• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKSI BIBIT PISANG RAJA NANGKA (Musa sp.) SECARA KULTUR JARINGAN DENGAN EKSPLAN ANAKAN DAN BUNGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKSI BIBIT PISANG RAJA NANGKA (Musa sp.) SECARA KULTUR JARINGAN DENGAN EKSPLAN ANAKAN DAN BUNGA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI BIBIT PISANG RAJA NANGKA (Musa sp.) SECARA KULTUR

JARINGAN DENGAN EKSPLAN ANAKAN DAN BUNGA

[SEED PRODUCTION IN BANANA (Musa sp.) cv. RAJA NANGKA VIA

TISSUE CULTURE USING SUCKERS AND FLOWERS AS EXPLANT

MATERIALS

Rainiyati

1

, A. Chozin

2

, Sudarsono, I. Mansyur

Abstract

The objective of this study was to investigate the growth and development of banana (Musa sp.) cv. Raja Nangka explants obtained from sucker and floral segments. The experiment was conducted at the Plant Bio-technology Laboratory, Agricultural Faculty, University of Jambi, from June 2004 through to July 2005. The variables tested were two types of explant sources, i.e. suckers and floral parts. Cultures were maintained on MS medium supplemented with vitamins, sucrose, BA, IAA, Ca-pantothenate, and solidified with agar. The results indicated that there was differences in time required from shoot and root initiation to complete plantlet regeneration. Explants originated from suckers directly formed shoots following 2 weeks of culture initiation, whereas explants from floral segments produced embryogenic structures with nodulations after 2 months of culture. Plantlets were regenerated from sucker explants within 4 months of culture. On the other hand, floral explants required longer time to produce plantlets, i.e. 6 months.

Key words: plant tissue culture, micropropagation, banana, Musa sp. Kata kunci: kultur jaringan tanaman, mikropropagasi, pisang, Musa sp.

1 Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361.

2 Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor PENDAHULUAN

Penanaman pisang dalam skala besar menggu-nakan bibit amenggu-nakan sulit dilakukan karena membu-tuhkan bibit dalam jumlah banyak. Di samping itu, penanaman dalam skala besar ini membutuhkan bibit yang seragam pula, baik secara genetik maupun morfologi (fisik) agar diperoleh hasil yang optimum dengan kualitas baik. Hal ini dikarenakan jumlah anakan setiap rumpun tanaman pisang sangat terbatas, yakni hanya sekitar 2 - 6 (Sunarjono, 2002).

Alternatif yang dapat digunakan dalam meme-nuhi kebutuhan bibit sebagaimana dikemukakan di atas adalah melalui perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Perbanyakan pisang secara kultur jaringan bertujuan untuk mendapatkan bibit bermutu dalam jumlah banyak dan cepat selama kurun waktu tertentu. Bibit bermutu artinya seragam atau homogen secara genetik dan fisik, bebas dari segala jenis patogen berbahaya bagi pertumbuhan tanaman, mempunyai sifat yang

identik dengan induknya, serta mampu menghasilkan buah bermutu tinggi.

Kultur jaringan merupakan cara pembiakan ve-getatif yang cepat dan dapat menghasilkan tanaman anak yang secara genetik seragam atau memiliki sifat yang sama atau identik dengan induknya. Dalam teknik kultur jaringan, komposisi medium dan rasio zat pengatur tumbuh yang tepat serta sumber eksplan yang digunakan perlu mendapat perhatian serius untuk menghasilkan plantlet sebagaimana yang diharapkan, di samping faktor-faktor lain, seperti cahaya, suhu dan kelembaban.

Proses produksi bibit pisang dengan kultur ja-ringan terbagi dua proses, yaitu di laboratorium dan di lapangan. Proses di laboratorium adalah proses pembiakan kultur yang dimulai dari sterilisasi bahan eksplan dan alat, ruang kultur serta pembuatan media, penanaman eksplan, sub-kultur sampai pada terbentuknya plantlet. Proses di lapangan meliputi aklimatisasi dan pembesaran bibit.

