk bunting dan memelihara anak sampai disapih pada umur satu bulan adalah dua bulan. Setelah anak disapih pada umur satu bulan barulah induk dapat dikawinkan kembali (Herman, 1995).

Selang beranak adalah jarak setelah induk melahirkan hingga dikawinkan kembali. Penentuan selang beranak dalam suatu peternakan kelinci terbagi tiga: 1) secara ekstensif, yaitu membiarkan induk mengasuh anaknya sampai umur sapih

5-6 minggu, kemudian baru dikawinkan kembali, jadi induk dikawinkan kembali setiap 2,5 bulan setelah beranak,

2) semi intensif, yaitu induk dikawinkan kembali 10-20 hari setelah beranak yang berarti induk kelinci bunting kembali selama masih menyusui anaknya. Anak kelinci tersebut disapih pada umur 4-5 minggu, dan

3) secara intensif, yaitu pengawinan kembali tidak lama setelah beranak, biasanya dilakukan oleh peternak yang ingin mengambil keuntungan untuk menghasilkan banyak kelinci dan anak yang dilahirkan disapih setelah berumur empat minggu atau 26-28 hari (Lebas et al., 1986).

Menurut hasil laporan penelitian Raharjo et al. (1993), di dataran rendah (400 m dpl) menunjukkan bahwa kelinci Rex mampu menghasilkan litter size 5,6±0,5 ekor kelahiran yang bervariasi dari pengaruh interval kelahiran 37 hari menghasilkan litter size 5,6 ekor/kelahiran; interval 44 hari 5,9 ekor/kelahiran dan interval 51 hari 6,1 ekor/kelahiran; masing-masing menunjukkan tidak berbeda nyata. Data tersebut dapat dihitung bahwa seekor induk kelinci Rex mampu 7-10 kali kelahiran/tahun, dan menghasilkan sejumlah 40-60 ekor anak/pertahun.

Penyapihan

Umur penyapihan anak kelinci oleh peternak beragam. Empat puluh tiga persen peternak kelinci melakukan penyapihan anak antara 46-60 hari (Sastrodiharjo, 1985). Menurut Szendro (1996), pengaruh bobot lahir pada pertumbuhan berlangsung dari penyapihan sampai umur 12 minggu. Biasanya peternak menyapih anak kelinci setelah berumur 40-50 hari, tergantung pada besar tubuhnya. Oleh sebab itu jarak beranak dari dua kelahiran yang berturut-turut sedikitnya 85 hari (45 hari sapih+10 hari istirahat+30 hari bunting). Keadaan ini akan mengurangi produksi optimal kelinci, yang idealnya beranak 5-6 kali/tahun. Pencapaian target optimal tersebut masih memerlukan pengamatan yang lebih mendalam khususnya tentang

(26)

perbaikan manajemen (perkawinan, penyapihan, nutrisi) dalam kondisi pedesan (Adjisoedarmo et al., 1985).

Pengembangan Ternak Kelinci

Kelinci merupakan ternak yang mempunyai potensial besar dalam penyedia daging dengan waktu yang relatif singkat, sehingga diharapkan dapat meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat. Aspek yang menarik pada daging kelinci adalah kandungan protein yang tinggi dan rendah kolesterol, sehingga daging kelinci dapat dipromosikan sebagai daging sehat, namun untuk pengembangannya banyak kendala yang dihadapi, antara lain sulitnya pemasaran, karena daging kelinci belum populer dimasyarakat (Suradi, 2005).

Pada dasarnya faktor-faktor yang menentukan usaha peternakan dapat digolongkan atas dua macam, meliputi:

1) faktor teknis biologis (zoo teknis) yang meliputi pemuliaan ternak, pakan, perawatan, perkandangan, dan pengendalian penyakit;

2) faktor non teknis (bio ekonomi dan sosial) yang meliputi keadan sosial budaya, daya beli masyarakat, pemasaran, keadaan gizi masyarakat, prasarana dan perhubungan, dan lain-lain (Basuki, 1985).

Indonesia memiliki potensi hijauan pakan untuk ternak herbivora seperti rumput di padang rumput, perkebunan maupun sisa hasil dan hasil ikutan tanaman pangan. Wilayah yang banyak menyediakan hijauan pakan dapat menampung populasi ternak (Prawiradiputra dan Purwantri, 1996).

(27)

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2006 di Desa Pakunden Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang.