(2)

Aklimatisasi merupakan proses adaptasi dari kondisi in vitro ke kondisi in vivo. Fungsi biologis plantlet mengalami perubahan yang cepat dan eks-trim ketika dipindahkan dari kondisi in vitro ke in

vivo. Dalam kondisi tersebut plantlet mengalami

perubahan dari kondisi heterotropik ke autotropik, sehingga fotosintesis menjadi hal yang penting un-tuk diperhatikan agar plantlet dapat bertahan hidup.

Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan bibit tanaman pisang Raja Nangka yang bebas patogen dari dua sumber eksplan, yaitu anakan dan tunas bunga.

BAHAN DAN METODA

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Fakultas Pertanian Univer-sitas Jambi dari bulan Juni 2004 hingga Juli 2005. Bahan tanaman (eksplan) yang digunakan ada-lah anakan yang sehat dan segar dengan tinggi 5 - 20 cm, dan bunga pisang. Anakan diambil dari la-pang, yaitu daerah Kabupaten Merangin Propinsi Jambi, sebagai sentra produksi tanaman pisang Raja Nangka. Penanaman eksplan dilakukan di dalam Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) yang telah disterilkan dengan sinar ultra violet selama satu jam dan disemprot alkohol 70%. Semua bahan dan alat dimasukkan ke dalam kotak pindah setelah disemprot alkohol 70%.

Anakan pisang dibersihkan, lalu dikupas sampai bagian yang paling dalam, kemudian disterilkan dengan Benlate™ dan Agrept™ selama 24 jam. Lalu eksplan dicuci dengan air steril dan direndam di dalam larutan NaClO 0,5% selama 30 menit, lalu dibilas dengan air steril dan dikupas kembali sampai berukuran 1,5 cm. Kemudian eksplan dibelah menjadi dua bagian untuk selanjutnya ditanam pada medium yang telah disiapkan.

Demikian pula halnya dengan bunga pisang. Bunga pisang dikupas sampai bagian paling dalam, lalu disterilkan di dalam larutan yang mengandung NaClO 0,5 % selama 15 menit. Selanjutnya eksplan dicuci dengan air steril dan dikupas kembali sampai berukuran 1,0 cm dan dibelah menjadi 2 untuk selanjutnya siap ditanam.

Eksplan ditanam pada media MS0 dan dipelihara selama 1 bulan untuk melihat perkembangannya. Setelah tunas terbentuk, eksplan dipindahkan ke media MS yang mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT) untuk penggandaan tunas, yaitu medium MS yang dilengkapi dengan gula 40 g L-1, BA 5 mg L-1,

Ca-pantotenat 1 mg L-1, IAA 0,1 mg L-1 dan agar-agar 7 mg L-1. Eksplan dipelihara pada medium ini sela-ma dua bulan. Untuk membentuk plantlet, sela- masing-masing tunas dipindahkan ke medium perakaran (MSA), yaitu medium MS½ yang dilengkapi de-ngan gula 40 g L-1, BA 0,2 mg L-1, Ca-pantotenat 1 mg L-1, IBA 2,5 mg L-1, agar-agar 7 mg L-1 serta arang aktif 2 g L-1 (Rosita, 2001). Setiap botol berisi satu tunas dan dipelihara selama 1 bulan.

Pada prosedur aklimatiasi, plantlet yang terben-tuk dikeluarkan dari media perakaran lalu dicuci dengan dengan air sampai bersih. Plantlet yang te-lah bersih ditanam di dalam pot yang berisi media sekam hitam yang telah disterilisasi, lalu disung-kup dengan plastik selama 2 minggu di dalam ru-ang kultur (suhu 25 ± 1 oC). Setelah 2 minggu sungkup dibuka dan pot dipindahkan ke rumah ka-ca selama 2 minggu berikutnya. Tanaman yang te-lah mengalami aklimatisasi, dipindahkan ke poly-bag yang berisi media tanah dan sekam hitam de-ngan perbandide-ngan 1:1 yang masing-masing telah disterilisai dengan autoclave. Pada media ini plant-let dipelihara selama 2 bulan pada kondisi in vivo. HASIL DAN PEMBAHASAN

Permasalahan awal yang muncul pada peneliti-an ini adalah mencari metoda sterilisasi eksplpeneliti-an yang tepat agar tidak terjadi kontaminasi pada eks-plan. Hal ini mengingat eksplan yang digunakan berasal dari lapang yang banyak mengandung mi-kroorganisme. Pada kenyataannya sangat sulit se-kali untuk menghasilkan eksplan yang benar-benar steril dan bebas dari mikroorganisme. Hal ini baru teratasi setelah 6 bulan dicoba berbagai metoda sterilisasi.