Materi dan Alat

Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini adalah milik anggota Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM) yang beranggotakan 24 orang. Jumlah kelinci yang diamati sebanyak 325 ekor. Kelinci Flemish Giant (FG) terdiri dari 40 ekor anak kelinci (umur ≤ 60 hari), kelinci muda jantan 13 ekor, kelinci muda betina 16 ekor, kelinci dewasa jantan 25 ekor dan kelinci dewasa betina 53 ekor. Kelinci English Spot (ES) terdiri dari 45 ekor anak kelinci, kelinci muda jantan 11 ekor, kelinci muda betina 17 ekor, kelinci dewasa jantan 13 ekor dan kelinci dewasa betina 26 ekor. Kelinci New Zealand White (NZW) terdiri dari 23 ekor anak kelinci, kelinci muda jantan 12 ekor, kelinci muda betina 12 ekor, kelinci dewasa jantan 5 ekor dan kelinci dewasa betina 14 ekor. Peralatan yang digunakan berupa timbangan kapasitas 2,5 kg (skala 10 g), timbangan pegas kapasitas 11 kg (skala 100 g), keranjang kelinci dan pita ukur.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2. (a) timbangan kapasitas 2,5 kg, (b) timbangan pegas, (c) keranjang kelinci, (d) pita ukur

(28)

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei dan pengamatan langsung pada ternak kelinci. Lokasi penelitian ditentukan atas saran dinas pemerintahan Kantor Informasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (KIPPK). Desa Pakunden merupakan salah satu desa yang memiliki paguyuban peternak kelinci. Data yang diambil terdiri dari data primer yang dikumpulkan melalui pengisian borang dari seluruh anggota KPKM (24 orang). Data tersebut meliputi identifikasi keluarga, tingkat pendidikan, jumlah ternak yang dimiliki peternak (jenis kelinci, jenis kelamin dan umur kelinci), produktivitas kelinci dan manajemen pemeliharaan (perkandangan, pakan dan penyakit). Data sekunder diperoleh dari instansi terkait meliputi jumlah penduduk, potensi lahan, daya dukung lahan, populasi ternak dan hal-hal yang berhubungan dengan produksi peternakan.

Pengelompokan ternak berdasarkan bangsa, umur dan jenis kelamin untuk mengetahui bobot hidup. Pembagian umur terdiri dari: anak (umur 35-50 hari), muda (umur 100-150 hari) dan dewasa (umur ≥ 180 hari).

Peubah Produksi dan Reproduksi

1. Bobot hidup dan bobot sapih, diperoleh dengan cara penimbangan menggunakan timbangan gantung kapasitas 11 kg dan timbangan kapasitas 2,5 kg (satuan kg). Penimbangan dilakukan pada pagi atau sore hari sebelum kelinci diberi makan. 2. Umur pertama ternak dikawinkan, diperoleh dari catatan peternak (pemilik)

kelinci melalui pengisian borang (satuan bulan).

3. Lama bunting, diperoleh dari catatan peternak (pemilik) kelinci melalui pengisian borang (satuan hari)

4. Jumlah anak sepelahiran, diperoleh melalui pengamatan langsung dan catatan peternak (satuan ekor).

5. Jarak waktu beranak ke pengawinan kembali, merupakan selang waktu setelah induk melahirkan sampai dikawinkan kembali (satuan hari) yang diperoleh melalui catatan peternak (satuan ekor).

6. Umur penyapihan, merupakan waktu saat anak dipisahkan dari induknya agar tidak menyusu (satuan hari atau bulan).

7. Jenis pakan, jenis-jenis pakan yang diberikan pada kelinci dicatat dalam borang yang diperoleh melalui pengamatan.

(29)

8. Jenis dan bentuk kandang, diperoleh dari pengamatan langsung bahan-bahan pembuatan kandang, bentuk kandang dan luasan kandang (satuan m2).

Peubah Populasi

1. Jumlah ternak (jantan dan betina), diperoleh dari penghitungan jumlah kelinci jantan dan betina yang dimiliki oleh semua responden (satuan ekor dan %).

2. Jumlah kelinci yang dibeli, yaitu berapa banyak kelinci yang dibeli peternak rata-rata per bulannya (satuan ekor dan %).

3. Jumlah kelinci yanng dijual, yaitu berapa banyak dalam satu bulan peternak menjual kelincinya (satuan ekor dan %).

4. Jumlah kelinci yang hilang dan mortalitas (satuan ekor dan %). 5. Jumlah kelinci yang dipotong untuk dikonsumsi (satuan ekor dan %).

Prosedur Penelitian Persiapan Penelitian

Perijinan dilakukan sebelum melakaukan penelitian kepada instansi terkait, yaitu Kantor Informasi Penyuluh Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Magelang. Perijinan tersebut digunakan sebagai dasar hukum bahwa penelitian yang dilakukan resmi dan diakui. Koordinasi dengan Kelompok Peternak Kelinci Mandiri terutama dengan ketua kelompok diharapkan lebih mengenal situasi dan kondisi peternakan di lokasi penelitian.

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan survei langsung dari satu peternak ke peternak lain dari seluruh anggota asosiasi (24 orang). Data yang diambil selama penelitian meliputi identitas peternak, produktivitas ternak, dan manajemen pemeliharaan sesuai dengan kuisioner yang telah disiakan. Identitas peternak diperoleh dengan wawancara langsung pada peternak. Data produktivitas ternak dan manajeman pemeliharaan diperoleh dengan pengamatan, penimbangan, dan catatan yang dimililki peternak. Penimbangan bobot badan induk kelinci dilakukan sekali selama penelitian. Penimbangan bobot anak kelinci dan bobot sapih kelinci yang ada saat penelitian. Ukuran luas kandang dihitung per m2 per ekor dan dicatat bahan yang digunakan. Data mengenai jumlah penduduk, potensi lahan, daya dukung lahan,

(30)

populasi ternak dan hal-hal yang berhubungan dengan produksi peternakan diperoleh dari instansi Desa terkait.