Mikroorganisme yang menyebabkan kontami-nasi paling banyak adalah bakteri. Bakteri yang muncul dari eksplan. Pemunculannyapun berbeda-beda waktunya yaitu 1 hari setelah tanam, 1 ming-gu setelah tanam, setelah keluar tunas atau 1-2 bu-lan setelah tanam dan setelah keluar tunas. Menu-rut Taji et al. (1997), eksplan awal merupakan sumber utama infestasi, namun infestasi dapat pula terjadi pada berbagai tahapan proses kultur.

Adanya kontaminasi ini diduga karena sumber eksplan yang berasal dari lapang banyak mengan-dung mikroorganisme, disamping itu diduga ada-nya mikroorganisme endogen yang hidup pada ja-ringan eksplan dan muncul setelah eksplan terse-but bertunas. Organisme yang hidup di dalam ja-ringan lebih sulit diatasi, dan adakalanya dijumpai infestasi yang terjadi setelah beberapa generasi pa-da kultur yang steril. Hal ini kemungkinan

(3)

dise-babkan oleh agen infestasi yang telah bertahan di dalam jaringan sampai kondisi yang menguntung-kan untuk pertumbuhannya (infestasi laten) (Taji

et al., 1997).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari anakan meregenerasikan tunas pada umur 2 minggu setelah tanam. Sedangkan eksplan yang berasal dari bunga tidak langsung meregenerasikan tunas tetapi membentuk nodul morfogenik seperti yang terlihat pada Gambar 1. Tunas yang terbentuk dari eksplan anakan kemudi-an disubkulturkkemudi-an pada medium penggkemudi-andakemudi-an tunas.

Gambar 1. Tunas yang terbentuk dari eksplan anak-an pada umur 2 minggu setelah disub-kulturkan ke media pertunasan (A). No-dul-nodul morfogenik yang terbentuk dari bunga pisang 2 bulan setelah disub-kulturkan ke media pertunasan (B). Penggandaan tunas mulai terjadi setelah 2 minggu tanaman disubkulturkan ke medium pertunasan (Gambar 2.). Penggandaan tunas terjadi karena beberapa faktor yang mendukung, yaitu eksplan dan lingkungan tumbuh (suhu, cahaya dan zat pengatur tumbuh). Sedangkan nodul yang terbentuk pada eksplan bunga meregenerasikan tunas setelah 4 bulan pada medium pertunasan.

Gambar 2. Tunas majemuk yang terbentuk dari eksplan anakan pada umur 1 bulan sete-lah disubkulturkan pada media pertunas-an (A). Nodul morfogenik ypertunas-ang terben-tuk dari bunga pisang 4 bulan setelah di-subkulturkan ke media pertunasan (B). Tunas yang terbentuk dari eksplan anakan sete-lah berumur 2 bulan disubkulturkan ke media per-akaran untuk membentuk plantlet. Perper-akaran

ter-bentuk menyusul 2 minggu subkultur (Gambar 3.). Pembentukan akar ini dipengaruhi oleh pemberian zat pengatur tumbuh auksin dengan konsentrasi tinggi yaitu IBA 2,5 mg L-1 dan sitokinin dengan konsentrasi rendah yaitu 0,5 mg L-1 BA. Adanya perimbangan zat pengatur tumbuh ini pada media menghasilkan sistim perakaran yang baik pada kultur yang berasal dari anakan. Plantlet dipelihara sampai siap untuk diaklimatisasikan.