Analisis Data

Data kelinci yang diperoleh pada setiap bangsa, jenis kelamin dan kelompok umur dianalisis menjadi nilai rerata (Χ ), simpangan baku (s), dan koefisien keragaman (KK) dengan prosedur statistik berikut:

Χ = n x n i i

=1 s =

(

)

1 1 2 − Χ −

= n x n i i KK(%) =

(

100%

)

Χ s

Keterangan : adalah ukuran ke i dari peubah xi x dan n adalah jumlah sampel

yang diambil dari populasi (Walpole, 1995).

Untuk mempelajari pengaruh perbedaan rerata bobot hidup, umur pertama ternak dikawinkan, lama bunting, jumlah anak sepelahiran, umur sapih, bobot sapih dan jarak waktu pengawinan kembali setelah beranak, dianalisis dengan sidak ragam (ANOVA) dengan model matematis menurut Steel dan Torrie (1995) sebagai berikut:

Yij = µ + τi + єij

Yij = respon peubah yang diamati, µ = rataan umum,

τ = pengaruh bangsa ke-i (i=1,2,3), dan

єij = pengaruh galat perlakuan ke-i ulangan ke-j.

Apabila berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata Duncan menggunakan program SAS 6.12 (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi

Desa Pakunden terdiri dari sembilan kampung, terletak pada ketinggian 202 m di atas permukaan laut (dpl) dengan kisaran suhu antara 27-32 0C dan kelembaban berkisar antara 72 hingga 92%. Bentang lahan hanya terdiri dari dataran dengan luas 308,82 ha. Dilihat dari segi lingkungan Desa Pakunden kurang kondusif untuk mendapatkan produktivitas yang optimal bagi kelinci. Menurut hasil penelitian Suarjaya (1985), kelinci yang diberi perlakuan suhu kandang 30 0C mengalami pertambahan bobot badan per minggu yang terendah (104,9 g) dibandingkan dengan perlakuan suhu kandang 20-30 0C dan suhu kurang dari 20 0C yang dapat mencapai pertambahan bobot badan 185,4 g dan 193,6 g/minggu. Lukhefahr dan Cheeke (1990b) menyatakan bahwa, produktivitas kelinci dapat optimal pada kondisi lingkungan dengan suhu udara 18 0C dan tingkat kelembaban udara 70%. Pada suhu yang tinggi, yaitu 30 0C bobot hidup kelinci betina rendah, bobot total anak saat lahir yang relatif rendah, pertumbuhan yang lambat dan ketahanan hidup yang rendah pada anak kelinci (Fernandez et al., 1995). Data geografis Desa Pakunden disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kondisi Geografis Desa Pakunden

Uraian Pakunden

Luas desa (ha) 308,82

Ketinggian dpl (m) 202,00

Curah hujan (mm/thn) 1123,00

Suhu rata-rata (0C) 27,60

Bentang lahan (ha)

a. Dataran 308,82

b. Perbukitan/pegunungan -

Sumber: Data Monografi Desa 2005

Perkembangan ternak kelici di Desa Pakunden didukung dengan letak wilayah yang tidak jauh dari tempat pemasaran. Pasar khusus untuk ternak kelinci di Magelang telah berkembang dari tahun 2005, tepatnya di daerah Muntilan. Selain itu kelinci biasanya dipasarkan di tempat-tempat wisata antara lain Borobudur dan di wilayah Yogjakarta.

(32)

Data penggunaan lahan di Desa Pakunden disajikan pada Tabel 4. Areal persawahan yang cukup luas di Desa Pakunden (60,88%) dengan hasil utama padi. Potensi lahan untuk tanaman padi cukup baik dengan didukung adanya usaha penggilingan padi, sehingga menjadikan desa tersebut sebagai salah satu desa swasembada di Kecamatan Ngluwar. Dari hasil pertanian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pakan ternak kelinci, yaitu sisa hasil produk pertanian berupa dedak padi.

Tabel 4. Penggunaan Lahan di Desa Pakunden.

Penggunaan Lahan Persentase

(%)

Persawahan 60,88

Pekarangan/bangunan 27,52

Tegalan 2,59

Lain-lain (sungai, jalan dan makam) 9,01

Total 100,00

Sumber: Data Monografi Desa 2005

Tanah pekarangan yang dimiliki penduduk umumnya ditanami pohon kelapa, aren, melinjo dan salak. Pohon kelapa yang tercatat dalam laporan monografi desa berjumlah 975 pohon, lima pohon aren dan 298 pohon melinjo. Tanah tegalan biasanya ditanami singkong atau kacang tanah, namun data produksi tanaman tersebut belum tercatat pada laporan monografi desa baik untuk tahun 2005 maupun ditahun-tahun sebelumnya. Adanya sungai di sekitar desa tersebut menyebabkan banyak penduduk yang memelihara itik.

Kependudukan

Jumlah penduduk di Desa Pakunden sebanyak 3.703 jiwa, terdiri dari 929 kepala keluarga (KK). Komposisi penduduk pria dan wanita pada desa tersebut hampir seimbang, persentase pria dan wanita adalah 51,34 dan 48,66%. Usia kerja produktif merupakan salah satu faktor pendukung pengembangan ternak kelinci. Persentase tenaga kerja produktif di Desa Pakunden sebesar 56,17%. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa penduduk yang bermata pencaharian di sektor pertanian jauh lebih tinggi dibanding di luar sektor pertanian yaitu dengan persentase 64,81 dan

(33)

35,19%. Data tersebut dapat diasumsikan bahwa apabila anggota keluarga terlibat dalam usaha tani secara efisien maka penduduk cukup potensial untuk pengembangan usaha pertanian dan peternakan yang ada.

Tabel 5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Mata Pencaharian dan Tingkat Pendidikan di Desa Pakunden

Uraian Jumlah Persentase

(orang) (%) Jumlah Penduduk (929 KK) 3703 100,00 Jenis Kelamin: Pria 1901 51,34 Wanita 1802 48,66 Usia: 0-15 tahun 741 20,01 >15-50 tahun 2080 56,17 >50 tahun 882 23,82 Mata Pencaharian: Sektor pertanian 2105 64,81

Di luar sektor pertanian 1143 35,19

Tingkat Pendidikan SD 1125 35,60 SMP 594 18,80 SMA 654 20,70 S1 45 1,42 Tidak tamat SD 391 12,37 Tidak sekolah 351 11,11

Sumber: Data Monografi Desa 2005

Tingkat pendidikan penduduk di desa tersebut masih rendah, karena sebagian besar (35,60) hanya sampai Sekolah Dasar. Penduduk yang mencapai tingkat pendidikan SMP sebanyak 594 orang (18,80%), SMA sebanyak 654 orang (20,70%) dan perguruan tinggi hanya 1,42%. Pendidikan cukup berpengaruh dalam mengadopsi teknologi dan pengetahuan, selain itu faktor yang menentukan keberhasilan usaha ternak kelinci yaitu adanya keinginan peternak untuk maju

(34)

dengan memperbanyak pengalaman dan tidak menutup diri untuk saling bertukar informasi.

Karakteristik Peternak Kelinci Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM)

Awal berdirinya Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM) di Desa Pakunden atas dasar keinginan masyarakat untuk dapat mengembangkan ternak kelinci khususnya para penggemar kelinci. Adanya program pemerintahan yang bertujuan untuk menjadikan Kabupaten Magelang sebagai salah satu daerah sentra kelinci juga menjadikan faktor berdirinya KPKM. Kelompok Peternak Kelinci Mandiri (KPKM) berdiri sejak Oktober 2002 dengan jumlah anggota 55 orang dan populasi kelinci dewasa ±842 ekor. Pada saat penelitian berlangsung jumlah anggota yang masih aktif dan memiliki kelinci hanya 24 orang. Penurunan anggota tersebut disebabkan peternak tidak mampu menjamin kelanjutan usahanya, karena faktor-faktor tertentu sehingga kelinci yang dimiliki telah habis. Faktor-faktor-faktor tersebut antara lain kelinci telah terjual, kurang modal, sulitnya mendapatkan bibit serta kematian.

Identitas Peternak Kelinci

Identitas responden peternak kelinci di Desa Pakunden disajikan pada Tabel 6. Peternak kelinci yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 91,67% sedangkan wanita hanya 8,33%. Tujuan pemeliharaan ternak kelinci menurut responden sebagai tambahan penghasilan, hobi menjadikan hewan kesayangan, konsumsi keluarga, terutama dibutuhkan pada waktu tertentu, sebagai tabungan, karena dapat dijual dengan cepat dan dari segi pakan yang mudah didapat yaitu rumput, dedak padi dan ampas tahu. Rumput yang digunakan sebagai pakan kelinci adalah rumput lapang yang didapat dari sawah, tegalan dan dipinggir-pinggir sawah. Limbah pertanian dedak diperoleh dari tempat penggilingan padi maupun penjual makanan ternak, sedangkan ampas tahu diperoleh dari perusahaan pembuat tahu yang berada di Desa tersebut.

Usia peternak kelinci di Desa Pakunden 95,83% tergolong usia produktif. Pendidikan dan ketrampilan merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam melakukan suatu usaha. Persentase pendidikan peternak di desa Pakunden yang terbanyak adalah Sekolah Menengah Umum, hal ini sangat berpengaruh terhadap

(35)

tingkat kemampuan peternak dalam mengadopsi dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Namun tidak hanya tingkat pendidikan yang dapat dijadikan tolak-ukur cepat lambatnya adopsi teknologi, tetapi juga tempat yang mendukung informasi cepat didapat.