Pemberian BA dengan konsentrasi tinggi (5,0 mg L-1) pada media memacu sitokinin endogen dari eksplan untuk merangsang pembentukan tunas dan memacu pembentukan tunas majemuk. Menu-rut Bhojwani dan Razdan (1983), sitokinin (BAP) sangat efektif dalam merangsang pembentukan tu-nas. Semakin tinggi konsentrasi sitokinin yang di-berikan, maka jumlah tunas yang terbentuk akan semakin bertambah. Akan tetapi pemberian BAP konsentrasi tinggi ini menghambat terbentuknya akar. Untuk merangsang terbentuknya akar maka pada media perakaran diberikan auksin (IBA) de-ngan konsentrasi tinggi 2,5 mg L-1, sehingga jum-lah auksin total eksplan meningkat dengan penam-bahan tersebut. Kandungan auksin endogen hasil sintesis tunas juga meningkat sehingga mampu mengatasi pengaruh BAP. Wattimena (1987) me-ngemukakan bahwa auksin disintesis pada bagian meristem pu-cuk, sehingga peningkatan jumlah tu-nas akan me-ningkatkan sintesis auksin endogen.

Gambar 3. Tunas yang berasal dari anakan setelah 1 minggu disubkulturkan ke medium perakaran (A). Akar yang muncul dari tunas setelah 1 bulan disubkulturkan ke medium perakaran (B).

Plantlet yang telah berakar dipindahkan ke pot kecil yang berisi media pra-aklimatisasi, yaitu arang sekam (hasil pembakaran sekam mentah yang tidak sempurna) yang telah disterilisasi de-ngan otoklaf. Plantlet disungkup plastik selama 2 minggu pada lingkungan yang diusahakan sama dengan seperti di dalam ruang kultur. Hal ini ber-tujuan supaya akar yang baru terbentuk dapat berfungsi dengan baik.

Persentase tumbuh tanaman yang diaklimatisa-sikan adalah 100%, Hal ini menunjukkan bahwa

(4)

medium yang digunakan sudah cocok dengan ta-naman pisang. Kemampuan adaptasi tunas dan akar pada medium yang digunakaan cukup tinggi. Kondisi lingkungan, seperti kelembahan, intensitas cahaya dan suhu sangat mendukung plantlet untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Menurut Yusnita (2003), pada minggu pertama aklimatisasi kelembaban lingkungan harus dipertahankan agar tetap tinggi, kemudian menurun secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Selain itu, caha-ya diatur dari intensitas rendah dan meningkat se-cara bertahap, sedangkan suhu tetap dijaga agar ti-dak melebihi 32 oC.

Gambar 4. Plantlet yang siap untuk mendapat per-lakuan pra-aklimatisasi setelah 1 bulan pada media perakaran (A). Plantlet yang mendapat perlakuan pra-aklimatisasi pa-da media sekam hitam steril pa-dan disung-kup plastik selama 1 minggu (B). Pada penelitian ini sungkup plastik dibuka sete-lah tanaman berumur 2 minggu, untuk selanjutnya pot dipindahkan ke rumah kaca selama 1 minggu. Setelah 8 minggu di dalam polybag berisi media tanah dan arang sekam dengan perbandingan 1:1, tinggi tanaman mencapai rata-rata 35,45 cm se-hingga siap untuk digunakan sebagai bibit (Gam-bar 5.). Menurut Wattimena (1999), pada pisang abaca, bibit hasil kultur jaringan siap dipindah ke lapang pada saat tingginya mencapai 30 – 50 cm.

Eksplan yang berasal dari bunga pisang pada awalnya membentuk nodul morfogenik. Setelah 6 bulan pada medium perakaran terjadi perbanyakan nodul, pembentukan tunas yang kemudian diikuti oleh pembentukan akar (Gambar 6.). Wattimena et

al. (1992) menyatakan bahwa nodul merupakan

se-kelompok sel pada tempat tertentu pada kalus yang menyerupai kambium, yang sering juga disebut meristemoid. Penggandaan nodul diduga berasal dari sel peri-peri yang membelah dan membentuk

nodul baru, namun secara pasti belum dipelajari lebih jauh dari mana asal-usul penggandaan ter-sebut.