Tabel 6. Identitas Responden Anggota KPKM

Uraian Jumlah Persentase

(orang) (%) Jumlah Anggota 24 100,00 Jenis Kelamin Pria 22 91,67 Wanita 2 8,33 Usia (thn) < 30 2 8,33 30-50 21 87,50 > 50 1 4,17 Pendidikan S1 2 8,33 SMA 12 50,00 SLTP 1 4,17 SD 6 25,00 Tidak sekolah 3 12,50 Pekerjaan Tani 12 50,00 Buruh tani/tukang 3 12,50 Padagang/Wiraswasta 6 25,00 Peternak 2 8,33 PNS 1 4,17

Mata pencaharian responden umumnya sebagai petani, baik yang memiliki lahan sendiri maupun sebagai buruh tani. Hanya sebagian kecil saja responden yang bekerja diluar sektor pertanian, diantaranya sebagai pedagang/wiraswasta dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Beternak kelinci dapat dijadikan sebagai usaha sampingan yang cocok untuk petani, karena waktu yang dibutuhkan untuk

(36)

merawatnya cukup singkat, selain itu limbah kelinci yang berupa kotoran, urin dan sisa pakannya dapat dijadikan pupuk.

Populasi dan Kepadatan Ternak

Penyebaran dan kepadatan populasi ternak di suatu wilayah perlu diketahui untuk mengetahui kemampuan daya tampung lahan di wilayah tersebut. Menurut Murtidjo (1993), kapasitas tampung adalah kemampuan areal padang penggembalaan atau kebun rumput untuk menampung sejumlah ternak sehingga kebutuhan pakan hijauan cukup tersedia. Data Laporan Monografi Desa Pakunden per 27 Februari 2005 disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Jenis dan Jumlah Ternak di Desa Penelitian

Pemilikan Ternak Jumlah Persentase

(ekor) (ST) (%) Sapi Perah - - - Sapi Biasa/pedaging 82 58,50 1,53 Kerbau 55 46,25 3,24 Kambing/Domba 174 18,22 3,24 Kuda 1 1,00 0,02 Babi - - - Ayam Kampung 3155 31,55 58,85 Ayam Ras 1500 15,00 27,98 Itik 394 3,94 7,35 Total 5361 174,46 100,00

Keterangan: ST: Satuan Ternak Sumber: Data Monografi Desa 2005

Ternak yang banyak dipelihara oleh masyarakat adalah ayam kampung, ayam ras dan itik. Ternak sapi biasa/daging dan kerbau jumlahnya lebih sedikit dari ternak lain dikarenakan sudah banyak penduduk yang tidak lagi menggunakan tenaga kerbau atau sapi untuk membajak sawahnya melainkan dengan mesin traktor. Berdasarkan data tersebut tidak didapatkan populasi sapi perah, hal ini disebabkan keterbatasan modal, pakan dan pemasaran hasil produksi. Populasi ternak unggas merupakan ternak terbesar di desa Pakunden. Pemeliharaan yang mudah dan tidak memerlukan lahan yang luas untuk pemeliharaan mendukung ternak unggas lebih berkembang.

(37)

Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa di Desa Pakunden terdapat 0,57 Satuan Ternak (ST)/ha. Berarti desa tersebut termasuk daerah minus ternak, karena satuan ternaknya berbanding luasan lahan (ha) lebih kecil dari satu, sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengembangan ternak besar maupun kecil, karena ternak yang dipelihara tidak berimbang dengan luasan lahan dan pakan yang tersedia di alam.

Populasi Kelinci

Hasil survei terhadap paternak responden menunjukkan bahwa total populasi kelinci Flemish Giant, English Spot dan New Zealand White yaitu 651 ekor, Flemish Giant merupakan kelinci dengan populasi tertinggi yaitu 341 ekor (54,82%), diikuti kelinci English Spot 200 ekor (27,33%) dan New Zealand White 110 ekor (17,85%). Kelinci Flemish Giant lebih diminati, karena ukurannya yang besar dan persentase karkas yang tinggi. Menurut Lukhefahr (1981), Flemish Giant murni memiliki persentase karkas tertinggi dan rasio daging:tulang yang sama seperti New Zealand White. Meskipun demikian, karena rendahnya kualitas induk (mothering ability), disarankan tidak menggunakan Flemish Giant murni pada produksi kelinci secara komersial.

Tabel 8. Struktur Populasi Ternak Kelinci

Kelompok Flemish Giant English Spot NZW (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%)

Anak ≤ 2bulan 208 61,00 103 51,50 65 59,09 Muda (100-150 hari): Jantan 13 3,81 11 5,50 12 10,91 Betina 20 5,87 18 9,00 13 11,82 Dewasa: Jantan 25 7,33 15 7,50 5 4,54 Betina 75 21,99 53 26,50 15 13,64 Jumlah 341 100,00 200 100,00 110 100,00

Peternak kelinci di Desa Pakunden kurang menyukai kelinci New Zealand White, diduga karena kelinci tersebut telah banyak tercampur dengan kelinci lokal

(38)

yang memiliki ukuran tubuh kecil. Menurut Adjisoedarmo (1985), kelinci lokal Indonesia bertubuh kecil, bobot dewasa hanya mencapai 1,8-2,3 kg.

Bardasarkan Tabel 8, jumlah kelinci betina dewasa lebih banyak dibanding kelinci jantan. Hal ini karena kelinci betina mampu menghasilkan anak yang banyak, sedangkan kelinci jantan dipelihara hanya untuk menjadi pejantan saja. Beberapa peternak tidak memiliki kelinci jantan, untuk melakukan perkawinan dilakukan peminjaman kelinci jantan milik tetangga. Kepemilikan kelinci dewasa jantan berbanding betina kurang diperhatikan, dengan rasio perbandingan jantan dan betina 1:3. Perbandingan penggunaan jantan dan betina tidak berbeda dengan hasil penelitian Khusnia (2001) yaitu di Desa Salajambe dan Mangunkerta 1:2, sedangkan di Desa Galudra 1:3. Menurut Morrow (1994), rasio jantan dan betina yang baik adalah satu banding sepuluh ekor. Perbandingan penggunaan pejantan dan betina yang masih terlalu tinggi diperlukan optimasi penggunaan pejantan yakni dengan tidak menjual semua anak kelinci maupun kelinci muda, melainkan harus menekan pengeluaran kelinci betina yang akan dijadikan sebagai replacement stock serta dilakukan seleksi pejantan yang lebih intensif.

Penjualan, Pembelian dan Pemotongan Kelinci

Total penjualan kelinci muda dan dewasa baik jantan maupun betina pada bangsa kelinci Flemich Giant lebih tinggi dibanding kelinci English Spot maupun New Zealand White. Penjualan kelinci muda Flemish Giant sebanyak 17 ekor atau sebesar 19,05% dari penjualan kelinci Flemish Giant dan 43,59% dari total penjualan tiga bangsa kelinci. Jumlah penjualan kelinci English Spot menempati urutan kedua yaitu 20,51% untuk kelinci muda dan 7,69% kelinci dewasa dari total penjualan tiga bangsa kelinci. Kelinci New Zealand White, penjualan tertinggi terjadi pada anak yaitu sebesar 54,14% dari total penjualan New Zealand White atau sebesar 10,26% dari total penjualan tiga bangsa kelinci, tingkat penjualan yang tinggi pada anak disebabkan anak kelinci tersebut dijual sebelum lepas sapih bersama induknya.

Sistem penjualan kelinci biasanya telah ditetapkan oleh peternak yaitu dengan sistem paket. Satu paket kelinci muda terdiri dari dua betina dan satu pejantan, tetapi untuk penjualan induk tergantung permintaan pembeli. Tidak jarang peternak menjual induk kelinci bersama anak-anak sepelahiran yang belum disapih. Harga satu paket kelinci muda berkisar Rp 125.000,00 sampai Rp 200.000,00, kelinci

(39)

betina dewasa Rp 150.000,00 sampai Rp 225.000,00 dan kelinci jantan dewasa Rp 100.000,00 sampai 175.000,00.

Perbandingan antara penjualan dan pembelian kelinci yaitu 1:1 sampai 1:3. Jumlah penjualan ternak yang lebih tinggi dibanding jumlah pembelian, dapat menyebabkan kurangya bibit ternak pengganti, pembibitan tidak berjalan dengan baik, karena ternak unggul telah ikut terjual dan peternak tidak dapat menjamin kontinuitas produksi.

New Zealand White merupakan kelinci dengan tingkat pemotongan tertinggi yaitu sebesar 71,43% dari jumlah pemotongan tiga bangsa kelinci. Pemotongan kelinci dilakukan apabila ternak sudah terlalu tua, produksi rendah dan apabila terjadi kecacatan pada kelinci baik bawaan dari lahir maupun akibat kecelakaan. Selain itu pemotongan juga dilakukan secara sengaja untuk konsumsi keluarga sebagai sumber protein hewani.

Mortalitas Kelinci

Selain penjualan, pembelian dan pemotongan, pengurangan jumlah kelinci juga disebabkan oleh kematian. Kematian yang sering terjadi yaitu pada anak kelinci. Mortalitas merupakan salah satu faktor yang menentukan efisiensi produksi suatu usaha ternak. Menurut Sastrodihardjo (1985), biasanya yang menyebabkan kematian antara lain anak mati sejak lahir, terjepit kandang, jatuh ke lantai, dimakan predator, persaingan dalam menyusu, produksi susu induk yang kurang, terkena penyakit dan pemeliharaan yang kurang baik. Faktor penyebab kematian anak kelinci di peternakan rakyat Desa Pakunden disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Faktor Penyebab Kematian pada Anak Kelinci

Penyebab Kematian Flemish Giant English Spot New Zealand White

(ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%)

Penyakit 33 46,48 11 37,93 6 33,33

Terinjak Induk 20 28,17 8 27,59 3 16,67

Predator 8 11,27 4 13,79 7 38,89

Kecelakaan 10 14,08 6 20,69 2 11,11

(40)

Hasil survei menunjukkan tingkat kematian anak tertinggi disebabkan karena penyakit. Penyakit yang biasa terjadi yaitu diare, kembung dan kudis. Penanganan terhadap diare dan kembung dilakukan dengan cara pengurangan pemberian pakan yang berkadar air tinggi dan sebelum hijauan diberikan dilayukan terlebih dahulu. Kelinci yang menderita kudis dipisahkan dari kelinci yang lain, karena penyakit ini cepat menyebar dan menular. Menurut Sardjono (1997), dalam pencegahan dan pengendalian penyakit kudis perlu diperhatikan pola hidup, sanitasi, pemindahan kelinci, karantina dan pengobatan.