Gambar 5. Bibit tanaman pisang Raja Nangka yang siap di pindahkan ke lapang.

Diperlukan waktu yang cukup lama membentuk tunas pada nodul tersebut, hal ini diduga karena perimbangan zat pengatur tumbuh yang ada pada medium belum tepat sehingga belum mampu untuk memacu pertumbuhan tunas dengan cepat.

Gambar 6. Tunas-tunas yang terbentuk dari eksplan yang berasal bunga setelah 6 bulan pada medium pertunasan

KESIMPULAN

Eksplan yang berasal dari anakan membentuk tunas setelah 2 minggu disubkulturkan ke medium MS0, sedangkan eksplan yang berasal dari bunga pisang tidak langsung menghasilkan tunas tetapi membentuk nodul morfogenik

(5)

Penggandaan tunas pada eksplan yang berasal dari anakan terjadi setelah 2 bulan tanaman disub-kulturkan ke media pertunasan. Penggandaan nodul pada eksplan yang berasal dari bunga terjadi 4 bulan setelah disubkulturkan ke medium pertunasan, sedangkan tunas baru muncul setelah tanaman berumur 6 bulan.

Tanaman siap digunakan sebagai bibit setelah berumur 2 bulan di polybag dengan tinggi rata-rata 35,45 cm.

DAFTAR PUSTAKA

Bhojwani, S. S. dan M. K. Razdan. 1983. Plant Tissue Culture: Theory and Practice. Development in Crop Science 5. Elsevier Press, Amsterdam.

Rosita, N. 2001. Pengaruh Jenis Media Preservasi dan Lama Penyimpanan Gelap terhadap Kemampuan Tumbuh Platlet Abaca (Musa textiles var.

tangongon). Skripsi Sarjana Pertanian, Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Sunarjono, H. 2002. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Taji, A. M., W. A. Dodd dan R. R. Williams. 1997. Plant Tissue Culture Practice. University of New England, Armidale.

Wattimena, G. A. 1987. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wattimena, G. A. 1999. Produksi Massal Bibit Pisang Abaca melalui Proses Bioteknologi. Makalah Seminar tanggal 24 November 1999 di Semarang. Wattimena, G. A., L. W. Gunawan, N. A. Mattjik, E.

Sjamsudin, N. M. A. Wiendi dan Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agromedia Pustaka, Jakarta.

(6)

Gambar

Gambar 3. Tunas yang berasal dari anakan setelah  1 minggu disubkulturkan ke medium  perakaran (A)
Gambar 5. Bibit tanaman pisang Raja Nangka  yang siap di pindahkan ke lapang.

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan massa pada setiap variasi campuran briket pada proses pembakaran hingga menjadi abu dapat dijelaskan bahawa setelah briket kulit kayu gelam dan cangkang

Tujuan dari pengembangan ini adalah mengembangkan instrumen penilaian untuk mengukur keterampilan berpikir kreatif siswa SMP pada mata pelajaran IPA Terpadu materi

Temuan penelitian mengindikasikan bahwa representasi matematis siswa yang bergaya kognitif reflektif dalam memecahkan masalah pola bilangan, meliputi (a) mengenali

Program Studi :

Ekstrak yang dikombinasi ini kemudian dibuat dalam bentuk larutan dan akan dilakukan uji antibakteri terhadap tiga jenis bakteri penyebab diare Staphylococcus

Pembahasannya berupa cara kerja dan isi dari program yang ada pada aplikasi tersebut, dengan judul “Detektor Posisi Kendaraan bermotor dengan sensor GPS dan Aplikasi

Stroke merupakan gangguan neurologic yang terjadi akibat bergentinya aliran darah melalui suplai arteri otak yang disebabkan oleh sumbatan atau penyempitan pembuluh

Variabel faktor lingkungan yang menunjukkan nilai koefisien korelasi relatif tinggi dengan indeks diversitas makrofauna di dalam tanah adalah kandungan bahan organik tanah