Kematian anak kelinci Flemish Giant adalah 34,14% dari 208 jumlah anak yang lahir, English Spot 28,16% dari 103 ekor jumlah anak yang lahir dan 27,69% pada New Zealand White dari 65 ekor jumlah anak yang lahir. Hasil tersebut lebih rendah dari penelitian Balfas (2002), rataan kematian anak pada sistem produksi intensif dan semi intensif pada kelinci New Zealand White yaitu sebesar 54,84% dan 34,61%. Tingkat kematian anak kelinci yang lebih rendah diperoleh Khusnia (2001) di Kabupaten Cianjur yaitu sebesar 16,31%-25,29%. Cara penanganan yang kurang tepat, kualitas pakan yang rendah serta cuaca merupakan faktor-faktor yang berkaitan dengan tingkat kematian anak kelinci.

Faktor kematian terendah karena terinjak induk terjadi pada kelinci New Zealand White yaitu 16,67%. Lukhefahr et al. (1983), menyatakan bahwa New Zealand White tekenal dengan sifat perindukan (mothering ability) yang baik. Selain itu kematian anak kelinci juga disebabkan oleh predator yaitu tikus. Kecelakaan yang terjadi pada kelinci disebabkan manajemen perkandangan yang kurang diperhatikan, antara lain kandang berlubang sehingga kelinci bisa melompat keluar, penyusunan bambu/kayu lantai kandang yang terlalu lebar dan kelalaian peternak tidak menutup pintu kembali setelah memberi makan.

Pemeliharaan Kelinci Perkandangan

Bahan kandang yang digunakan terdiri dari bambu, kayu dan kawat. Bahan dinding kandang umumnya terbuat dari kawat (87,5%), bahan atap dari seng, plastik/terpal, kayu/papan, dan genteng. Lantai kandang dibuat bercelah untuk mempermudah kotoran dan urin ternak dapat jatuh ke tanah atau di tempat penampungan, sehingga memudahkan membersihkannya.

(41)

Menurut Raharjo (2005), kandang kelinci dapat dibuat dari kayu, bambu atau kawat. Kandang kawat lebih higienis dan terlihat bersih, namun dapat menyebabakan luka pada kaki. Kandang alas bambu, lebih elastis dan tidak menyebabkan luka, tetapi perlu dibersihkan setiap hari dan kesannya kurang bersih, serta lebih mudah mengakibatkan diarhae pada kelinci. Kandang yang baik adalah kombinasi dari kayu, bambu dan kawat.

Rerata ukuran kandang yaitu 69,71±6,72 cm untuk lebar, 81,47±13,89 cm untuk panjang, dan 61,76±7,28 cm untuk tinggi. Menurut Raharjo (2005), ukuran kandang kelinci induk minimal adalah 75x70x40 cm dan lebih besar lebih baik. Ukuran kandang serupa dapat digunakan untuk anak lepas sapih, atau 2-3 ekor anak umur 3-4 bulan. Jenis bahan, model dan letak kandang yang digunakan di peternakan rakyat Desa Pakunden disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Jenis Bahan, Model dan Letak Kandang

Uraian Jumlah Responden Persentase

(orang) (%)

Jumlah Responden 24 100,00 Jenis Bahan Kandang:

Bambu dan Kayu 1 4,17

Bambu dan Kawat 2 8,33

Bambu, Kayu dan Kawat 21 87,50

Model Kandang:

Battery 16 66,67

Battery dan Postal 8 33,33

Letak Kandang:

Di dalam Rumah 3 12,50

Di luar Rumah 21 87,50

Sebagian besar masyarakat (66,67%) memilih membuat model kandang battery (Gambar 3), yaitu kandang yang hanya diisi satu ekor kelinci dengan tujuan untuk menghindari perkelahian antar kelinci. Model kandang battery bisa bebentuk berjajar atau bentuk bertingkat. Kandang sistem postal mempunyai ruang yang lebih luas, dengan setiap ruang diisi dengan beberapa ekor kelinci yang berjenis kelamin sama. Kandang sistem ini biasanya digunakan untuk pembesaran atau panggemukan

(42)

kelinci yang telah disapih sampai menjelang dewasa. Kandang yang berisi 3-5 ekor kelinci berukuran 100 cm untuk panjang, dan 75 cm untuk lebar.

Gambar 3. Disain Kandang Battery Bertingkat yang Banyak Terdapat Di Peternakan Rakyat

Hasil penelitian Kurniawati (2001) menunjukkan bahwa rataan pertambahan bobot hidup kelinci dengan kepadatan kandang 4 ekor/m2 lebih tinggi dibanding kepadatan 8 ekor/m2 yaitu 13,418±2,754 g/ekor/hari dan 12,568±2,704 g/ekor/hari. Secara statistik perbedaan kepadatan kandang tersebut tidak bebeda nyata terhadap pertambahan bobot hidup (P>0,05), meskipun terdapat kecenderungan bahwa kepadatan kandang 8 ekor/m2 pertambahan bobot hidupnya lebih rendah dibanding kepadatan 4 ekor/m2.

Tabel 11. Frekuensi Pembersihan Kandang

Frekuensi Jumlah Responden Persentase

(orang) (%) 1 kali/hari 5 20,84 2 kali/hari 9 37,50 2 kali/minggu 2 8,33 1 kali/minggu 6 25,00 1 kali/2 minggu 2 8,33 Jumlah 24 100,00

Peternakan yang baik, harus mencegah semua sumber penyakit yang menyebabkan kelinci terganggu kesehatannya. Pengelolaan kandang tidak hanya ditujukan untuk sanitasi, tetapi juga untuk kerapihan yang akan memberikan suasana

(43)

yang baik untuk bekerja, serta memberikan kepercayaan kepada pembeli bahwa peternakan tersebut sangat baik.

Pembawa penyakit adalah insekta, kotoran yang menumpuk di dalam kandang dan air minum yang tidak bersih. Kandang perlu dibersihkan dari kotoran, urin dan sisa pakan, paling tidak satu kali sehari, termasuk tempat pakan dan tempat air minum yang baru diberikan (Herman, 2002). Pada Tabel 11 memperlihatkan bahwa kesadaran peternak akan kebersihan sudah cukup baik. Pembersihan kandang dilakukan sebelum pemberian pakan pada pagi atau sore hari. Pembersihan kandang yang dilakukan per minggu ditujukan untuk pengomposan. Sisa hijauan yang tidak termakan dan telah bercampur urin dan kotoran dibiarkan dibawah kandang, setelah 1-2 minggu digunakan sebagai pupuk di sawah.

Pakan Kelinci

Peningkatan efisiensi pakan merupakan salah satu faktor yang senantiasa diupayakan dalam usaha ternak, antara lain melalui pemanfaatan bahan pakan potensial bagi kelinci dalam arti ketersediaan tinggi, komponen gizi memadai dan harganya murah.

Pada Tabel 12 memperlihatkan bahwa jenis pakan/bahan pakan yang diberikan pada ternak kelinci sebagian besar berupa campuran ampas tahu, konsentrat, dan rumput lapang (33,33%). Perbandingan pemberian ampas tahu dan konsentrat yaitu antara 20:1 sampai 10:1. Konsentrat yang diberikan yaitu konsentrat sapi dengan harga ± Rp 2.500,00/kg. Pakan yang berupa hijauan diberikan ad libitum.

Ampas tahu telah lama digunakan sebagai pakan ternak terutama ruminansia. Selain itu juga digunakan untuk kelinci pada pola peternakan rakyat. Menurut Murtisari (2005), pemberian ampas tahu untuk kelinci mampu memberikan respon yang lebih baik, karena dapat meningkatkan bobot badan. Pada penelitian tersebut ampas tahu diberikan sebagai konsentrat tunggal dan ampas tahu dikombinasikan dengan bekatul, dibandingkan dengan pemberian bekatul bersama konsentrat komersial. Ketiga macam konsentrat tersebut diberikan bersama rumput lapang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PBBH yang diperoleh sebesar 31,95; 30,53 dan 33,95 g/ekor/hari.

Gambar

Gambar 2. (a) timbangan kapasitas 2,5 kg, (b) timbangan pegas, (c)  keranjang kelinci, (d) pita ukur
Tabel 3. Kondisi Geografis Desa Pakunden
Tabel 4. Penggunaan Lahan di Desa Pakunden.
Tabel 5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Mata  Pencaharian dan Tingkat Pendidikan di Desa Pakunden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tidak ada percobaan terkontrol untuk menentukan berapa lama hipertensi berat dapat diobati, tujuan pengobatan secara bertahap dan berkelanjutan dalam menurunkan tekanan

Dana internal yang merupakan cumulative net income yang dihasilkan perusahaan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pembiayaan defisit perusahaan manufaktur

Ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, kebiasaan makan di luar rumah, frekuensi makan, dan kepemilikan tempat sampah dengan kejadian demam

Melaporkan pembelajaran sampai dengan presentasi hasil pembelajaran berupa pementasan sesuai Petunjuk Teknis Bantuan Pemerintah Penyelenggaraan Gerakan Seniman

Berlandaskan beberapa permasalahan yang dihadapi, pengembangan model pembe- lajaran yang akan dilaksanakan dibatasi pada model pembelajaran mata kuliah Teknik

Fosil memiliki bentuk fisik artistik tekstur dan warna yang unik serta nilai riwayat lampau, berkaitan dengan itu dalam penciptaan karya lukis ini penulis memakai

Pembelajaran Biologi Bermuatan Nilai pada Konsep Ekosistem untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Sikap Siswa.. FPMIPA Universitas Pendidikan

Wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan yang diwajibkan membayar retribusi atas pemanfaatan Jasa Usaha pada Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kota